‘’Tidak baik masih berlama-lama di tempat ini ketika makanannya sudah habis,’’ bisik Anton mendekat ke telinga Amar. Ia hanya berniat mengingatkan bosnya itu kalau malam semakin gelap. Restaurant yang mereka tempati juga mau segera tutup.
Amar melihat denting arlojinya, memang benar, waktu sudah menunjukkan pukul 21.55 WIB. Itu artinya, lima menit lagi restaurant ini akan segera tutup.
‘’Sempatkan waktu untuk bisa mengobrol lagi di lain hari, Tuan Amar,’’ tutur Andra dengan tersenyum berharap.
Saking asyiknya mereka mengobrol, membuat waktu berjalan terasa lebih cepat.
‘’Tentu, Tuan Muda!’’ Amar menjabat
Andra membalas tatapan Sara dengan melantunkan senyum di sela bibirnya. ‘’Aku memang baik ke semua orang. Ayo! Masuklah ke mobilku,’’ jawab Andra sembari mengajak Sara untuk segera masuk ke dalam mobilnya.Sara benar-benar merasa bersyukur karena masih ada oran baik seperti Andra. Meskipun ia baru mengenal laki-laki itu, Sara sangat yakin kalau dia memang laki-laki baik. Dari sikapnya yang begitu sopan kepada perempuan, serta perkataannya yang tidak melebihi batasan, membuat Sara merasa sangat senang karena bisa berteman dengannya. Andra menancap pedalnya dengan kecepatan normal, tidak lupa juga menghidupkan lampu dalam mobil karena kondisinya yang gelap. ‘’Aku mengenal pemilik toko roti di tempatmu beker
Senyum manis di sela bibir mewakili perasaan bangganya kali ini. Meskipun ia tidak benar-benar ingin menjual resepnya itu, namun Amar justru menangkap hal lain dari perkataannya. ‘’Nona, tidakkah kau sedang meremehkanku kali ini? Sebut saja berapa pun nominalnya, saya akan segera membayarnya dengan kontan!’’ Amar menggerutu hebat dalam hati. Bagaimana mungkin ia diremehkan oleh karyawannya sendiri. Harga dirinya benar-benar tinggi, dan juga sensitif. Dipandanginya gadis di hadapannya itu. Sungguh tidak masuk akal. Lagi-lagi ia terbawa suasana dengan kecantikannya. Ingin sesekali melontarkan perkataan kasar, namun hasilnya tetap sama. 
‘’Ini tempat apa? Kok tempatnya agak gelap?’’ Sara memastikan kembali bahwa dirinya dibawa ke tempat yang aman. Sara melihat sekelilingnya, tempatnya begitu remang. Ditambah sepanjang jalan yang lumayan sepi, membuat Sara semakin penasaran. Ia juga melihat bayangan lampu warna-warni yang memantul dari dalam diskotik. ‘’Heyy, kamu gaperlu takut, kita bersenang senang nanti di sana,’’ Andra mencoba menenangkan Sara, agar wanita itu tidak sampai berpikiran macam-macam.Sara mengangguk tegas dengan tatapan mata mengiyakan. Ia meyakinkan dirinya sendiri, kalau laki-laki di sampingnya itu tidak akan membohonginya. Andra menggandeng lengan Sara,
Pintu kamar terbuka sesaat setelah Andra menempelkan kartunya, dengan perasaan tidak sabar, ia menggeletakan tubuh Sara di atas kasur berselimut tebal. ‘’Le … paskan, aku!’’ Sara melirih rintih. Seolah-olah ia tahu niat jahat yang sudah direncanakan Andra kepadanya. ‘’Rupanya kamu masih sadar juga ya, tubuhmu lumayan kuat juga.’’ Andra sedikit terkejut ketika mendapati Sara yang masih memiliki kesadaran. Obat tidur yang dicampurkan di dalam minuman memabukkan itu, tidak sepenuhnya membuat Sara tertidur. Andra tersenyum nakal. Dipandanginya tubuh Sara, tidak ada cacat sama sekali. Kulitnya terlihat putih bersih, meskipun ia tidak memakai perawatan badan, atau semacamnya. Begitu pula dengan wajah cantiknya, hampi
Amar terlebih dahulu menyelami dunia malam daripada Andra. Namun Amar hanya sebatas minum, lalu mabuk semalaman. Anton lah yang selama ini menjadi saksi bisu perbuatan kelam bosnya itu.Meskipun banyak wanita jalang, dan penggoda yang berusaha mendekati Amar. Namun ia sangat merasa jijik jika harus menghabiskan waktu malamnya dengan salah satu mereka. Sebelum ia melakukan hal itu, selalu muncul bayangan ketika Amar bercinta dengan bekas orang lain. Sungguh Amar tidak punya selera terhadap mereka. Itu artinya, Amar masih perjaka. Karena sampai sekarang, ia tidak pernah berhubungan badan dengan wanita mana pun. Terlebih lagi ia mengingat penderitaan ibunya, yang mana kala itu ibunya harus sengsara karena ulah seorang janda penggoda. Andra segera pergi untuk mencari kartu kamarnya, lalu mengambilnya di tempat switch. Swicth
Amar membalut badan Sara dengan selimut tebal. Tidak mungkin juga ia membantu mengenakan pakaiannya yang sudah terbuka. Lalu ia berinisiatif memanggil salah satu resepsionis untuk memasang kancing bajunya. Mengingat hari sudah sangat gelap, Amar memurungkan niatnya untuk membawa pulang Sara. Ia membiarkan Sara tertidur pulas di kamar hotelnya. ‘’Saya tidak ingin kamu bercerita ke siapa pun soal malam ini, kalau sampai kamu melanggar, kamu akan menerima akibatnya!’’ ancam Amar kepada resepsionis tersebut. Ia tidak ingin ada gosip miring tentangnya. ‘’Baik, Tuan!’’ ucap resepsionis itu. Ia tidak berani bertanya, maupun berpendapat. Meskipun
‘’Tuan, kenapa kau hanya diam saja? Apa yang telah dilakukan manusia itu kepada saya? Lalu, kenapa kau berada di sini?’’ Sara terus memaksa Amar agar mau menceritakan kejadian yang sebenarnya. Ia terlihat begitu linglung. Berulang kali berusaha memukul kepalanya sendiri, agar ia bisa mengingat kembali apa saja yang Andra lakukan pada saat keadaanya setengah sadarkan diri.Amar masih terdiam, sembari melihat gadis di depannya itu. Mata sayu gadis itu semakin membuat Amar tidak tega untuk menceritakan bagaimana Andra dengan bengisnya berusaha melucuti pakaiannya. Sara pasti akan sangat malu jika tahu bahwa Andra sudah setengah berhasil membuka bajunya. Tetapi, jika dirinya tidak memberi tahu, ia takut Sara akan berpikiran macam-macam, dan merasa sudah ternodai kesuciannya. ‘’Kamu tidak perlu khawatir! Yang jelas, kamu baik-baik saja.’’ Amar tidak in
Tanggal pernikahan telah diatur dengan cepat. Sara berusaha menghubungi orang tuanya di kampung halaman tempat ia dilahirkan. Namun, sampai saat ini tidak ada respon baik sedikit pun dari mereka. Sedangkan dari pihak Amar sendiri, ibunya sudah merestui pernikahan mereka. Wulan sangat percaya bahwa keputusan anaknya adalah yang terbaik. Lagi pula dengan siapa mereka menikah sudah menjadi urusan masing-masing, orang tua tidak perlu terlalu banyak ikut campur. ‘’Bagaimana dengan orang tuamu?’’ Amar ingin memastikan bahwa orang tua Sara ikut hadir di dalam pernikahannya. Di lain sisi, Sara adalah seorang perempuan, yang nantinya membutuhkan figure ayah sebagai walinya. ‘’Aku sudah mengirimkan mereka pesan, seharusnya mereka sudah mem
Di balik dinding bertirai tebal terlihat dua orang laki-laki yang sedang sibuk membicarakan suatu hal. Tentu sudah menjadi kebiasaan Amar dan asistennya itu untuk mengisi waktu senggangnya dengan mengumpulkan beberapa kalimat obrolan.Anton mendekat ke arah Amar, tidak lama kemudian ia mencoba mengatakan sesuatu yang sedari tadi sudah ia pikirkan.‘’Apa kita perlu mengawasi nyonya di sana?’’ tanya Anton. Ia tidak tega melihat Amar yang seringkali hilang fokus karena terlalu memikirkan Sara. Meskipun Amar tidak pernah bercerita tentang hal yang ia pikirkan terus menerus, Anton tentu yakin tidak akan salah mengira.Amar masih terdiam, lalu tertegun beberapa saat tidak menghiraukan perkataan asistennya itu.Hingga kemudian laki-laki bertubuh kekar itu memejamkan kedua matanya, sambil terus mulai mempertimbangkan saran dari asistennya.‘’Tidak perlu. Dia tidak boleh sampai risih karena kita mengawasinya
Sara berjalan di belakang Amnu, ia mengikuti langkah pria berusia 28 tahun itu. Kemudian Amnu berhenti di meja makan tepat di sebelah pojok belakang. Amnu menarik salah satu kursi berlapis kain warna putih, lalu mempersilahkan Sara duduk dengan nyaman. ‘Tidakkah berlebihan?’ tanya Sara dalam hati.Sara memesan segelas air putih dingin, sepiring nasi, dan sepiring cumi saus tiram. Sedangkan Amnu memesan roti panggang, dan jus jeruk. Keduanya hanya saling bertatapan, keadaan terasa begitu hening. Berulang kali Amnu mencuri pandang pada wanita di depannya itu. Dua pelayan wanita berambut pendek datang dengan membawa menu yang sudah mereka pesan. Lalu menaruh makanan tersebut dengan hati-hati. Kemudian memberikan selembar kertas yang berisi total tagihan makanan
Amnu sangat cerdas, banyak sekali prestasi yang sudah ia dapatkan. Untuk menjadi seorang SPV tentu harus memiliki kemampuan yang mumpuni.Sebelumnya pria itu hanya sales biasa, karena penjualannya yang sangat baik setahun belakangan ini, bahkan seringkali menerima banyak penghargaan dari beberapa perusahaan yang pernah ia singgahi, membuat dirinya bisa menduduki karir seperti sekarang ini. Lagipula saat diadakannya promosi jabatan, 80% suara memihak kepadanya.Orang seprofesional Sara, mustahil mau diajak makan berdua selain urusan pekerjaan. Alasan yang ia buat begitu tepat, terlepas benar atau salah, setidaknya Sara sudah menyetujui ajakannya itu. ‘’Kalau sudah tidak ada yang mau dibicarakan, saya mau kembali bekerja, Pak!’’ ucap
‘’I-iya, Tuan!’’ Bu Ira tersentak, lalu segera menuju ke kamar mandi dengan perasaan semburat. Ini pertama kali Amar memakinya dengan sangat kasar. Selama ini Bu ira selalu mencari muka kepada Amar, orang lain yang bekerja, namu namanya yang dipuja. Itulah yang menyebabkan Amar begitu mempercayai Bu Ira.Waktu terasa berhenti. Tidak ada satu pun orang yang berani mengajak Amar berbicara. Sedangkan Anton masih setia berdiri tepat di belakang Amar.Kemudian dalam hitungan detik, Sara dan Vilda telah sampai di hadapan Amar.‘Kenapa dia ada di sini?’Hati Sara berdecak, ia terkejut ketika melihat seseorang yang berada di depannya. Dia suaminya, sungguh nyata berada di hadapannya saat ini.Vilda tentu tau sedang berhadapan dengan siapa, sedangkan Sara hanya mengenal bahwa itu adalah suaminya. &l
’Mbak, Vilda?’ Kata Sara dalam hati. Mama muda yang ia temui sewaktu berangkat ke Surabaya, sekarang bisa bertemu kembali dengan keadaan yang berbeda. Wanita itu terlihat lebih terawat dari sebelumnya, apalagi kulit wajahnya begitu bersih, dan bersinar. Tidak! Mungkinkah dia operasi wajah? Bu Ira mengarahkan mata tajamnya ke sumber suara. Dengan bengis mengernyitkan bibirnya. ‘’Oh, jadi kau teman BA baru ini, ya? Baiklah kau bisa membantunya kalau merasa kasihan dengannya!’’ ketus Bu Ira. Lalu pergi meninggalkan mereka berdua. Perlahan Sara mulai mendekat ke arah Vilda. Dipandanginya wanita itu dengan saksama, hanya untuk memastikan dia wanita di dalam bus itu, atau bukan. ‘’Kamu … Mbak Vilda, bukan?’’ tanya Sara dengan merapikan lengan bajunya. &n
Ada dua orang yang sedang memperhatikan mereka dari jarak jauh, mereka bersembunyi di semak-semak. ‘’Kak Zea? dan … Ratri?’’ ucap Sara terkejut. Bagaimana bisa kedua orang itu bisa berada di sini. Tiga tahun tidak bertemu mereka, rasanya ada rindu di dalam hati. Meskipun Ratri pernah memperlakukan Sara dengan cara tidak baik, bagaimana pun juga ia adalah temannya. PROKK … PROKK Amar menepuk kedua tangannya, ia sedang mengkode dua wanita itu. ‘’Kemarilah!’’Kedua wanita itu sedang menghampiri Amar, dan Sara. Rupanya mereka berdua yang telah membantu Amar untuk mempersiapkan kejutan untuk Sara. Tidak
‘’Lalu?’’ Sara terlihat begitu tertarik mendengar cerita Amar.Amar menyeka keringat yang menetes dari dahinya, bahkan untuk mengingat masa lalunya itu, ia harus mempersiapkan mentalnya terlebih dahulu.Amar melihat ke arah Sara. Bagaimana pun juga gadis itu adalah istrinya, dia berhak tahu cerita hidup suaminya sendiri. Ia juga tidak tega ketika memandang wajah Sara yang sangat antusias mendengarkan ceritanya. ‘’Semua sudah hancur! Wanita jalang itu telah merebut ayahku, suami dari mamaku.’’ Amar mencengkeram tangannya sendiri dengan kasar, ia terlihat begitu murka ketika mengingat kembali cerita hidupnya.Sara tidak berani berkata apa-apa, ia tidak ingin membuka luka lama dalam hati Amar. Lagipula in
Guyuran air segar dari atas membasahi tubuh mereka berdua. Dua pasang tangan mengambil posisi untuk meratakan sampo di kepala mereka masing-masing. Kedua tangan Sara memijat dengan lembut baluran sampo di atas kepala Amar. Begitu pula sebaliknya. Sambil memainkan busa yang tertumpuk di badan mereka masing-masing.Selama tiga tahun menikah, ini adalah pertama kalinya mereka mandi berdua. Terlihat begitu intim di bawah guyuran air. Sebuah tawa lepas yang melandas di bibir mereka, membuat suasana semakin terasa milik mereka berdua. Tidak tahu kenapa, Sara merasa bersalah karena telah berburuk sangka kepada suaminya saat itu. Terlebih lagi ia sudah memutuskan untuk bekerja. Bagaimana pun juga Sara harus tetap melanjutkan pekerjaannya itu.Sara segera berkemas, memakai pakaian yang sudah ada di dalam koper.
Sara terus memejamkan mata untuk merasakan kejantanan suaminya. Rasanya Sara tidak dapat lagi menahan tangannya sendiri untuk tidak bergerak. Dengan bantuan sepasang bola matanya, ia mulai meraba leher Amar yang ditumbuhi bulu-bulu halus. ‘’Cepat Sayang …,’’ ucap Sara sambil mencengkeram erat punggung Amar dengan sepuluh jemarinya. Sara semakin mengerang, lidahnya bertingkah liar, mengecup, dan saling bertukar saliva dengan suaminya itu. Suara kecup dan hentakan saling beradu di dalam ruangan bertirai putih itu.Amar semakin mempercepat gerakannya. Memaju mundurkan pinggulnya agar segera sampai dengan tujuan akhir. Dirinya juga bisa merasakan bahwa senjatanya itu akan segera meledakkan cairan kental yang ma