“Apa tidak ada pakaian lain yang lebih sederhana? Saya lebih suka gaun yang simple. Atau ada kebaya pengantin biasa yang warnanya putih?” tanya Ambar. Saat ini Ambar tengah mematut dirinya di depan cermin. Tangannya kemudian sibuk menarik-narik kedua sisi gaun yang melekat erat membungkus tubuhnya bagaikan kulit kedua. “Ini juga terlalu ketat,” keluhnya. “Gaun itu pilihan Tuan Alvaro, Nona. Apa perlu saya tanyakan ke beliau lagi untuk pilihan lainnya?” tawar desainer gaun pengantinnya. “Tidak … tidak perlu. Sebenarnya gaun ini sangat cantik dan elegan. Wajar kalau dia memilihnya. Saya hanya tidak terbiasa menggunakan gaun mewah dan terlalu ketat seperti ini.” Sang desainer menatap Ambar dari arah belakang, kemudian dia meminta Ambar berputar. Kepalanya mengangguk sambil mengamati gerakan Ambar, “Sepertinya saya bisa menambahkan sesuatu agar gaun itu tidak tampak terlalu ketat sekaligus membuatnya menjadi lebih elegan. Bagaimana, Nona?” “Iya terserah saja kalau memang tidak mere
‘A-apa maksud Alvaro? Apakah malam ini dia akan meminta haknya sebagai suami?’ batin Ambar.Kali ini bukan hanya jantung Ambar yang berlompatan, tetapi bibirnya mendadak kelu. Dia kehilangan kata-kata dan tak sanggup merespon ucapan Alvaro itu. Tanpa sadar tangan Ambar naik ke pipi yang dirasakannya mulai memanas. Gadis itu bermaksud menutupi pipinya yang merona, tetapi Alvaro mencegahnya, “Tidak usah ditutupi. Biarkan aku dan orang lain menikmati keindahan pipimu yang memerah bagaikan kelopak mawar.” Mata Ambar membulat mendengar kata-kata Alvaro. Dia tidak pernah tahu mantan majikan yang kini menjadi suaminya itu bisa menebar rayuan gombal. ‘Ke mana perginya Alvaro yang sedingin kulkas itu?’ batinnya sambil tetap menatap lelaki itu. Melihat Ambar terpaku menatapnya, Alvaro segera meraih tangan Ambar dan melingkarkan di lengannya. Saat itulah muncul seorang pemain musik yang menggenggam saxophone. Pemusik itu mulai meniup saxophone dan melangkah di depan kedua mempelai. Dengan me
"Kamu menyindirku? Dengar, ya. Aku nggak bakalan jatuh cinta setengah mati kepada seorang perempuan meski dia adalah istriku. Apalagi kalau hanya untuk diselingkuhi!” Alvaro menjeda kata-katanya sebentar untuk menarik napas dan meredam emosinya sebelum melanjutkan, “Jadi kalau kamu menuntut cinta baru kamu mau memberikan hakku sebagai suami, maka lupakan saja!" Selesai membentak Ambar, Alvaro keluar dari kamar hotel dengan membanting pintunya. Ambar melongo melihat Alvaro pergi dengan marah. “Apa salahku? Bukankah dia sendiri yang membuat aturan itu? Jadi kenapa dia marah waktu aku tolak? Lelaki aneh. Labil. Kadang baik kadang ju tek. Terserah deh dia pergi ke mana. Males mikirin. Aku mau istirahat saja,” Ambar menggerutu sambil menata bantal untuk bersandar. Ambar menyalakan televisi dan mencari acara yang dianggapnya menarik. Akhirnya dia memutuskan untuk menonton drama korea favoritnya. Namun, meski matanya melihat ke layar kaca seolah-olah menikmati tontonan itu, sesungguhn
“Aku akan menuntut penjelasan darinya! Apa maksudnya tidak mencariku sama sekali?” Alvaro berkata dengan geram sambil melangkah tergesa-gesa. Aneka pemikiran buruk memenuhi isi kepalanya, bahkan ucapan Siska ibu tirinya yang menyebut Ambar adalah pemburu harta terus terngiang-ngiang di telinganya. “Awas aku akan memberinya pelajaran. Enak saja dia menginginkan hartaku, tapi nggak mau memberikan hakku! Kalau dia tetap ngotot gak mau menyerahkannya dengan suka rela, aku akan merenggutnya dengan paksa. Itu hukuman untuknya!” Alvaro benar-benar sudah menjadi gelap mata. Kemarahannya kepada Ambar membuatnya merencanakan perbuatan jahat kepada gadis itu. Semua ekspresi Alvaro itu tak luput dari perhatian sepasang mata yang duduk di pojok bar. Dia tampaknya sangat mengenal Alvaro terlihat dari kata-kata yang dia gumamkan, “Ada yang aneh. Pengantin baru kok malah nongkrong di bar.” Ketika melihat Alvaro pergi meninggalkan bar, orang tersebut buru-buru turun dari kursinya di depan meja bar
“Tidak perlu … pakaian, tas dan sepatu saya masih bagus-bagus.”“Tapi kamu tetap harus beli lagi. Karena kamu perlu pakaian, sepatu dan tas yang cocok dipakai ke kantor. Mulai besok kamu bekerja di kantor saya. Membantu saya sampai perusahaan mendapat pengganti Tante Siska,” terang Alvaro.Ambar terbelalak dan berteriak, “Apa?” “Kamu apa-apaan, sih! Kenapa berteriak seperti itu?” sentak Alvaro.Pengusaha muda itu lalu menoleh ke sekelilingnya. Dia ingin memastikan tidak banyak orang yang mendengar teriakan Ambar. Alvaro baru menghembuskan napas lega ketika melihat semua orang sibuk menikmati makanannya. “Ma-maaf … saya terlalu kaget mendengar ucapan Anda. Jadinya spontan berteriak. Lagipula wajar kalau saya kaget. Bagaimana mungkin seorang mantan baby sitter seperti saya bisa bekerja di perusahaan apalagi perusahaan sebesar Hadinata Grup?”“Kenapa tidak mungkin? Kamu kan gadis yang cerdas. Pasti kamu bisa mengimbangi ritme kerja perusahaan.” “Saya bukan seorang sarjana. Kenapa per
“O ya satu hal lagi. Tanggung jawab utama kamu tetaplah Afreen. Jadi kamu akan saya beri izin terlambat datang ke kantor,” ucap Alvaro yang membuat Ambar melongo. ‘Apalagi ini? Kenapa aku jadi merasa bekerja rodi?’ batin Ambar.Alvaro menatap wajah Ambar yang terdiam. “Kenapa? Kamu mengerti maksud saya, kan?” Ambar menghela napas sebelum menjawab, “Saya mengerti. Cuma saya jadi merasa kalau tanggung jawab saya banyak sekali. Mengurus Afreen di rumah, tapi masih harus mikirin pekerjaan kantor juga.” “Kamu keberatan?” tuduh Alvaro tak suka. “Sekarang, sih, belum. Nggak tahu kalau nanti. Kalau pekerjaan di kantor terlalu banyak, sementara di rumah Afreen juga perlu perhatian, saya harus pilih yang mana?”“Utamakan Afreen. Saat ini kamu sudah jadi ibunya. Urusan kantor bisa ditunda, kamu tinggal bilang saja kepada saya. Nanti saya yang bilang ke HRD.”Ambar mengangguk mendengar pesan Alvaro. Setidaknya meski dia keberatan bertambah tanggung jawab, dia tahu mana yang harus diutamakan.
“Hubungan? Hubungan apa? Bertemu dengan Pak Salman aja baru sekali ini, bagaimana saya bisa punya hubungan dengan beliau?” tanya Ambar dengan nada bingung.“Jangan pura-pura lugu!” sentak gadis lain yang rambutnya dicat merah di ujungnya. “Kami tidak akan tertipu dengan gaya sok polos kamu itu!” Ambar berniat berdiri dari kursinya, tetapi perempuan ketiga menahan bahunya dengan kuat sehingga dia terhempas kembali. Ambar melongo mendapat perlakuan kasar seperti ini. Seumur hidup baru kali dia dihinakan oleh orang yang baru pertama kalinya dia temui. Akan tetapi bukan Ambar namanya kalau tidak bisa mengatasi hal tersebut. Dengan tenang Ambar menatap satu per satu ketiga rekan kerja yang baru ditemuinya ini. Tatapan Ambar tajam tak tergoyahkan dan membuat ketiga perempuan yang berdiri di depannya ini saling pandang satu sama lain. Perlahan-lahan wajah mereka mulai menunjukkan perasaan gentar ketika melihat ketenangan Ambar. “Maafkan saya yang mungkin dianggap kurang sopan karena terlam
Bab 32 Ambar Melawan “Ada apa ini? Siapa yang akan dituntut karena sudah melakukan pencemaran nama baik?”Sebuah suara bariton membuat Ambar menoleh. Di pintu ruangan divisi procurement berdiri dua orang lelaki. Mereka melangkah menuju kubikel Ambar yang tak jauh dari pintu. “Eh kenapa kok nggak ada yang jawab pertanyaanku?” Lelaki yang usianya lebih muda kembali bertanya. “Jangan tanya saya, Her. Tuh tanya anak baru,” jawab Susan dengan sengit. Sontak pandangan kedua lelaki berbeda umur itu beralih ke Ambar ketika mendengar jawaban Susan tersebut. “Ooo ada anak baru. Kenalkan saya Heru.” Lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu mengangsurkan tangannya. Ambar menjabat tangan yang terulur itu. “Nama saya Ambar, Pak.”“Pak? Emangnya saya terlihat setua itu ya? Saya aja belum punya istri loh, Mbak. Jadi panggil nama saja seperti yang lain.” “Jangan genit gitu, Her. Kamu itu kebiasaan, deh. Selalu menggoda setiap bertemu perempuan,” sungut Wulan yang tampak cemburu melihat
Bab 61 Meminta Maaf ‘Mata yang biasanya bercahaya itu hari ini meredup’ batin Alvaro. ‘Aku harus bisa mengembalikan keceriaan Ambar lagi. Tapi bagaimana caranya?’ Alvaro masih terus menatap Ambar, meski saat ini gadis itu sudah beranjak meninggalkan ruang makan. Setelah punggung Ambar tak nampak lagi dari tempat Alvaro berjongkok, lelaki itu mulai mengurai pelukannya. Lalu dia mengajak Afreen duduk kembali di kursi. “Afreen sayang yuk dihabiskan sarapannya. Susunya juga ya biar cepat besar seperti papa,” bujuk Alvaro. “Tapi papa temanin Afreen sarapan, ya,” rajuk Afreen. “Iya Papa temani.” Alvaro pun memberi isyarat kepada salah satu asisten rumah tangganya untuk menyiapkan sarapan buat dirinya. Ketika Alvaro tengah menikmati sarapan sambil mendengar celotehan Afreen, Ambar masuk kembali ke ruang makan. Melihat mama tiri kesayangannya itu Afreen spontan berkata, “Ayo, Mama sarapan juga bareng Papa.” Ambar menatap Afreen sambil melirik Alvaro. Dia tampak enggan duduk seme
Bab 60 Memperbaiki Kesalahan Alvaro menuruni tangga dari lantai dua rumahnya sambil memegangi pelipisnya. Kepalanya terasa berdenyut nyeri akibat kurang tidur semalam. Semua karena isi kepalanya yang terlalu riuh. ‘Kenapa? Kenapa semalam dia bisa lepas kendali? Kenapa juga dia merasa tidak rela disebut bajin**n oleh Ambar? Memangnya apa bedanya Ambar dengan orang lain?’ Pertanyaan-pertanyaan itu terus memenuhi benak Alvaro hingga dia menjadi sulit tidur karena kesulitan mencari jawabannya. Baru saja sampai di tangga terbawah, telinga Alvaro yang tajam mendengar gelak tawa dari arah ruang makan. Lelaki itu mempercepat langkahnya menuju ruangan tersebut. “Afreen nggak mau minum susu. Afreen maunya minum teh atau kopi seperti Mama.” “Nggak boleh, Sayang. Afreen masih kecil nggak boleh minum kopi. Kalau minum teh boleh, tapi nanti siang pulang sekolah. Sekarang sarapannya minum susu dulu, ya. Biar Afreen sehat dan tambah pinter,” jawab sebuah suara wanita yang dikenali oleh A
Bab 59 Kekesalan Alvaro “Kamu benar-benar tega! Aku tidak menyangka ternyata kamu seorang bajin**n! Kemana perginya Tuan Alvaro yang terhormat itu? Aku menyesal sudah setuju menikah dengan bajin**n seperti kamu!” Jeritan Ambar membuat Alvaro tersentak. Tepat pada saat bersamaan bibirnya berhasil menyentuh pipi Ambar yang mulai basah oleh air mata. Alvaro pun membeku. Perlahan-lahan Alvaro menutup mata. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Dia melakukannya berulang kali dalam usahanya meredam emosi. Setelah deru napasnya yang memburu berubah menjadi lebih tenang, Alvaro mengangkat tubuhnya yang tadi menind*h Ambar. Lantas dia menjauh dari Ambar dan memilih duduk di pinggir kasur. Karena Alvaro sudah tidak lagi mengungkungnya, Ambar segera beringsut menjauh. Sebenarnya bisa saja Ambar beranjak keluar dari kamar, tetapi dia masih syok. Jadi ketika mencobanya kaki Ambar terlalu lemah sehingga dia tidak sanggup berdiri. Akhirnya gadis itu memilih duduk di uju
Bab 58 Memaksakan Kehendak“Kamu benar-benar tidak bisa kuampuni lagi. Kamu harus diberi pelajaran sekarang juga!” Alvaro merengkuh tubuh Ambar agar tetap berdiri lalu tangannya mulai menarik Ambar. Dengan sedikit kasar Alvaro mencekal lengan Ambar dan menyeretnya menuju ujung ruang kerjanya. Di sudut ruangan itu terdapat pintu penghubung menuju kamar tempat Alvaro beristirahat kalau dia sedang malas naik ke kamarnya di lantai dua. Ambar kaget mendapat perlakuan seperti itu dari Alvaro. Selama dia bekerja sebagai baby sitter Afreen, Ambar belum pernah melihat Alvaro berbuat kasar. Mantan majikannya itu memang sering marah, tapi tidak pernah sampai menggunakan tangannya untuk menghukum seseorang. Itu sebabnya saat ini Ambar sangat ketakutan. Dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari cekalan tangan Alvaro. Namun tidak berhasil. Bagaimana mungkin kekuatannya sebagai seorang wanita bisa menandingi ketangguhan seorang lelaki? Apalagi lelaki yang sudah gelap mata sepert
“Aku tidak terima alasan seperti itu!” “Terus mau kamu bagaimana?” tantang Ambar. Sambil berdiri tegak di depan Alvaro, mata Ambar menatap tajam lelaki yang baru beberapa bulan menikahinya itu. “Aku akan meminta hakku agar kamu selalu ingat kewajibanmu,” ucap Alvaro dengan tegas. Ambar menatap Alvaro dengan bingung. “Hak? Hak yang mana yang ingin kamu minta?”Alvaro balik menatap Ambar lekat. “Tentu saja hakku sebagai seorang suami. Dan tentunya sebagai seorang istri sudah kewajibanmu untuk memenuhi hakku sebagai suami.”Kening Ambar berkerut membentuk beberapa garis. Bibirnya sedikit melongo. Dia terbengong-bengong mendengar ucapan Alvaro. “Aku tidak mengerti maksudmu. Hak yang mana lagi? Bukankah aku sudah memberikan semuanya kepadamu? Bukankah sudah kuturuti juga semua perintahmu? Apa semua itu masih belum cukup?” “Tentu saja belum cukup! Justru hal yang paling dasar belum kamu penuhi!” sentak Alvaro. “Hal yang paling dasar?” gumam Ambar sambil mengulangi kata-kata Alvaro. Eksp
Bab 56 Alvaro Meminta Hak Sebenarnya Ambar sudah menyiapkan hati sebelum membuka pintu ruang kerja Alvaro. Dia tahu suami di atas kertasnya itu pasti akan marah melihat kepulangannya yang terlambat. Namun tak urung dia tersentak juga ketika Alvaro menegurnya saat dia memasuki ruang kerja Alvaro. Dengan suara menggelegar lelaki itu berkata, “Akhirnya kamu pulang juga! Kupikir kamu mau menginap di luar!”Tubuh Ambar gemetar mendengarnya. Bukan karena dia kaget mendengar suara Alvaro yang sangat keras namun dia tak mampu menahan gejolak emosi nya mendengarkan kata-kata yang diucapkan oleh lelaki itu.Dengan mata menatap nanar Alvaro, Ambar berdiri tegak dan menjawab dengan suara yang tak kalah keras, “Apa maksud kamu? Kau pikir aku perempuan apa?” “Coba kamu pikir sendiri kamu perempuan seperti apa. Karena terus terang saja aku tidak tahu harus berpikir bagaimana melihat wanita yang kunikahi tidak memberi kabar sama sekali kalau akan terlambat pulang!” Alvaro menatap Ambar dengan tat
Bab 55 Kemarahan Alvaro Alvaro melirik jam dinding dan mendecih sinis, “Hampir pukul sembilan dan dia baru pulang? Aku harus berbuat sesuatu agar dia tidak berbuat seenaknya lagi seperti malam ini! Bagaimana pun juga dia punya hak dan kewajiban kepadaku! Tunggu saja aku akan memperjelas hal itu sekarang juga!”***Satu jam sebelumnya, di warung kaki lima yang viral.“Kamu kenapa, sih? Kok gelisah terus dari tadi?” selidik Ken.“Kamu belum selesai makan, ya? Perut kamu masih aman?” sindir Ambar. “Memangnya kenapa perutku bisa nggak aman?” Ken bertanya balik. Ambar menatap gemas ke arah Ken. Sahabatnya itu benar-benar lugu atau pura-pura tidak tahu jawaban dari pertanyaannya? “Gini loh, Ken … harusnya kan perut itu ada batasannya. Kok kamu enggak, ya? Memangnya berapa hari kamu nggak makan? Kok nambah terus pesanan makanan kamu itu,” jawab Ambar dengan nada kesal. “Loh kan kamu sendiri yang bilang kalau warung ini viral karena makanan di sini enak semua. Jadi jangan salahkan aku
Bab 54 Ketakutan Ambar ‘Mana mungkin aku bilang kepadamu kalau yang mengirim pesan adalah suamiku,’ batin Ambar sambil melirik Ken yang tengah menatapnya.Mata Ambar kembali memandang ponselnya dan sekali lagi menelusuri pesan W******p dari Alvaro yang berbunyi, “Ingatlah statusmu sebagai seorang istri! Jangan membuat ulah yang mempermalukan keluarga!” Ambar menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ambar sedikit bingung ketika harus menulis balasan chat untuk Alvaro. Tangannya sudah ada di papan ketik ponsel, tetapi belum ada satu kata pun yang dia tulis sebagai jawaban dari chat Alvaro sebelumnya. Tidak mungkin dia berbohong bahwa saat ini dia sedang lembur di kantor. Karena dia yakin Alvaro pasti sudah tahu keberadaannya saat ini dan apa yang dilakukannya. Hal itu tersirat dari pilihan kata yang ditulis oleh Alvaro dalam chatnya.Pertanyaannya … dari mana kah Alvaro tahu tentang semuanya? Ambar melirik sahabatnya. Mungkinkah Ken benar-benar memposting foto dan v
‘Teganya Ambar pergi tanpa pamit dan tanpa seizin dariku. Apakah dia lupa hak dan kewajiban yang tertera dalam kontrak?’ gumam Alvaro.Wajar saja Alvaro merasa kesal karena di saat dia mencemaskan Ambar, justru Ambar pergi bersenang-senang. Ambar keluar dengan seseorang sebelum mendapatkan izin dari Alvaro.Parahnya lagi Ambar pergi dengan seorang lelaki yang tidak disukai oleh Alvaro. Lelaki yang bernama Ken Lazuardi. Rekan bisnis Alvaro sekaligus sahabat Ambar di masa kecil. Alvaro menatap nanar status W******p Ken Lazuardi. Rekan bisnis yang dulu dia kenal sebagai lelaki dingin dan cuek kepada lawan jenis, nyatanya sekarang semua berubah sejak dia bertemu Ambar. Lihat saja story WA nya saat ini … penuh terisi dengan kebahagiaannya bersama Ambar. Alvaro jadi bertanya-tanya sebenarnya ada hubungan apa antara Ken dengan Ambar?Dada Alvaro terasa berat. Dia menarik nafas dalam-dalam karena kalau tidak begitu sepertinya udara tidak bisa masuk ke paru-parunya. Sayangnya hal itu tidak t