Satu bulan kemudian... Aku tertawa melihat Sean dan Askara sudah benar-benar dekat sekarang. Sepulang sekolah, aku rutin mengajak Sean mengasuh Askara bersama. Kadang dibelakang rumah, kadang di taman komplek. Sean pernah juga membawaku dan Sean ke timezone di mall. Kali ini kami kembali ke taman komplek dan duduk dikursi besi tempat pertama kali Askara ditemukan. Ponselku berdering panjang. “Bentar ya, aku angkat telpon dulu.” “Iya, Ra.” “Kenapa?” tanyaku tanpa basa-basi pada Bayu. “Waktunya pulang.” “Oke.” Aku menyimpan ponsel di saku baju dan melirik Sean, “Bayu udah nyuruh pulang.” “Oh ya udah.” “Kamu... marah pisah sama Askara?” Sean menggeleng, “Pak Bayu bener, udah waktunya kita pulang. Udah mau magrib.” Di mobil, ketika aku memangku Askara, aku melirik Sean, “Bayu akan ceraikan aku segera.” Sean tersenyum sumringah, “Oyah? Kamu serius?” “Iya. Tapi dia bilang—hak asuh Askara—harus ke tangan aku.” Tawa Sean berubah mendung. “Kenapa, Sean?” “En
Aku terkejut melihat Adit ada di parkiran sekolah. Aku yang akan pulang dengan Bayu meski masih saling diam, sama-sama merasa ada yang aneh melihat Adit datang ke sekolah tanpa pemberitahuan. “Kak? Lo kok ada disini? Lo gak kerja? Ini masih jam dua loh." “Iya, Dit. Ada apa? Gue jadi mikir lo—mau lamaran ya?” “Aura, lo pulang sama gue.” pintanya dengan wajah serius. Aku melirik Bayu, “Kalo lo emang pengen gue ke rumah, lo bisa bilang, gak perlu jemput gue kesini. Gue bisa kesana sama Bayu.” “Iya, bener. Lo kenapa sih, Dit?” “Ibu ada di rumah.” Aku diam, memikirkan segala kemungkinan. “Ibu gak kenapa-napa, ibu sehat, ibu gak sakit atau kecelakaan kok.” Adit seolah tahu kalau aku sangat khawatir pada kondisi ibu. Aku melirik Bayu, “Lo pulang sendiri aja.” “Gak papa, gue ikut kalian aja.” “Bay, lo pulang aja. Gue sama Aura... ada urusan.” “Oke.” Aku memakai helmet dan menaiki motor Vespa Adit. Sepanjang jalan, Adit tak bicara. Terlihat dari kaca spion, waja
Seharian ini aku tidak banyak bicara. Nadia yang terus menggodaku dan Sean yang banyak membicarakan mengenai universitas tempat ia akan kuliah nanti, tak ku perdulikan. “Ra, lo kenapa sih? Dari tadi gue sama Sean ngomong gak lo dengerin.” Nadia manyun. “Kamu—lagi mikirin apa?” tanya Sean. Aku melirik mereka silih berganti, “Enggak kok.” “Ini tuh pelajaran favorit lo, tapi tadi lo olahraganya loyo banget, gak kayak biasanya. Askara rewel ya semaleman?” Aku menggeleng dan bangkit dari tembok pinggir lapang, “Gue ke kelas duluan ya.” “Ra, gue ikut.” Nadia hampir mengejarku, tapi ku lihat Sean menahannya. Aku membereskan semua bukuku dengan cepat. Setelah ini aku akan langsung pulang ke rumah ibu, untuk bicara dengan—ayah. Aku menggendong tasku keluar kelas. Guru olahraga yang tidak masuk, membuat kami memiliki kebebasan di lapang dan tidak perlu mengikuti penutupan menjelang pulang. “Ra, lo udah mau balik?” Bayu baru keluar dari kelas yang ia ajar. “Iya. Gue mau bali
Aku sibuk membereskan seisi kamar, membongkar lemari dan melipat ulang baju-baju yang terlipat dan menggantung rapi. “Ra, akadnya sebentar lagi. Lo—gak mau dateng?” Bayu berdiri kaku di lawang pintu. Ia sudah rapi dengan kemeja batik. “Askara liat deh, ini baju mama udah kegedean. Berarti mama kurusan ya?” aku berusaha mengacuhkan Bayu. “Aaaaak.” Aku tertawa, “Karena ngurusin kamu tuh jadinya mama kurus. Tapi gak papa, diet alami.” Suara langkah kaki mendekati kamar. “Ra?” Ku lirik mama dan papa yang sudah siap pergi. Wajah mereka tampak khawatir, mungkin takut aku marah. “Aku sibuk, ma, pa. Banyak baju-baju yang mau di buang, sama kayak kenangan dan orang-orang yang gak perlu disimpen lagi. Bikin sempit.” “Eum... mama sama papa—gak perlu pergi, ya?” Aku membuang nafas pelan, “Pergi aja, ma, pa. Aku yang gak akan pergi. Bilangin aja kalo mereka nanyain, kalo aku sibuk.” “Iya, Ra. Mama sama papa pergi dulu ya?” Aku berhenti melipat baju dan melirik ke arah pintu
Aku menatap langit-langit kamar dengan keadaan lampu padam. Kamarku tidak memiliki AC, hanya ada kipas angin yang berisiknya seperti suara angin ribut. “Ra, kipasnya gak bisa di silent?” “Berisik, orang kaya.” Bayu tertawa, “Gue sekarang tahu lo keluarga berada.” “Berada dalam bahaya. Sekarang gue ketahuan kalo aslinya emang miskin. Puas lo!” Bayu bangkit, ia bergerak menyalakan lampu. “Orang mau tidur, ini malah nyalain lampu.” Bayu duduk bersila di ranjang, “Ra, lo gak takut sama gue?” “Takut, takut banget malah. Muka lo kayak Genderuwo!” Bayu menunjukkan ekspresi wajah terjeleknya. “Makin mirip tuh.” “Bangun dong lo, berasa ngobrol sama orang stroke gue.” Aku bangkit, “Ngatur mulu lo ya. Mau apa sih?” “Gue mau kita gak cerai, Ra.” Aku diam. Bayu merapikan rambutku yang mengenai pipi. Matanya terus menatapku serius seolah ia bukanlah Bayu yang biasa. “Lo kesurupan?” “Terserah lo mau bilang gue apa. Gue—udah mulai sayang sama lo, Ra.” Aku tertawa,
“Askara, kamu tahu gak nama kamu tadinya bukan itu. Namanya udah disiapin. Nama kamu adalah Ardian. Tapi Askara juga bagus, dari huruf A juga.” Aku sembunyi didekat pohon ketika terus mendengar ayah berbicara aneh. “Kamu seneng gak punya orang tua lengkap? Hm? Maaf ya, kamu lahir tanpa mama, sayang. Tapi sekarang kamu punya dua mama. Mama Aura dan ibu Syaira.” Deg! Apa maksud ayah bicara begitu? “Maafin ayah harus pura-pura jadi kakek kamu, padahal ayah adalah papa kandung kamu.” Aku melongo dengan dua mata yang panas siap memaki. “Mama kamu udah meninggal, dan ayah merasa gak bisa urus kamu. Jadinya ayah terpaksa simpen kamu disini, di semak ini saat kakak kamu dan Bayu makan. Ayah gak punya cara lain. Ayah cuma mau kamu aman. Ayah tahu mereka bisa sayang sama kamu.” Aku menangis mendengar semua penuturan ayah. Kakiku mendadak terpaku enggan bergerak. Ayah keterlaluan. Jadi akar dari kehidupan hancur itu karena ulahnya? “Tapi ayah gak pernah nyangka, kalo kakakmu
Rahasia yang aku beberkan tadi pagi, membuat suasana rumah jadi kacau. Aku dan Adit hanya saling diam, mendengar tangisan Askara yang tak kunjung tenang setelah diambil alih ayah. Bayu pulang. Ia hanya pamitan singkat dan tak bicara apapun. Ia pasti marah sekali, ketika aku meminta Askara dikembalikan pada ayah kandungnya. Aku tahu, dia berniat untuk mengasuh Askara sampai besar. Ibu keluar dari kamar, “Aura, ibu mau bicara.” Aku mengangguk. Ibu duduk di sofa hadapanku. Ibu menatapku lama, lalu melirik Adit, “Jangan bilang kamu tahu semuanya, Dit?” Adit menatap ibu, “Aku tahu semuanya, bu. Maaf.” “Kalian tega bohongin ibu?” “Bu, keadaannya rumit.” Aku berusaha menenangkan ibu, “Kalo aku bilang sama ibu, aku akan—” “Kamu gak akan dapet uang dari hasil kerja sama?” Aku melotot kaget. Jangan-jangan Bayu membocorkan pada ibu, “Ibu tahu dari mana?” Ibu memberikan kertas kecil salinan kerja samaku dan Bayu yang terikat dalam pernikahan palsu, “Ibu udah lama nemuin ini di
Mama menepati janjinya. Bahkan dalam satu minggu semuanya sudah selesai. Aku bernafas lega, melihat surat pembatalan pernikahan sudah sah dikeluarkan oleh pengadilan Agama. Adit membuang nafas berat, “Seneng lo sekarang udah pisah dari si Bayu?” “Seneng dong.” “Ra, liat gue.” Aku menatap Adit, “Kenapa?” “Lo belum cerita ke siapa-siapa ‘kan soal semua ini?” Aku menggeleng. “Bagus. Lo gak perlu bilang. Soal pembatalan nikah ini, tolong bilang sama Sean, kalo lo sama Bayu adalah bercerai. Dan tetep bilang kalo Askara akan ikut elo.” Aku mengernyit, “Kak, gak bisa gitu dong, gue—” “Lo pengen tahu ‘kan seberapa tulus Sean sama lo? Ini caranya.” Aku tertawa, “Tapi gue bohongin dia ‘kan jadinya?” “Setelah lo tahu sifat asli Sean dan keluarganya, lo bisa jujur. Masalah selesai.” Aku mengangguk, ide Adit boleh juga. “Kebetulan malem ini Sean ngajak dinner dan akan ngenalin gue sama orang tuanya.” Adit melotot, “Cocok banget, Ra! Lo bersikap seolah semua terjadi sepe
Dua tahun kemudian... “...sayang, tiketnya habis, gimana dong? Kita pending aja, ya, sampe liburan tahun baru beres?” Bayu baru masuk ke dalam apartemen sambil menggantung mantelnya, karena di Paris sekarang sedang musim gugur mendekati musim salju. “Mas, kamu tuh, cari dong ke penerbangan lain. Kalo kita harus berangkat dari Paris Beauvais atau kalo ke Itali dulu juga gak papa kok. Yang penting kita pulang ke Indonesia sebelum musim liburan abis!” Bayu memijat bahuku, “Sayang, jangan marah-marah dong. Kasian anak kita.” Aku membalikkan badan memelototinya, “Ganti tuh popoknya.” “Iyaaa. Kamu jangan marah dong.” Aku tak mengindahkan ucapan Bayu lagi. Dia selalu begitu. Kalau gagal langsung diam, bukan mencari opsi lain. Setelah dua tahun menikah, dia masih saja lemot seperti dulu. Aku membuka bungkus roti bertuliskan bread RaYu : delicieux, Leger, Cipieux (Enak, Ringan, Kenyang). Brand roti yang kami buat disini sambil aku kuliah, dan Bayu bekerja. “Sayang?” Aku menoleh sambil
Aku terus menyisir rambutku depan cermin. Sedangkan Bayu sok sibuk dengan kado-kado yang kami dapat. Tok-Tok-Tok “Ra, Bay, buka dulu. Kalian belum ngapa-ngapain ‘kan?” Aku melirik Bayu, “Buka tuh.” Bayu bergerak mendekati pintu, “Kenapa, ma?” Ku lihat mama memberikan dua jamu beda warna itu pada Bayu, “Yang kiri untuk kamu, yang kanan untuk Aura. Oyah, Aura—mana?” Aku berlari mendekati pintu, “Aku disini, ma.” “Hehehe, kalian—bener gak mau nginep di hotel aja?” Aku dan Bayu menggeleng keras-keras. “Oh ya udah. Mama—tinggal ya?” “Iya, ma.” Mama sudah pamitan, tapi tak kunjung pergi. Sampai papa datang menyeret mama menuruni tangga. “Kalian—lanjutin aja. Mama tuh kurang minum, jadi agak lambat geraknya. Kalian masuk sana. Kunci ya, pintunya. Ayo, ma.” Aku dan Bayu menahan senyum. “Gue tutup ya.” kataku. Sebelum pintu ditutup, kakek mendorong pintu. “Kek? Ada apa?” Kakek melihat ke dalam kamar, “Kalian—gak butuh apa-apa?” Aku dan Bayu saling lirik dan
“...saya terima nikah dan kawinnya Aura Riana binti Jefri Septian dengan mas kawin tersebut, tu-nai.” “Bagaimana para saksi?” tanya pak penghulu. “Sah.” “SAAAAAAH!” teriak Adit dan Karina kompak. Aku menahan tawaku ketika duduk bersanding dengan Bayu di meja akad. Aku salim padanya, ia juga mencium keningku. Setelah mendengar semua pengakuannya kemarin, hatiku terenyuh pada rayuan si semprul satu ini. Aku pun mengakui kalau perasaanku sama padanya. Bayu langsung mengatakan akan menikahiku hari ini. Ia langsung mengabari mama-papa, ibu-ayah dan kakek. Kini semua hadir disini, dalam acara pernikahan asli antara RaYu alias Aura dan Bayu. Setelah menyalami tamu yang di undang hanya teman dekat dan keluarga, aku dan Bayu menghampiri meja dimana semua tengah berkumpul. “Kita sambut pengantin no palsu-palsu club kita, Adu RaYu. Beri tepuk tangan yang meriah untuk mereka.” Adit tiba-tiba berteriak seolah menjadi MC. Semua menurut, mereka bertepuk tangan meriah. “Akhirny
Aku berlari dari rumah Bayu menuju rumahku. Di depan garasi, ada motor Adit. Aku masuk ke dalam rumah yang sepi. “...gue bisa mati kalo gini caranya, Dit.” “Jangan mati dulu lah, Bay, belum umur tiga puluh.” “Diem lo! Lo emang gak bisa dipercaya. Lo gak liat luka gue sebesar ini, hah? Lo mah enak, cuma baret aja.” Aku berhenti di dapur, menatap Adit yang sedang menyesap kopinya di kursi, dan Bayu yang terduduk lesehan diatas tikar. Mereka dalam kondisi baik-baik saja. Tidak ada baret, atau luka apapun. “Kalian—gak papa?” Adit dan Bayu menoleh. Bayu berdiri dan melotot tak percaya melihatku ada disini, “Ra? Lo—disini?” Adit menggaruk kepalanya. “Gak lucu tahu gak!” Bayu dan Adit saling tatap. “Itu ide si Adit, Ra. Gue gak ikutan.” Aku melirik Adit, “Lo tuh tahu gak sih kalo gue hampir mati dapet kabar tadi?” “Ya lo bilang si Bayu gak akan mati, gimana sih.” Aku menangis, tak percaya Adit masih bisa membela diri padahal jelas ia salah. “Ra, gue—minta maaf
Pagi yang mendung. Sedari malam, Surabaya diguyur hujan. Langit seolah tahu, bahwa aku merindukan Jakarta dan seisinya hingga menangis. Drrrrt~ Aku meraih ponsel di nakas, “Adit?” “Ra, halo? Ra, urgent banget lo harus pulang.” Adit bicara dengan hebohnya. “Lo—kenapa?” “Gue kecelakaan, Ra.” “Hah?” aku bangkit dari kasur, “Kok bisa? Lo gak papa ‘kan?” “Gue hampir sekarat.” Aku diam sejenak, “Ada ya, orang sekarat suaranya kenceng dan semangat gini?” Adit diam. “Lo tuh caper banget sih. Pacar lo ‘kan disana, lo telpon Karina lah, gue ‘kan jauh. Kecelakaan kecil gak akan bikin lo mati.” “Si Aura.” Aku tertawa, “Ketauan nih ye, mau nipu gue.” “Yang sekarat bukan gue.” Katanya lirih. “Terus? Ka-rina?” “Bukan. Karina di rumahnya. Gue kecelakaan berdua, sama si Bayu.” Deg! “Ra, si Bayu—sekarat. Lo—bisa pulang sekarang ‘kan?” Aku diam, menggigit jariku kencang, “Kok si Bayu—ada di Jakarta? Dia—bukan di Prancis?” “Ceritanya panjang. Dia balik lagi dari
Aku baru beres mengaudit keuangan pabrik tiga bulan terakhir. “Akhirnya selesai juga.” Seorang pegawai perempuan usia Adit menghampiriku, “Kak, permisi, ada surat dari pengadilan.” “Hm? Siapa yang cerai?” “Itu... dari pengadilan tinggi, kak, bukan dari pengadilan agama.” “Ah, iya. Aku pikir ada yang cerai.” Aku menerima dan membaca isi surat yang diberikan. Aku mengernyit, “Ini maksudnya pabrik kita digugat atas persamaan nama dengan badan usaha lain?” “Betul, kak. Pabrik roti yang udah berdiri lima puluh tahun lalu merasa dirugikan dengan persamaan nama pabrik ini. Katanya banyak orang mengira ini adalah pabrik cabang.” Aku melirik membaca nama pabrik roti yang masih kecil ini, “Sari Rasa?” “Karena bu Syaira gak ada disini, jadi kakak yang harus ke pangadilan minggu depan.” “Aduh, ini gak ada cara yang lebih simpel apa, mbak?” “Ada, kak. Pihak pabrik pesaing bilang, kalau kita ganti nama secepatnya, mereka akan cabut gugatan.” “Bentar ya.” aku membuka pon
Aku berjalan pelan menuju mobil bersama ayah dan Adit. “Jadi klien ayah yang nyuruh cari Andre itu—papa? Maksud aku—om Rino?” Ayah mengangguk, “Kami punya tujuan yang sama. Mencari orang tidak pernah semenyenangkan ini sebelumnya. Ayah gak nyangka bisa menemukan Andre di ATM deket sekolah kamu. Ayah pikir dia kabur ke luar kota. Pantes ayah pergi ke tempat lain, orang gak pernah liat dia.” Aku mengernyit, “ATM?” “Yah, si Andre itu—” Aku menatap Adit memintanya diam. “Kenapa sama Andre? Ada yang harus ayah tahu? Biar ayah sampaikan sama kepolisian untuk memberatkan masa tahanan.” Adit menggeleng, “Gak papa, tadi cuma mau bilang si Andre pasti lagi ngambil duit.” Ayah tertawa, “Ya iya lah, Dit, masa ngambil cucian. Laundry kali.” “Euh, lo tuh ya.” aku ikut mengalihkan topik. Mama, papa, dan Bayu berjalan mendekati kami. “Kamu tenang sekarang, Ra, Andre udah mendapatkan hukumannya.” Aku tersenyum, “Makasih ya, pa, masih mengusahakan mencari dia, sampe duel segala
Aku memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Adit mengembalikan mobilku dengan baik. Dia memang pandai menjaga barang. “Lo serius mau berangkat sekarang?” tanya Adit yang disikut ibu, “Nyari univ ‘kan gak harus kesana langsung. Lewat internet aja, gue bantuin.” “Banyak yang harus gue urus disana, kak.” “Gue bisa anterin lo kalo akhir pekan.” “Gak usah, lo ‘kan sekarang sibuk pacaran sama Elsa.” Aku menghampiri ibu dan memeluknya, “Bu, aku pamit sekarang, ya? Doain perjalanannya lancar.” “Pasti. Kamu kalo pegel, ngantuk atau apapun itu, berhenti dulu.” “Siap.” “Lagak lo sih, ke sana bawa mobil sendiri. Naek pesawat aja, atau kereta gitu, atau nggak Buroq.” Aku melepaskan pelukkan ibu, “Lo tuh ya. Terserah gue lah.” Aku berdiri dihadapan Adit, “Gue—pamit ya, kak. Sama-sama, gue seneng bisa ngurus lo selama ibu di Surabaya. Udah kenyang banget gue teriak sama lo selama ini. Tapi meskipun gitu, gue pasti akan merindukan elo sih. Jengukin gue kesana loh.” Kami berpeluk
Aku membereskan baju-baju dan semua keperluan yang akan dibawa ke Surabaya. Aku sudah pulang, membawa mobil dan hadiah emas dari kakek. Aku pamerkan pada Adit, membuatnya memohon untuk meminjamkan mobilnya untuk pergi dengan Karina. “Kalo lo pelit, kuburaan lo sempit loh, Ra.” Adit masih gencar merayuku. “Tinggal beli lagi tanah kuburannya. Gue sekarang kaya, Dit, gue punya lima batang emas.” Adit manyun memainkan pintu kamar. “Mau pergi kemana sih lo?” “Ya keliling aja. Gue akan bilang kok kalo itu mobil elo.” “Dit, si Karina itu orang kaya. Dia pasti bosen kalo kemana-mana naek mobil. Naek motor tuh pengalaman baru buat dia.” “Gue yang bosen.” Aku menghentikan aktivitas beberesku. Ku lirik Adit yang memasang wajah super mengkhawatirkan, “Iya-iya gue pinjemin.” Adit melotot senang, “Serius lo?” “Tapi itu bensinnya abis, tolong di isi ya.” Adit menghampiriku, “Oke, gue isi gocap.” “Yah, gocap. Lo pikir mobil barbie. Yang bener aja dong.” “Gue belum gajian, gu