Pada esok sorenya, Naima sudah diperbolehkan pulang dengan catatan untuk istirahat total. Tapi mereka harus menginap di hotel, karena Albe harus mengadakan pertemuan dengan beberapa pegawainya. Demi mengamankan Cafe, Albe memang mengubah nama kepemilikan sebagian sahamnya. Tentu saja melalui jasa kenotariatan dan prosedur yang berlaku. Naima hanya ikut tanda tangan dokumen yang membuatnya mengeluh, Viran meyakinkan itu bukan apa-apa, hanya dokumen karena statusnya sudah berkeluarga jugga upgrade status kependudukan.
Naima yang sedang tidak ingin ambil pusing untuk semuanya, hanya menyanggupi tanpa protes.
“Kalau lo tiba-tiba masuk penjara jangan kaget ya, Nai,” sindir Viran. Karena keengganan Naima membaca dokumen bertumpuk-tumpuk yang selesai dia tanda tangani.
Sedang Dinda, manajer ya
Naima masih mencerna apa yang Alberico katakan, kelopak matanya mengerjap beberapa kali. Tangannya terulur mencubit pipi sang suami. "Kamu ngomong apa sih, Yang?" tanya Naima masih tak paham. Albe mendesah, jemarinya yang berada di pinggang Naima menggelitik wanita itu dengan gemas. Membuat wanita hamil itu tergelak dan menahan tangannya. "Aku serius, Baby." Albe menghentikan aksinya, meletakkan tangan besarnya pada pipi Naima yang bersemu merah. Naima bangkit, duduk bersandar pada kepala ranjang. Albe pun melakukan hal yang sama. "Baby, kamu mengerti maksudku 'kan? Dulu, penjaminku adalah kepuarga Jaka. Tapi mereka mengkhianatiku. Sekarang, tidak ada lagi yang kupercaya selain kamu sebagai istriku. Maka …," Albe menaikkan Naima ke pangkuannya. Melingkarkan tangan pada pinggang sang istri. "Karena sekarang aku mempunyai waliku sendiri, keluargaku yang lebih berhak atas semua jerih payahku selama ini. Maka, aku mengalihkan semua untukmu, Sweetheart." Albe menga
Keesokan harinya, Albe dan Naima masih harus menuju kantor imigrasi untuk validasi data. Tanda tangan Naima sebagai pihak penjamin untuk Albe saat ini dibutuhkan, KITAS Albe harus ditangguhkan sementara karena paspor yang hampir kadaluarsa. Tidak membutuhkan waktu lama memang, tapi cukup membuat Naima cemberut karena kelelahan menunggu. Bukan apa-apa, petugas kantor itu sepertinya lambat dan memang sengaja menunda-nunda. “Mau gue santet apa ini orang-orang,” gerutu Viran. “Kita sudah bayar mahal ini, tetap di permainkan. Dasar dajjal semua mereka,” lanjut Viran masih dengan emosi. Albe menepuk bahu lelaki itu sebagai dukungan agar lelaki itu bersabar. “Apa perlu aku belikan kopi? Atau sesuatu?” tanya Naima. Albe menarik tangan lembut istrinya, memberikan tekanan lembut pada telapak tangan Naima. “Tidak perlu, sebentar lagi. Besabarlah. Aku sudah memberi kabar orang yang berwenang, dengan sedikit ancaman. Mereka pasti tidak akan menunda lagi,” ucap Albe menenangkan Viran. Albe m
Sepanjang perjalanan Naima memikirkan Tiara, ponsel sahabatnya itu tidak aktif. Dia khawatir, gadis itu menjadi tertutup setelah menganbil pesanan makanan mereka di rumah sakit tempo hari. Tiara tidak pernah berbohong ataupun menyembunyikan sesuatu darinya? Terbersit dalam benaknya, Tiara kecewa padanya. Selama ini Naima hanya menyusahkan sahabatnya itu, tanpa sekalipun memperhatikan Tiara. Itu menurut pemikiran wanita hamil itu. Desahannya terdengar terasa berat, sulur-sulur hatinya meneriakkan kepanikan. Tiara hanya dekat dengannya sekarang ini. Kuku terawatnya menjadi korban kekhawatirannya, ia gigiti dengan tak sabaran. Sementara kedua lututnya bergerak tak tenang. Albe yang melirik ke arah istrinya, meraih tangan kanan Naima yang berada di bibir sang istri dengan tangan kiri. Membawa jari lentik itu ke bibirnya, ia kecupi tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan. Ia tahu kegundahan hati Naima, ikatan persahabatn dengan Tiara sudah lekat layaknya saudara. Seperti dia dan Jaka d
Jika ditanya terbuat dari apa hati Naima istrinya itu, tentu Alberico akan menjawab dari segumpal awan yang jikan air sudah memenuhinya lalu berubah menurunkan hujan jika sudah tak sanggup menampungnya lalu sesekali akan menggelegarkan petir yang mampu menyambar dan membumi hanguskan apa saja yang ia kehendaki. Setelah itu akan memunculkan pelangi yang indah. Tapi itu hanya jika, karena pada kenyataannya hati istrinya terbuat dari segumpal darah seperti bagian lain organ tubuh wanita jelita itu. Jadi, apakah ia harus marah akan permintaan konyol Naima untuk Jaka, orang yang sudah berusaha mencelakainya. Bahkan sudah melakukan hal tidak senonoh dan asusila. Baiklah, mari kita beri saja hukuman pada wanita yang sedang hamil itu, dengan sesuatu yang menyenangkan. Karena hukuman Jaka sudah ditetapkan dan untuk titipan yang ia sebutkan, biarkan Viran yang mengurusnya. Saat ini Albe hanya akan berfokus pada sang istri yang terlihat menggemaskan daripada Ruby yang semakin membulat dan terl
Naima menopang dagunya pada gagang koper Airwheels, ia kini berada di terminal keberangkatan Internasional. Ruby berada di rumah Cindy kekasih Viran. Seharusnya ia mengajak serta, tapi karena suatu hal. Suaminya melarang dan Naima hanya menuruti, sebenarnya tidak tega meninggalkan temannya itu. Tapi, syarat untuk membawa serta Ruby tidaklah sesederhana membawa bayi. Setelah melakukan pemeriksaan dokumen keimigrasian dan dinyatakan memenuhi syarat. Mereka menuju lounge kelas satu sebuah maskapai dari timur tengah. Albe sengaja memilih pesawat yang berfasilitas lengkap. Supaya ia yang sedang hamil merasa nyaman, apalagi ini penerbangan pertama Naima ke luar negeri. Mengingat bagaimana
"Baby!" Albe menyadarkan Naima dari lamunannya. Senyum lelaki itu mengembang, mengusap puncak kepala istrinya. "Oh, Yang!" Naima mengerjap, menerima uluran mug dengan teh hangat yang Albe ambilkan di dari meja bar lounge kelas 1 itu. Lalu Albe mengambil kotak kecil, berisi obat dan vitamin yang harus Naima konsumsi sebelum mereka masuk pesawat. "Minum susunya nanti saat di pesawat saja, okay?" kata Albe sembari menyimpan kembali kotak obat itu ke dalam tas waist bandnya. "Makasih, Hun." Naima mengecup rahang Albe yang sekarang duduk di sampingnya, lelaki itu menarik pundak Naima dan tersenyum manis. "
Perjalanan panjang yang melelahkan, tapi sangat berkesan untuk pasangan suami istri Alberico dan Naima. Naima pikir, ia akan mengalami mabuk dan drama lainnya mengingat perjalanan yang panjang. Ternyata kehamilannya sama sekali tak mengganggu perjalanan. Mereka tiba di Windsor Terrace 52 Sherman St sudah lewat tengah malam, kemacetan di jalanan akibat kecelakaan yang tak terelakkan. Tidak ada penjemputan, mereka tidak mengabari akan pulang. Albert sedang berada di Manhattan untuk pertemuan, sedang Blaire masih di asrama kampusnya. Hanya ada Moma di rumah classic dengan tatanan modern itu. “Oh my goodness Rico! Naima! Kalian datang?” Moma berteriak histeris saat membukakan pintu untuk tamu yang menekan bel dengan tidak sabar. “Kami datang, Mom. Menantumu ingin mengunjungimu, apa kau keberatan?” Albe memeluk ibunya di susul dengan Naima yang memakai mantel tebal milik Albe. “Oh, senang bertemu denganmu lagi, Sweetie. Ayo masuk, kebetulan sekali aku
Albe menatap Naima yang sudah mencoba memejamkan mata, ia juga turut merebahkan badannya di samping sang istri dan memeluk tubuh wanita tercintanya itu. “Kau percaya padaku ‘kan, Baby?” tanya Albe membenamkan hidung mancungnya pada rambut Naima yang tergerai di atas bantal. Menghidu wangi shampo yang lembut. “Hmmm, istirahatlah, Sayang,” ucap Naima lemah. Albe semakin erat memeluk Naima, ada gundah yang bersemayam di hatinya semenjak menginjakkan kaki di negara ini, tempat ia di lahirkan dan juga masih menjadi tanah airnya. Dia bukan ragu pada hatinya, bukan pula tentang perasaannya pada wanita yang sudah rela menemaninya selama ini. Dia khawatir pada dirinya sendiri, jika traumanya akan kembali setelah melihat wanita masa lalunya itu. Dulu dia menganggap perasaannya pada Chloe adalah cinta sejati, tapi setelah tahun berlalu dan banyak wanita lain yang mencoba mengisi harinya dan hatinya sama sekali tak mengingat wanita itu bahkan namanya. Membuatnya yakin, Chloe tidak lebih dari
Suasana ballroom sebuah hotel berbintang di tengah kota Manhattan terlihat riuh dan penuh canda tawa. Sosok perempuan bergaun biru langit dengan model sederhana berbahan brokat, namun tetap tampak elegan dan membuat wanita dengan perut membuncit itu terlihat semakin menawan. Ia terlihat bahagia, wajahnya memancarkan rona merah muda. Senyumnya yang sampai ke ujung mata tak meninggalkan bibir merahnya. Naima dan Albe menjadi laksana Cinderella dan Prince Charming di dunia nyata. Mereka berdua berjalan bergandengan menuju singgasana sederhana di ujung sana. Di depan mereka Colby Jr. berjalan layaknya pangeran dengan suite kebanggan. Tepuk tangan tamu undangan yang sebagian besar adalah kawan Eleanor dan Albert yang menempati sisi kiri. Juga teman-teman Albe hanya ada puluhan sepertinya, berada di barisan sebelah kanan. “Yang, banyak sekali tamunya,” bisik Naima. Ia tentu gugup walau terlihat bahagia. “Rileks, Baby. Anggap saja mereka bukan apa-apa,” ucap Albe tak kalah pelan, meng
Naima mengekori Albe saat lelaki itu mengunjungi sebuah gedung pusat rehabilitasi, sudah 4 hari berlalu sejak pembicaraan singkat mereka. Alberico sudah menjelaskan pada Naima bagaimana kondisi Chloe. Depresi dan narkoba yang sudah meresahkan. Kesenyapan dan wajah sendu Colby saat sendiri adalah bentuk kesedihannya. Chloe sangat menyayangi anak kecil itu, tapi waktunya tersita saat pengaruh obat menguasai tubuh. Meninggalkan Colby dalam kesunyian, sementara Nanny Smith tak bisa 24 jam bersama. Setiap hari, Naima dan Albe mengajak Colby bertamasya dan melakukan banyak kegiatan yang dapat mengurangi rasa sedih dan kesepian anak berumur 6 tahun itu. Saat menanyakan keberadaan sang ibu, Naima mengatakan Chloe sedang sakit dan harus di rawat. Colby Jr. yanga bosan dengan rumah sakit memilih berdiam diri di rumah. Jadwal bermain dengan dokter masih beberapa hari lagi, ia tak mau datang ke tempat yang tidak menyenangkan itu. Maka, di sinilah mereka berdua. Tanpa Colby Jr. Mereka berada
Mobil Pria bernama Pete itu segera melaju dengan kencang. Colby berlari dan memeluk wanita berkulit hitam yang Naima asumsikan adalah Nanny Smith-nya. “Nanny, ada apa dengan Mom? Kenapa dia selalu seperti itu?” tanya Colby dengan air mata yang membanjiri pipinya. “Oh Boy, Mommy hanya kecapean saja. Ayo aku gendong, kau perlu tidur.” Wanita itu mengangkat Colby kedalam gendongannya. Lalu berpaling pada Naima dan tersenyum. “Hai, Aku Nanny Smith kamu kekasihnya Rico?” Nanny Smith mengulurakn tangannya. Naima menyambut uluran tangan itu dan meralat, “aku istrinya.” “Oh, maaf. Aku tidak tahu. Ayo kita masuk, kita akan ngobrol nanti setelah laki-laki kuat ini tidur siang. Naima mengangguk, ia juga butuh merebahkan diri. Saat masuk ke dalam rumah, Naima menyempatkan melihat Granny di kamarnya, wanita itu sedang tidur dan tak terganggu dengan keributan yang terjadi tadi. Naima memilih ke beranda belakang, ada sofa yang terlihat nyaman di sudut dengan bantal-bantal yang menghiasi juga
“Mommy!” Colby Jr. turun dari sofa dan berlari memeluk ibunya yang baru pulang bekerja. Menurut informasi yang Albe terima dari ibunya, Chloe bekerja sebagai manajer di departemen store di kota Hampton. “Hello Boy, istirahatlah ke kamarmu.” Chloe memperhatikan Albe dengan raut penuh kerinduan, Naima berdiri mendekati Albe yang terlihat emosi. Menggenggam lengan yang sudah terkepal dan mengelus lengan atasnya naik turun. Ia tersenyum manis pada suaminya. “ Hai Rico! Kejutan dan wow, aku tak tahu harus mengucapkan apa? Selamat datang Ok?” sorak Chloe dengan mata berkaca-kaca juga bertepuk tangan sekali lalu menautkan jemarinya pada jemari tangan lainnya. “Hai Chloe, sangat mengejutkan bukan?” kata Albe terdengar dingin. “Aku memang terkejut dengan apa yang aku temukan saat bertemu dengan keponakan pintarku. Maka dari itu kami membuat kesepakatan. Apa kau keberatan?” Albe benar-benar tanpa basa-basi, Naima melihat suaminya seperti itu menjadi sedikit khawatir. Apa trauma Albe muncul se
“Itu Colby, aku rasa.” Albe memberi tahu Naima yang masih berdiri di tengah tangga bersamanya. “Hai Boy! Apa kamu yang bernama Colby?” tanya Albe turun dari tangga, memperhatikan anak kecil yang terlihat mengamati Albe. “Yeah, itu aku. Dan kamu Daddyku bukan? Mom selalu menceritakan dirimu dan menunjukkan fotomu." Albe mendengkus, lalu menyalami anak kecil itu. “Kita belum berkenalan, namaku Alberico Steinson. Dan kau tahu? Ayahmu bermarga berbeda denganku, namanya Colby East Stone. Bukankah namamu Colby Jr Stone? Kemarilah.” Albe menarik anak kecil itu untuk ikut ke atas. Albe melihat raut istrinya yang tak terbaca hanya tersenyum. “Aku akan menyelesaikan ini, tolong percaya
Pagi yang sibuk untuk Naima dan Albe, Eleanor sudah menyiapkan beberapa kotak makanan untuk di bawa ke New Jersey. Wanita cantik itu beralasan, Mamanya selalu merindukan masakan putri satu-satunya. Albe hanya mengendik tanpa berkomentar, sementara Albert yangs edang membaca berita di tabletnya tidak berkomentar banyak. Mereka berangkat dengan Tesla model X. Saat Naima menuju carport, ia di buat takjub dengan jenis mobil yang tak biasa. Mobil keluarga Albe tidak ada yang type sedan, APV dengan kapasitas besar sepertinya adalah yang terfavorit untuk mereka. “Ada apa, Sweetheart?” Albe yang datang membawa koper berisi baju mereka heran dengan Naima yang bengong di hadapan beberapa mobil yang berjajar rapi. “Aku tidak tahu mana yang akan kau pilih untuk perjalanan kita, Sayang. Kau bilang yang sesuai dengan seleramu, dan yang aku lihat semua adalah seleramu.” Naima menolehkan kepalanya pada Albe yang menuju cabinet kecil yang tertempel di dinding. Untuk membuka cabinet itu menggunakan
Naima jatuh di atas tubuh suaminya, beberapa orang yang lewat membantu Naima untuk bangkit, baru setelahnya Albe. Jalanan licin sedikit menyuitkan pria itu untuk berdiri. Pemuda yang kehilangan kendali saat berseluncur dengan skateboardnya berlari dengan panik. “Apa kalian terluka?” tanya pemuda itu dengan menenteng papan kayu di sebelah tangannya. “Kuharap tidak, lain kali berhati-hatilah. Atau kau akan mendapatkan hukuman,” ucap Albe menepuk pundak pemuda tadi. “Kau tidak apa-apa, Baby?” tanya Albe pada Naima yang terlihat syok, ia masih bersandar di dinding toko yang sudah tutup. Naima menutup mukanya dengan tangan, perutnya sedikit tegang tadi dan itu sangat tak nyaman. Naima meraih tangan Albe lalu memasukkan pada mantel tebal yang ia gunakan. Albe paham dan mengelus perut istrinya beberapa kali. Wanita it menyandarkan keningnya di dada Albe, dia dan calon anakknya sudah mengalami beberapa lagi tragedi dan itu membuatnya sedikit trauma. “Apa kau mau aku panggilkan Daddy su
“Tidak bisa, Dad! Uang yang dia pakai sangat banyak, aku tak bisa merelakan begitu saja. Aku harus mendatangkan alat gym termutakhir untuk cabang di Pluit. Gedungnya sudah siap, hanya untuk mendatangkan alatnya saja. Uangnya masih kurang.” Tolakan Albe yang menggebu membuat Albert memicing, Moma mengedip pada Naima. Perempuan hamil itu paham, lalu mengikuti mertuanya untuk masuk ke dalam ruangan kerja yang sedikit ke arah depan. “Mereka akan sangat lama dan membosankan jika membahas soal -BISNIS-, kita di sini saja. Bagaimana kalau kita mencari gaun untuk acara kalian, aku ingin melihatmu memakai gaun pengantin, Sayang.” Moma mengambil tabletnya yang berukuran besar. Membawa ke arah sofa di mana Naima duduk dan menyandarkan punggungnya. “Apa saudara Moma banyak? Atau rekan juga kerabat?” tanya Naima, iris beningnya mengikuti gerakan sang mertua.
"Aku tidak tahu, Hun. Bagaimana kalau kita ikuti kemauan Moma aja? Aku takut mengecewakannya," usul Naima. Albe hanya mengendik, lalu menarik jemari istrinya. “Sebaiknya kita bicarakan bersama, supaya yang menjadi resepsi impianmu juga bisa terwujud, Baby. Ini pesta untuk kita bukan? Aku ingin kau juga mengutarakan keinginanmu. Hilangkanlah rasa sungkanmu itu, Sweetheart. Kadang aku tidak nyaman dengan sifatmu itu,” ucap Albe mengecup jari istrinya. Naima menghela napas, bukan maksudnya untuk membuat Albe tidak nyaman. Tapi, bagaimana keinginan hatinya bahkan Naima tidak mengerti. Ia menerima apa yang