“Jalani saja, tidak usah banyak tanya!”“Kenapa kamu tidak pindah ke desaku? Bukankah seharusnya setelah menikah, kamu pindah ikut aku? Aku seorang kepala desa, Isna. Tidak seharusnya pulang ke sini setiap hari. Warga terkadang juga membutuhkanku saat malam hari. Dan kamu, kamu dibutuhkan mereka juga sebagai seorang ibu desa ….” Ku berucap dengan nada yang aku buat memelas. Berharap Isna akan luluh hatinya.“Lebih tepatnya, aku dibutuhkan oleh Restu untuk mempertahankan posisinya sebagai kepala desa. Itu yang betul. Aku akan pindah ke sana jika ….” Mulutku membuka sempurna. Antara malu dengan bahasanya yang terlalu jujur, juga penasaran dengan syarat yang akan diajukannya.“Jika apa?” refleks aku bertanya.Isna tersenyum, sangat cantik. Mata ini sempat terpana, menyadari jika ia begitu manis. Kedua alisnya dimainkan, membuat sebuah desiran aneh hadir dalam dada ini. Namun, aku berusaha menepis. Karena sebuah janji yang diminta Marwah agar cintaku hanya untuknya.“Jika … jika kamu bisa
Tenggorokanku mendadak tercekat mendengar apa yang disampaikan oleh Bu Marini. Oh tidak! Aku menemui dia untuk memintanya menikah dengan orang lain? Tentu hal yang sangat menyakitkan. Dan, apa tadi? Marwah disukai anak kyainya? Itu tidak boleh terjadi. Aku saja saat ini masih menjaga kesucianku demi dia. Mengapa dia malah akan didekati orang lain? Batinku menolak tegas.“Mas Restu, apa Mas Restu akan tinggal di desa istrinya untuk selamanya? Itu artinya, kami tidak bisa meminta bantuan Mas Restu lagi. Apalagi jika ….” Bu Marini berhenti berucap. Terlihat ragu.“Jika apa, Bu?” Aku penasaran terus.“Jika Marwah sakit dan kami butuh mobil untuk menjemputnya,” jawab Bu Marini lirih. “Kami seolah tidak punya siapa-siapa lagi di sini. Keluarga menjauh, seolah cinta Marwah kepada Mas Restu adalah sebuah hal yang dosa besar. Mereka selalu memarahi dan berkata kasar pada kami. Katanya, kami ini tidak tahu diri, kami ini orang miskin yang tidak tahu malu. Bahkan kini, beberapa orang enggan untu
Suatu hari, aku akan menemui Marwah. Aku akan memastikan, apakah hatinya telah berpaling dari aku, atau tidak. Namun, rasanya aku akan malu bila meminta alamat pondok pesantrennya pada Bu Marini. Satu-satunya cara adalah dengan aku tetap di sini, dan berharap Bu Marini sendiri yang akan datang meminta bantuanku. Aku harus pulang dan membujuk Isna agar mau pindah. Gegas, kurapikan semua berkas yang sedari pagi hanya kugelar saja tanpa disentuh. Melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul hampir dua belas siang membuatku berharap Isna sudah ada di rumahnya. Di perjalanan, hatiku terus menimbang-nimbang, apakah aku akan menjenguk Marwah atau tidak. Jika iya, apa alasanku? Atau, aku akan mengajak serta ibu serta adiknya? Dadaku berdebar tidak karuan. Rasa rindu, cemas dan dorongan keinginan untuk ke sana berbaur menjadi satu. Bidadariku sakit ternyata. Tanpa dia tahu, aku pun merasakan sakit luar biasa dalam hati ini. Bedanya, aku bisa bertahan sehingga fisikku masih kuat. Ah, lupa.
“Aku ditakdirkan menikah dengan pria yang tidak mencintai dan tidak menginginkanku. Jadi, aku tidak perlu menuruti apa yang menjadi perintahmu. Tidak usah berbicara beberapa tahun ke depan. Karena saat ini, aku dan kamu belum menjadi kita.” Tidak ada lagi senyum di bibir Isna. Sorot matanya terlihat sedih.“Lalu, kamu ingin kita bagaimana? Bagaimana agar aku dan kamu menjadi kita.”“Restu, kamu bodoh atau pura-pura bodoh? Diantara kita masih ada Marwah. Dan jangan harap, aku akan menuruti keinginan kamu. Kamu ingin meninggalkan aku? Silakan! Aku tidak masalah. Justru aku akan bahagia jika kamu melakukan itu. Karena itu artinya, aku tidak perlu membuat sebuah alasan mengapa kita berpisah. Bila kamu berbicara kewajibanku sebagai istri, maka kamu belum melakukan kewajiban kamu sebagai suami. Memberikan nafkah lahir maupun batin. Hampir satu bulan kita menikah, pernahkah kamu memberi uang sama aku?”“Oh, jadi kamu uang? Baiklah. Sebentar,” ucapku geram. Aku membuka ranselku dan mengeluark
Aku berusaha fokus agar bisa melakukan hal itu dengannya. Namun, melihatnya menangis, konsentrasiku buyar. Semur hidup, baru kali ini aku membentak wanita. Saat dimarahi Ibu, aku hanya diam. Sekalipun membantah, itu menggunakan bahasa yang halus. Dengan Marwah, sama sekali tidak pernah melakukan itu. Karena dia adalah wanita yang sangat lembut. Hati dan wajahnya sama-sama cantik. Mana mungkin, akan ada lelaki yang tega menyakiti hatinya? Terlebih aku yang sangat mencintainya. “Lepaskan aku, Restu! Kamu benar-benar keterlaluan! Kamu sudah menginjak-injak harga diriku. Aku tidak akan pernah melupakan ini,” teriak Isna. Meski suaranya tidak tinggi, aku yakin tetap terdengar dari luar. “Isna, kamu kenapa?” Tak berapa lama, aku mendengar suara seorang wanita mengetuk pintu dengan keras. Itu suara ibu Isna, alias ibu mertuaku. Seketika, kemarahanku sirna. Sadar aku telah melakukan hal yang salah, dan sudah kelewat batas. Kalimat istighfar berkali-kali terucap dari bibir ini. Namun sepert
Part 28POV MarwahAku tumbuh dalam keluarga yang penuh kasih sayang. Mamak dan Bapak, mereka selalu berkata dengan lembut dan mendukung apapun yang diakukan sejauh itu hal baik. Meski aku tahu, banyak warga yang mengecam hal-hal yang seharusnya tidak mereka campuri. Termasuk di saat memutuskan untuk melanjutkan sekolah di SMA yang ada di kota. Mengapa memilih kota? Karena aku ingin sambil hidup di pesantren. Keputusan itu banyak mendapat pertentangan juga cibiran dari keluarga besar. Karena mereka tahu, kami melakukan semua itu agar aku bisa sebanding dengan Mas Restu, pria yang menjadi cinta monyet saat aku masih duduk di bangku SMP.Mas Restu yang dari keluarga berada, tentu tidak akan mengijinkan bila ia menikahi gadis kampung tanpa pendidikan tinggi. Meski hanya SMA, setidaknya aku tidak seperti gadis lain yang hanya tamatan SMP. Sempat ingin melanjutkan kuliah, tapi terpaksa urung karena Bapak benar-benar tidak mampu.Di sekolah, aku sangat aktif. Kata orang, wajahku sangat can
Tiba-tiba, gerimis turun dan lampu padam. Sebuah telapak tangan yang dingin menggemaku erat. Aku terisak. “Marwah, aku sangat mencintaimu. Tapi, aku tidak bisa menolak perjodohan ini. Marwah, kuharap kamu akan baik-baik saja setelah ini,” ucap Mas Restu lirih. “Jodoh itu urusan Allah, Mas, sekuat apapun aku berusaha mendapatkanmu, jika memang Allah tidak berkehendak maka, kita tidak akan bersama. Namun, aku yakin jika Allah tmendengar semua doa hambaNya. Doaku untuk hidup bersama denganmu, pasti sudah dicatat olehNya. Menikahlah dengan wanita pilihan orang tuamu. Tapi, berjanjilah untuk selalu mengingatku setiap saat. Saat kau mau tidur, saat kau bersama istrimu, ingatlah ada aku yang terluka yang sangat mencintaimu,” pintaku lirih. “Isna … aku tidak rela bila kamu dimiliki orang lain.” Perkataan dari Mas Restu membuat aku berharap masih ada jodoh diantara kami, entah kapan itu terjadi. “Jangan lupa! Ingat aku, ya? Kalau mau malam pertama, kamu harus ingat aku. Aku yang sedang mena
Part 29Meski di pesantren, komunikasi antara aku dan keluarga di rumah tetap terjaga. Selama tujuh bulan di tempat ini, aku sering mendapatkan transferan uang misterius. Namun, aku tahu jika itu Mas Restu yang melakukan. Siapa lagi orang yang tahu nomor rekening selain keluargaku kalau tidak dia?Aku tersenyum kala melihat deretan nominal uang yang dia beri. Tidak banyak, hanya satu juta setiap bulannya. Namun, bukan itu yang ada dalam pikiran. Uang yang diberikan seolah menandakan bahwa dia masih sangat mencintaiku. Tidak ada yang lebih kuharapkan darinya saat ini selain tahu jika lelaki itu masih memikirkan aku. Ternyata, sebuah jabatan dan kekayaan yang dimiliki seorang Isna tidak mampu membeli cinta Mas Restu. Nyatanya, ia masih memikirkan gadis yang sudah dianggap keluarganya miskin dan tidak pantas bersanding dengannya ini.Akan tetapi, sudah dua bulan ini Mas Restu tidak mengirim uang lagi. Kadang juga terbesit sebuah khawatir, apa dia sudah menikmati pernikahannya itu? Aku ak
EKSTRA PART 5 Restu menatap sebuah cincin indah yang dibeli dari gajinya. Ia sudah berniat pulang dan akan melamar Isna kembali. Entah mengapa, hati menuntunnya ke rumah dinas Isna. Rumah kecil yang selalu ia tuju beberapa bulan sebelumnya. Ia kaget saat melihat dua sandal di rak yang ada di teras. Namun, tangannya segera mengetuk pintu perlahan. Yakin bahwa perempuan yang sedang dicarinya ada di dalam. “Cari siapa, Mas?” tanya Fahri yang membukakan pintu. Restu mendadak cemas. Jantungnya berdegup kencang. Mencoba menolak persepsi yang masuk dalam pikiran tentang hubungan lelaki di hadapannya dengan mantan istri. “Cari Isna. Anda siapa di sini?” tanya Restu. Menunggu jawaban keluar dari mulut Fahri, Restu merasa takut. “Saya suami Isna.” Dugaannya benar. Tidak lama, Isna keluar dengan memakai jilbab. Sorot tidak suka langsung terpancar kala menatapnya. Rahang Restu mengeras menahan emosi. Ingin rasanya menghajar lelaki yang mengaku sebagai suami Isna itu karena ia terbakar ce
Fahri menatap perempuan yang memakai kebaya putih dengan mahkota di atas kepala, khas pengantin Sunda. Meski mereka orang Jawa, Isna memilih adat lain untuk hari spesialnya, karena tidak ingin mengingat busana yang dikenakan saat menikah dengan Restu. segala hal yang dia pilih dari dekorasi, busana, riasan dan pernak-pernik pernikahan dipilih yang berbeda dari pernikahan pertamanya. Mereka memilih ijab qabul dengan cara islami. Isna berada di kamar saat Fahri mengikat janji suci dengan mahar uang sejumlah tanggal, bulan serta tahun pernikahan mereka. Kini ia dipertemukan setelah benar-benar resmi menjadi istri dari lelaki yang berprofesi sebagai tentara itu. Fahri tersenyum bahagia saat Isna berhadap dengannya. Ia lalu mengulurkan tangan untuk dicium takzim oleh perempuan yang sudah sah menjadi miliknya. Sentuhan pertama keduanya, mengawali sebuah hubungan yang halal di mata Allah. Isna ingin menangis, tapi ia tahan. Setiap titik air mata yang jatuh ketika menjadi istri Restu, kini
EKSTRA PART 4“Kenapa lama? Aku sudah setengah jam menunggu di sini,” ucap Isna kesal.“Jangan marah-marah. Kamu hanya menungguku setengah jam. Sementara aku, aku sudah bertahun-tahun menunggumu. Saat datang, kamu sudah menjadi milik orang. Bukankah itu lebih mengesalkan?” tanya Fahri sambil tersenyum menggoda. “Jangan marah. Kita impas. Aku mengalah jika waktuku bertahun-tahun hanya kubalas dengan setengah jam saja ….”Isna memasang muka masam.“Aku merindukan kamu,” kata Fahri saat baru saja duduk sambil menyerahkan buket bunga.Isna masih enggan menanggapi.“Kalau kamu ngambek, kita seperti sudah berpacaran.”Isna melirik sekilas saja lalu meletakkan tangan di dagu dan memindahkan bola mata menuju objek lain.“Aku tadi mencari bunga berwarna merah ini. Kamu tahu kenapa lama?”Isna melirik Fahri. Kali ini tatapannya berhenti seperti penasaran.“Karena aku mengecat bunga ini sendiri.”Isna hendak tertawa tapi ditahan.“Kamu mau terima bunga ini atau tidak? Kalau tidak, aku mau mengem
“Kamu mencium harumnya bunga melati?” tanya Fahri. Isna celingukan. “Enggak,” jawabnya. Ia lalu berpikir jika melati berhubungan dengan hal yang mistis. “Kamu tidak menciumnya karena melati itu ada di lama hatiku.” Dengan wajah datar, fahri menggoda Isna. “Aku pulang, lho!” “Mau pulang sama siapa? Hamam sudah aku suruh pulang lebih dulu.” Isna membelalak. “Terus? Aku nanti pulang sama siapa?” “Aku sudah bilang mau antar kamu pulang, ‘kan?” “Tapi ….” “Jangan takut! Aku bawa sopir. Kita nanti bertiga.” “Kalian laki-laki semua, aku wanita sendirian?” Fahri tersenyum. “Hamam menunggu di luar. Tapi, nanti aku akan mengantarmu pakai mobil.” Isna meneguk es jeruk yang ada di meja. Panas dingin dirasa dalam tubuhnya. “Aku akan berangkat besok. Tunggu aku pulang. Dan aku akan menagih jawaban sama kamu,” Hati yang hangat mendadak sunyi kembali saat mendengar Fahri akan berangkat. “Kapan pulang?” Pertanyaan yang meluncur dari mulut Isna tanpa ia sadar. “Kamu mau ikut?” canda Fahri.
EKSTRA PART 3 Isna tidak tahu harus berbuat dan berkata apa. Semuanya terasa tiba-tiba terjadi. Ia sama sekali tidak menyangka jika yang melakukan semua itu adalah Fahri. Pria yang selama beberapa bulan ini tidak ada kabar sama sekali. Seketika hatinya merasa lega. Bayangan Tomi yang menari-nari di pikiran lenyap seketika. Namun, kelegaan itu berganti dengan rasa bimbang dan bingung. Ia tentu tidak bisa memutuskan dalam sekali itu juga. Jika lamaran itu dilakukan oleh seorang pacar, tentu akan sangat membahagiakan. Namun, Fahri hanyalah teman yang tidak pernah menghubunginya selama ini. Meski Isna tahu, lelaki itu memiliki perasaan. Akan tetapi, tetap saja baginya Fahri belum dekat di hati. “Aku bukan lelaki egois yang akan menuntut kamu menjawab saat ini juga. Aku melamar kamu karena memang aku ingin mengutarakan isi hati ini. Aku hanya pulang dalam waktu seminggu saja. Dan ini khusus aku lakukan untuk melamarmu. Kelak, jika aku pulang tiga bulan lagi, aku harap kamu sudah memiliki
Tidak lama kemudian lampu menyala. Seorang pria yang memakai kemeja warna abu-abu dipadukan celana jeans hitam. Penampilannya terlihat menawan. Berjalan mendekati Isna dengan satu tangan memegang mic sambil bernyanyi. Sementara tangan lainnya memegang buket bunga. Selesai menyanyikan lagu satu bait, musik kembali berganti dengan alunan biola.Isna menoleh dan menyadari Hamam sudah tidak ada di sana. Sedari tadi ia terpana hingga tidak sadar adik laki-lakinya telah meninggalkannya seorang diri.Isna merasa bingung dengan apa yang akan dilakukannya. Pria itu mendekat menatapnya dengan tatapan kerinduan dan penuh cinta.Ia berlutut di hadapan Isna dan mengulurkan buket seraya berkata, “will you marry me?”Mata Isna berkaca-kaca. Alih-alih menjawab, ia malah menangis dengan posisi tangan menutup wajah.***“Siapa nama kamu?” tanya Hasyim saat kedatangan lelaki muda tampan dan mengatakan ingin meminang Isna dan mengajaknya menikah.“Saya Fahri, Pak. Kakak kelas Isna saat masih SMA. Saya su
EKSTRA PART 2Dalam sujud panjang, Isna memohon petunjuk. Tiba-tiba dalam hati memiliki sebuah keyakinan, jika itu bukan Tomi atau Restu, jika orang itu adalah lelaki baik yang pernah ia kenal, maka ia akan membuka hati.Isna yang diliputi rasa kebimbangan menceritakan apa yang terjadi terhadap keluarganya. Di luar dugaan, sang ibu justru mendorongnya untuk berangkat. “Nanti diantar sama adikmu,” ujar Rahayu tanpa memiliki rasa kekhawatiran.“Tapi, kalau orang itu Tomi?” Isna terlihat ragu.“Kamu lari, Hamam yang akan menghadapi.” Rahayu memberi support untuk sang putri.Akhirnya Isna memutuskan berangkat meskipun ragu.“Hati-hati! Bapak selalu merestui setiap jalan yang kamu pilih. Bapak hanya ingin bahagia dengan siapapun nantinya lelaki yang kamu pilih. Bapak tidak mau mengulangi kesalahan yang dulu. Oleh karenanya, kamu harus mencari sendiri calon suami untukku kamu. Cari dan pilihlah dia yang mencintai kamu, Nduk,” ucap Hasyim saat Isna hendak berangkat. Suaranya bergetar. Sepert
Ada yang kirim paket, sudah Ibu taruh di atas kasur,” ucap Rahayu saat melihat Isna pulang kerja kelelahan.Isna diam dan langsung masuk kamar. Sebuah paket berbungkus plastik hitam dibukanya. Tanpa ada nama pengirim membuat jantungnya berdegup kencang. Takut bila didalamnya ada sesuatu yang membahayakan. Sejenak ia ragu untuk membuka.“Bismillah ….”Kotak berbentuk kado. Saat membuka tutupnya, ada kotak lagi. Begitu sampai kotak ketiga. Lalu Isna menemukan beberapa batang coklat dan sebuah kartu ucapan.Semoga kamu bahagia selalu.“Siapa yang mengirimnya?” tanya Isna seorang diri.Meski penasaran, ia tidak mengatakan hal itu pada sang ibu.Tiga hari kemudian, Isna mendapatkan lagi paket misterius. Kali ini di dalam kotak ada setangkai bunga mawar plastik. Dengan sebuah kartu ucapan pula.Semoga harimu menyenangkan.Isna mengumpulkan paket yang ia terima dalam satu kardus. Ia tidak mau memakan coklat karena takut ada racunnya.“Apa ini dari Tomi? Hanya Tomi yang gencar mendekatiku. Na
EKSTRA PART 1Restu mengemasi barang-barang miliknya dari kantor kepala desa. Enam bulan sudah ia bercerai, dan perilakunya tidak terkendali. Hobi bermabuk-mabukan menggunakan uang desa. Lama-lama, pegawainya merasa tidak suka dengannya. Dan demo besar-besaran terjadi yang ujungnya adalah pemecatan ia sebagai kepala desa.Dahlan sudah tidak mau ikut campur dengan keadaannya sehingga memilih untuk diam.“Pergilah merantau! Untuk mengembalikan nama baikmu. Hutangmu pada desa akan kami lunasi. Tapi, kamu harus pergi dari sini. Karena aku tidak mau lagi menuntun langkahmu. Kamu sudah dewasa. Kamu harus belajar mencari hidupmu sendiri. Mulai sekarang, kamu mau menikah dengan siapa saja kami benar-benar tidak peduli!” ujar Dahlan dengan muka masam.Restu yang memang sudah kepalang malu, hanya bisa meratapi nasib dengan pergi dari rumah Dahlan dengan tanpa membawa harta benda apapun. Hanya motor butut yang selalu setia menemani sejak kehancuran hidup.Tanpa kekayaan dan kejayaan orang tuanya