Mengendarai sedan mewah berwarna hitam, Kai Yuta, melaju kencang memasuki halaman utama Lotus Hall.Setelah sang ibu, nyonya Isihiika, mulai curiga adanya hubungan gelap antara dirinya dengan seorang wanita. Pria muda itu mulai berhati-hati dalam setiap langkahnya. Ia tak ingin jati diri Maeera, wanita pilihannya, terekspose ke publik sebelum waktunya. Tak seperti biasanya, di mana hampir setiap hari ia selalu menyempatkan diri untuk menemui Maeera di mansion kakaknya, akhir-akhir ini, pria tampan itu hanya berkunjung dua kali dalam dalam seminggu. Ini, ia lakukan demi mengurangi kecurigaan ibunya. Beruntung, Maeera menyadari hal itu dan tak pernah mempermasalahkannya.Duduk berdua di bawah pohon kamboja besar, di pinggir lapangan golf, di tepi pantai, Kai dan Maeera, berbincang-bincang santai sembari memandangi deburan ombak samudra Hindia. "Maaf, akhir-akhir ini aku jarang menemuimu," ucap Kai Yuta penuh penyesalan.Tubuhnya yang tegap, bersandar di kursi panjang berwarna putih, d
Gin Yuta, masuk ke dalam mobil sedan hitam yang telah menunggunya, begitu keluar dari gedung kantornya, Amarilishope. Seharian ini, ia sangat lelah karena harus mengikuti sejumlah rapat penting bersama ayahnya dan juga para komisaris di perusahaannya.Meskipun buta, tapi Gin berkegiatan seperti orang normal pada umumnya. Ini mengikuti rapat dan menjalankan bisnis ayahnya seperti biasa. Hal ini, ia lakukan agar perusahaan yang susah payah dibangun oleh ayah dan ibunya di awal-awal pernikahan mereka, tetap menjadi miliknya dan tak jatuh ke tangan adik tirinya, Kai Yuta dan ibu sambungnya nyonya Isihiika, yang jadi istri kedua ayahnya."Asisten Eri, bagaimana jadwalku akhir pekan ini," tanya Gin Yuta yang kini duduk diam di kursi penumpang.Asisten Eri, yang sudah bersiap menghidupkan mobil, segera mengurungkan niatnya. Ia bergegas mengambil ponsel dari dalam saku jasnya, kemudian mengecek jadwal kegiatan bosnya selama akhir pekan ini. "Cukup padat tuan, anda memiliki jadwal perjalanan
Tercekat!!! Avani tak mampu berkata-kata. Semua kalimat yang ingin ia ucapkan, tertahan di pangkal lidahnya. Tangannya gemetar, membaca baris demi baris, tulisan di koran lusuh itu. Ia tak percaya. "Tidak-tidak!! Ini tidak mungkin terjadi. Siapa wanita ini." Avani bertanya kebingungan, kepalanya menggeleng pelan. "Tak mungkin!!! Ini tidak benar. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa wanita ini mengambil posisiku dan mengaku-ngaku sebagai diriku?" Bibir mungil Avani bergetar hebat. Keringat dingin perlahan membasahi telapak tangannya. Ia tak percaya, ada orang yang tega merebut posisinya, dan berpura-pura menjadi dirinya, saat ia berjuang antara hidup dan mati di pulau terpencil ini. "Apa orang-orang-orang di sana tidak tau jika gadis itu bukan aku?" tanyanya dengan ragu. Kini, ia seperti tersesat di labirin gelap yang penuh dengan fakta. Fakta, bahwa ada Avani palsu yang menggantikan dirinya, selama ia terkurung di pulau terpencil itu, tapi ia tak tau siapa gadis itu dan apa alasa
Tersentak!! Avani Lie mendengar kata-kata sang mafia. Ia nyaris tak percaya dengan apa yang di dengarnya. "Hah! apa?!? aku hanya bagian dari strateginya?!!" gumam gadis cantik itu mengulang kata-kata sang mafia. "Jadi selama ini, aku hanyalah bagian dari strateginya untuk menghancurkan keluarga Yuta!!!" Avani bergumam lirih penuh emosi. "Cih!!! Jika hari ini aku tak berdiri di sini, pasti aku tak akan pernah mengetahui kenyataan ini." Ia meremas kasar koran di tangannya, menggertakkan giginya dengan geram. Hampir saja ia kehilangan kesabaran, dan keluar dari tempat persembunyiannya. Beruntung, seorang pria muda berpenampilan rapi, tiba-tiba datang dan masuk ke dalam ruangan itu. Ia berjalan cepat menghampiri Rin Leung dan anak buahnya, dengan wajah serius. "Lapor bos!!" ucap pria itu, ia berdiri tepat di depan Rin Leung dan Enzo.Rin mengalihkan pandangannya dari gelas vodka di tangannya ke arah pria di depannya. "Ada apa? Katakan," tanya Rin. "Barang kita sudah datang, bos! An
Tanpa ragu-ragu, Avani bergegas memutar inti permata yang ada di tengah-tengah bros. Mengubah posisinya, dari diagonal menjadi horizontal.Ini sesuai arahan pemiliknya, Alex Tja, yang pernah mengatakan bahwa, jika Avani ingin mengaktifkan pelacak di dalam bros violet itu, ia harus mengubah posisi permata yang ada di tengah-tengah bros. Dan benar saja, tak lama, sebuah titik kecil berwarna merah terang, nampak berkelip-kelip lemah dari bagian dalam bros. "Oh ... Sepertinya bekerja," ucap gadis cantik itu dengan raut wajah terkejut sekaligus senang.Senang, karena ia memiliki kesempatan untuk kembali ke rumahnya. Terkejut, karena bros itu ternyata masih berfungsi sebagaimana mestinya, meskipun sempat terendam lama di air laut. Namun di tengah-tengah rasa bahagianya, mendadak Avani terdiam. Raut wajahnya berubah tegang dan suram. "Benarkah keputusanku ini," gumam Avani lirih penuh keraguan.Seberkas rasa takut, tiba-tiba menyelinap masuk ke dalam hatinya, membuat perasaan tak nyaman
Pagi hari di Lotus Hall. Matahari, bersinar cukup cerah, meskipun beberapa hari terakhir, mendung kerap menggelayut, diiringi dengan rintik-rintik hujan yang tiada henti. Maeera, masih tertidur lelap di atas ranjang. Kaki kirinya, berada di atas guling sedangkan kaki kanannya, di tekuk membentuk angka 4. Kedua tangannya merentang seperti baling-baling pesawat, dengan rambut acak-acakan dan suara mendengkur keras. Gin, berpakain rapi, memakai setelan jas berwarna biru tua, duduk diam di pinggir ranjang, memandangi wajah manis Maeera yang terlelap. Ia tersenyum kecil melihat bagaimana istri palsunya itu tidur. "Gadis bodoh!! Kau mirip sekali seperti seekor babi," ucap Gin lirih. "Kau seharusnya tau, betapa sulitnya aku, berusaha keras untuk tidak mengigitmu." Ia tersenyum, lalu merapikan rambut Maeera yang jatuh ke bagian depan wajah dengan lembut. Mengangkat sebelah alisnya dengan nakal, Gin mendekatkan wajahnya ke wajah Maeera, mencoba mencium bibir gadis manis itu. Semakin dek
Suara sirine dari atas mercusuar, meraung-raung keras memecahkan keheningan pagi di pulau Koch. Lebih dari 30 kapal dengan berbagai ukuran, terlihat berlayar cepat memecah samudra, mengepung pulau kecil itu dari berbagai penjuru. Panik .... Para penjaga yang bertugas berjaga di tepi pantai dan dermaga pulau Koch, terlihat kaget dan kelimpungan kedatangan tamu yang tak diundang dalam jumlah yang begitu besar. Mereka segera menyalakan alarm tanda bahaya untuk memperingatkan seluruh penghuni pulau akan adanya serangan. "Serangan!!! ... Serangan!!! ... " teriak sejumlah pria berbadan kekar. Mereka berlarian ke arah dermaga dengan menyandang senjata laras panjang di pundaknya. Pria-pria lainnya dengan penampilan yang sama, juga terlihat siap siaga membawa senjata, keluar dari barak-barak mereka dan bersiap melakukan perlawanan. Seketika, suasana damai di pulau kecil itu berubah menjadi neraka. "Bbommm .... " Salah satu kapal penyerang, menembakkan rudal jarak dekat dan mengha
Avani terdiam. Matanya nanar. Ia termangu menyaksikan semua kekacauan itu. Hati kecil terasa sakit dan pilu. Tak ada kata yang bisa ia ucapkan, saat melihat mayat bergelimpangan kaku di tanah berdarah-darah. Wajah mayat-mayat itu pucat, mata mereka membelalak menatap kosong udara di depannya. Seperti sekumpulan ikan hering yang terdampar mati di tepian pantai. Dari kejauhan, terlihat kepulan asap hitam membubung tinggi ke angkasa, di sertai bunyi sirine dan desing peluru yang bersahut-sahutan tanpa henti. Ledakan dan dentuman, terdengar silih berganti. Mobil-mobil terbakar, menyisakan rangka hitam yang mengeluarkan asap putih mengepul dan bau hangus yang menyengat. Berdiri mematung. Tubuh Avani gemetar, hawa dingin merayapi tubuhnya. Dress putih panjang ia yang kenakan melambai pelan di tiup angin musim penghujan yang berhembus kencang dari Samudra Hindia. Begitu juga rambutnya yang hitam panjang tergerai, melambai pelan tertiup angin. Avani terhuyung ke belakang, tubuh kecil
'Nuuutttttt .... ' suara ponsel berdering memanggil. Tak lama panggilan itu tersambung. "Halo asisten Eri! Apa kau sudah mengurus berkas tanah dan rumah di desa yang kuberikan padamu," tanya Gin pada asistennya itu melalui sambungan telepon. Maeera seketika terperanjat mendengar kata rumah dan tanah di desa. Ia sangat yakin jika yang dibicarakan Gin Yuta dan asisten Eri adalah rumah dan tanahnya di desa. Pria gila itu pasti melakukan ini untuk memberikan tekanan padanya.Sadar rumah dan tanahnya tak lagi aman, Maeera buru-buru menyela pembicaraan Gin Yuta dengan asisten Eri untuk menenangkan keadaan. "Aku tak memiliki hubungan apa pun dengan adik tirimu, sungguh!!!" ucap Maeera dengan suara bergetar. Ia mencoba meyakinkan Gin Yuta bahwa ia benar-benar tak memiliki hubungan apa pun dengan Kai Yuta. Gin berheti berbicara, menutupi separuh teleponnya dengan tangannya, lalu menoleh ke arah Maeera dengan tatapan kecewa. . "Kau bahkan masih terus berbohong. Seberharga itukah hubungan
Setibanya di mansion.Gin menggenggam erat pergelangan tangan Maeera, menarik paksa gadis itu keluar dari dalam mobil, lalu menggelandangnya masuk ke dalam mansion. "Pulangkan semua orang di mansion kecuali penjaga!!" seru Gin pada asisten Eri yang berjalan mengekor di belakangnya dengan wajah penuh kekhawatiran. "Memulangkan mereka semua??" tanya asisten Eri mencoba mengulang perintah bosnya. Gin menghentikan langkahnya. Memutar tubuhnya ke belakang, menatap asistennya itu dengan wajah dingin."Apa ada masalah dengan perintahku?!!" tanya Gin Yuta dengan raut wajah tak senang. Asisten Eri terdiam. Ia bergegas menggelengkan kepala cepat. "Tidak. Tidak ada tuan. Baik akan segera saya laksanakan," jawab pria berkacamata itu. Berjalan cepat, asisten Eri meninggalkan bosnya menuju area lain dari mansion.Sementara itu, di sisi lain, Maeera, hanya bisa diam melihat perangai dingin suami palsunya.Ia tak bisa berbuat apa-apa karena merasa berada dipihak yang salah. Maeera sadar, ia te
"Berandall!!! Berani-beraninya kau menyentuh istriku!!!" umpat Gin Yuta sembari mencengkeram erat kerah baju Kai yang kini terkapar tak berdaya di depannya. Kai tersenyum tipis mengangkat salah satu sudut bibirnya, saat tahu sosok menghajarnya membabi buta itu ternyata adalah kakak tirinya, Gin Yuta.Ia menyipitkan matanya, menatap kakak tirinya yang terlihat kalap itu dengan hina. "Kenapa??!! Kenapa aku tak boleh menyentuhnya. Dia bukan istrimu, kau tahu itu," tanya Kai mencoba mempertanyakan sikap possesif kakaknya. Gin menggeram menatap tajam Kai Yuta. Giginya mengatup erat dan rapat menahan amarah yang membuncah di dada. Ia mencoba menahan emosi, tak ingin kepalan tangannya kembali melayang ke wajah saudara tirinya."Aku sudah memperingatkanmu. Jangan campuri urusanku!!" bentak Gin sembari terus mencengkeram erat kerah baju Kai Yuta. Kai tertawa lirih mendengar perkataan kakak tirinya."Aku tak pernah mencampuri urusanmu!! Aku hanya mengurusi Maeera, karena dia wanitaku!" teg
Di dalam mobil. Gin meremas lembar-lembar foto di tangannya. Foto-foto yang memperlihatkan kemesraan antara adik tirinya, Kai Yuta dan istri palsunya, Maeera, yang baru saja diberikan oleh ibu tirinya, nyonya Isihiika. Geram, wajah tampan Gin berubah menjadi garang, penuh kemarahan. Matanya berkilat-kilat penuh emosi. "Jadwalkan ulang perjalananku ke Singapura!!" perintah Gin pada asisten Eri yang tengah sibuk menyetir mobil. "Tapi tuan, ini ... ??" "Jangan membantah!!" bentak Gin dengan suara keras, memotong kata-kata asisten Eri. Seketika asisten Eri langsung diam dan mengangguk pelan. "Baik tuan muda," jawab asisten Eri dengan gugup. Ini adalah kali pertama, selama lima tahun bekerja sebagai asisten pribadinya, Gin membentak dirinya dengan kasar. Melihat bagaimana reaksi bosnya, asisten Eri sangat yakin, jika pria tampan itu saat ini sedang sangat kalut dan gelisah. "Cepat cari di mana dia berada!!" perintah Gin. Ia mengambil ponsel di dalam saku jasnya dan langsun
Akhir pekan akhirnya tiba. Tuan muda pewaris grup Liong, Gin Yuta, terlihat sudah berpakaian rapi, memakai setelan jas berwarna hitam, berkacamata. Ia berdiri tegak di samping sebuah mobil sedan hitam yang terparkir di depan mansion Lotus Hall. Pintu mobil sudah terbuka, dengan seorang pria berdiri memegangi pintunya. Disamping Gin, berdiri Maeera, yang terlihat masih kumal dan acak-acakan. Gadis itu, terlihat seperti baru bangun tidur dan langsung di seret ke luar untuk berpamitan dengan suaminya. Lebih tepatnya, suami palsunya, yang hendak pergi dinas ke Singapura. "Aku akan pergi selama beberapa hari. Kau! Jangan pergi kemana pun dan jangan buat masalah apa pun selama aku pergi. Mengerti!!!" gertak Rin Gin dengan nada setengah mengancam, pada Maeera yang berdiri di sampingnya. "Hemmm ... Aku mengerti. Kau tak perlu khawatir!" ucap Maeera asal-asalan sembari menggaruk-garuk pelan rambutnya yang masih acak-acakan. Ia terlihat malas mendengar omelan suami palsunya di pagi-pagi
Avani terbangun.Bau harum masakan yang menusuk-nusuk hidungnya, membuat gadis cantik itu tak lagi bisa memejamkan mata. Dengan mata yang masih setengah terpejam, ia mencoba mengamati keadaan sekitar.Terkejut!! ia mendapati dirinya kini berada di sebuah ruangan kecil berukuran 3x4 meter dengan dinding batu bata merah yang belum di plester. "Di mana aku?" gumam gadis cantik itu lirih. Ia memegangi kepalanya yang terasa berputar-putar. "Di mana ini?" tanyanya lirih sembari mengamati keadaan sekitar dengan lebih seksama. Terlihat, ia kini berada di sebuah kamar yang cukup kecil dan sempit. Dindingnya masih berupa batu bara merah yang belum di plester, kasar dan bergelombang di sana-sini.Di sudut kamar terlihat sebuah lemari kayu tua berukuran besar dengan kaca berbentuk oval di bagian depannya. Di samping lemari, sebuah pintu yang ditutupi gorden warna merah, terlihat melambai-lambai pelan di tiup angin. Gorden itu terlihat kusam dan kotor, seperti tak pernah di cuci berminggu-ming
Di ruang kerja Rin. Bau alkohol bercampur dengan obat-obatan, berbaur menjadi satu dengan aroma buku-buku lama dan kayu-kayu tua, menciptakan aroma khas yang sulit dijelaskan oleh kata-kata. Bertelanjang dada, Rin duduk di sofa di dekat jendela, menghadap ke arah luar. Mata tajamnya, mengamati sekumpulan burung gereja yang sedang terbang rendah di antara pohon-pohon palem yang di tanam di luar manor. Mereka tampak gembira dan tanpa beban. Matahari, terlihat mulai condong ke arah barat, menyisakan siluet panjang di kaca jendela yang menghadap ke arah luar, menyinari tato naga yang ada bagian atas punggung kanan Rin Leung yang menjalar hingga ke lengan dan dada bagian depan. Weilu, duduk di belakang Rin. Pria muda itulah terlihat sibuk menuangkan cairan infus ke dalam baskom kecil yang di dalamnya terdapat sebuah handuk yang biasa digunakan untuk menyeka tubuh. Dengan penuh ke hati-hatian, pria muda itu mengambil handuk kecil itu, memerasnya, kemudian dengan perlahan dan hati
"Plak .... " Sebuah sabetan rotan, membekas merah di punggung Rin Leung. Ia meringis menahan sakit. "Plak ... Plak ... Plak ... " Tiga buah sabetan rotan kembali mendarat di punggungnya. Terlihat jelas sudah ada lebih dari sepuluh sabetan rotan membekas di punggung mafia muda itu. "Plak .... " sebuah sabetan rotan kembali menyentak punggungnya. Ia menggertakkan giginya dengan keras dan mengepalkan tangannya erat untuk menahan sakit. Para mafia yang ada di alun-alun itu, ikut meringis menahan sakit setiap kali rotan itu menyentuh kulit punggung Rin. Mereka seakan ikut merasakan sakit yang dirasakan oleh sang ketua. "Plak, plak ... " Dua buah sabetan rotan datang bertubi-tubi membuat darah segar, merembes keluar dari dada kanannya yang terluka. Rin membungkuk kesakitan setiap kali rotan itu mengenai punggung kanannya yang segaris dengan luka dadanya. Tak ada yang berani menolongnya. Ini adalah sebuah hukuman, yang harus ia terima. Dan sang ayah sendiri, tuan Koch Leung, yang m
Sore hari di tengah Samudra Hindia yang damai. Laut terlihat tenang, tanpa gelombang. Mirip sebuah cermin raksasa besar yang memantulkan cahaya kuning keemasan, dari hasil pembiasan cahaya matahari yang hampir tenggelam. Di ufuk barat, matahari terlihat seperti bola api raksasa berwarna merah kekuningan yang sedang terbakar dan tenggelam di telan lautan.Bola api raksasa itu, kini sudah separuh perjalanan dan sebentar lagi akan benar-benar tenggelam, menyisakan semburat warna jingga ke emasan di kaki-kaki langit jelang akhir hidupnya. Berdiam seorang diri di atas perahu kecilnya, Avani membiarkan angin laut yang berhembus pelan memainkan rambut panjangnya.Ia hanya duduk meringkuk diam termenung. Kakinya yang panjang, ia tekuk ke belakang, kemudian ia peluk erat dengan kedua tangannya. Perlahan, ia rebahkan kepalanya ke atas lutut, sembari menatap kosong heningnya lautan yang sunyi dan sepi. Ia biarkan perahu kecil itu terombang-ambing dan mengapung tanpa arah dan tujuan, karena s