Naima bangun terlebih dahulu, seperti biasa tubuhnya akan merasa berat karena lilitan tangan Albe. Tersenyum senang, Albe sengaja atau alam bawah sadarnya yang membuat pria itu tetap memeluknya walau dalam kemarahan. Mengecup pipi Albe sebelum melakukan ritual paginya. Hari ini ia akan bekerja. Menyapa Ruby yang sudah berjalan-jalan di sekitar ruang keluarga. Menuju dapur untuk membuat kopi untuk Albe dan susu untuknya. Membawa pakaian kotor pada laundry room. Kegiatan pagi yang rutin ia lakukan sejak tinggal di rumah Albe. Bunyi bell membuat Naima berlari, kiriman sarapan mereka. Mengucapkan terima kasih, lalu membawa ke meja makan. Mempersiapkan peralatan makan untuk berdua. Karena Ruby akan makan pada mangkuknya, tidak di meja makan. “Kamu udah pup belum?” Naima menatap teman barunya, yang menggosok-gosokkan badan pada kakinya. “Kamu lapar?” tanya Naima lagi, yang hanya dijawab dengan eongan. Setelah mempersiapkan sarapan. Naima menuju area Ruby, mengisi mangkuk makan, dan air m
Kehangatan di dalam rumah adalah surga di dunia, sebab ia mendatangkan ketenangan dan kebahagian. Sukacita mereka menjadi kebahagiaan kita, dan kebahagiaan kita menjadi sukacita mereka. Mencoba membangun bahagia bersama orang yang kita sayangi. Seperti yang ingin Naima lakukan, Sehari hari setelah pertengkaran kecil mereka, Albe seperti lebih diam. Selalu memperhatikan semua yang ia lakukan dan ia kerjakan di dalam rumah. Tapi jarang melontarkan candaan. Naima mengira Albe sedang banyak pekerjaan. Mencuri pandang pada pria yang sedang memegang tablet di tangan kanannya juga pen pada tangan kirinya. Pandangan pria itu lurus ke depan, sesekali menusukkan pen pada rambutnya. Kehangatan di rumah ini seakan terkikis, Naima sedang mengamati, dengan Ruby di pangkuannya. Setidaknya kucing jenis Rogdoll itu bisa menghilangkan kecanggungan. Notifikasi di ponselnya, mengalihkan perhatian Naima dari Albe. Melihat nama Viran di sana. Viran: Datang lebih cepat bisa? Ada yang mau abang omongin
Naima meringis, tidak tau harus mengatakan apa, ia hanya melirik ke arah Jaka. Viran mendengus. “Tau ni Naima, anak kecil juga ngurusin gue yang suka bikin anak,” decak Viran, menyandarkan punggungnya pada sofa dan menaikkan kaki pada meja. Jaka berderap masuk dan duduk di sofa single dekat pintu. ”kan sekarang udah pinter juga, ya gak, Nai?” sindir Jaka dengan raut jijik. “Apaan sih Pak Jaka. Nai cuma godain Bang Viran doang kok,” elak Naima, mukanya sudah menghangat. Melirik ke arah jam yang melingkar di lengan kirinya. Naima bangkit. “Nai, turun dulu, Pak Jaka, Bang ... Udah waktunya kerja,” pamit Naima, ia tidak nyaman ada Jaka. Aura pria itu selalu menunjukkan permusuhan sekarang. Naima tidak tahu jika hati Jaka masih mengharapkan perempuan itu. Tapi rasa kecewa menutupinya. “Udah, sini aja dulu Nai. Laki lo juga yang punya usaha, l
Manusia tak akan pernah tahu, kapan waktu akan menghembuskan tiap jalan takdir manusia itu sendiri. Jika senyum saja akan ditemani air mata, begipula bahagia pasti akan ditemani duka. Tak perlu merayu waktu untuk terus mengiringi senyum yang terpaku, karena waktu tahu kapan hatimu akan terpekur kaku untuk sebuah lagu yang kau sebut gagu. Naima tentu sadar, waktunya juga entah sampai kapan bisa mendekap bahagia. Jika kubangan jelaga sudah nampak jauh di depan sana. Hanya menunggu tatihan langkah yang mengayun hingga sampai pada apa yang disebut merana. Menggenggam erat kotak yang Tiara berikan, Naima menelusupkan pada bagian belakang tas ransel mininya. Albe hanya memicing tanpa bertanya lebih lanjut. Namun debar hati Naima tetap bertalu tak mau tahu. Membujuk dan merayu pun sepertinya tetap p
“Gila!” Albe menggebrak meja kerjanya. Membuat Viran terhenyak. Namun setelahnya tertawa sumbang. “Sepertinya penyelidikan kita kurang akurat, tidak bisa dipercaya informasi yang kita dapat tentang wanita pengusaha yang katanya potensial, memang benar. Tapi potensial dalam hal menipu dan mempermainkan bisnis,” ucap Viran sambil menggelengkan kepalanya. “Kamu saja yang datang kesana, aku tidak mau!” putus Albe dengan cepat. Viran melotot ke arah Albe. “Mana mau dia! Yang dia mau, lo. Gue ogah banget, walau dia cantik dan seksi dia bukan selera gue. Lo aja sono!” tolak Viran, yang membuat Albe memijit pangkal hidungnya. Sebagian uangnya sudah ia investasikan untuk resort. Maka dari itu, ia membutuhkan investor untuk pembukaan cabang Jurasic Gym baru yang sudah setengah jalan. Sebenarnya bisa sa
Bahagia adalah ketika kita duduk di manapun, kau dan dia, dalam tubuh yang berbeda tapi tetap merasakan satu jiwa yang menyatu. Bersatu bukan sekedar menyatu dalam tubuh, bukan pula hanya untuk meleburkan rindu. Bahagia adalah rasa yang kita ciptakan dan kita upayakan. Bukan hanya mencari saat kau tak temui, lalu kau akan pergi. Duh, betapa piciknya hati. Mengulum senyum pada bibir yang merekah indah, untuk memancing lebih banyak cahaya dari dalam jiwa. Yang akan memancar pada rona dengan sendirinya. Usapan lembut di antara kuluman hangat sepasang manusia yang melarutkan cinta yang membuncah dalam jiwa. Membuat iri sang fajar, akan betapa mereka saling mencinta dan mendamba. Kehangatannya mengalahkan cumbuan mentari pada bumi di pagi sunyi. “Aku tak pernah cukup denganmu,
“Matre caraku itu elegan, Al. Bukan sebatas barang branded yang nantinya akan menjadi sampah. Aku sukanya diberi aset yang akan beranak-pinak?” ulang Viran dengan nada suara di buat seperti perempuan, lalu terbahak-bahak. “Aku malas menceritakan padamu, pasti kau akan mengejek,” decak Albe melayangkan kekecewaan. “Yaelah. Lo kenapa jadi sensitif gini sih, gue bukan ketawa ngejek. Gue takjub, Naima bisa ngomong kayak gitu. Ya gue tahu itu, Naima dulu kalem, kalo bertutur aja sopan banget. Ke Elo bisa ceplas ceplos dan berani banget, ” salut Viran bertepuk tangan. “Kok gue jadi bangga sih jadi wali dia ... Dan setelah itu, Lo ngebet pengen ngembangin bisnis Lo?” papar Viran dengan menggebu. Albe hanya tersenyum bangga. “Gue tadinya ga gitu gimana sama Naima, tapi kesininya. Ya sudahlah. Terus gimana si Nindy lo bilang istri di depan dia, secara dia cs banget sama Jessica. Dan begonya, keduanya pernah lo tidurin, anjirr!!” seru Viran. “Diam, Vir. Naima bisa dengar,“ p
Menapaki undakan demi undakan yang terasa bagai permainan ular tangga, ia hanya harus berfokus pada langkah, karena itu yang akan menentukannya akan naik ataupun turun. Akan mendapat hadiah yang indah ataupun hukuman hingga ia mampu menuju tampuk kehidupan seperti yang digariskan Tuhan. Mendengkus frustasi, bukan Naima yang menginginkan ini. Takdir yang membawa gadis jawa itu bertemu dengan pria yang ternyata pemilik tempatnya bekerja. Ia tak merancang apapun, bahkan sempat mendorong Albe menjauh. Tapi mana orang lain tahu, mereka hanya melihat yang ada di depan mata. Bukan pada proses awalnya. Perlakuan teman-teman sedivisi sedikit mempengaruhi jiwa lemahnya. Sudah menjelang tengah malam, Naima harus menunggu Albe menjemput. Entah apa yang sedang suaminya lakukan, jika sudah di GYM Albe sangat betah. Sempat protes kenapa usaha GYM tidak
Suasana ballroom sebuah hotel berbintang di tengah kota Manhattan terlihat riuh dan penuh canda tawa. Sosok perempuan bergaun biru langit dengan model sederhana berbahan brokat, namun tetap tampak elegan dan membuat wanita dengan perut membuncit itu terlihat semakin menawan. Ia terlihat bahagia, wajahnya memancarkan rona merah muda. Senyumnya yang sampai ke ujung mata tak meninggalkan bibir merahnya. Naima dan Albe menjadi laksana Cinderella dan Prince Charming di dunia nyata. Mereka berdua berjalan bergandengan menuju singgasana sederhana di ujung sana. Di depan mereka Colby Jr. berjalan layaknya pangeran dengan suite kebanggan. Tepuk tangan tamu undangan yang sebagian besar adalah kawan Eleanor dan Albert yang menempati sisi kiri. Juga teman-teman Albe hanya ada puluhan sepertinya, berada di barisan sebelah kanan. “Yang, banyak sekali tamunya,” bisik Naima. Ia tentu gugup walau terlihat bahagia. “Rileks, Baby. Anggap saja mereka bukan apa-apa,” ucap Albe tak kalah pelan, meng
Naima mengekori Albe saat lelaki itu mengunjungi sebuah gedung pusat rehabilitasi, sudah 4 hari berlalu sejak pembicaraan singkat mereka. Alberico sudah menjelaskan pada Naima bagaimana kondisi Chloe. Depresi dan narkoba yang sudah meresahkan. Kesenyapan dan wajah sendu Colby saat sendiri adalah bentuk kesedihannya. Chloe sangat menyayangi anak kecil itu, tapi waktunya tersita saat pengaruh obat menguasai tubuh. Meninggalkan Colby dalam kesunyian, sementara Nanny Smith tak bisa 24 jam bersama. Setiap hari, Naima dan Albe mengajak Colby bertamasya dan melakukan banyak kegiatan yang dapat mengurangi rasa sedih dan kesepian anak berumur 6 tahun itu. Saat menanyakan keberadaan sang ibu, Naima mengatakan Chloe sedang sakit dan harus di rawat. Colby Jr. yanga bosan dengan rumah sakit memilih berdiam diri di rumah. Jadwal bermain dengan dokter masih beberapa hari lagi, ia tak mau datang ke tempat yang tidak menyenangkan itu. Maka, di sinilah mereka berdua. Tanpa Colby Jr. Mereka berada
Mobil Pria bernama Pete itu segera melaju dengan kencang. Colby berlari dan memeluk wanita berkulit hitam yang Naima asumsikan adalah Nanny Smith-nya. “Nanny, ada apa dengan Mom? Kenapa dia selalu seperti itu?” tanya Colby dengan air mata yang membanjiri pipinya. “Oh Boy, Mommy hanya kecapean saja. Ayo aku gendong, kau perlu tidur.” Wanita itu mengangkat Colby kedalam gendongannya. Lalu berpaling pada Naima dan tersenyum. “Hai, Aku Nanny Smith kamu kekasihnya Rico?” Nanny Smith mengulurakn tangannya. Naima menyambut uluran tangan itu dan meralat, “aku istrinya.” “Oh, maaf. Aku tidak tahu. Ayo kita masuk, kita akan ngobrol nanti setelah laki-laki kuat ini tidur siang. Naima mengangguk, ia juga butuh merebahkan diri. Saat masuk ke dalam rumah, Naima menyempatkan melihat Granny di kamarnya, wanita itu sedang tidur dan tak terganggu dengan keributan yang terjadi tadi. Naima memilih ke beranda belakang, ada sofa yang terlihat nyaman di sudut dengan bantal-bantal yang menghiasi juga
“Mommy!” Colby Jr. turun dari sofa dan berlari memeluk ibunya yang baru pulang bekerja. Menurut informasi yang Albe terima dari ibunya, Chloe bekerja sebagai manajer di departemen store di kota Hampton. “Hello Boy, istirahatlah ke kamarmu.” Chloe memperhatikan Albe dengan raut penuh kerinduan, Naima berdiri mendekati Albe yang terlihat emosi. Menggenggam lengan yang sudah terkepal dan mengelus lengan atasnya naik turun. Ia tersenyum manis pada suaminya. “ Hai Rico! Kejutan dan wow, aku tak tahu harus mengucapkan apa? Selamat datang Ok?” sorak Chloe dengan mata berkaca-kaca juga bertepuk tangan sekali lalu menautkan jemarinya pada jemari tangan lainnya. “Hai Chloe, sangat mengejutkan bukan?” kata Albe terdengar dingin. “Aku memang terkejut dengan apa yang aku temukan saat bertemu dengan keponakan pintarku. Maka dari itu kami membuat kesepakatan. Apa kau keberatan?” Albe benar-benar tanpa basa-basi, Naima melihat suaminya seperti itu menjadi sedikit khawatir. Apa trauma Albe muncul se
“Itu Colby, aku rasa.” Albe memberi tahu Naima yang masih berdiri di tengah tangga bersamanya. “Hai Boy! Apa kamu yang bernama Colby?” tanya Albe turun dari tangga, memperhatikan anak kecil yang terlihat mengamati Albe. “Yeah, itu aku. Dan kamu Daddyku bukan? Mom selalu menceritakan dirimu dan menunjukkan fotomu." Albe mendengkus, lalu menyalami anak kecil itu. “Kita belum berkenalan, namaku Alberico Steinson. Dan kau tahu? Ayahmu bermarga berbeda denganku, namanya Colby East Stone. Bukankah namamu Colby Jr Stone? Kemarilah.” Albe menarik anak kecil itu untuk ikut ke atas. Albe melihat raut istrinya yang tak terbaca hanya tersenyum. “Aku akan menyelesaikan ini, tolong percaya
Pagi yang sibuk untuk Naima dan Albe, Eleanor sudah menyiapkan beberapa kotak makanan untuk di bawa ke New Jersey. Wanita cantik itu beralasan, Mamanya selalu merindukan masakan putri satu-satunya. Albe hanya mengendik tanpa berkomentar, sementara Albert yangs edang membaca berita di tabletnya tidak berkomentar banyak. Mereka berangkat dengan Tesla model X. Saat Naima menuju carport, ia di buat takjub dengan jenis mobil yang tak biasa. Mobil keluarga Albe tidak ada yang type sedan, APV dengan kapasitas besar sepertinya adalah yang terfavorit untuk mereka. “Ada apa, Sweetheart?” Albe yang datang membawa koper berisi baju mereka heran dengan Naima yang bengong di hadapan beberapa mobil yang berjajar rapi. “Aku tidak tahu mana yang akan kau pilih untuk perjalanan kita, Sayang. Kau bilang yang sesuai dengan seleramu, dan yang aku lihat semua adalah seleramu.” Naima menolehkan kepalanya pada Albe yang menuju cabinet kecil yang tertempel di dinding. Untuk membuka cabinet itu menggunakan
Naima jatuh di atas tubuh suaminya, beberapa orang yang lewat membantu Naima untuk bangkit, baru setelahnya Albe. Jalanan licin sedikit menyuitkan pria itu untuk berdiri. Pemuda yang kehilangan kendali saat berseluncur dengan skateboardnya berlari dengan panik. “Apa kalian terluka?” tanya pemuda itu dengan menenteng papan kayu di sebelah tangannya. “Kuharap tidak, lain kali berhati-hatilah. Atau kau akan mendapatkan hukuman,” ucap Albe menepuk pundak pemuda tadi. “Kau tidak apa-apa, Baby?” tanya Albe pada Naima yang terlihat syok, ia masih bersandar di dinding toko yang sudah tutup. Naima menutup mukanya dengan tangan, perutnya sedikit tegang tadi dan itu sangat tak nyaman. Naima meraih tangan Albe lalu memasukkan pada mantel tebal yang ia gunakan. Albe paham dan mengelus perut istrinya beberapa kali. Wanita it menyandarkan keningnya di dada Albe, dia dan calon anakknya sudah mengalami beberapa lagi tragedi dan itu membuatnya sedikit trauma. “Apa kau mau aku panggilkan Daddy su
“Tidak bisa, Dad! Uang yang dia pakai sangat banyak, aku tak bisa merelakan begitu saja. Aku harus mendatangkan alat gym termutakhir untuk cabang di Pluit. Gedungnya sudah siap, hanya untuk mendatangkan alatnya saja. Uangnya masih kurang.” Tolakan Albe yang menggebu membuat Albert memicing, Moma mengedip pada Naima. Perempuan hamil itu paham, lalu mengikuti mertuanya untuk masuk ke dalam ruangan kerja yang sedikit ke arah depan. “Mereka akan sangat lama dan membosankan jika membahas soal -BISNIS-, kita di sini saja. Bagaimana kalau kita mencari gaun untuk acara kalian, aku ingin melihatmu memakai gaun pengantin, Sayang.” Moma mengambil tabletnya yang berukuran besar. Membawa ke arah sofa di mana Naima duduk dan menyandarkan punggungnya. “Apa saudara Moma banyak? Atau rekan juga kerabat?” tanya Naima, iris beningnya mengikuti gerakan sang mertua.
"Aku tidak tahu, Hun. Bagaimana kalau kita ikuti kemauan Moma aja? Aku takut mengecewakannya," usul Naima. Albe hanya mengendik, lalu menarik jemari istrinya. “Sebaiknya kita bicarakan bersama, supaya yang menjadi resepsi impianmu juga bisa terwujud, Baby. Ini pesta untuk kita bukan? Aku ingin kau juga mengutarakan keinginanmu. Hilangkanlah rasa sungkanmu itu, Sweetheart. Kadang aku tidak nyaman dengan sifatmu itu,” ucap Albe mengecup jari istrinya. Naima menghela napas, bukan maksudnya untuk membuat Albe tidak nyaman. Tapi, bagaimana keinginan hatinya bahkan Naima tidak mengerti. Ia menerima apa yang