Libur dua minggu terasa begitu singkat. Hari ini aku kembali sekolah. Bayu sudah siap dari tadi. Kini ia sedang menemani Askara dipijat rutin. “Ra, sarapan dulu kata mama!” teriak Bayu sampai uratnya terlihat. Aku meniup lehernya, “Gue disini, gak usah teriak.” Bayu nyengir kuda, “Ya udah kita sarapan bareng. Mbak, ditinggal ya?” pamitnya pada pegawai salon baby spa. Aku dan Bayu duduk di meja makan. Aku menyiukkan nasi dan lauk ke atas piring Bayu. Papa yang baru duduk tersenyum. Setelah sadar dengan apa yang aku lakukan, aku mendorong piring berisi cah brokoli padanya. “Nih, ambil sendiri, manja.” “Lah, kenapa lo?” Kami makan dengan cepat. Papa juga akan berangkat ke sekolah sepagi ini karena akan mengikuti upacara bendera dan penyambutan semester baru. Aku turun dari mobil Bayu di parkiran. Begitu baru melangkah, tatapan semua orang sinis padaku. Mereka terang-terangan berbisik depanku. “Kenapa?” tanya Bayu. Orang yang berbisik itu langsung pergi setelah Bayu
Aku mencari pak Andre ke seluruh penjuru sekolah. Aku harus bertemu dengannya demi mendapatkan jawaban dari apa yang sedang mengganggu pikiranku. Aku tak akan membiarkannya lolos. Aku menemukan pak Andre di UKS. Ia menatapku datar. “Aura?” “Saya mau bicara sama bapak. Penting.” “Tentu.” Pak Andre bicara sebentar dengan petugas PMR di UKS. Ia lalu mengikutiku ke samping perpustakaan. “Ada apa, Aura?” “Bapak udah tahu apa yang lagi terjadi?” Pak Andre mengangguk. “Siapa dalangnya?” “Maksud kamu?” “Kenapa Karina bisa tahu?” “Loh, kok kamu tanya saya? Kan Karina yang nyebarin itu ke orang-orang.” Dari tadi aku terus melihat wajahnya yang datar. Tidak ada wajah panik dan takut seperti Bayu dan Sean. “Aura, kamu tahu saya tidak dekat dengan Karina. Saya juga gak punya keuntungan apa-apa dari menyebarkan semua ini. Lagian saya gak punya keuntungan dari semua ini.” “Kenapa bapak gak panik?” “Menurut kamu saya harus panik karena bukan pelakunya?” Pak Andre ben
Aku menaiki tangga tanpa memperdulikan keberadaan papa dan mama di ruang tengah. Bayu yang baru keluar dari kamar Askara juga. Aku membereskan barang-barangku dari kamar Bayu. Aku masih berpikir haruskah aku pulang ke rumah dan mengatakan pada Adit kalau Bayu sudah jahat karena menyebarkan berita ini ke seantero sekolah? “Ra?” Aku membalikkan badan dan menunjuk wajah si Bayu, “Gak usah ngomong sama gue!” “Bukan gue yang nyebarin berita itu.” “Buktiin ke gue kalo itu bukan ulah lo!” “Gue harus ngapain?” “Ya lo mikir lah, Bay. Kenapa sih lo tuh selalu lemot gini, tapi jago buat bohongin dan menghancurkan hidup gue? Lo pikir setelah terjadi kayak gini, semua akan sama lagi? Gue bakal jadi bahan bulan-bulanan di sekolah, gue bakal dibenci sama orang-orang. Gue bahkan akan dikeluarin dari sekolah.” “Gak mungkin, Ra. Pemilik yayasannya adalah papa. Lo aman.” “Jadi karena itu lo berani nyebarin ini?” “Ra, udah gue bilang, bukan gue! Gue harus ngomong apa lagi sih biar lo p
Aku memang tidak sekolah hari ini, tapi harus tetap datang ke sekolah. Aku berangkat bersama papa. Aku tetap memakai seragam sekolah dan membawa tas. Kalau bisa ingin aku membekal seratus botol merica untuk kemudian ku semprotkan pada wajah Bayu jika ia terbukti telah menjadi dalang yang meminta Karina menyebarkan berita di sekolah. Sayangnya aku hanya bisa membawa botol minum, dompet dan handsanitizer. Aku dan papa berjalan beriringan ke ruangannya. Semua siswa yang ada di area kantor melirikku tajam dan masih berbisik. Aku berusaha tak peduli. Di ruangan papa, Karina sudah duduk di interogasi kepala sekolah dan guru BK. Ada Bayu juga disana. “Selamat pagi, pak, selamat pagi Aura. Silakan duduk.” kepala sekolah mempersilakan papa dan aku duduk. “Seperti yang bapak minta, saya sudah bicara dengan Karina mengenai bocornya berita itu ke seluruh yayasan, pak. Karina akan menjelaskannya sendiri. Silakan Karina.” kepala sekolah memberikan waktu untuk Karina. Karina melirikku se
Sean berlari menghampiriku disamping perpustakaan, “Ra?” “Sean, aku minta maaf ya udah nuduh kamu. Tadi Karina udah bikin pengakuan, kalo dia gak disuruh siapapun dan tahu semuanya sendiri.” Sean tersenyum, “Aku lega kamu udah tahu semuanya. Aku juga minta maaf karena gak bisa meyakinkan kamu kalo bukan aku yang minta Karina sebarin berita itu.” Aku menggeleng, “Kamu gak salah. Tapi—” “Tapi apa?” “Pak Andre bilang Karina disuruh sama Bayu.” “Ra, gak mungkin. Pak Bayu gak kayak gitu.” “Tapi dia punya buktinya.” “Apa?” “Dia belum tunjukkin. Dia minta aku ke ruang kesenian buat nunjukkin buktinya.” Wajah Sean berubah khawatir, “Ra, kamu jangan kesana.” “Kenapa? Aku penasaran, Sean. Kalo aku gak kesana aku gak akan tahu selicik dan sejahat apa Bayu.” Sean memegangi kedua bahuku, “Pak Andre gak sebaik yang kamu pikir.” Aku tertawa, “Kamu mulai deh. Kamu tuh kenapa sih, Sean? Pak Andre baik banget tahu, kamunya aja gak tahu. Aku akan dateng kesana. Kamu balik kelas
Aku telentang di lantai dengan keadaan baju yang sudah berantakkan. Kini aku hanya bisa menangis pasrah. Duniaku terasa gelap gulita, bagai diterpa tornado. Ini lebih parah dari apa yang ku bayangkan soal kejahatan pak Andre. Ternyata Sean dan Bayu benar. Pak Andre tidak sebaik pikiranku. Tapi otakku selalu menolak mempercayai itu karena selama ini tidak ada tanda-tanda pak Andre akan tega melakukan ini. Pak Andre membelai rambutku, “Kamu pinter, Aura. Aku gak nyangka kamu bisa sehebat ini. Si Jefri berhasil mencetak anak yang pandai.” Ia akan kembali mencium bibirku, namun aku menendang kemaluannya dengan kencang dan berlari menggedor pintu. “SIALAN! SINI LO AURA MAGRIB!’ Aku menggedor pintu berharap ada penjaga sekolah atau siapapun disini. Aku berteriak kencang meminta tolong. “TOLOOOONG!” Pak Andre mengambil lenganku dan menamparku beberapa kali. Ia juga memukul paha dan betisku dengan pemukul bola kasti yang pasti sudah ia siapkan, “Kalo lo diem, lo gak akan gue kasar
Aku membuka mataku di sebuah ruangan asing yang tak pernah aku kunjungi sebelumnya. Tanganku hangat, digenggam seseorang yang ternyata adalah ibu. “Aura? Kamu udah bangun?” “Bu...” bibirku terasa nyeri ketika bicara. “Sebentar.” Ibu lari ke arah pintu, “Sus, dok, Aura sudah bangun.” Dokter jaga yang sedang bicara dengan suster berlari memasuki ruangan. Mereka tersenyum senang melihatku membuka mata. Dokter dengan sigap memeriksa kondisiku. “Kamu merasakan pusing atau mual?” Aku menggeleng. “Ada bagian yang terasa sakit?” Aku menggeleng lagi. Suara langkah kaki yang ramai terdengar memasuki ruangan. Aku langsung melirik ke arah pintu. Menatap Bayu, Adit, mama dan papa yang berlari mendekati ranjang. “Maaf, mas, bu, pak, pasien harus istirahat. Silakan tunggu diluar sampai jam besuk nanti sore tiba.” dokter memberi pengertian. Papa mengangguk, “Dokter bener. Kita harus kasih ruang buat Aura istirahat.” “Sus, saya suaminya. Saya boleh ‘kan tunggu disini?” Dokter
Adit berkacak pinggang di lawang pintu, “Guys, waktunya abis. Gantian sama yang lain.” “Kak Adit, kita belum puas nih ketemu Aura.” protes Nadia. “Elaaaah, lo jadi suster aja kalo gitu.” “Ih, Ra, liat, kakak lo tuh ya. Ternyata dia bener-bener nyebelin sesuai omongan lo.” Adit menaikkan tangannya yang semula di pinggang menjadi di ketek, “Malah ngegosip, ayo cepet keluar, ada tuan puteri nih yang mau masuk.” “Putri apaan, ngarang lo!” sahut Bayu. Karina melongokkan kepalanya. Ia melambaikan tangan padaku, “Hai, Ra. Gue... boleh masuk ‘kan?” Semua orang kecuali Adit melirikku. “Kalo lo janji suaranya gak kenceng tiap ngomong sama gue sih, lo boleh masuk.” Karina tersenyum, “Iya, gue janji.” “Silakan masuk, Elsa.” Adit menepi agar Karina bisa lewat. Karina melongo, “Namaku Karina, kak, bukan Elsa.” “Elsa—Frozen. Kamu mirip sama dia.” Katanya menatap rambut Karina yang dikepang seperti Elsa. “Ah gitu ya? Kakak juga mirip sama—” Adit menunggu Karina menyebutkan
Dua tahun kemudian... “...sayang, tiketnya habis, gimana dong? Kita pending aja, ya, sampe liburan tahun baru beres?” Bayu baru masuk ke dalam apartemen sambil menggantung mantelnya, karena di Paris sekarang sedang musim gugur mendekati musim salju. “Mas, kamu tuh, cari dong ke penerbangan lain. Kalo kita harus berangkat dari Paris Beauvais atau kalo ke Itali dulu juga gak papa kok. Yang penting kita pulang ke Indonesia sebelum musim liburan abis!” Bayu memijat bahuku, “Sayang, jangan marah-marah dong. Kasian anak kita.” Aku membalikkan badan memelototinya, “Ganti tuh popoknya.” “Iyaaa. Kamu jangan marah dong.” Aku tak mengindahkan ucapan Bayu lagi. Dia selalu begitu. Kalau gagal langsung diam, bukan mencari opsi lain. Setelah dua tahun menikah, dia masih saja lemot seperti dulu. Aku membuka bungkus roti bertuliskan bread RaYu : delicieux, Leger, Cipieux (Enak, Ringan, Kenyang). Brand roti yang kami buat disini sambil aku kuliah, dan Bayu bekerja. “Sayang?” Aku menoleh sambil
Aku terus menyisir rambutku depan cermin. Sedangkan Bayu sok sibuk dengan kado-kado yang kami dapat. Tok-Tok-Tok “Ra, Bay, buka dulu. Kalian belum ngapa-ngapain ‘kan?” Aku melirik Bayu, “Buka tuh.” Bayu bergerak mendekati pintu, “Kenapa, ma?” Ku lihat mama memberikan dua jamu beda warna itu pada Bayu, “Yang kiri untuk kamu, yang kanan untuk Aura. Oyah, Aura—mana?” Aku berlari mendekati pintu, “Aku disini, ma.” “Hehehe, kalian—bener gak mau nginep di hotel aja?” Aku dan Bayu menggeleng keras-keras. “Oh ya udah. Mama—tinggal ya?” “Iya, ma.” Mama sudah pamitan, tapi tak kunjung pergi. Sampai papa datang menyeret mama menuruni tangga. “Kalian—lanjutin aja. Mama tuh kurang minum, jadi agak lambat geraknya. Kalian masuk sana. Kunci ya, pintunya. Ayo, ma.” Aku dan Bayu menahan senyum. “Gue tutup ya.” kataku. Sebelum pintu ditutup, kakek mendorong pintu. “Kek? Ada apa?” Kakek melihat ke dalam kamar, “Kalian—gak butuh apa-apa?” Aku dan Bayu saling lirik dan
“...saya terima nikah dan kawinnya Aura Riana binti Jefri Septian dengan mas kawin tersebut, tu-nai.” “Bagaimana para saksi?” tanya pak penghulu. “Sah.” “SAAAAAAH!” teriak Adit dan Karina kompak. Aku menahan tawaku ketika duduk bersanding dengan Bayu di meja akad. Aku salim padanya, ia juga mencium keningku. Setelah mendengar semua pengakuannya kemarin, hatiku terenyuh pada rayuan si semprul satu ini. Aku pun mengakui kalau perasaanku sama padanya. Bayu langsung mengatakan akan menikahiku hari ini. Ia langsung mengabari mama-papa, ibu-ayah dan kakek. Kini semua hadir disini, dalam acara pernikahan asli antara RaYu alias Aura dan Bayu. Setelah menyalami tamu yang di undang hanya teman dekat dan keluarga, aku dan Bayu menghampiri meja dimana semua tengah berkumpul. “Kita sambut pengantin no palsu-palsu club kita, Adu RaYu. Beri tepuk tangan yang meriah untuk mereka.” Adit tiba-tiba berteriak seolah menjadi MC. Semua menurut, mereka bertepuk tangan meriah. “Akhirny
Aku berlari dari rumah Bayu menuju rumahku. Di depan garasi, ada motor Adit. Aku masuk ke dalam rumah yang sepi. “...gue bisa mati kalo gini caranya, Dit.” “Jangan mati dulu lah, Bay, belum umur tiga puluh.” “Diem lo! Lo emang gak bisa dipercaya. Lo gak liat luka gue sebesar ini, hah? Lo mah enak, cuma baret aja.” Aku berhenti di dapur, menatap Adit yang sedang menyesap kopinya di kursi, dan Bayu yang terduduk lesehan diatas tikar. Mereka dalam kondisi baik-baik saja. Tidak ada baret, atau luka apapun. “Kalian—gak papa?” Adit dan Bayu menoleh. Bayu berdiri dan melotot tak percaya melihatku ada disini, “Ra? Lo—disini?” Adit menggaruk kepalanya. “Gak lucu tahu gak!” Bayu dan Adit saling tatap. “Itu ide si Adit, Ra. Gue gak ikutan.” Aku melirik Adit, “Lo tuh tahu gak sih kalo gue hampir mati dapet kabar tadi?” “Ya lo bilang si Bayu gak akan mati, gimana sih.” Aku menangis, tak percaya Adit masih bisa membela diri padahal jelas ia salah. “Ra, gue—minta maaf
Pagi yang mendung. Sedari malam, Surabaya diguyur hujan. Langit seolah tahu, bahwa aku merindukan Jakarta dan seisinya hingga menangis. Drrrrt~ Aku meraih ponsel di nakas, “Adit?” “Ra, halo? Ra, urgent banget lo harus pulang.” Adit bicara dengan hebohnya. “Lo—kenapa?” “Gue kecelakaan, Ra.” “Hah?” aku bangkit dari kasur, “Kok bisa? Lo gak papa ‘kan?” “Gue hampir sekarat.” Aku diam sejenak, “Ada ya, orang sekarat suaranya kenceng dan semangat gini?” Adit diam. “Lo tuh caper banget sih. Pacar lo ‘kan disana, lo telpon Karina lah, gue ‘kan jauh. Kecelakaan kecil gak akan bikin lo mati.” “Si Aura.” Aku tertawa, “Ketauan nih ye, mau nipu gue.” “Yang sekarat bukan gue.” Katanya lirih. “Terus? Ka-rina?” “Bukan. Karina di rumahnya. Gue kecelakaan berdua, sama si Bayu.” Deg! “Ra, si Bayu—sekarat. Lo—bisa pulang sekarang ‘kan?” Aku diam, menggigit jariku kencang, “Kok si Bayu—ada di Jakarta? Dia—bukan di Prancis?” “Ceritanya panjang. Dia balik lagi dari
Aku baru beres mengaudit keuangan pabrik tiga bulan terakhir. “Akhirnya selesai juga.” Seorang pegawai perempuan usia Adit menghampiriku, “Kak, permisi, ada surat dari pengadilan.” “Hm? Siapa yang cerai?” “Itu... dari pengadilan tinggi, kak, bukan dari pengadilan agama.” “Ah, iya. Aku pikir ada yang cerai.” Aku menerima dan membaca isi surat yang diberikan. Aku mengernyit, “Ini maksudnya pabrik kita digugat atas persamaan nama dengan badan usaha lain?” “Betul, kak. Pabrik roti yang udah berdiri lima puluh tahun lalu merasa dirugikan dengan persamaan nama pabrik ini. Katanya banyak orang mengira ini adalah pabrik cabang.” Aku melirik membaca nama pabrik roti yang masih kecil ini, “Sari Rasa?” “Karena bu Syaira gak ada disini, jadi kakak yang harus ke pangadilan minggu depan.” “Aduh, ini gak ada cara yang lebih simpel apa, mbak?” “Ada, kak. Pihak pabrik pesaing bilang, kalau kita ganti nama secepatnya, mereka akan cabut gugatan.” “Bentar ya.” aku membuka pon
Aku berjalan pelan menuju mobil bersama ayah dan Adit. “Jadi klien ayah yang nyuruh cari Andre itu—papa? Maksud aku—om Rino?” Ayah mengangguk, “Kami punya tujuan yang sama. Mencari orang tidak pernah semenyenangkan ini sebelumnya. Ayah gak nyangka bisa menemukan Andre di ATM deket sekolah kamu. Ayah pikir dia kabur ke luar kota. Pantes ayah pergi ke tempat lain, orang gak pernah liat dia.” Aku mengernyit, “ATM?” “Yah, si Andre itu—” Aku menatap Adit memintanya diam. “Kenapa sama Andre? Ada yang harus ayah tahu? Biar ayah sampaikan sama kepolisian untuk memberatkan masa tahanan.” Adit menggeleng, “Gak papa, tadi cuma mau bilang si Andre pasti lagi ngambil duit.” Ayah tertawa, “Ya iya lah, Dit, masa ngambil cucian. Laundry kali.” “Euh, lo tuh ya.” aku ikut mengalihkan topik. Mama, papa, dan Bayu berjalan mendekati kami. “Kamu tenang sekarang, Ra, Andre udah mendapatkan hukumannya.” Aku tersenyum, “Makasih ya, pa, masih mengusahakan mencari dia, sampe duel segala
Aku memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Adit mengembalikan mobilku dengan baik. Dia memang pandai menjaga barang. “Lo serius mau berangkat sekarang?” tanya Adit yang disikut ibu, “Nyari univ ‘kan gak harus kesana langsung. Lewat internet aja, gue bantuin.” “Banyak yang harus gue urus disana, kak.” “Gue bisa anterin lo kalo akhir pekan.” “Gak usah, lo ‘kan sekarang sibuk pacaran sama Elsa.” Aku menghampiri ibu dan memeluknya, “Bu, aku pamit sekarang, ya? Doain perjalanannya lancar.” “Pasti. Kamu kalo pegel, ngantuk atau apapun itu, berhenti dulu.” “Siap.” “Lagak lo sih, ke sana bawa mobil sendiri. Naek pesawat aja, atau kereta gitu, atau nggak Buroq.” Aku melepaskan pelukkan ibu, “Lo tuh ya. Terserah gue lah.” Aku berdiri dihadapan Adit, “Gue—pamit ya, kak. Sama-sama, gue seneng bisa ngurus lo selama ibu di Surabaya. Udah kenyang banget gue teriak sama lo selama ini. Tapi meskipun gitu, gue pasti akan merindukan elo sih. Jengukin gue kesana loh.” Kami berpeluk
Aku membereskan baju-baju dan semua keperluan yang akan dibawa ke Surabaya. Aku sudah pulang, membawa mobil dan hadiah emas dari kakek. Aku pamerkan pada Adit, membuatnya memohon untuk meminjamkan mobilnya untuk pergi dengan Karina. “Kalo lo pelit, kuburaan lo sempit loh, Ra.” Adit masih gencar merayuku. “Tinggal beli lagi tanah kuburannya. Gue sekarang kaya, Dit, gue punya lima batang emas.” Adit manyun memainkan pintu kamar. “Mau pergi kemana sih lo?” “Ya keliling aja. Gue akan bilang kok kalo itu mobil elo.” “Dit, si Karina itu orang kaya. Dia pasti bosen kalo kemana-mana naek mobil. Naek motor tuh pengalaman baru buat dia.” “Gue yang bosen.” Aku menghentikan aktivitas beberesku. Ku lirik Adit yang memasang wajah super mengkhawatirkan, “Iya-iya gue pinjemin.” Adit melotot senang, “Serius lo?” “Tapi itu bensinnya abis, tolong di isi ya.” Adit menghampiriku, “Oke, gue isi gocap.” “Yah, gocap. Lo pikir mobil barbie. Yang bener aja dong.” “Gue belum gajian, gu