Cinta adalah sebuah kata universal yang bisa menyatukan berbagai perbedaan di dunia. Tapi benarkah demikian adanya? Tentu saja tidak jawabannya. Kau hanya bisa menemukan cinta yang sempurna tanpa celana di dongeng dan drama. Di kehidupan nyata, cinta hanya sebuah ilusi perasaan manusia. Memang banyak hal berbeda bisa bersatu karena cinta, tapi tak jarang pula banyak hal yang sama justru berpisah karena cinta. Seperti halnya semua dualitas di dunia ini, cinta bisa menyatukan tapi juga memisahkan. Kebanyakan manusia hanya terjebak pada cinta romantis atau yang biasa disebut fase jatuh cinta. Biasanya fase jatuh cinta ini sangat memabukkan, tapi umurnya sangat pendek, rata-rata hanya 6-8 bulan saja. Setelah itu rasa di antara keduanya akan berubah menjadi, biasa-biasa saja. Hanya sebuah ketertarikan tak pernah menjadi keterikatan. "Apa kau pernah mendengar kata, jatuh cinta pandangan pertama," tanya Kai Yuta. "Hmm..." Maeera menganggukkan kepalanya, terlihat ia memainkan kelopa
Setelah seharian berkeliling taman bermain bersama Kai Yuta, Maeera pulang ke mansion saat malam sudah mulai tiba. Berjalan mengendap-endap, gadis manis itu kembali ke kamarnya berharap suami palsunya, Gin Yuta, belum pulang dari kerja. Pelan-pelan .... ia buka pintu kamarnya .... "Kau dari mana saja?" suara besar dari belakang pintu itu mengejutkannya.Ternyata, suami palsunya, Gin Yuta, sudah berdiri mematung di belakang pintu kamarnya. Sepertinya ia sengaja menunggu kedatangan Maeera. Maeera berjingkat, ia terkejut mendengar suara suaminya. Untungnya ia telah menyiapkan sederet alasan untuk mengelabuinya. "A-ak-ku dari bawah, berjalan-jalan di taman mencari udara segar," kilah Maeera. "Tenang saja, aku memakai masker, jadi tak ada yang mengenaliku," jawab Maeera senatural mungkin untuk menutupi kegugupannya. Gin terdiam mendengar jawaban Maeera, begitu pula Maeera. Dia diam membisu menunggu umpan balik dari suaminya. Dadanya berdegup kencang, ia takut jika Gin mengetahu
Maeera terdiam melihat amarah suami palsunya, Gin Yuta. Baru kali ini ia melihat pria buta itu melampiaskan amarahnya, dengan sebuah ekspresi kemarahan yang nyata.Biasanya, pria itu akan menyembunyikan kemarahannya atau mengekspresikannya dengannya cara yang sedikit berbeda dari manusia normal pada umumnya. Ia lebih suka menunjukkan kemarahannya dengan cara menggoda atau memanipulasi perasaan lawannya."Kenapa dia sangat marah padaku?" gumam Maeera pelan. Gadis manis itu tak mengerti, mengapa Gin Yuta begitu terluka saat ia menolak pemberiannya, dan kemarahannya semakin meledak saat dirinya dibandingkan dengan adik tirinya, Kai Yuta. "Oh, sepertinya aku tau!" celetuk Maeera. Gadis manis itu tiba-tiba teringat dengan tetangganya di desa. Sepasang kakak beradik yang tak begitu jauh terpaut usianya. Keduanya sering bertengkar jika merasa ibunya terlalu memperhatikan salah satu di antara mereka. Mengingat tingkah Gin Yuta sama persis dengan anak tetangganya, kini Maeera yakin, ego sua
Sango Side Manor.Bangunan megah bergaya Eropa itu, terlihat berdiri tegak dan kokoh di tengah terpaan kencang angin Samudra Hindia, yang akhir-akhir ini kerap menjadi badai.Setiap kali badai datang, pulau kecil itu akan berubah menjadi pulau mati.Sunyi, sepi, seperti tak berpenghuni. Para pria yang biasanya berjaga-jaga di sekitar dermaga, akan memilih pulang ke rumah-rumah mewah yang tersedia di seluruh pulau, atau bagi mereka yang bertugas, akan tinggal di ruang bawah tanah yang berada tak jauh dari dermaga. Mereka akan berjaga-jaga, bila sewaktu-waktu ada serangan mendadak saat badai tiba. Jelang akhir musim kemarau, angin Samudra Hindia, memang berhembus lebih kencang dari biasanya. Ini karena sebentar lagi, musim hujan akan tiba di daratan utama. Membuat cuaca di laut tak menentu dan sulit di prediksi. Karena cuaca di luar kurang begitu bersahabat, Avani Lie, lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kastil super besar itu dibandingkan berjalan-jalan di luar. Sejak terak
Di sebuah padang savana tak jauh dari bangunan utama Sango Side Manor, terlihat Rin Leung sedang duduk bersantai di sebuah gubuk sederhana, ditemani seekor macan kumbang hitam atau yang lebih dikenal dengan nama Black Panther.Kucing besar berjenis kelamin jantan berusia sekitar lima tuhan itu, terlihat sedang merebahkan dirinya di pangkuan sang mafia. Ia terlihat senang saat kepalanya di belai lembut oleh pria tampan itu. "Katakan! Kau sudah mendapatkan info mengenai wanita yang bersama putra grup Liong itu?" tanya Rin pada seorang pria muda yang berdiri di sampingnya. Pria muda itu mengangguk. "Ya!! Kami sudah mendapatkan beberapa info tambahan bos," ucap pria muda yang memakai coat berwarna cokelat tua itu.Ia melirik kucing besar yang sedang merebahkan dirinya di pangkuan bosnya sembari menjilati bulu-bulunya."Katakan!!" seru Rin. Pandangan matanya lurus kedepan ke arah tiga orang penjaga yang sedang bekerja membersihkan savana. Terlihat salah satu di antara mereka melemparka
Di tengah Laut China Selatan. Sebuah kapal pesiar mewah, empat lantai yang dilengkapi dengan landasan helipad, kolam renang, jacuzzi, dan berbagai fasilitas bintang lima lainnya seperti, gym, sundeck untuk berjemur, ruang maka indoor dan outdoor, serta fasilitas-fasilitas mewah lainnya, terlihat tengah berlayar pelan mengarungi Laut China Selatan yang tenang. Dari kejauhan, sebuah helikopter airbus berwarna hitam terlihat berputar-putar di atas kapal pesiar, bersiap untuk melakukan pendaratan. Setelah melakukan beberapa kali manuver dan putaran, helikopter hitam itu akhirnya berhasil mendarat dengan mulus di atas kapal. Dari dalam helikopter, Rin dan Avani keluar, dibantu oleh seorang pengawal berbadan tegap memakai setelan jas berwarna hitam. "Pegang lengan tanganku," perintah Rin pada Avani, begitu gadis cantik itu turun dari pesawat. Dengan gugup, Avani menganggukkan kepala dan segera menggandeng lengan tangan pria tampan di sampingnya itu. "Dengar!!! Pemilik kapal ini be
Alex mengepulkan asap rokok dari mulutnya, begitu juga dengan wanita muda yang duduk manja di sampingnya. Avani hanya bisa diam termangu menyaksikan semua hal tabu itu. Ia tak terkejut. Hanya saja, ini sedikit terlalu nyata baginya untuk duduk satu meja dan berdiskusi dengan seorang mafia dan wanitanya. Biasanya ia hanya melihat adegan seperti ini di film-film laga bertema dewasa."Barangnya baru akan datang malam nanti, ada sedikit penundaan karena badai yang menghadang di Samudra Hindia," ucap Alex. Ia menyesap rokoknya dalam-dalam kemudian menghembuskannya menjadi kepulan asap berwarna putih. Seorang pelayan nampak menuangkan wine ke gelas Rin dan Avani, setelah melakukan yang sama ke gelas Alex. "Lalu!" Rin bertanya dengan nada dingin. Ia mulai memainkan korek api lighter di tangannya, sembari menatap gelas berisi wine di depannya. Sadar suasana semakin memanas, Avani memilih diam seribu bahasa. Ia bahkan tak berani bernapas karena begitu tegangnya suasana. "Hahahaha .... " P
Avani terus memberontak saat mafia muda itu menindih tubuhnya. Ia terus berteriak agar Rin menghentikan aksinya. "Rin hentikan. Berengsek kau! Lepaskan aku," teriak Avani. Tapi Rin tak bergeming, ia terus melancarkan aksinya, menggigit dan menjelajahi tubuh gadis cantik itu. "Aku bukan istrimu, kau tak berhak melakukan ini padaku. Lepaskan aku," teriak Avani. Rin semakin beringas. Ia lepas jasnya dengan paksa kemudian ia lempar ke lantai di bawahnya. Ia pun mulai melepas satu persatu kancing bajunya, sembari salah satu tangannya terus bergerilya menggerayangi tubuh istri palsunya. Begitu semua kancing bajunya terbuka, dadanya yang bidang langsung terlihat menggoda. Diterpa cahaya lampu yang temaram, dada dan perut sixpacknya langsung meningkatkan gairah yang ada. Avani menatap dada bidang itu dan langsung menutup mata. Ia tak ingin hasrat seksual yang sudah menggelora di tubuhnya, menjadi boomerang bagi dirinya. "Dasar gila! pakai kembali bajumu!" "Apa yang akan dikataka
'Nuuutttttt .... ' suara ponsel berdering memanggil. Tak lama panggilan itu tersambung. "Halo asisten Eri! Apa kau sudah mengurus berkas tanah dan rumah di desa yang kuberikan padamu," tanya Gin pada asistennya itu melalui sambungan telepon. Maeera seketika terperanjat mendengar kata rumah dan tanah di desa. Ia sangat yakin jika yang dibicarakan Gin Yuta dan asisten Eri adalah rumah dan tanahnya di desa. Pria gila itu pasti melakukan ini untuk memberikan tekanan padanya.Sadar rumah dan tanahnya tak lagi aman, Maeera buru-buru menyela pembicaraan Gin Yuta dengan asisten Eri untuk menenangkan keadaan. "Aku tak memiliki hubungan apa pun dengan adik tirimu, sungguh!!!" ucap Maeera dengan suara bergetar. Ia mencoba meyakinkan Gin Yuta bahwa ia benar-benar tak memiliki hubungan apa pun dengan Kai Yuta. Gin berheti berbicara, menutupi separuh teleponnya dengan tangannya, lalu menoleh ke arah Maeera dengan tatapan kecewa. . "Kau bahkan masih terus berbohong. Seberharga itukah hubungan
Setibanya di mansion.Gin menggenggam erat pergelangan tangan Maeera, menarik paksa gadis itu keluar dari dalam mobil, lalu menggelandangnya masuk ke dalam mansion. "Pulangkan semua orang di mansion kecuali penjaga!!" seru Gin pada asisten Eri yang berjalan mengekor di belakangnya dengan wajah penuh kekhawatiran. "Memulangkan mereka semua??" tanya asisten Eri mencoba mengulang perintah bosnya. Gin menghentikan langkahnya. Memutar tubuhnya ke belakang, menatap asistennya itu dengan wajah dingin."Apa ada masalah dengan perintahku?!!" tanya Gin Yuta dengan raut wajah tak senang. Asisten Eri terdiam. Ia bergegas menggelengkan kepala cepat. "Tidak. Tidak ada tuan. Baik akan segera saya laksanakan," jawab pria berkacamata itu. Berjalan cepat, asisten Eri meninggalkan bosnya menuju area lain dari mansion.Sementara itu, di sisi lain, Maeera, hanya bisa diam melihat perangai dingin suami palsunya.Ia tak bisa berbuat apa-apa karena merasa berada dipihak yang salah. Maeera sadar, ia te
"Berandall!!! Berani-beraninya kau menyentuh istriku!!!" umpat Gin Yuta sembari mencengkeram erat kerah baju Kai yang kini terkapar tak berdaya di depannya. Kai tersenyum tipis mengangkat salah satu sudut bibirnya, saat tahu sosok menghajarnya membabi buta itu ternyata adalah kakak tirinya, Gin Yuta.Ia menyipitkan matanya, menatap kakak tirinya yang terlihat kalap itu dengan hina. "Kenapa??!! Kenapa aku tak boleh menyentuhnya. Dia bukan istrimu, kau tahu itu," tanya Kai mencoba mempertanyakan sikap possesif kakaknya. Gin menggeram menatap tajam Kai Yuta. Giginya mengatup erat dan rapat menahan amarah yang membuncah di dada. Ia mencoba menahan emosi, tak ingin kepalan tangannya kembali melayang ke wajah saudara tirinya."Aku sudah memperingatkanmu. Jangan campuri urusanku!!" bentak Gin sembari terus mencengkeram erat kerah baju Kai Yuta. Kai tertawa lirih mendengar perkataan kakak tirinya."Aku tak pernah mencampuri urusanmu!! Aku hanya mengurusi Maeera, karena dia wanitaku!" teg
Di dalam mobil. Gin meremas lembar-lembar foto di tangannya. Foto-foto yang memperlihatkan kemesraan antara adik tirinya, Kai Yuta dan istri palsunya, Maeera, yang baru saja diberikan oleh ibu tirinya, nyonya Isihiika. Geram, wajah tampan Gin berubah menjadi garang, penuh kemarahan. Matanya berkilat-kilat penuh emosi. "Jadwalkan ulang perjalananku ke Singapura!!" perintah Gin pada asisten Eri yang tengah sibuk menyetir mobil. "Tapi tuan, ini ... ??" "Jangan membantah!!" bentak Gin dengan suara keras, memotong kata-kata asisten Eri. Seketika asisten Eri langsung diam dan mengangguk pelan. "Baik tuan muda," jawab asisten Eri dengan gugup. Ini adalah kali pertama, selama lima tahun bekerja sebagai asisten pribadinya, Gin membentak dirinya dengan kasar. Melihat bagaimana reaksi bosnya, asisten Eri sangat yakin, jika pria tampan itu saat ini sedang sangat kalut dan gelisah. "Cepat cari di mana dia berada!!" perintah Gin. Ia mengambil ponsel di dalam saku jasnya dan langsun
Akhir pekan akhirnya tiba. Tuan muda pewaris grup Liong, Gin Yuta, terlihat sudah berpakaian rapi, memakai setelan jas berwarna hitam, berkacamata. Ia berdiri tegak di samping sebuah mobil sedan hitam yang terparkir di depan mansion Lotus Hall. Pintu mobil sudah terbuka, dengan seorang pria berdiri memegangi pintunya. Disamping Gin, berdiri Maeera, yang terlihat masih kumal dan acak-acakan. Gadis itu, terlihat seperti baru bangun tidur dan langsung di seret ke luar untuk berpamitan dengan suaminya. Lebih tepatnya, suami palsunya, yang hendak pergi dinas ke Singapura. "Aku akan pergi selama beberapa hari. Kau! Jangan pergi kemana pun dan jangan buat masalah apa pun selama aku pergi. Mengerti!!!" gertak Rin Gin dengan nada setengah mengancam, pada Maeera yang berdiri di sampingnya. "Hemmm ... Aku mengerti. Kau tak perlu khawatir!" ucap Maeera asal-asalan sembari menggaruk-garuk pelan rambutnya yang masih acak-acakan. Ia terlihat malas mendengar omelan suami palsunya di pagi-pagi
Avani terbangun.Bau harum masakan yang menusuk-nusuk hidungnya, membuat gadis cantik itu tak lagi bisa memejamkan mata. Dengan mata yang masih setengah terpejam, ia mencoba mengamati keadaan sekitar.Terkejut!! ia mendapati dirinya kini berada di sebuah ruangan kecil berukuran 3x4 meter dengan dinding batu bata merah yang belum di plester. "Di mana aku?" gumam gadis cantik itu lirih. Ia memegangi kepalanya yang terasa berputar-putar. "Di mana ini?" tanyanya lirih sembari mengamati keadaan sekitar dengan lebih seksama. Terlihat, ia kini berada di sebuah kamar yang cukup kecil dan sempit. Dindingnya masih berupa batu bara merah yang belum di plester, kasar dan bergelombang di sana-sini.Di sudut kamar terlihat sebuah lemari kayu tua berukuran besar dengan kaca berbentuk oval di bagian depannya. Di samping lemari, sebuah pintu yang ditutupi gorden warna merah, terlihat melambai-lambai pelan di tiup angin. Gorden itu terlihat kusam dan kotor, seperti tak pernah di cuci berminggu-ming
Di ruang kerja Rin. Bau alkohol bercampur dengan obat-obatan, berbaur menjadi satu dengan aroma buku-buku lama dan kayu-kayu tua, menciptakan aroma khas yang sulit dijelaskan oleh kata-kata. Bertelanjang dada, Rin duduk di sofa di dekat jendela, menghadap ke arah luar. Mata tajamnya, mengamati sekumpulan burung gereja yang sedang terbang rendah di antara pohon-pohon palem yang di tanam di luar manor. Mereka tampak gembira dan tanpa beban. Matahari, terlihat mulai condong ke arah barat, menyisakan siluet panjang di kaca jendela yang menghadap ke arah luar, menyinari tato naga yang ada bagian atas punggung kanan Rin Leung yang menjalar hingga ke lengan dan dada bagian depan. Weilu, duduk di belakang Rin. Pria muda itulah terlihat sibuk menuangkan cairan infus ke dalam baskom kecil yang di dalamnya terdapat sebuah handuk yang biasa digunakan untuk menyeka tubuh. Dengan penuh ke hati-hatian, pria muda itu mengambil handuk kecil itu, memerasnya, kemudian dengan perlahan dan hati
"Plak .... " Sebuah sabetan rotan, membekas merah di punggung Rin Leung. Ia meringis menahan sakit. "Plak ... Plak ... Plak ... " Tiga buah sabetan rotan kembali mendarat di punggungnya. Terlihat jelas sudah ada lebih dari sepuluh sabetan rotan membekas di punggung mafia muda itu. "Plak .... " sebuah sabetan rotan kembali menyentak punggungnya. Ia menggertakkan giginya dengan keras dan mengepalkan tangannya erat untuk menahan sakit. Para mafia yang ada di alun-alun itu, ikut meringis menahan sakit setiap kali rotan itu menyentuh kulit punggung Rin. Mereka seakan ikut merasakan sakit yang dirasakan oleh sang ketua. "Plak, plak ... " Dua buah sabetan rotan datang bertubi-tubi membuat darah segar, merembes keluar dari dada kanannya yang terluka. Rin membungkuk kesakitan setiap kali rotan itu mengenai punggung kanannya yang segaris dengan luka dadanya. Tak ada yang berani menolongnya. Ini adalah sebuah hukuman, yang harus ia terima. Dan sang ayah sendiri, tuan Koch Leung, yang m
Sore hari di tengah Samudra Hindia yang damai. Laut terlihat tenang, tanpa gelombang. Mirip sebuah cermin raksasa besar yang memantulkan cahaya kuning keemasan, dari hasil pembiasan cahaya matahari yang hampir tenggelam. Di ufuk barat, matahari terlihat seperti bola api raksasa berwarna merah kekuningan yang sedang terbakar dan tenggelam di telan lautan.Bola api raksasa itu, kini sudah separuh perjalanan dan sebentar lagi akan benar-benar tenggelam, menyisakan semburat warna jingga ke emasan di kaki-kaki langit jelang akhir hidupnya. Berdiam seorang diri di atas perahu kecilnya, Avani membiarkan angin laut yang berhembus pelan memainkan rambut panjangnya.Ia hanya duduk meringkuk diam termenung. Kakinya yang panjang, ia tekuk ke belakang, kemudian ia peluk erat dengan kedua tangannya. Perlahan, ia rebahkan kepalanya ke atas lutut, sembari menatap kosong heningnya lautan yang sunyi dan sepi. Ia biarkan perahu kecil itu terombang-ambing dan mengapung tanpa arah dan tujuan, karena s