Aku membuka mataku di sebuah ruangan asing yang tak pernah aku kunjungi sebelumnya. Tanganku hangat, digenggam seseorang yang ternyata adalah ibu. “Aura? Kamu udah bangun?” “Bu...” bibirku terasa nyeri ketika bicara. “Sebentar.” Ibu lari ke arah pintu, “Sus, dok, Aura sudah bangun.” Dokter jaga yang sedang bicara dengan suster berlari memasuki ruangan. Mereka tersenyum senang melihatku membuka mata. Dokter dengan sigap memeriksa kondisiku. “Kamu merasakan pusing atau mual?” Aku menggeleng. “Ada bagian yang terasa sakit?” Aku menggeleng lagi. Suara langkah kaki yang ramai terdengar memasuki ruangan. Aku langsung melirik ke arah pintu. Menatap Bayu, Adit, mama dan papa yang berlari mendekati ranjang. “Maaf, mas, bu, pak, pasien harus istirahat. Silakan tunggu diluar sampai jam besuk nanti sore tiba.” dokter memberi pengertian. Papa mengangguk, “Dokter bener. Kita harus kasih ruang buat Aura istirahat.” “Sus, saya suaminya. Saya boleh ‘kan tunggu disini?” Dokter
Adit berkacak pinggang di lawang pintu, “Guys, waktunya abis. Gantian sama yang lain.” “Kak Adit, kita belum puas nih ketemu Aura.” protes Nadia. “Elaaaah, lo jadi suster aja kalo gitu.” “Ih, Ra, liat, kakak lo tuh ya. Ternyata dia bener-bener nyebelin sesuai omongan lo.” Adit menaikkan tangannya yang semula di pinggang menjadi di ketek, “Malah ngegosip, ayo cepet keluar, ada tuan puteri nih yang mau masuk.” “Putri apaan, ngarang lo!” sahut Bayu. Karina melongokkan kepalanya. Ia melambaikan tangan padaku, “Hai, Ra. Gue... boleh masuk ‘kan?” Semua orang kecuali Adit melirikku. “Kalo lo janji suaranya gak kenceng tiap ngomong sama gue sih, lo boleh masuk.” Karina tersenyum, “Iya, gue janji.” “Silakan masuk, Elsa.” Adit menepi agar Karina bisa lewat. Karina melongo, “Namaku Karina, kak, bukan Elsa.” “Elsa—Frozen. Kamu mirip sama dia.” Katanya menatap rambut Karina yang dikepang seperti Elsa. “Ah gitu ya? Kakak juga mirip sama—” Adit menunggu Karina menyebutkan
Sedari bangun tidur, aku merasakan perasaan lain. Moodku berantakkan, setiap melihat laki-laki mendekat jadi takut. Kini aku hanya sendiri di ruanganku, karena aku juga tidak mau ditemani perempuan. Tok-Tok-Tok “Masuk.” Seorang perempuan berjas dokter masuk. Ia selalu tersenyum sampai berdiri di ujung ranjang, “Gimana keadaan kamu sekarang, Aura?” Aku menggeser dudukku, “Dok, aku—kenapa jadi gini, ya?” “Apa yang kamu rasakan?” Aku menggeleng, aku sendiri tidak tahu apa yang aku rasakan. Dokter itu mendekatiku. Aku menatapnya. “Ada yang ingin kamu sampaikan?” Aku menggeleng. Dokter itu menatap pintu, “Masuk.” Seorang perawat laki-laki masuk dan berdiam dekat pintu. “Silakan.” Perawat itu mendekatiku, membuatku melotot dan histeris ketakutan. Aku menjerit kencang ketika ia berdiri di dekat ranjang. “Awas! Pergi! Maafin aku, aku gak salah.” Dokter itu meminta perawat itu keluar, lalu memegangi kedua lenganku, “Aura, dia sudah pergi.” Aku mengatur nafasku s
Sudah enam hari aku disini. Selama itu pula banyak orang yang datang menjenguk. Tapi seperti biasa aku menolak. Aku merasa masih butuh waktu untuk bertemu banyak orang. Satu-satunya yang ku izinkan menemani hanya Bayu. Kini sedang jam makan siang, Bayu belum datang juga, membuatku uring-uringan. “Dia kemana, ya?” Tok-Tok-Tok “Itu Bayu?” tanyaku pada diri sendiri, “Masuk.” Bukan Bayu yang masuk, melainkan Adit yang nyengir kuda menunjukkan bahwa ia membawa minuman kesukaanku. Es coklat dengan toping keju yang banyak. “Boleh masuk gak?” “Boleh.” kataku terpaksa. Adit duduk dikursi. Ia menatapku lama, “Si Bayu masih di jalan, kejebak macet. Tapi dia nanti katanya gak akan balik lagi ke sekolah sih. Jadi bisa nemenin lo.” “Oh gitu.” “Ra?” “Hm?” “Nanti... kita pindah ruangan, ya?” “Dari sini? Kenapa?” “Gak papa.” Aku mengernyit, mencoba mencari alasan kenapa aku harus sampai dipindahkan ruangan dari sini. Ku ulang memoriku tiga hari kemarin. Selesai maka
Aku duduk termenung disebuah ranjang asing di ruangan yang kecil. Aku seperti melihat film, dimana tokohnya dikurung disebuah ruang isolasi bangsal psikiatri. Beberapa perawat berlalu lalang melewati ruanganku. Mereka pasti sedang visit. Entah kapan waktunya aku akan dikunjungi. “Aura?” suara yang ku kenal baik kini ada dihadapanku. Aku mendongak menatapnya, “Dokter Maudy, aku—mau pulang.” Dokter Maudy tersenyum, “Kamu pasti pulang. Tapi kamu harus bicara dulu sama saya. Kamu bersedia?” “Bicara apa?” Aku dibawa ke sebuah ruangan didampingi satu perawat yang mencatat entah apa. Aku belum bicara apapun. Dokter Maudy masuk. Ia duduk dihadapanku masih setia tersenyum. Saat itulah perawat memberikan catatannya pada dokter Maudy dan keluar. “Aura, bisa perkenalkan diri kamu sama saya?” Aku membuang nafas pelan, “Aku Aura Riana, umur sembilan belas tahun. Aku sekolah di Putra Bangsa, kelas dua belas, kelas IPA 1.” “Bisa ceritakan mengenai keluarga kamu?” “Aku punya ibu, da
Aku merasakan moodku mulai terkendali setelah mendapatkan obat dari dokter Maudy. Aku sudah kembali ke ruanganku, bertemu ibu, Adit, papa dan mama. Kini mereka berkumpul diruanganku di jam besuk sore. “Ra?” Bayu memanggilku. “Iya?” “Lo kangen gak sama—Askara?” Aku manggut-manggut, “Lumayan.” Bayu melirik semua orang tanpa bicara. “Kenapa emangnya? Askara ada disini?” “Enggak lah, mana boleh.” “Terus?” Ibu menggenggam tanganku, “Kamu—udah boleh pulang malam ini.” Aku menganga kaget, “Serius, bu?” “Iya. Dokter Maudy dan dokter lain bilang kamu boleh berobat jalan.” Aku tersenyum, ditemani semua yang juga tersenyum bahagia, “Sekarang aja yuk, pulangnya? Aku udah sehat kok.” Papa tertawa, “Sabar, Ra, obat dan perizinannya masih di urusin dulu.” Mama tersenyum, “Malam ini udah pasti kok, kamu pulang. Jadi kamu sabar ya, sedikit lagi.” Aku duduk bersila diranjang dengan senyum merekah, “Besok aku mau sekolah, ya?” Semua orang diam. “Ra, mending lo tidur s
Aku berjalan pelan dari toilet karena mendadak kakiku nyeri. Bekas pukulan si bajingan Andre benar-benar membuatku tak berdaya. Tapi aku tak boleh menyerah. Rasa sakit tak boleh menguasai diriku. “...gue tadi liat si Aura lagi pegangan tangan sama si Sean didepan lab. Gila si Aura, mentang-mentang dia jadi pusat perhatian, dia bisa seenak jidat mendua. Dia jelas istrinya pak Bayu, tapi masih aja main gila.” “Gue denger sih bokapnya pergi demi cewek yang lebih muda. Mungkin itu nurun ke dia. Pak Bayu ‘kan udah mau kepala tiga, mungkin dia gak mau sama yang tua, terus lebih milih Sean yang dua tahun lebih muda dari Aura.” “Bener juga ya. Sangat masuk akal. Dia tuh selain serakah, juga mata duitan. Mungkin dia nyari tahu pak Bayu sama Sean lebih kaya siapa, terus dia akan lebih milih yang bisa membiayai kuliahnya ke Prancis.” “Halu sih. Padahal bahasa Prancisnya jelek banget, tapi mimpinya kuliah disana. Gak tahu diri itu namanya.” “Jadinya dia kena karma instan. Dia kegatelan
Aku duduk di sofa panjang karena kakiku mendadak kram. Aku diam memantau belakang rumah, dimana Nadia dan Sean sedang bermain dengan Askara. Aku mengajak mereka kesini, dengan harapan akan terhibur. “Ra?” “Ma?” Mama tersenyum ketika duduk disebelahku, “Mama seneng semua temen-temen kamu udah tahu kalo kamu punya Askara. Jadinya kamu sama kak Bayu gak perlu pura-pura lagi jadi guru dan murid.” Aku hanya tersenyum kecil. “Mama gak nyangka, pernikahan kalian yang disembunyikan akhirnya ketahuan juga. Mama kira kemarin, wali murid akan demo karena papa biarin kamu tetep sekolah. Ternyata mereka gak minta kamu dikeluarkan setelah mediasi.” “Makasih ya, ma. Mama sama papa basti sangat berusaha buat yakinin mereka, kalo status pernikahan aku sama kak Bayu gak akan bawa pengaruh buruk buat siswa lain.” Mama tersenyum menggenggam tanganku. “Ra.” Bayu duduk di sofa lain. “Kalian mau ngobrol ya? Ya udah mama ke belakang dulu, nyusul Sean sama Nadia.” Aku memalingkan wajah dar
Dua tahun kemudian... “...sayang, tiketnya habis, gimana dong? Kita pending aja, ya, sampe liburan tahun baru beres?” Bayu baru masuk ke dalam apartemen sambil menggantung mantelnya, karena di Paris sekarang sedang musim gugur mendekati musim salju. “Mas, kamu tuh, cari dong ke penerbangan lain. Kalo kita harus berangkat dari Paris Beauvais atau kalo ke Itali dulu juga gak papa kok. Yang penting kita pulang ke Indonesia sebelum musim liburan abis!” Bayu memijat bahuku, “Sayang, jangan marah-marah dong. Kasian anak kita.” Aku membalikkan badan memelototinya, “Ganti tuh popoknya.” “Iyaaa. Kamu jangan marah dong.” Aku tak mengindahkan ucapan Bayu lagi. Dia selalu begitu. Kalau gagal langsung diam, bukan mencari opsi lain. Setelah dua tahun menikah, dia masih saja lemot seperti dulu. Aku membuka bungkus roti bertuliskan bread RaYu : delicieux, Leger, Cipieux (Enak, Ringan, Kenyang). Brand roti yang kami buat disini sambil aku kuliah, dan Bayu bekerja. “Sayang?” Aku menoleh sambil
Aku terus menyisir rambutku depan cermin. Sedangkan Bayu sok sibuk dengan kado-kado yang kami dapat. Tok-Tok-Tok “Ra, Bay, buka dulu. Kalian belum ngapa-ngapain ‘kan?” Aku melirik Bayu, “Buka tuh.” Bayu bergerak mendekati pintu, “Kenapa, ma?” Ku lihat mama memberikan dua jamu beda warna itu pada Bayu, “Yang kiri untuk kamu, yang kanan untuk Aura. Oyah, Aura—mana?” Aku berlari mendekati pintu, “Aku disini, ma.” “Hehehe, kalian—bener gak mau nginep di hotel aja?” Aku dan Bayu menggeleng keras-keras. “Oh ya udah. Mama—tinggal ya?” “Iya, ma.” Mama sudah pamitan, tapi tak kunjung pergi. Sampai papa datang menyeret mama menuruni tangga. “Kalian—lanjutin aja. Mama tuh kurang minum, jadi agak lambat geraknya. Kalian masuk sana. Kunci ya, pintunya. Ayo, ma.” Aku dan Bayu menahan senyum. “Gue tutup ya.” kataku. Sebelum pintu ditutup, kakek mendorong pintu. “Kek? Ada apa?” Kakek melihat ke dalam kamar, “Kalian—gak butuh apa-apa?” Aku dan Bayu saling lirik dan
“...saya terima nikah dan kawinnya Aura Riana binti Jefri Septian dengan mas kawin tersebut, tu-nai.” “Bagaimana para saksi?” tanya pak penghulu. “Sah.” “SAAAAAAH!” teriak Adit dan Karina kompak. Aku menahan tawaku ketika duduk bersanding dengan Bayu di meja akad. Aku salim padanya, ia juga mencium keningku. Setelah mendengar semua pengakuannya kemarin, hatiku terenyuh pada rayuan si semprul satu ini. Aku pun mengakui kalau perasaanku sama padanya. Bayu langsung mengatakan akan menikahiku hari ini. Ia langsung mengabari mama-papa, ibu-ayah dan kakek. Kini semua hadir disini, dalam acara pernikahan asli antara RaYu alias Aura dan Bayu. Setelah menyalami tamu yang di undang hanya teman dekat dan keluarga, aku dan Bayu menghampiri meja dimana semua tengah berkumpul. “Kita sambut pengantin no palsu-palsu club kita, Adu RaYu. Beri tepuk tangan yang meriah untuk mereka.” Adit tiba-tiba berteriak seolah menjadi MC. Semua menurut, mereka bertepuk tangan meriah. “Akhirny
Aku berlari dari rumah Bayu menuju rumahku. Di depan garasi, ada motor Adit. Aku masuk ke dalam rumah yang sepi. “...gue bisa mati kalo gini caranya, Dit.” “Jangan mati dulu lah, Bay, belum umur tiga puluh.” “Diem lo! Lo emang gak bisa dipercaya. Lo gak liat luka gue sebesar ini, hah? Lo mah enak, cuma baret aja.” Aku berhenti di dapur, menatap Adit yang sedang menyesap kopinya di kursi, dan Bayu yang terduduk lesehan diatas tikar. Mereka dalam kondisi baik-baik saja. Tidak ada baret, atau luka apapun. “Kalian—gak papa?” Adit dan Bayu menoleh. Bayu berdiri dan melotot tak percaya melihatku ada disini, “Ra? Lo—disini?” Adit menggaruk kepalanya. “Gak lucu tahu gak!” Bayu dan Adit saling tatap. “Itu ide si Adit, Ra. Gue gak ikutan.” Aku melirik Adit, “Lo tuh tahu gak sih kalo gue hampir mati dapet kabar tadi?” “Ya lo bilang si Bayu gak akan mati, gimana sih.” Aku menangis, tak percaya Adit masih bisa membela diri padahal jelas ia salah. “Ra, gue—minta maaf
Pagi yang mendung. Sedari malam, Surabaya diguyur hujan. Langit seolah tahu, bahwa aku merindukan Jakarta dan seisinya hingga menangis. Drrrrt~ Aku meraih ponsel di nakas, “Adit?” “Ra, halo? Ra, urgent banget lo harus pulang.” Adit bicara dengan hebohnya. “Lo—kenapa?” “Gue kecelakaan, Ra.” “Hah?” aku bangkit dari kasur, “Kok bisa? Lo gak papa ‘kan?” “Gue hampir sekarat.” Aku diam sejenak, “Ada ya, orang sekarat suaranya kenceng dan semangat gini?” Adit diam. “Lo tuh caper banget sih. Pacar lo ‘kan disana, lo telpon Karina lah, gue ‘kan jauh. Kecelakaan kecil gak akan bikin lo mati.” “Si Aura.” Aku tertawa, “Ketauan nih ye, mau nipu gue.” “Yang sekarat bukan gue.” Katanya lirih. “Terus? Ka-rina?” “Bukan. Karina di rumahnya. Gue kecelakaan berdua, sama si Bayu.” Deg! “Ra, si Bayu—sekarat. Lo—bisa pulang sekarang ‘kan?” Aku diam, menggigit jariku kencang, “Kok si Bayu—ada di Jakarta? Dia—bukan di Prancis?” “Ceritanya panjang. Dia balik lagi dari
Aku baru beres mengaudit keuangan pabrik tiga bulan terakhir. “Akhirnya selesai juga.” Seorang pegawai perempuan usia Adit menghampiriku, “Kak, permisi, ada surat dari pengadilan.” “Hm? Siapa yang cerai?” “Itu... dari pengadilan tinggi, kak, bukan dari pengadilan agama.” “Ah, iya. Aku pikir ada yang cerai.” Aku menerima dan membaca isi surat yang diberikan. Aku mengernyit, “Ini maksudnya pabrik kita digugat atas persamaan nama dengan badan usaha lain?” “Betul, kak. Pabrik roti yang udah berdiri lima puluh tahun lalu merasa dirugikan dengan persamaan nama pabrik ini. Katanya banyak orang mengira ini adalah pabrik cabang.” Aku melirik membaca nama pabrik roti yang masih kecil ini, “Sari Rasa?” “Karena bu Syaira gak ada disini, jadi kakak yang harus ke pangadilan minggu depan.” “Aduh, ini gak ada cara yang lebih simpel apa, mbak?” “Ada, kak. Pihak pabrik pesaing bilang, kalau kita ganti nama secepatnya, mereka akan cabut gugatan.” “Bentar ya.” aku membuka pon
Aku berjalan pelan menuju mobil bersama ayah dan Adit. “Jadi klien ayah yang nyuruh cari Andre itu—papa? Maksud aku—om Rino?” Ayah mengangguk, “Kami punya tujuan yang sama. Mencari orang tidak pernah semenyenangkan ini sebelumnya. Ayah gak nyangka bisa menemukan Andre di ATM deket sekolah kamu. Ayah pikir dia kabur ke luar kota. Pantes ayah pergi ke tempat lain, orang gak pernah liat dia.” Aku mengernyit, “ATM?” “Yah, si Andre itu—” Aku menatap Adit memintanya diam. “Kenapa sama Andre? Ada yang harus ayah tahu? Biar ayah sampaikan sama kepolisian untuk memberatkan masa tahanan.” Adit menggeleng, “Gak papa, tadi cuma mau bilang si Andre pasti lagi ngambil duit.” Ayah tertawa, “Ya iya lah, Dit, masa ngambil cucian. Laundry kali.” “Euh, lo tuh ya.” aku ikut mengalihkan topik. Mama, papa, dan Bayu berjalan mendekati kami. “Kamu tenang sekarang, Ra, Andre udah mendapatkan hukumannya.” Aku tersenyum, “Makasih ya, pa, masih mengusahakan mencari dia, sampe duel segala
Aku memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Adit mengembalikan mobilku dengan baik. Dia memang pandai menjaga barang. “Lo serius mau berangkat sekarang?” tanya Adit yang disikut ibu, “Nyari univ ‘kan gak harus kesana langsung. Lewat internet aja, gue bantuin.” “Banyak yang harus gue urus disana, kak.” “Gue bisa anterin lo kalo akhir pekan.” “Gak usah, lo ‘kan sekarang sibuk pacaran sama Elsa.” Aku menghampiri ibu dan memeluknya, “Bu, aku pamit sekarang, ya? Doain perjalanannya lancar.” “Pasti. Kamu kalo pegel, ngantuk atau apapun itu, berhenti dulu.” “Siap.” “Lagak lo sih, ke sana bawa mobil sendiri. Naek pesawat aja, atau kereta gitu, atau nggak Buroq.” Aku melepaskan pelukkan ibu, “Lo tuh ya. Terserah gue lah.” Aku berdiri dihadapan Adit, “Gue—pamit ya, kak. Sama-sama, gue seneng bisa ngurus lo selama ibu di Surabaya. Udah kenyang banget gue teriak sama lo selama ini. Tapi meskipun gitu, gue pasti akan merindukan elo sih. Jengukin gue kesana loh.” Kami berpeluk
Aku membereskan baju-baju dan semua keperluan yang akan dibawa ke Surabaya. Aku sudah pulang, membawa mobil dan hadiah emas dari kakek. Aku pamerkan pada Adit, membuatnya memohon untuk meminjamkan mobilnya untuk pergi dengan Karina. “Kalo lo pelit, kuburaan lo sempit loh, Ra.” Adit masih gencar merayuku. “Tinggal beli lagi tanah kuburannya. Gue sekarang kaya, Dit, gue punya lima batang emas.” Adit manyun memainkan pintu kamar. “Mau pergi kemana sih lo?” “Ya keliling aja. Gue akan bilang kok kalo itu mobil elo.” “Dit, si Karina itu orang kaya. Dia pasti bosen kalo kemana-mana naek mobil. Naek motor tuh pengalaman baru buat dia.” “Gue yang bosen.” Aku menghentikan aktivitas beberesku. Ku lirik Adit yang memasang wajah super mengkhawatirkan, “Iya-iya gue pinjemin.” Adit melotot senang, “Serius lo?” “Tapi itu bensinnya abis, tolong di isi ya.” Adit menghampiriku, “Oke, gue isi gocap.” “Yah, gocap. Lo pikir mobil barbie. Yang bener aja dong.” “Gue belum gajian, gu