Dalam perjalanan pulang, aku terus dilanda rasa gelisah. Bagaimana tidak, selain Rafael aku tidak punya kenalan lain yang belum menikah. Tentu saja Gio termasuk pengecualian karena sekali lagi hanya aku yang pantas untuknya.Bagaimana dengan Dani? Apakah dia mau menerima keadaan Naima yang merupakan perempuan korban pelecehan seksu4l?"Entahlah, mungkin sebaiknya aku tanyakan sama Dian saja," gumamku tidak sadar."Kenapa?" Rupanya Akbar mendengarnya. Aku hanya menggeleng, kemudian mengambil ponsel yang terletak di dashboard mobil mencari nomor seseorang.Sebenarnya hati sedikit ragu, tetapi mau bagaimana lagi? Aku tidak ingin dimadu sekalipun pernikahan ini bukan inginku. Perempuan mana pun akan merasa tersisihkan ketika ada yang kedua hadir dalam rumah tangga mereka.Apalagi kondisi Naima yang sedang hamil, menikah pasca melahirkan nanti. Tentu membuat Akbar lebih mengarahkan fokus padanya atau sebut saja pada anak yang dilahirkan.Aku sudah bisa menebak sejak awal, sekalipun anak ya
Setelah semalaman berpikir, aku akhirnya menemukan ide terbaik. Sepertinya memang pantas kalau sekarang itu aku menemui Gio setelah Akbar berangkat kerja. Bukan bagaimana, aku tidak habis pikir kalau seandainya Dani menolak tawaran itu dan meminta Gio sebagai gantinya. Kekasihku adalah orang yang paling tidak tega melihat perempuan sendirian sampai menangis pilu, dia akan bantu sebisa mungkin. Bahkan pernah di awal kedekatan kami, aku sampai cemburu lima hari gara-gara melihat Gio membonceng seorang perempuan di tengah derasnya hujan. Ternyata perempuan itu tidak dia kenal dan ditemukan menangis di jalan. "Dia tersesat, aku harus membantunya pulang karena dia tidak punya uang. Dia dicopet waktu beli obat buat ibunya. Waktu aku sampai, memang ibunya sedang sakit. Dia bukan asli sini dan tidak ada yang mau menolong mereka," jelas Gio. "Tapi kan gak harus ngebonceng dia. Aku aja jarang kamu bonceng, cuma sekali waktu kepepet. Sekarang masa dia kamu bonceng padahal bilang gak kenal?"
"Gimana? Jangan beri jawaban samar kayak gitu, Gio. Aku butuh kepastian biar bisa menentukan pilihan!" desakku."Pilihan apa? Aku memilih menerima tawaran dari Dani atau tidak itu bukan urusan kamu lagi. Kalau aku menerima, kenapa memangnya?"Pertahananku runtuh. Gio benar-benar sudah berubah bahkan tidak lagi segan untuk melukai hati ini. Biasanya dia akan berlemah lembut demi menjaga perasaanku sekalipun harus mengorbankan perasaannya sendiri.Gio yang aku kenal sudah hilang. Entah karena dia menunjukkan sifat aslinya atau hanya karena merasa tertekan oleh keadaan. Tidak ada yang tahu bagaimana hati dan pikirannya selama ini apalagi ketika berada di rumah.Melihat sang ibu yang keluar masuk rumah dengan lelaki hidung belang secara bergantian tentu membuatnya merasa frustrasi. Apalagi sekarang kami bertetangga, jadi dekat tapi terasa jauh."Jelas ini urusan aku, Gio. Hubungan kita belum selesai dan kamu nanya kenapa?""Hubungan apa?" Gio tersenyum tipis. "Sejak kamu menikah dengan Ak
Jam dua siang Akbar sudah tiba di depan rumah, aku bisa mendengar deru mobil itu. Aku langsung meneguk air yang memang sudah ada di meja makan tempatku duduk untuk meminimalisir rasa gugup.Bukan hanya gugup, aku bahkan gemetaran ingin menyampaikan hal ini. Sebenarnya aku merasa harus memilih Gio, tetapi nasihat Dian ...."Ay?""Iya?" Aku tersentak. Entah kenapa aku bisa seterkejut ini padahal sejak tadi sudah tahu dia tiba.Akbar menggeser kursi, kami duduk saling berhadapan. Aku melipat bibir berharap waktu berputar ke masa lalu.Tiba-tiba aku merasa bingung hendak menyampaikan apa. Tadi sudah nekat memaksa Akbar pulang lebih cepat dari kantor dan sekarang aku harus bagaimana?"Naima ... apa dia sudah punya calon suami?""Belum. Gimana temanmu?""Kalau misal temanku gak ada yang mau, apa kamu bakal nikah sama Naima?"Akbar mengedikkan bahu. "Mungkin saja kalau ayah sangat memaksa kehendak.""Jangan menikah sama Naima, aku gak mau kamu nikah sama dia.""Kenapa?""Karena aku mencintai
Begitu aku saling pandang dengan Akbar, segera jari telunjuk menempel pada bibir memberinya isyarat untuk tetap diam. Sekalipun terbakar api cemburu, aku selalu penasaran dengan pembicaraan mereka lebih lanjut.Kalau Akbar langsung melerai mereka, tentu aku tidak bisa tahu pasti hubungan keduanya itu sedekat apa. Beruntung hanya sedikit pelanggan atau Gio akan malu kalau saja ada rahasia yang terkuak."Gio, kamu jangan berani sentak-sentak aku, ya!" tekan perempuan itu terdengar seperti sebuah ancaman."Memangnya kamu siapa berani mengatur aku?" Gio tertawa pelan. "Kamu itu cuma seorang Steva yang ... harusnya kamu sadar dan kembali pada Tuhan, barulah lelaki beriman mau jadi suami kamu."Aku tersentak mendengar suara tamparan yang sangat keras. Apa itu artinya perempuan yang bernama Steva itu menampar pipi Gio? Berani sekali dia menyentuh kulit kekasihku.Gio tidak melawan, dia memilih diam dan kembali menikmati makannya seolah tidak terjadi apa-apa. Diamnya Gio adalah marah paling b
PoV Author💚Sesampainya mereka di rumah, Ayu langsung merebahkan tubuh di tempat tidur. Pikirannya kini kacau balau. Perempuan itu bingung harus bagaimana lagi untuk menghentikan mertuanya menjodohkan Akbar dengan Naima. Ternyata setelah dipikir-pikir, dia sangat tidak mau kehilangan Akbar.Ayu merasa bahwa suaminya kini adalah lelaki yang Allah titip untuk menjadi imam dan pelindungnya. Dia tidak lagi mau mengingat masa lalu yang hanya akan menodai kesucian pernikahannya. Perempuan itu menepikan ego, pikiran tertuju pada Akbar seorang."Jangan terlalu memikirkan masalah ini, Ay. Aku gak mau kamu jadi sakit." Akbar mendekati sang istri yang sedang memijit kening."Bagaimana aku gak kepikiran kalau suamiku diminta menikah lagi?" Suara Ayu perlahan meninggi."Kamu cemburu, Ay?"Ayu membuang pandangan. "Untuk apa aku memikirkannya kalau tidak cemburu? Kamu pikir aku ini perempuan tak berperasaan?""Mungkin ... iya.""Terimakasih untuk prasangkamu!" cetus Ayu meninggalkan sang suami sen
Akbar diam. Pengakuan Ayu barusan bagai sambaran petir yang begitu menggelegar. Sementara Ayu, dia gelagapan. Wanita itu merasa sangat bersalah telah berkata lancang pada suami sendiri.Dia terus melangkah mengikuti Akbar yang semakin mundur. "Jangan salah paham, tadi aku tersulut emosi, By. Tolong, maafkan aku.""Maaf? Aku tahu kamu tidak menginginkan pernikahan denganku atau lelaki lain karena ada Gio dalam hati kamu, iya, kan? Kalau kamu masih mencintainya, bilang saja. Tidak usah pura-pura bahagia dan mencintaiku.""Akbar, tolong. Aku gak ada maksud ke sana. Tadi itu cuman lagi emosi saja. Kamu suamiku, kamu imamku–""Tetapi kamu tidak mencintaiku!" tegas Akbar memotong kalimat Ayu.Lelaki itu terluka, dia menahan tangis sambil melangkah masuk kamar dan menutup pintu perlahan. Matanya berkaca-kaca, kalimat Ayu terngiang-ngiang dalam benak. Andai saja saat itu Ayu jujur sejak awal, maka dia tidak akan menikahinya.Sungguh, siapa pun tahu bahwa mencintai orang yang mencintai orang l
Sepanjang malam Ayu terpaku di dalam kamar, dia tidak berani melangkah keluar dan mencari tahu suaminya sedang apa. Wanita itu khawatir kalau kehadirannya akan semakin menambah masalah."Aku salah, aku harus meminta maaf. Pasti Akbar mau maafin aku, dia kan gak tegaan. Tadi pasti karena shock banget. Iya, dia akan memaafkanku!" ujar Ayu melangkah ke depan lemar yang pada satu sisinya terdapat cermin.Wanita malang itu melihat pantulan dirinya di dalam sana. Wajah terlihat lesu, kecantikannya tersembunyi di balik luka. "Apa aku bisa meminta maaf pada Akbar?""Hayolah, hanya meminta maaf dan masalah akan selesai. Jadilah istri yang baik, mengakui kesalahan dan menjadikan suamimu rida!" Bisikan dari hati nurani begitu mendukung.Ayu kembali mengukir senyum, kemudian melangkah cepat ke luar kamar. Begitu terkejutnya dia mendapati Akbar yang masih terjaga padahal sudah pukul tiga dini hari. Bawah matanya hitam, pandangannya begitu kosong, Ayu jadi merinding."Audzubillahi minasysyaithoni r
Sepuluh tahun berlalu, kini Ayu sudah berkepala tiga. Dia sedang duduk di sebuah kursi taman berwarna putih di belakang rumahnya. Wanita itu sibuk menyulam rindu untuk kedua orangtua yang kini telah tiada.Rasanya waktu bergulir begitu cepat, dia tidak lagi muda dan kuat seperti dulu. Meski usia tiga puluh tahun lebih belum termasuk menua, tetapi pada anak remaja saja sudah banyak yang mengeluh lutut sakit atau kekurangan pendengaran."Bunda!" teriak seorang anak lelaki yang begitu mirip dengan Akbar. Usianya baru menginjak tahun ke delapan dan saat ini masih duduk di bangku kelas dua SD.Di belakangnya menyusul lelaki tampan yang selalu membersamai Ayu selama ini. Dia menggendong seorang gadis kecil yang matanya seindah milik Ayu. Usianya baru menginjak dua tahun pada pekan lalu.Anak kedua mereka bernama Syafiq dan anak ketiganya bernama Aisha. Meski sudah ada dua pengganti atas kepergian Yafiq, tetapi Ayu selalu dipanggil sebagai Bunda Yafiq."Anak bunda sudah pulang?""Iya, Bun. T
Tujuh bulan berlalu tanpa terasa dan proses pemulihan Ayu sudah selesai. Sekarang dia bisa bergerak sesuka hati meski Akbar selalu melarangnya untuk mengangkat beban berat. Selain karena dia perempuan, Akbar selalu takut terjadi sesuatu pada sang istri.Aktivitas mereka kembali seperti dulu sekalipun Ayu tetap banyak diam di rumah. Jika dulu ada Dian yang menemani, sekarang tidak lagi. Bahkan sahabatnya itu semakin jarang memberi kabar.Benar kata orang dahulu bahwa setelah menikah, mereka akan semakin jarang bertemu atau kumpul dengan sahabat karena kini prioritasnya berbeda. Terlebih jika dirinya bukan wanita karir maka akan semakin sedikit waktu untuk ketemu di luar.Selama tujuh bulan itu pula, Ayu selalu mendapat kebahagiaan dari perhatian penuh dari suami dan keluarganya. Dia juga dipanggil Bunda Yafiq oleh tetangga dan rekan kerja suaminya."Sayang, aku ada kabar gembira nih!" seru Akbar ketika baru pulang dari bekerja.Ayu yang sedang menonton televisi lantas berdiri dan mengh
Ayu membuka mata perlahan. "Benarkah Steva sudah pulang?""Iya, dia minta maaf karena tidak bisa menghindar. Steva mengaku kalau dirinya betul-betul tidak sengaja."Wanita itu mengangguk lemah, dia tersenyum karena pada akhirnya keputusan yang Akbar pilih jauh lebih baik dan menenangkan hati. Ayu yakin kalau Steva sungguh-sungguh dalam meminta maaf.Akbar pun mengeluarkan ponsel dan menyalakan rekaman suara Steva. Dua menit setelahnya terdengar ketukan di pintu utama membuat lelaki itu beranjak cepat."Masuk dulu, Dan!""Gak usah, lebih baik istirahat dulu, yang penting sekarang kita sudah tahu kalau Steva meminta maaf. Motor Gio sudah aku kembalikan dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal telepo aku, kali aja bisa ngebantu.""Ya udah, barangkali kamu juga sibuk."Dani mengacungkan kedua jempol sebelum menghilang dari pandangan Akbar. Lelaki itu bahagia karena ternyata kejadian yang menimpa sahabatnya tidak melibatkan Dian juga Gio. Akan tetapi, dia masih harus merahasiakan sesuatu.Dani
Dani dengan gerak cepat turun dari motor dan menarik Steva. Motor Gio dibiarkan jatuh sementara gadis itu Dani tarik kasar masuk ke halaman rumah Ayu.Akbar dengan sigap menyalakan rekaman suara untuk menjadi bukti kalau gadis itu yang bersalah. Tidak lupa dia berlari masuk ke belakang rumah untuk mengambil tali dan mengikatnya di kursi depan rumah.Dia tidak lagi peduli apakah gadis itu akan merasakan malu atau tidak, satu hal yang pasti dia harus menyesali perbuatannya. Motor Gio diambil oleh Dani dan memarkirnya di depan rumah Ayu."Kenapa kalian mengikatku, hah?!" teriak Steva kemudian setelah sadar dengan apa yang terjadi."Katakan, Ste. Kamu sengaja menabrak Ayu hari selasa kemarin, kan?" Dani langsung mengintrogasinya. "Tidak perlu mengelak karena aku hadir sebagai saksi di sana.""Tidak, kamu salah!""Apa perlu kutunjukkan bukti CCTV di tempat kejadian itu?" Dani sengaja menyeringai tajam agar Steva ketakutan. "Rupanya kamu tidak kenal kata lelah untuk berbuat jahat, ya. Setah
"By, jangan begitu. Entahlah, aku merasa terlalu kejam untuk memenjarakannya.""Terlalu kejam? Ayolah, Ay, ini bukan kejam. Mereka yang terlibat memang pantas mendapat hukumannya. Apa kamu pikir pembunuhan itu kesalahan kecil dan bukan dosa besar?""Sayang ... aku tahu itu kesalahan besar dan pelakunya wajib dipenjara, tapi apa kamu tahu kalau aku juga bersalah? Aku yang lari ngejer kamu di keramaian tanpa melihat ke kanan dan kiri jalan. Dia seperti gak sengaja nabrak aku, makanya lari begitu. Meskipun kita tahu Steva itu jahat, bisa jadi dia memang tidak sengaja. Aku yang salah dan kalau saja tidak lari ke jalan, dia gak bakal nabrak, kan?"Akbar menepuk jidatnya. "Kamu lari karena ada sebabnya, kan? Kalau aja laki-laki itu gak ada ngegoda kamu, mana mungkin kamu ngejer aku. Paling menunggu di tempat. Nah, di saat itu lah mereka kerja sama.""Tapi Bu Dania gak ada di sini, masa iya kerja sama. Mending daripada kita ikut disalahin sama pak polisi, gak usah usut perkara itu. Biar kita
"Dan, kamu bisa ke sini gak?" tanya Akbar via telepon. Dia ingin meminta bantuan serta saran dari Dani berhubung sekarang hari minggu, jadi tentu sahabat istrinya itu memiliki waktu luang."Bisa. Jam sepuluh ya soalnya masih cuci motor ini. Tapi mau bahas apa?""Gak denger kabar Ayu, Dan?""Enggak, kenapa sama Ayu?" tanya Dani lagi masih di balik telepon.Akbar tidak menceritakannya sekarang, dia meminta Dani untuk datang saja karena cerita di telepon bisa membuat salah faham. Begitu telepon ditutup, lelaki itu langsung melangkah cepat ke kamar menemui istrinya.Ayu yang sudah selesai memakai jilbab mengulurkan tangannya. "Anter ke depan mau jemuran.""Eh gak boleh. Orang abis caesar gak boleh kena paparan sinar matahari langsung. Mending latihan jalan lagi atau gak makan tempe sama minum susu biar cepet kering lukanya.""Boleh.""Gak boleh, Ay.""Boleh.""Enggak, Sayang."Ayu cemberut karena kali ini keinginannya tidak dituruti. Akbar yang super peka langsung duduk di tepi ranjang me
Jam sudah menunjuk angka empat sore. Tepat ketika Akbar selesai salat asar, dia langsung membantu sang istri untuk bangun. Mereka menuju ruang tengah dan latihan jalan di sana.Ayu memejamkan mata kuat karena perutnya sedikit merasakan nyeri. Namun, dia harus bertahan untuk sembuh karena kata dokter, semakin sering beraktivitas, maka mempercepat pemulihan.Akan tetapi, Ayu juga diingatkan untuk tidak bergerak lebih lama jangan sampai lelah atau melakukan aktivitas berat. Akbar pun terlihat tidak ingin melepas tangan istrinya walau sedetik."Susah, By. Susah geraknya.""Enggak, kok. Kita latihan lagi ya. Kamu ingat pesan ibu tadi siang, kan? Harus semangat untuk sembuh biar Allah kabulkan doa kita.""Kok ibu cepet pulangnya, By? Aku aja gak liat ibu pulang gara-gara ketiduran." Ayu sedikit memanyunkan bibir karena masih rindu pada ibunya."Loh kan ada aku di sini. Kemarin waktu aku kerja kan ibu lama nemenin kamu." Akbar menghela napas. "Lanjut lagi, Sayang."Perlahan Ayu mengangkat ka
Lima hari di rumah sakit, Ayu sudah diperbolehkan pulang. Meski sudah bisa makan, tetapi rasa nyeri itu selalu ada terutama ketika mau buang air. Padahal sejak zaman gadis, dia selalu berprinsip untuk menghindari caesar.Bagaimana tidak, dia tahu bagaimana sakitnya setelah obat bius hilang dari cerita teman-temannya. Apalagi resiko yang sangat besar harus dia lalui termasuk banyaknya pantangan yang wajib dihindari.Ayu ingin membuang napas kasar, tetapi takut menimbulkan rasa nyeri lagi. Membayangkan saja sudah membuat wanita itu merasa ngilu. Sekarang pun dia harus membuka mulut untuk menerima suapan dari suami tercinta."Kamu harus banyak makan protein, Sayang, biar jahitannya cepat kering. Jangan nonton atau baca buku humor dulu, harus semangat untuk sembuh. Sore nanti kita latihan jalan lagi, ya?""Sakit.""Enggak, kok.""Enggak, enggak. Kamu mana tahu, aku yang ngalamin, By! Sakit asli kalau nyeri datang lagi, serasa dikoyak-koyak. Duh, ngilu."Akbar tersenyum membenarkan Ayu kal
"Iya, kamu akan selalu salah di mata orang yang tidak suka atau tidak mengerti kamu. Tapi saya yakin kalau istrimu tidak akan menyalahkanmu," lanjut Pak Hatta."Benar begitu, Pak? Apa istriku gak bakal marah kalau dia sudah sadar?""Iya, benar. Satu yang perlu kamu ingat, Nak, bahwa sepahit apa pun hidup, kita tidak boleh berputus asa. Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup saat sedang depresi, sungguh istrimu saat ini begitu ingin untuk sembuh dan tertawa bersamamu lagi. Kamu percaya?""Bagaimana kalau aku sulit percaya, Pak? Mertuaku saja menyalahkan aku termasuk beberapa orang yang ada di lokasi kejadian tadi.""Maka paksa dirimu, paksa hatimu untuk percaya. Semua yang terjadi di muka bumi adalah takdir dari Tuhan. Mereka menyalahkanmu mungkin karena masih shock. Kalau saja istrimu kecelakaan saat bersama sahabatnya, kamu pasti refleks menyalahkannya juga, kan?"Akbar kembali menangis, ada amarah dalam hatinya untuk menghabisi lelaki yang berani menyentuh istrinya. Kalau saj