Hari ini nasib Basti tak jauh lebih sial dengan Raline. Mereka sama-sama pergi mencari pekerjaan, tapi sama-sama gagal.
Hanya saja Raline pulang lebih awal dari pada Basti yang pulang setelah jam makan malam sudah lewat.
Basti terlihat kusut malam ini. Dia pulang dalam keadaan yang cukup memprihatinkan setelah tadi sempat terkena sasaran amukan seorang pengendara bermotor yang kesal padanya karena menyeberang jalan sambil melamun.
Alhasil, dia mendapat tanda mata dari si pengendara motor berupa bogem mentah di pelipis kirinya.
"Ya ampun Bas, pipi kamu kenapa biru begini?" tanya Rani yang langsung berhambur ke arah Basti saat menantunya itu muncul dari balik pintu.
"Nggak apa-apa Bu," jawab Basti pelan lalu permisi untuk masuk ke dalam kamarnya.
"Makan dulu, Bas?" ucap Rani lagi sebelum Basti benar-benar pergi.
"Iya, Bu. Basti mau mandi dulu,"
Sebelum masuk ke dalam kamar, Basti sempat mendengar percakapan antara Ibnu dan Rani di ruang Tv.
"Nanti kita cari jalan keluarnya Bu. Kita pinjam uang di Bank saja. Soalnya, karena kejadian itu Bapak jadi di pecat dan harus ganti rugi juga. Orang yang Bapak tabrak itu mau menuntut melalui jalur hukum kalau Bapak tidak menyanggupi biaya ganti rugi yang dia ajukan,"
"Jahat sekali dia. Padahal dia tahu Bapak cuma supir taksi, kok bisa-bisanya dia meminta uang ganti rugi sebanyak itu?" ungkap Rani dengan nada sedih, bingung, bercampur marah.
Basti merasa penasaran dengan masalah yang sedang dihadapi Bapak dan Ibu mertuanya itu. Tapi, kalaupun dia tahu apa masalah yang kini sedang dihadapi ke dua Ibu dan Bapak mertuanya itu, dia sendiri tidak akan bisa membantu. Jadi, lebih baik dia diam dan berpura-pura tidak tahu saja.
Akhirnya, Basti pun memilih untuk masuk ke dalam kamarnya, di mana Raline sedang menerima telepon. Basti sempat melihat Raline tertawa di telepon itu, meski tawa itu kian memudar seiring kehadiran dirinya di kamar itu. Bahkan, Raline justru memilih keluar tanpa sedikit pun perduli pada wajah suaminya yang bonyok serta kemeja putih Basti yang kotor dan kusut.
"Iya-iya sebentar Mas, aku mau pindah dulu," ucap Raline pada lawan bicaranya ditelepon tepat saat dia berjalan melewati Basti.
Setengah jam berlalu, Basti sudah selesai mandi dan dia sengaja menunggu Raline masuk ke dalam kamar. Sepertinya, dia perlu bicara serius dengan Raline malam ini.
Tak lama setelah itu, Raline terlihat masuk ke dalam kamar dengan senyuman yang sempat terukir di wajah manisnya. Meski senyuman itu tak bertahan lama dan langsung memudar begitu tatapannya tertuju pada lelaki yang kini resmi menjadi suaminya.
"Kamu habis teleponan sama siapa?" tanya Basti dengan nada suaranya yang dia usahakan selembut mungkin. Padahal dalam hati, Basti tahu dia sedang dilanda rasa cemburu. Hatinya terbakar saat dia harus mendengar pembicaraan Raline di telepon itu.
Sebab, beberapa menit yang lalu saat dia baru saja keluar dari kamar mandi, Basti sempat menguping pembicaraan Raline di belakang rumah. Dan amarah Basti semakin nyata ketika dirinya harus mendengar Raline yang memanggil lawan bicaranya di telepon dengan panggilan Mas.
Apa-apaan?
"Lin, kamu habis teleponan sama siapa tadi?" tanya Basti mengulang pertanyaannya yang tak kunjung di jawab oleh Raline. Wanita itu justru sibuk mengetik-ngetik sesuatu pada ponsel di tangannya sambil menyambungkan charger ponsel itu ke stop kontak. Raline duduk di tepi jendela kamarnya.
Basti yang kesal karena merasa di acuhkan jelas tidak mau tinggal diam. Dia mengambil ponsel di tangan Raline secara paksa. "Aku bicara sama kamu, Lin! Tolong hargai aku sedikit!" katanya dengan nada yang mulai meninggi. Emosinya mulai terbaca oleh Raline.
"Hargai?" Raline tertawa hambar dengan wajah yang melengos cuek. Seolah-olah apa yang baru saja dikatakan suaminya adalah hal yang lucu. Sangat lucu, bahkan. "Setelah apa yang kamu lakukan padaku, lalu kamu bilang aku harus menghargai kamu? Kamu sedang melawak apa sedang mengigau? Hah?" teriak Raline tepat di depan wajah Basti. Mata wanita itu melotot dengan tatapan sarat emosi. Ke dua sisi rahangnya mengeras.
"Tapi aku suamimu sekarang, Lin," bahu Basti merosot seketika. Suaranya kali ini terdengar lemah. Selemah dirinya yang memang tak memiliki daya apapun saat ini. Harga dirinya sebagai kepala rumah tangga benar-benar tak bisa dia pertahankan. Basti sadar, kesalahan yang telah dia lakukan memang sudah sangat fatal. Tapi, entah mengapa, relung hatinya menentang keras hal itu. Ada sebagian dalam dirinya yang mengatakan bahwa bukan dia pelakunya. Bukan dia yang sudah memperkosa Raline. Meski, hal itu tidak bisa dia buktikan. Basti benar-benar terjebak dalam dilema yang berkepanjangan. Dilema yang membuatnya hampir putus asa.
"Lalu? Kamu mau apa dariku sekarang?" tanya Raline menantang. Dagunya terangkat ke atas. Dia menatap Basti dengan penuh keberanian. Bahkan kini, Raline terlihat mulai membuka satu persatu kancing baju teratasnya. "Kamu mau tubuhku? Kamu mau aku menunaikan kewajibanku sebagai seorang istri? Iya? Oke, akan aku lakukan!"
Basti berjalan mundur karena Raline kini terus berjalan maju ke arahnya, hingga akhirnya, langkah Basti terhenti saat tubuhnya mentok di pintu kamar.
Raline sudah membuka kaus hitamnya dan menyisakan bra merah yang menutupi payudaranya yang ranum dan begitu menggiurkan. Tatapan amarahnya kian menjadi-jadi. Menguliti setiap jengkal wajah laki-laki bajingan dihadapannya. Jika memang dia harus menjadi seorang pelacur, Raline akan melakukannya malam ini. Bukankah harga dirinya sudah hancur berantakan, terkoyak hingga ke akar-akarnya. Bagi Raline tubuhnya kini sudah tak lebih dari sebuah barang yang bisa di nikmati sesuka hati. Tak berharga. Tak bernilai sama sekali. Jadi untuk apa dia malu?
Manusia biadab ini sudah meluluhlantahkan harga dirinya, kehormatannya sebagai seorang wanita. Sampai Raline sempat berpikir bahwa dirinya kini hampir gila.
Gila karena terus menerus larut dalam kesedihan yang sama.
Di saat dia tahu, bahwa dirinya telah di nodai oleh laki-laki yang jelas-jelas begitu dia cintai selama ini. Satu-satunya laki-laki yang telah mendiami relung hatinya yang kosong dan telah tinggal di sana untuk waktu yang cukup lama. Satu-satunya laki-laki yang dia harap bisa menjadi tumpuan harapan manis dalam kehidupannya di masa depan.
Hingga pada saatnya, Raline terbangun dari semua mimpi-mimpi indahnya itu. Dia terbangun, dalam keadaan yang begitu mengenaskan. Dia terbangun, saat mahkota sucinya telah di renggut secara paksa bahkan tanpa permisi. Dan sejak itulah, seluruh perasaan cintanya pada Basti musnah seiring dengan pupusnya asa yang terganti oleh perasaan benci yang tiada tara.
Raline memang mencintai Basti, tapi dia tetap tidak bisa menerima kenyataan jika Basti harus memperlakukan dirinya serendah itu.
"Ayo jamah aku! Ayo perkosa aku seperti waktu itu! Sekarang kamu bisa melakukan apapun terhadapku, Bas! Nggak akan ada yang menyalahkanmu! Ayo! Lakukan!" perintah Raline lagi. Teriakannya bahkan terdengar keluar.
Rani dan Ibnu hanya bisa menangis mendengar teriakan anaknya dari dalam kamar.
"Bukan aku pelakunya, Lin! Bukan aku yang memperkosa kamu! Harus berapa kali lagi aku bilang?" ucap Basti pada akhirnya.
Basti memungut pakaian Raline yang tercecer. "Pakai baju kamu, Lin!" perintah Basti seraya melempar tank top Raline ke arah wanita itu. Sebenarnya Basti sendiri tidak ingin munafik. Sebagai seorang suami jelas dia menginginkannya. Dia ingin Raline malam ini. Tapi, bukan atas dasar keterpaksaan wanita itu. Basti tidak ingin menjadi laki-laki egois yang mementingkan nafsunya daripada perasaan wanitanya sendiri. Basti ingin, seandainya memang hal itu harus terjadi, semua atas kehendak Raline sendiri. Basti berharap Raline bisa benar-benar menerimanya.
Basti mencoba menghindar. Dia memalingkan wajahnya dari hadapan Raline sebelum dia benar-benar dibakar hasratnya sendiri. Sungguh, perasaan ini sangat menyiksanya.
"Kalau memang bukan kamu pelakunya, lalu untuk apa kamu bersedia menikah denganku? Kamu kan anak dari Ibu Helen yang terhormat dan berkuasa, kenapa kamu nggak menyewa pengacara untuk membebaskanmu dari hukuman penjara? Kenapa, Bas?" Raline memakai kembali tank topnya. Air mata wanita itu mulai menggenang.
"Harus aku menjawab kenapa?" ucap Basti dengan suaranya yang mulai terdengar parau. Bola mata coklat maroon laki-laki setengah bule itu mulai berkaca-kaca. Dia kembali menatap ke arah Raline.
Raline terdiam untuk beberapa saat. Dia mencoba mencerna kembali pertanyaanya sendiri. Dan menerka kemungkinan yang akan di ucapkan oleh Basti. Meski setelahnya dia berusaha untuk tidak benar-benar perduli. Sebab alasan apapun yang akan di ucapkan oleh Basti, tak akan mampu melunturkan perasaan bencinya terhadap laki-laki itu.
"Aku cuma mau kamu yang dulu, Lin. Aku rindu Raline yang dulu. Raline yang periang dan selalu menjadi alasanku untuk tersenyum. Aku cuma mau kamu melupakan kejadian itu. Kita mulai semuanya dari awal. Cuma kamu dan aku. Aku mau kamu terima aku apa adanya, Lin... Itu aja," Basti kembali berbalik dan menatap Raline yang kini berdiri dengan wajah yang terus menunduk. Basti tahu, Raline sedang menangis.
"Aku mencintaimu, Lin. Aku nggak mau kamu menjalani kehamilanmu tanpa seorang suami. Aku nggak mau kamu, Ibu dan Bapak malu akibat kehamilanmu itu. Itulah sebabnya, aku memilih untuk pergi dari rumah dan terpaksa meninggalkan segalanya. Mengenai masalah uang tabungan kuliahmu yang terpakai untuk biaya pernikahan, aku janji akan menggantinya secepat mungkin. Aku akan berusaha untuk segera mendapat pekerjaan. Aku yang akan membiayai kuliahmu nanti, Lin..." Basti mulai berjalan mendekat ke arah Raline. Meski dia belum memiliki keberanian untuk menyentuh tubuh istrinya.
Detik dan menit berlalu, mereka masih saling diam dalam kebungkaman masing-masing. Masih saling merenungi apa yang seharusnya dilakukan.
Hingga setelahnya, wajah Raline perlahan mulai terangkat. Mata hitam wanita itu terlihat sembab dan sedikit memerah. Ditatapnya Basti dalam-dalam. Seolah mencari kebenaran atas apa yang baru saja laki-laki itu katakan.
"Maaf, Bas. Apapun alasan yang kamu katakan, hatiku tetap nggak bisa menerimanya. Kejadian malam itu seolah mendarah daging di dalam diriku, bahkan setiap kali aku memejamkan mata, aku seolah melihat siluet kejadian malam itu dengan begitu nyata! Kesakitanku malam itu sungguh tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, Bas... Aku hancur Bas..." Raline menelan salivanya yang terasa pahit. Kejadian itu sungguh menyisakan trauma mendalam bagi diri Raline. Sulit baginya untuk melupakan semuanya. Terlebih, dengan keberadaan Basti di sisinya sekarang.
"Apa yang bisa aku lakukan supaya kamu bisa melupakan semuanya, Lin? Apa yang bisa aku lakukan supaya aku bisa melihat Raline yang dulu kembali," tanya Basti dengan penuh keyakinan. Dan apapun jawaban Raline, dia akan mengabulkannya. Jika memang itu yang terbaik.
"Menghilanglah dari pandanganku, Bas... Untuk selama-lamanya..."
Dan Basti pun tertegun.
Keesokan harinya, Basti memutuskan untuk pergi ke luar kota. Setelah semalam, dirinya dan Raline sudah membuat kesepakatan bersama.Meski setelahnya Basti menyesali kesepakatan itu.Basti tidak memiliki pilihan lain. Jika itu satu-satunya jalan keluar yang terbaik bagi Raline, Basti tidak bisa berbuat apa-apa. Bukankah tujuan Basti adalah membahagiakan Raline?Jika dengan menjauh dari hadapan Raline bisa membuat Raline bahagia, maka Basti akan melakukannya. Walau dia sendiri belum yakin dengan apa yang akan dia lakukan di Makassar nanti, karena sebelumnya Basti memang belum pernah ke sana. Dan alasan yang membuat Basti memilih Makassar sebagai tujuan persinggahannya, karena di sana dia memiliki kerabat yang bisa dia jadikan tumpuan hidup, sebelum dia benar-benar m
"Ini, Bu rumahnya," beritahu Hans pada sang majikan. "Saya masuk duluan ya, Bu?" ucap lelaki itu lagi.Setelah mendapat komando,Hans keluar dari dalam mobil dinas yang dikendarainya. Sebuah mobil dinas milik seorang wanita paruh baya berparas cantik yang kini menjabat sebagai Gubernur DKI. Hans melangkah masuk ke dalam rumah yang dia maksudkan tadi.Seorang wanita berseragam dinas harian bermotif batik dengan sebuah jilbab maroon yang terlilit rapi di dalam kerah bajunya terlihat melongok dari dalam mobil dinasnya. Dia memperhatikan Hans yang kini sedang mengetuk-ngetuk pintu rumah dihadapan mereka sambil mengucapkan salam.Seorang laki-laki berjas hitam dengan potongan rambut cepak terlihat keluar dari dalam mobil lain di belakang mobil Dinas Toyota land cr
Malam ini, keluarga Kisyan kembali kedatangan tamu. Rumah sederhana itu terlihat ramai oleh tamu-tamu mereka."Ini, nih Mah, yang namanya Aksel. Dia ini anak Pak Johanes, rekan usaha Papa di Jakarta dan ini Kakaknya Aksel, namanya Marcel. Dia ini stylish jebolan The John's Salon. Jago make over dan sudah terkenal namanya di kalangan artis-artis ternama sekarang, Mamah mau di make over nggak sama Marcel, biar tambah cantik?" jelas Narendra, suami Kisyan. Dia melirik genit ke arah Kisyan yang langsung mencubit perutnya.Kisyan berkenalan dengan Aksel dan Marcel."Aksel ini masih kuliah atau sudah bekerja juga?" tanya Kisyan setelah dia mempersilahkan para tamu-tamunya itu untuk duduk."Aku sekarang, bekerja sebagai kru film Tante. Sebagai Casting Director," jawab Aksel dengan suara bassnya."Wah, Om Aksel sering ketemu
Satu bulan kemudian...Kisah RalineSatu bulan belakangan cukup menjadi waktu yang panjang bagi Raline melewati masa-masa sulit dalam hidupnya. Saat dirinya harus terpaksa berlelah diri mencari pekerjaan dalam keadaan hamil muda.Bahkan tanpa adanya peran suami di sisinya.Namun, semua ini terjadi atas kehendak Raline sendiri. Meski terkadang, ada saatnya dia merasakan kerinduan menusuk relung hatinya yang terdalam.Basti telah benar-benar mengabulkan permintaan Raline untuk menghilang dari pandangannya. Laki-laki itu pergi bahkan tanpa dia berpamitan pada Raline."Lin, Raline?" teriak Rani dari luar rumah. Wanita sete
Perjalanan dari London menuju Indonesia cukup melelahkan.Seorang laki-laki berperawakan tinggi menjulang dengan kostum santai ala ABG kekinian terlihat berjalan keluar dari arah pintu kedatangan luar negeri. Dia menarik kopernya perlahan ke arah luarBandara Soekarno Hatta.Empat tahun ternyata cukup membuatnya merasa asing dengan tanah airnya sendiri. Kehidupannya yang serba bebas di London cukup menjadikannya pribadi yang berbeda.Dia bukan laki-laki sepolos dulu yang bahkan tidak tahu rasa dan caranya berciuman.Dia bukan laki-laki selugu dulu yang kesehariannya hanya dia habiskan untuk belajar dan berkutat mencari uang di jalanan.Dia bukan laki-laki sebodoh dulu yang cuma bisa menangis saat hatinya tersakiti karena cintanya yang bertepuk sebelah tangan.Kini, dia adalah seorang laki-laki dengan segala kepribadian yang sempurna. Bermodalkan gelar master yang dia peroleh saat ini, dia percaya bahwa hidupnya akan berubah seratus delapa
Malam ini, Rani dan Ibnu sungguh di buat terkejut dengan kepulangan Basti ke rumah setelah hampir satu bulan lebih laki-laki itu berpamitan untuk mencari pekerjaan ke luar kota.Kedatangan Basti di sambut baik oleh ke dua Ibu dan Bapak mertuanya. Malam itu, Basti membawa banyak barang belanjaan sebagai buah tangan untuk seluruh keluarga Raline. Meski, kedatangannya kali ini hanya untuk mengantar sebuah berita buruk.Surat perceraiannya dengan Raline sudah di tangan, namun belum dia tanda tangani. Entah kenapa, rasanya berat sekali bagi Basti untuk melepaskan Raline. Dia tidak perduli jika dia harus di anggap sebagai seorang laki-laki yang telah ingkar janji, tapi Basti terus berpikir dan mencari cara untuk memecahkan masalah ini tanpa harus ada kata cerai. Hingga akhirnya dia pun memutuskan untuk pulang.Sebelum Basti benar-benar menandatangani surat itu, ada baiknya dia kembali memastikan apa Raline masih tetap pada keputusannya untuk bercerai, atau mungkin ada se
"Aku ke sini cuma mau mengantar surat perceraian kita, Lin..." ucap Basti memecah keheningan yang tercipta di antara dirinya dan Raline sejak lima belas menit yang lalu, sekembalinya sang istri dari kamar mandi.Suasana kian terasa semakin canggung, persisnya setelah insiden tadi. Sebuah insiden yang hampir saja membuat Basti kehilangan kendali dan lepas kontrol, karena saking takjubnya melihat pemandangan indah yang terpampang jelas didepan mata kepalanya sendiri. Sebuah ketidaksengajaan yang memanjakan mata dan menyegarkan pikiran."Tapi aku belum menandatangani berkas itu. Dan alasan aku datang ke sini malam ini, aku cuma mau memastikan lagi, apa iya kita ini memang harus bercerai Lin? Apa nggak ada jalan keluar lain untuk menyelesaikan masalah kita selain bercerai?" lanjut Basti lagi. Dia mulai mengutarakan niat utamanya kenapa dia kembali mendatangi rumah Raline. Sungguh
Raline tahu saat kejadian pemerkosaan itu dirinya tidak benar-benar kehilangan kesadaran. Dia masih bisa mendengar suara-suara di sekitarnya meski samar. Dia masih bisa melihat meski hanya dalam bayang-bayang. Terlebih dia bisa merasakan, saat sesuatu tengah merobek liang senggamanya secara paksa. Menyiksanya tanpa ampun dengan hentakan-hentakan kasar dan penuh keberingasan. Tanpa mereka perduli dengan rintih kesakitan yang terus di teriakan oleh Raline. Suaranya yang sangat pelan jelas tak mampu menyaingi bunyi berisik di dalam ruangan bercahaya redup itu. Dan pada akhirnya, hanya air matalah yang menemani. Seiring berjalannya waktu yang saat itu terasa sangat panjang bagi Raline. Sampai pada saatnya, Raline merasa tubuhnya kehilangan tenaga dan semakin melemah. Hingga setelahnya, Raline benar-benar kehilangan kesadaran dan tak tahu lagi apa yang
Bastian DirgantaraSetelah keluar dari terik matahari yang membakar diri, aku tergelincir jatuh dari tempatku bernaung sebelum ini.Tempat di mana pertama kalinya kita bertemu.Saat itu, waktu seolah berhenti di sana.Aku masih berjalan pada jalur yang sama. Aku masih memandang pada titik yang sama.Langit di tepi pantai ini.Saat aku melihatnya lebih dalam, Langit itu melebur dan berubah menjadi kaca. Tapi setelahnya langit itu membeku dan berubah menjadi sebuah cermin.Langit itu membentuk bayangan wajahmu.Raline Septia Wulandari...Hanya wajahmu, tak ada yang lain.Aku memang berpura-pura telah melupakanmu selama ini, semua itu aku lakukan demi Stella, demi Aksel.Tapi sekarang, aku kembali sendirian. Tanpa mereka. Aksel m
"Bu, ayo dong Bu, cepetan! Ibu lama banget nih dandannya! Kita udah kelaperan tau, Bu..." panggil Delisha yang begitu bersemangat saat dia tahu sang Kakak Devano, mengajaknya ke resort yang dulu pernah jadi milik mereka. Katanya sih mau di undang makan malam sama orang kaya gitu. Terus ikutan nimbrung acara bakar ayam di tepi pantai. Pasti seru banget deh!"Aduh... Ibunya Devano udah kayak Abg aja deh, dandan pake lama daritadi, nanti kita keburu kehabisan makanannya, Bu," kali ini Devano yang protes. Pasalnya, dia sudah mati pegal daritadi harus gendong rindu yang nggak mau di taruh sama sekali."Iya, sabar... Nggak enakkan kalo dateng ke acara resmi Ibu keliatan kucel," Raline mempercepat kegiatan make upnya. Merapikan posisi pakaiannya sekali lagi, barulah setelah itu dia keluar dari dalam kamar.Devano sempat terpana melihat penampilan sang Ibu yang tidak seperti biasanya. Devano memang tidak memungkiri lagi, baginya, Raline adalah wanita tercantik di dunia.
Devano pulang ke rumah dengan wajah sumringah. Nyeri di sekujur tubuhnya seolah tak lagi dia rasa karena saat ini dia pulang dengan membawa berita gembira."Assalamualaikum, Bu, Ibu... Devano pulang, Bu..." teriaknya seraya berlari kecil ke dalam rumahnya yang terbilang sangat sederhana."Asik, Mas Dev bawa makanan," seru Delisha salah satu adik Devano. Delisha dengan sigap merogoh ke dalam kantong plastik yang di bawa sang Kakak. Dia terlihat sangat gembira."Ibu mana, Dek?" tanya Devano pada Delisha saat tak di dapatinya sang Ibu. Sementara ke dua adiknya yang lain, Rania yang baru berumur empat tahun dan Rindu yang berumur dua tahun, terlihat sedang tertidur pulas di kamar."Tadi, Pak De Kahfi ke sini jemput Ibu, katanya sih mau ajak Ibu ke rumah sakit, perginya buru-buru banget, terus Ibu titip Rania sama Rindu ke Delisha. Untung Rindu nggak rewel. Delisha cape daritadi, jagain mereka, Mas lama banget pulangnya, terus itu muka kenapa coba, biru-biru b
"Jangan bawa saya ke kantor polisi, Om. Kasihan Ibu di rumah, Om..." tangis bocah itu terdengar miris. Mengiris hati Basti."Sekarang, kamu tunggu dulu di mobil, Om. Om urus dulu masalahmu dengan orang-orang ini di dalam ya?"Basti mengajak bocah itu memasuki mobilnya di mana Aksel dan Keyra tengah menunggunya di dalam. Dan setelah itu, Basti beranjak kembali menuju resort tadi."Iyyuuuwwhh bauuu! Papah apa-apaan sih? Sampah dibawa masuk ke mobil! Idih!" Keyra berteriak dengan ekspresi jijiknya yang kelewat lebay. Dia menggerutu sendiri dan memilih keluar dari dalam mobil. Aksel pun jadi ikutan keluar. Masalahnya mereka sedang di pinggir jalan raya."Keyra, nggak boleh bicara seperti itu! Ayo masuk lagi, bahaya ini pinggir jalan," ajak Aksel yang mencoba menarik tangan anaknya untuk kembali masuk ke dalam mobil.Keyra menepis kasar tangan sang Bunda. Dia cemberut dan
Delapan tahun berlalu.Semua berjalan dengan baik dan sesuai dengan harapan.Keyra tumbuh menjadi anak yang cantik, manis, pintar, enerjik dan sangat menggemaskan.Aksel menjelma menjadi sosok ibu yang baik dan sangat feminim. Dan hal itu jelas membuat Basti semakin tergila-gila padanya."Kenapa sih, liburan sekolah tahun ini kita cuma ke Jogya? Biasanya juga keluar negeri," gerutu Keyra di jok belakang. Bibir mungilnya terus cemberut di sepanjang perjalanan. Dia memilin kepang kudanya seraya memeluk boneka teddy bear coklat kesayangannya, yang dia beri nama, Devano, sama seperti nama aktor tampan asal malaysia, sahabat Tantenya Anggun, yang sangat dia idolakan."Ke luar negeri kemana lagi sih? Semua penjuru dunia udah kita datenginkan? Sekali-sekali kita liburan di dalam negerikan nggak apa-apa, cantik... Sekalian Papah bisa membantu meringankan pekerjaan Om Bayu,"
Hari berganti. Musim berubah. Waktu berputar pada porosnya. Detik demi detik berlalu. Menyisakan asa pilu yang menggerogoti diri pun mengikis nurani. Penyesalan itu pun datang kian bertubi-tubi.Laki-laki itu tetap diam tanpa kata. Tetap dengan tatapannya yang kosong dan menerawang jauh ke depan.Tubuhnya terlihat lebih kurus, wajahnya tirus dan tidak terawat, hingga di tumbuhi janggut-janggut tebal yang tumbuh tak beraturan di seputaran dagunya. Sinar bola mata coklat maroon itu meredup tak bercahaya bahkan selalu terlapisi oleh cairan bening yang berkaca-kaca. Rambutnya yang awut-awutan dan sudah memutih, terlihat seperti sarang burung yang kotor.Laki-laki itu terdiam dalam duduknya yang tepekur di lantai, di dalam sebuah panti rehabilitasi khusus lansia pengidap gangguan jiwa. Dia terlihat mengukir sebuah nama di lantai itu menggunakan jari telunjuknya.BASTIAN, anakku...Satu titik air matanya jatuh tanpa mampu lagi dia tahan.*
Khalid, Kamal dan Kahfi benar-benar mewujudkan kata-kata mereka.Yaitu, mengurus semua keperluan pernikahan Keanu dan Raline.Hanya dalam waktu satu bulan semuanya rampung secara sempurna.Dan inilah saatnya.Dimana sang adik bungsu mereka mengucap ikrar janji suci di hadapan sang maha pencipta.Acar ijab kabul itu berlangsung sederhana di kediaman Keanu yang dihadiri oleh beberapa kerabat dekat saja. Sebab acara hanya diadakan secara sederhana tanpa ada resepsi apapun.Raline terlihat cantik dalam balutan kebaya putihnya, pun Keanu yang terlihat sangat gagah dalam balutan jas hitamnya serta sebuah peci hitam di kepalanya.Wali hakim di tunjuk sebagai wali pernikahan Raline, sebab Raline tak memiliki sanak saudara laki-laki selain almarhum Ibnu.Acara pagi itu dimulai dengan pembacaan doa oleh penghulu, sebelum acara Ijab dan kabul terlaksana. Setelah lima belas menit pembacaan doa usai, penghulu pun melanjutkan prosesi acara k
Hari ini Raline libur bekerja, begitupun Keanu, yang memang sudah mengundurkan diri dari pekerjaannya. Jadilah, seharian ini Keanu mengajak Raline berjalan-jalan dengan Vixion merah kesayangannya.Keanu mengajak Raline ke sebuah air terjun di daerah bogor.Curug Putri Kencana namanya.Curug yang berada di Desa Karang Tengah, Babakan Madang, Bogor, ini aksesnya cukup mudah dengan kendaraan pribadi, seperti mobil dan motor.Setelah membayar tiket masuk seharga Rp 15 ribu, pengunjung bisa seru-seruan menikmati segarnya air terjun hingga melompat dari jembatan bambu setinggi 10 meter. Bisa juga mendirikan tenda dengan membayar biaya tambahan Rp 15 ribu saja. Dan itulah yang Raline dan Keanu rencanakan. Mereka akan menginap satu malam dengan satu tenda yang telah mereka sewa sebelumnya. Tenda yang mereka dirikan tepat menghadap ke arah air terjun."Dingin banget, Mas airnya," seru Raline seraya mencipratkan air ke wajah Keanu. Membuat wajah Keanu menger
Kayla meninggal dunia.Keanu benar-benar terpukul atas kepergian Kayla, setelah perjuangan panjang dan pengorbanannya selama ini, ternyata Tuhan berkehendak lain.Raline terus menemani Keanu sepanjang prosesi pemakaman Kayla. Sampai laki-laki itu kembali ke rumahnya bersama ke tiga Kakak laki-lakinya.Khalid, Kamal dan Kahfi.Mereka terlihat sangat perhatian terhadap Keanu."Ikhlas, Nu. Kayla udah tenang sama Mamah dan Papah di sana. Dia sudah bahagia sekarang. Jangan di tangisi terus," ucap Khalid sang Kakak tertua. Dia duduk di sebelah Keanu seraya mengelus pelan bahu adiknya."Sekarang giliran lo perhatiin diri lo sendiri. Lo udah berjuang keras demi Kayla selama ini sampai-sampai lo nggak mikirin kehidupan lo. Udah waktunya lo berumah tangga, bahagia..." sambung Kahfi menambahi."Kayla juga pasti bakal seneng kalau liat lo bahagia, iyakan Mas?" kali ini suara Kamal yang terdengar, dia melirik Khalid dengan ke dua alisnya yang naik