Ayu dan Akbar sudah kembali ke rumah mereka. Setelah bersih-bersih hampir seharian, akhirnya mereka bisa merebahkan diri di tempat tidur.Mata Akbar tertuju pada perut sang istri yang mulai membuncit. "Pernah periksa?""Pernah. Sepekan lalu karena dipaksa sama ibu." Ayu rupanya langsung mengerti arah pembicaraan Akbar.Mereka benar-benar sama yakni kurus kering tidak terurus. Seperti itulah jika sepasang kekasih dipisahkan oleh jarak, yang ada hanya rindu sehingga makan pun enggang.Setelah ini, mereka janji untuk kembali berjuang menambah berat badan. Tentu saja, meski makan lima kali sehari kalau pikiran terlalu kacau maka tetap sulit untuk menambah berat badan.Sekarang mereka sudah bahagia. Sepertinya makan pun tidak berguna lagi. Itu berlaku bagi para pecinta dan pecandu rindu. Keduanya saling bergenggaman tangan seolah tidak ingin lepas lagi."Bagaimana dengan Steva, By? Apa ibu menghukumnya? Tadi ayah nelfon kamu, kan?""Syukurlah ayah langsung mengingatkan ibu untuk memaafkan
Malam minggu yang indah, mereka berlima sudah kumpul di belakang rumah sambil membakar jagung. Ayu sama Dian duduk di kursi yang memang selalu mereka tempati membiarkan tiga lelaki itu mengurus semuanya.Bak putri Raja, mereka diperlakukan dengan baik. Bagaimana tidak, Ayu sedang mengandung dan juga sahabat mereka bertiga sementara Dian adalah saudara sematawayang Dani apalagi mereka kembar, dia juga masih menyandang status sebagai pengantin baru."Ternyata kita emang gak pernah tahu bagaimana takdir itu bermain. Kalau saja aku tahu kalau Gio bakal jadi jodohmu, maka aku tidak perlu dekat sama dia. Cukup sebagai teman dan semuanya akan baik-baik saja.""Jangan bahas itu, ah, jadi gak enak. Semuanya sudah berlalu, baik aku atau pun kamu yang jelas kita sama-sama berjalan di takdir-Nya.""Iya, aku tahu itu, Dian. Sekuat apapun kita berpegang pada keinginan, pada akhirnya akan berdiri dalam kehendak-Nya. Dan aku bersyukur karena punya suami sebaik Akbar. Anggap aja gak pernah ada apa-apa
Minggu yang cerah, tetapi tidak secerah hati Dian saat ini. Sejak tahu kalau mertuanya akan kembali, dia menjadi takut bahkan untuk tinggal di rumah bambu.Magrib kemarin sepasang suami istri itu diskusi untuk pindah ke luar kota saja. Gio juga takut kalau misal tinggal sama ibunya lalu mengenalkan Dian pada lelaki hidung belang.Kalau sampai hal itu terjadi, maka mereka pasti terlibat perceraian. Bukan hanya mertua, bahkan Dani pun mungkin bakal memaki Gio. Lelaki itu sudah berjanji di hari pernikahan untuk melindungi Dian dari ibunya, jadi keputusan untuk pindah ke luar kota sepertinya sudah benar."Bagaimana dengan Ayu, Gio? Kasian dia kalau kita tinggal, kamu tahu sendiri kan Ayu lagi hamil dan kalau ada apa-apa?""Ayu punya keluarga, Dian. Ini demi kebaikan kita juga. Kalau kita pergi, semua akan baik-baik saja, percaya sama aku. Lagian Bu Nur pasti ngejaga anaknya, kan?"Dian menghela napas, sepanjang malam dia tidak bisa tidur memikirkan hal itu. Dia sangat sayang pada Ayu samp
Acara mereka batal karena Gio ditelepon oleh ibunya. Rupanya dia sudah tiba tanpa memberi kabar dan hal itu membuat Dian semakin ketakutan. Dani memang ada di sana, tetapi akan melakukan apa sementara dia belum tahu apa yang akan terjadi? Sepasang pengantin baru itu langsung kembali ke rumah. Dia melihat sebuah mobil fortuner terparkir rapi di depan rumah. Gio kesal karena ibunya terus cinta pada dunia dan sangat sulit untuk diingatkan. "Oh, Gio. Menantu ibu mana, coba sini kenalin!" sapa Bu Dania begitu mereka berdiri melewati pintu. Dia tersenyum pada Dian, dalam hatinya ada sedikit kebahagiaan karena Gio sudah menikah dan Ayu bukan pilihannya. Akan tetapi, dia juga merasa sangat kesal karena dengan menikah, Gio pasti akan tinggal jauh darinya. Bu Dania tidak akan membiarkan hal itu terjadi, dia akan bersikap baik pada Dian, lalu mengusirnya dalam sekali tendang. "Ibu pulang kok gak bilang-bilang?" "Loh, memangnya kamu mau ngejemput kalau ibu bilang? Nggak, kan, karena pasti kam
Sore hari, Dani bertamu ke rumah Ayu. Mereka bertiga duduk di teras rumah menikmati suasana langit yang mendung. Kedatangannya merupakan permintaan dari sang adik sematawayangnya."Jadi Dian sudah benar-benar pindah? Lah kok gak ngabarin kita kalau langsung pergi hari ini biar nyusul ke rumah kamu? Kan pasti tadi mampir ke rumahmu, kan?" tanya Ayu begitu Dani selesai bercerita."Iya, Dian minta maaf karena tidak memberi kabar. Itu saran dari Gio sebab kalau ibunya melihat kalian keluar rumah, maka tidak menutup kemungkinan dia akan mengikuti kalian dari belakang, bukan?""Tapi kami berdua aman di sini, kan? Takutnya kalau Akbar ke tempat kerja, aku malah diserang.""Aman kok, insyaa Allah. Gio yakin ibunya tidak akan melakukan hal berlebihan lagi. Entah mengapa Gio seyakin itu."Ayu menghela napas berat. Dian benar-benar pergi dari hidupnya dan seperti kata Dani sebelumnya bahwa alamat mereka tidak ingin diketahui siapapun jangan sampai ketahuan oleh Bu Dania.Sudah tidak ada lagi tem
"Gini, Tan. Aku sebenarnya ada sesuatu untuk disampaikan berhubung kita bertemu dan aku rasa sudah saatnya. Kalau boleh, tante mau duduk dulu?"Bu Dania menghela napas, dia merasa malu untuk duduk dengan sahabat anaknya di mana dirinya sendiri jauh dari Gio apalagi untuk tahu bagaimana perasaannya tanpa diungkapkan dengan jujur.Setelah Akbar mengambil kursi dalam rumah dan Bu Dania ikut duduk, Dani langsung berkata, "sebenarnya Gio selalu memikirkan ibunya. Setiap hari dia akan bercerita bagaimana bahagianya seorang anak yang dimanjakan ibunya.""Aku gak memanjakan Gio bukan berarti gak sayang sama dia. Harusnya Gio sendiri tahu kalau aku kerja demi dia, supaya dia bahagia dan gak perlu mikir tentang kehidupan.""Tan, apa Tante sadar kalau selama ini Gio gak hidup mewah? Lihat saja motornya, itu dibeli pakai uang sendiri dan sudah lama gak diganti-ganti. Padahal kalau saja mau menerima uang dari Tante, tentu dia sudah punya mobil Pajero mungkin. Gio tidak pernah menerima uang itu dan
Saat sedang membongkar lemari karena mencari kalung liontin pemberian ibunya, Ayu menemukan sebuah amplop kecil terselip di antara tumpukan baju Akbar. Tangannya segera menyambar dengan rasa penasaran.Sebuah amplop lusuh, di beberapa sisi sudah ada robekan kecil yang menandakan benda itu memang sudah lama. Warnanya pun tidak lagi putih, tetapi kekuningan."Shanum?" gumam Ayu membaca nama itu di pojok kanan ampop.Rasa curiga tiba-tiba hadir mengusik pikirannya, Ayu lekas membuka amplop itu dengan hati-hati dan menemukan selembar kertas beserta sebuah foto berukuran kecil. Seorang gadis yang terlihat anggun dengan senyum menawan.Ayu kemudian menajamkan pandangan karena tidak mau salah sangka. Dia membaca rangkaian kalimat dalam kertas yang juga lusuh itu.____Wa'alaykumussalam, Akhi.Ana sudah membaca surat dari antum, terimakasih atas kejujurannya. Kalau benar antum serius seperti yang ada di surat itu, maka ana bersedia menunggu.Jujur saja, ana tidak suka berharap kepada manusia
Sampai selesai makan malam, Ayu tidak pernah membahas perkara Shanum lagi karena Akbar pun seperti enggan menjelaskan. Wanita berbadan dua itu memilih diam saja untuk menenangkan pikirannya.Ah, bukan malah tenang, dia malah semakin kepikiran. Dia sengaja menyibukkan diri dengan membaca al-qur'an magrib tadi agar tidak diganggu dan tepatnya belum siap menerima kenyataan.Ayu tahu, untuk mendengarkan sebuah penjelasan dari sang suami membutuhkan hati yang lapang untuk menerima segala konsekuensi. Jangan sampai ternyata Shanum adalah istri sirinya dulu, atau mungkin mantan kekasih yang saat ini masih mengganggunya.Kalau lah Shanum bukan orang penting, maka tidak mungkin surat dan amplop lusuh itu masih disimpan rapi bahkan sampai beberapa bulan setelah pernikahannya. Jika saja Shanum sudah meninggal, maka seharusnya Akbar berani menceritakan perkara itu lalu melupakannya.Wanita mana yang tidak cemburu saat tahu suaminya menyimpan kenangan dengan wanita lain. Memang sebuah kebenaran ka
Sepuluh tahun berlalu, kini Ayu sudah berkepala tiga. Dia sedang duduk di sebuah kursi taman berwarna putih di belakang rumahnya. Wanita itu sibuk menyulam rindu untuk kedua orangtua yang kini telah tiada.Rasanya waktu bergulir begitu cepat, dia tidak lagi muda dan kuat seperti dulu. Meski usia tiga puluh tahun lebih belum termasuk menua, tetapi pada anak remaja saja sudah banyak yang mengeluh lutut sakit atau kekurangan pendengaran."Bunda!" teriak seorang anak lelaki yang begitu mirip dengan Akbar. Usianya baru menginjak tahun ke delapan dan saat ini masih duduk di bangku kelas dua SD.Di belakangnya menyusul lelaki tampan yang selalu membersamai Ayu selama ini. Dia menggendong seorang gadis kecil yang matanya seindah milik Ayu. Usianya baru menginjak dua tahun pada pekan lalu.Anak kedua mereka bernama Syafiq dan anak ketiganya bernama Aisha. Meski sudah ada dua pengganti atas kepergian Yafiq, tetapi Ayu selalu dipanggil sebagai Bunda Yafiq."Anak bunda sudah pulang?""Iya, Bun. T
Tujuh bulan berlalu tanpa terasa dan proses pemulihan Ayu sudah selesai. Sekarang dia bisa bergerak sesuka hati meski Akbar selalu melarangnya untuk mengangkat beban berat. Selain karena dia perempuan, Akbar selalu takut terjadi sesuatu pada sang istri.Aktivitas mereka kembali seperti dulu sekalipun Ayu tetap banyak diam di rumah. Jika dulu ada Dian yang menemani, sekarang tidak lagi. Bahkan sahabatnya itu semakin jarang memberi kabar.Benar kata orang dahulu bahwa setelah menikah, mereka akan semakin jarang bertemu atau kumpul dengan sahabat karena kini prioritasnya berbeda. Terlebih jika dirinya bukan wanita karir maka akan semakin sedikit waktu untuk ketemu di luar.Selama tujuh bulan itu pula, Ayu selalu mendapat kebahagiaan dari perhatian penuh dari suami dan keluarganya. Dia juga dipanggil Bunda Yafiq oleh tetangga dan rekan kerja suaminya."Sayang, aku ada kabar gembira nih!" seru Akbar ketika baru pulang dari bekerja.Ayu yang sedang menonton televisi lantas berdiri dan mengh
Ayu membuka mata perlahan. "Benarkah Steva sudah pulang?""Iya, dia minta maaf karena tidak bisa menghindar. Steva mengaku kalau dirinya betul-betul tidak sengaja."Wanita itu mengangguk lemah, dia tersenyum karena pada akhirnya keputusan yang Akbar pilih jauh lebih baik dan menenangkan hati. Ayu yakin kalau Steva sungguh-sungguh dalam meminta maaf.Akbar pun mengeluarkan ponsel dan menyalakan rekaman suara Steva. Dua menit setelahnya terdengar ketukan di pintu utama membuat lelaki itu beranjak cepat."Masuk dulu, Dan!""Gak usah, lebih baik istirahat dulu, yang penting sekarang kita sudah tahu kalau Steva meminta maaf. Motor Gio sudah aku kembalikan dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal telepo aku, kali aja bisa ngebantu.""Ya udah, barangkali kamu juga sibuk."Dani mengacungkan kedua jempol sebelum menghilang dari pandangan Akbar. Lelaki itu bahagia karena ternyata kejadian yang menimpa sahabatnya tidak melibatkan Dian juga Gio. Akan tetapi, dia masih harus merahasiakan sesuatu.Dani
Dani dengan gerak cepat turun dari motor dan menarik Steva. Motor Gio dibiarkan jatuh sementara gadis itu Dani tarik kasar masuk ke halaman rumah Ayu.Akbar dengan sigap menyalakan rekaman suara untuk menjadi bukti kalau gadis itu yang bersalah. Tidak lupa dia berlari masuk ke belakang rumah untuk mengambil tali dan mengikatnya di kursi depan rumah.Dia tidak lagi peduli apakah gadis itu akan merasakan malu atau tidak, satu hal yang pasti dia harus menyesali perbuatannya. Motor Gio diambil oleh Dani dan memarkirnya di depan rumah Ayu."Kenapa kalian mengikatku, hah?!" teriak Steva kemudian setelah sadar dengan apa yang terjadi."Katakan, Ste. Kamu sengaja menabrak Ayu hari selasa kemarin, kan?" Dani langsung mengintrogasinya. "Tidak perlu mengelak karena aku hadir sebagai saksi di sana.""Tidak, kamu salah!""Apa perlu kutunjukkan bukti CCTV di tempat kejadian itu?" Dani sengaja menyeringai tajam agar Steva ketakutan. "Rupanya kamu tidak kenal kata lelah untuk berbuat jahat, ya. Setah
"By, jangan begitu. Entahlah, aku merasa terlalu kejam untuk memenjarakannya.""Terlalu kejam? Ayolah, Ay, ini bukan kejam. Mereka yang terlibat memang pantas mendapat hukumannya. Apa kamu pikir pembunuhan itu kesalahan kecil dan bukan dosa besar?""Sayang ... aku tahu itu kesalahan besar dan pelakunya wajib dipenjara, tapi apa kamu tahu kalau aku juga bersalah? Aku yang lari ngejer kamu di keramaian tanpa melihat ke kanan dan kiri jalan. Dia seperti gak sengaja nabrak aku, makanya lari begitu. Meskipun kita tahu Steva itu jahat, bisa jadi dia memang tidak sengaja. Aku yang salah dan kalau saja tidak lari ke jalan, dia gak bakal nabrak, kan?"Akbar menepuk jidatnya. "Kamu lari karena ada sebabnya, kan? Kalau aja laki-laki itu gak ada ngegoda kamu, mana mungkin kamu ngejer aku. Paling menunggu di tempat. Nah, di saat itu lah mereka kerja sama.""Tapi Bu Dania gak ada di sini, masa iya kerja sama. Mending daripada kita ikut disalahin sama pak polisi, gak usah usut perkara itu. Biar kita
"Dan, kamu bisa ke sini gak?" tanya Akbar via telepon. Dia ingin meminta bantuan serta saran dari Dani berhubung sekarang hari minggu, jadi tentu sahabat istrinya itu memiliki waktu luang."Bisa. Jam sepuluh ya soalnya masih cuci motor ini. Tapi mau bahas apa?""Gak denger kabar Ayu, Dan?""Enggak, kenapa sama Ayu?" tanya Dani lagi masih di balik telepon.Akbar tidak menceritakannya sekarang, dia meminta Dani untuk datang saja karena cerita di telepon bisa membuat salah faham. Begitu telepon ditutup, lelaki itu langsung melangkah cepat ke kamar menemui istrinya.Ayu yang sudah selesai memakai jilbab mengulurkan tangannya. "Anter ke depan mau jemuran.""Eh gak boleh. Orang abis caesar gak boleh kena paparan sinar matahari langsung. Mending latihan jalan lagi atau gak makan tempe sama minum susu biar cepet kering lukanya.""Boleh.""Gak boleh, Ay.""Boleh.""Enggak, Sayang."Ayu cemberut karena kali ini keinginannya tidak dituruti. Akbar yang super peka langsung duduk di tepi ranjang me
Jam sudah menunjuk angka empat sore. Tepat ketika Akbar selesai salat asar, dia langsung membantu sang istri untuk bangun. Mereka menuju ruang tengah dan latihan jalan di sana.Ayu memejamkan mata kuat karena perutnya sedikit merasakan nyeri. Namun, dia harus bertahan untuk sembuh karena kata dokter, semakin sering beraktivitas, maka mempercepat pemulihan.Akan tetapi, Ayu juga diingatkan untuk tidak bergerak lebih lama jangan sampai lelah atau melakukan aktivitas berat. Akbar pun terlihat tidak ingin melepas tangan istrinya walau sedetik."Susah, By. Susah geraknya.""Enggak, kok. Kita latihan lagi ya. Kamu ingat pesan ibu tadi siang, kan? Harus semangat untuk sembuh biar Allah kabulkan doa kita.""Kok ibu cepet pulangnya, By? Aku aja gak liat ibu pulang gara-gara ketiduran." Ayu sedikit memanyunkan bibir karena masih rindu pada ibunya."Loh kan ada aku di sini. Kemarin waktu aku kerja kan ibu lama nemenin kamu." Akbar menghela napas. "Lanjut lagi, Sayang."Perlahan Ayu mengangkat ka
Lima hari di rumah sakit, Ayu sudah diperbolehkan pulang. Meski sudah bisa makan, tetapi rasa nyeri itu selalu ada terutama ketika mau buang air. Padahal sejak zaman gadis, dia selalu berprinsip untuk menghindari caesar.Bagaimana tidak, dia tahu bagaimana sakitnya setelah obat bius hilang dari cerita teman-temannya. Apalagi resiko yang sangat besar harus dia lalui termasuk banyaknya pantangan yang wajib dihindari.Ayu ingin membuang napas kasar, tetapi takut menimbulkan rasa nyeri lagi. Membayangkan saja sudah membuat wanita itu merasa ngilu. Sekarang pun dia harus membuka mulut untuk menerima suapan dari suami tercinta."Kamu harus banyak makan protein, Sayang, biar jahitannya cepat kering. Jangan nonton atau baca buku humor dulu, harus semangat untuk sembuh. Sore nanti kita latihan jalan lagi, ya?""Sakit.""Enggak, kok.""Enggak, enggak. Kamu mana tahu, aku yang ngalamin, By! Sakit asli kalau nyeri datang lagi, serasa dikoyak-koyak. Duh, ngilu."Akbar tersenyum membenarkan Ayu kal
"Iya, kamu akan selalu salah di mata orang yang tidak suka atau tidak mengerti kamu. Tapi saya yakin kalau istrimu tidak akan menyalahkanmu," lanjut Pak Hatta."Benar begitu, Pak? Apa istriku gak bakal marah kalau dia sudah sadar?""Iya, benar. Satu yang perlu kamu ingat, Nak, bahwa sepahit apa pun hidup, kita tidak boleh berputus asa. Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup saat sedang depresi, sungguh istrimu saat ini begitu ingin untuk sembuh dan tertawa bersamamu lagi. Kamu percaya?""Bagaimana kalau aku sulit percaya, Pak? Mertuaku saja menyalahkan aku termasuk beberapa orang yang ada di lokasi kejadian tadi.""Maka paksa dirimu, paksa hatimu untuk percaya. Semua yang terjadi di muka bumi adalah takdir dari Tuhan. Mereka menyalahkanmu mungkin karena masih shock. Kalau saja istrimu kecelakaan saat bersama sahabatnya, kamu pasti refleks menyalahkannya juga, kan?"Akbar kembali menangis, ada amarah dalam hatinya untuk menghabisi lelaki yang berani menyentuh istrinya. Kalau saj