Bab 24. Tak Berdaya
Ucapan Daniel terlihat meyakinkan, itulah kenapa aku mengiyakan saja dan mengikuti kemana arah langkah kakinya sekarang. Keluar dari penginapan, kami pergi ke mobil masing-masing dan pergi ke sebuah kedai dimana Daniel lebih tahu tentang lokasi kedai tersebut.Aku mengikuti laju mobil Daniel yang sudah mendahului di depan. Ia lebih tahu dimana letak kedai yang ia maksud. Jujur, aku tidak pernah makan di kedai atau warung. Jika aku lapar, paling minim aku pergi ke resto kecil di pinggir jalan dan memiliki merek dagang yang aku sendiri sudah kenal sebelumnya.Setelah mengikuti mobil Daniel kurang lebih sepuluh menit, akhirnya kami tiba di sebuah cafe sederhana dengan suasana pedesaan. Aneh, di kota yang besar ini ada kedai semacam ini. Ah, mungkin aku saja yang ketinggalan informasi sehingga kedai sebagus ini terlewatkan oleh pandangan mataku.Turun dari mobil, aku mendekati Daniel yang sudah menunggu di samping mobilnya. Kami beBab 25. PerjanjianAku tak ingat apa pun. Yang kurasakan saat ini adalah kepala yang terasa berat dan mata yang sulit terbuka, bahkan aku seperti mengarungi lautan mimpi yang panjang dan melelahkan. Sialnya, bahkan dalam mimpiku itu aku harus berteman dengan anak-anak Anggun dan mengasuhnya kesana-kemari.Mencoba untuk meninggalkan bayang-bayang anak Anggun yang menghantui, aku berlari secepat mungkin. Napasku naik turun, kakiku gemetaran menahan lelah dan remuk. Keringatku bercucuran, aku berusaha mengerahkan seluruh tenagaku untuk berlari bahkan sampai ke sisa-sisanya."Kembalikan papaku, Tante. Kembalikan!" Dua bocah itu mengejarku, dengan kakinya yang mungil mereka sama sekali tidak merasa kelelahan. Ya Allah, selamatkan aku. Selamatkan aku.Aku tersentak, bersamaan dengan itu mataku terbuka lebar-lebar. Pikiranku kosong, yang ada hanyalah plafon putih di atas kepalaku. Ini dimana, dengan siapa, aku sama sekali kosong dan tidak mengerti.
Bab 26. KecewaPanggilan sudah berakhir, mataku yang terbuka karena telepon itu hanya diam dan terus memperhatikan mimik wajah Daniel yang sedih dan resah. Pria berkemeja kotak-kotak itu mendengkus pelan, ia berbalik badan dan ..."Telepon dari siapa?" tanyaku lirih saat mendapati pandangan kami saling bertemu satu sama lain.Daniel yang terpaku sejenak kembali mengembuskan napas. Dengan senyuman terpaksa ia berjalan mendekat ke arahku sambil menyimpan kembali ponselnya di saku celana."Bukan siapa-siapa, ayo tidur. Kamu harus segera sembuh," hiburnya dengan tutur kata yang lembut. Daniel tampak memanipulasi wajahnya, ia terlihat datar seolah tidak terjadi apa-apa.Aku terus memandang wajahnya, tak percaya jika Daniel bisa setenang itu setelah mendapatkan kabar genting dari Anggun. Apakah suamiku sudah berubah? Jika ya, aku yakin pasti perjanjian itulah yang telah mengubah Daniel yang dingin menjadi hangat seperti ini."Katakan padaku Mas, jangan berbohong lagi. Aku sudah dengar tadi,
Bab 27. TerbongkarIbu lantas merapikan mangkuk dan alat minumku di atas meja. Dengan sikap terburu-buru, wanita yang memakai blus putih itu memasukkan ponsel ke dalam tas tangan lalu pergi begitu saja dari ruanganku. Terasa begitu terburu-buru hingga tidak menyadari bahwa sebenarnya aku sama sekali belum tidur.Bangun dari rebahan, aku mencoba mencabut selang infus yang masih tertanam di punggung tanganku bagian kiri. Sakit rasanya tapi akan lebih sakit jika aku tidak tahu soal rahasia dan perjanjian itu.Turun dari ranjang rumah sakit, aku menyambar jaket yang tersampir di atas kursi samping ranjang. Menutupi pakaian ala rumah sakit yang kukenakan, dengan langkah tertatih aku mengikuti langkah Ibu keluar dari rumah sakit dan menuju ke parkiran mobil.Tak kurang akal, aku meminta taksi yang kebetulan baru saja menurunkan penumpang di area rumah sakit tersebut. Soal uang, ah nanti saja. Toh aku masih ada cincin yang bisa kubayarkan pada Pak sopir.
Bab 28. Keputusan BeratKarena sakit yang terasa kian menjadi-jadi, aku tak tahan dan akhirnya pingsan. Aku benar-benar histeris hingga tidak mampu mengontrol diriku, marah semarah-marahnya hingga berefek buruk pada kesehatanku. Ya, mau bagaimana lagi, siapa pun orangnya tetap tidak akan mau dibohongi seperti ini terlebih oleh keluarga dan suaminya sendiri.Setelah pingsan di resto itu, segenap keluarga membawaku kembali ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan khusus. Mereka takut jika kejadian ini akan berakibat fatal pada emosi serta mentalku kelak."Bagaimana keadaan Devi, Dokter?" tanya Ibu dengan wajah pucat sesaat setelah sang dokter memeriksa keadaanku."Kondisinya sudah mulai stabil Bu, hanya emosinya saja yang sedikit terguncang. Untuk kedepannya mohon untuk berbicara lebih lembut atau mungkin bisa bicara dari hati ke hati agar emosi pasien bisa terjaga dengan baik," saran sang dokter sambil mengalihkan stetoskop dari telinganya.
Bab 29. Sadar Diri[Ayah, Ibu, jangan mengkhawatirkan diriku terlalu sangat. Mas Daniel menjagaku dengan baik, aku mulai menerima keadaanku sekarang. Aku ingin sembuh. Kalian, fokus saja pada pekerjaan kalian. Love you Ayah, Ibu. ]Aku mengirim pesan yang sama pada ayah dan ibu setelah Mas Daniel benar-benar pergi dari ruanganku. Hal itu kulakukan agar ayah dan ibu tidak khawatir, mereka tidak akan mungkin menjengukku dalam waktu dua hari ke depan.Aku menghela napas, kini ruangan itu sepi tanpa siapa pun. Hanya ada televisi ukuran empat puluh dua inch yang kini tengah menayangkan lagu-lagu pop galau Indonesia. Ah, aku buru-buru meraih remote dan menggantinya ke saluran antah berantah yang memungkinkan diriku untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan."Surprise!" Suara teman-teman terdengar saat membuka pintu kamar rumah sakit. Aku terkejut, terbelalak akan kehadiran mereka yang tergolong sangat tiba-tiba.Pamela, Ratih, dan Dania berham
Bab 30. Terlalu BerharapMataku melebar saat mendapati pesan singkat dari Daniel sore itu. Hatiku berdebar, hanya saja pesan itu secepat kilat langsung dihapus oleh si pemilik pesan. Aku tertegun, apakah aku baru saja bermimpi?Aku menghembuskan napas, rasanya aku terlalu berharap pada pria itu. Entah mencintaiku atau tidak, apakah hal itu penting sekarang? Aku tidak bisa memberinya anak dalam waktu dekat, bukankah itu artinya statusku tidaklah begitu berarti di mata Daniel.Aku meletakkan ponsel, sepertinya Daniel salah kirim pesan tadi. Bodohnya aku begitu percaya pada dirinya hingga lupa bahwasanya akulah yang telah mendekatkan mereka kembali saat ini.Meraih remot tivi, aku mencoba untuk melupakan pesan singkat yang dihapus Daniel tersebut. Berusaha sebisa mungkin untuk menikmati tayangan demi tayangan hingga Riko benar-benar datang membawakan martabak telor pesananku.Setelah tiga puluh menit menunggu, akhirnya Riko datang juga ke ru
Bab 31. Apakah Ini Cemburu?POV Daniel[Dev, kamu sedang apa? Kamu baik-baik saja kan? Aku ... Aku memikirkanmu. ]Aku merasa risau hingga tanpa sadar menulis pesan itu dan mengirimnya pada Devi. Ah, sedetik kemudian aku sadar, aku tak seharusnya mengungkapkan perasaan langka seperti itu pada Devi. Maka secepat kilat aku menghapusnya, berharap Devi tidak membaca pesan memalukan tersebut."Papa, ayo main lagi." Denna, anak kembarku menarik-narik tanganku dan memintaku untuk menemaninya bermain bola. Dengan kompres yang masih tertempel di dahi, bocah itu begitu ceria ketika mendapatiku kembali ke penginapan.Tak ingin mengecewakannya, aku pun meletakkan ponsel dan bermain dengan Dena dan Della. Mereka buah hatiku, sudah sepantasnya aku menyenangkan mereka bukan?!"Mas, makan dulu. Aku pesan pizza tadi," ucap Anggun sambil membawa nampan berisi pizza dengan topping jamur dan sosis daging sapi yang terlihat begitu lezat dan menggiurkan. "
Bab 32. PersiapanPOV DeviAku terkejut saat Riko datang bersama Daniel senja ini. Keduanya berjalan bersamaan menuju ke arahku yang terbengong sejak beberapa detik yang lalu. Apa? Aku tidak sedang berhalusinasi bukan?! Tadi siang aku memintanya pergi ke rumah Anggun dan menghibur anak-anak tapi ... kenapa pria ini ada di sini lagi?"Karena Tuan Daniel sudah ada di sini, saya balik dulu Nyonya," ucap Riko berpamitan padaku. Aku terbelalak, hei ... bukan ini maksudku, kenapa sih Riko langsung buru-buru pergi toh bisa saja kan Daniel hanya sekedar lewat atau ada barang apa gitu yang tertinggal."Mas Riko, kenapa buru-buru?" tanyaku sambil menatap Riko seolah merasa kehilangan. Pria berwajah manis itu tersenyum, ia meraih bungkusan sampah sisa martabak tadi untuk dibuang diluar area rumah sakit."Tuan sudah datang, dia yang akan menemanimu malam ini. Permisi," ucap Riko sambil membungkuk ke arahku, begitu pun pada Daniel yang tampak canggung dan sedikit terlihat resah.Aku diam, memperha
Bab 54. FrustrasiPOV AuthorSetelah mendapatkan panggilan dari Devi, Riko yang kala itu masih lembur di kantor terpaksa mengakhiri pekerjaannya. Akhir-akhir ini waktunya banyak tersita hanya untuk menggantikan beberapa tugas berat dari Daniel. Mabuk cinta serta banyaknya masalah membuat Daniel tidak pernah lagi konsen pada pekerjaan dan itu yang membuatnya harus rela pulang paling akhir sendiri di kantor.Mendengkus pelan, Riko mematikan komputer. Jika tidak ingat ini adalah permintaan Devi, mungkin ia tidak akan pernah berbuat baik lagi pada seseorang yang jelas-jelas telah melukai Devi hingga begitu dalam.Ah, Riko menyandarkan punggungnya sejenak. Menghidupkan ponsel lalu menatap gambar yang menjadi wallpapernya sekarang. Ia tersenyum tipis saat wajah ayu itu terlihat disana, sayang dia hanya bisa mencicipi keindahannya tanpa bisa memilikinya.Mendengkus perlahan, Riko bangkit lalu mengantongi ponselnya di saku. Ia bergegas menuju ke cafe
Bab 53. PencerahanAku tidak ingin mengejar, itu yang kuputuskan dalam hidup. Tiga tahun berumah tangga dengan Daniel, hanya kepahitan yang selalu kurasakan setiap harinya. Kenapa saat itu aku bertahan? Karena mungkin aku bodoh, mencintai seseorang seolah tiada habis, mendambanya siang malam seperti Pungguk merindukan bulan. Nyatanya? Aku terluka sendiri dan nyaris lumpuh oleh pilihanku sendiri.Benar kata Bi Nani, jangan pernah tinggalkan sholat apa pun keadaanmu. Memperbaiki sholat sama halnya memperbaiki hidup. Pada awalnya aku bukanlah orang yang taat beragama, ibadah sering bolong-bolong dan hanya ingat saat senggang saja. Bi Nani mengajariku, bahwasanya hidup itu berputar. Apa pun yang terjadi pada diriku sekarang adalah bagian dari takdir. Aku tidak bisa mengubahnya melainkan dengan kekuatan doa.Berdoa pun aku tidak lagi meminta supaya Mas Daniel mencintaiku namun meminta supaya dadaku semakin dilapangkan dan keteguhanku semakin dibulatkan. Ya Rab
Bab 52. Buket BungaPOV DeviTernyata menjalankan sholat lima waktu tidak hanya mampu menstabilkan emosi dan suasana hati melainkan juga mampu membimbingku pada keputusan yang bijak. Ya, setidaknya dengan memiliki Allah aku tidak merasa sendiri dan cukup tenang dalam menghadapi badai hidup.Hari ini aku sudah bisa beraktivitas kembali, bekerja di toko perlengkapan bayi dan menjalani rutinitas tanpa halangan yang berarti. Sambil tersenyum, kuusap perutku yang masih datar dan membisikinya sesuatu."Hari ini jangan rewel ya Nak, kita mulai bekerja seperti biasa. Kamu akan menemukan hal baru di luar sana, Mama yakin kamu pasti akan menyukainya dan tidak akan sedih lagi."Setelah mengusap lembut dan membisikinya dengan merdu, kuraih tas tangan yang tergeletak di atas meja rias. Menatap penampilanku yang maksimal, aku ingin menjalani hari-hariku seperti dulu, hari-hari yang penuh keceriaan dan tidak ada duka yang menyelimuti.Turun dari ana
Bab 51. Sudah Berakhir"Sebenarnya ... Sebenarnya, dia ini saudaraku Mas. Jauh-jauh dari Bali untuk mengunjungiku dan juga keponakannya," ucap Anggun mencari alasan yang menurutnya tepat.Aku memicingkan mata, mengawasi gerak-geriknya yang menurutku memang mencurigakan."Aku belum memperkenalkan kamu dengan dia, maaf ya Mas udah menciptakan kesalahpahaman ini. Tapi bener kok, dia saudaraku dari Bali." Anggun mendekat padaku, tiba-tiba menjatuhkan kepalanya di dadaku dengan manja. "Sudah jangan marah seperti ini. Semua ini salahku, aku yang tidak memperkenalkan kamu padanya.""Anggun!" Sandi menghardik, tak percaya jika wanita yang menjadi kekasihnya lima tahun terakhir tiba-tiba bersandiwara seperti itu. "Apa yang kau lakukan? Kau menjilat ludahmu sendiri hah?! Kau amnesia?"Anggun menegakkan kepala, memandang Sandi dengan tatapan bingung. Ia berpura-pura tak terjadi apa pun, mencoba tidak panik yang pada akhirnya justru menggiring dia pa
Bab 50. Ayah Kandung DenaPOV DanielTugasku belum selesai, setidaknya itu yang ada dalam pikiranku. Mendapati pesan dari Riko, semangatku yang pada awalnya padam kini berkobar kembali. Untuk mencari siapa ayah biologis Dena dan Della, kukerahkan sebanyak orang yang kutahu. Tak peduli membayar berapa, aku hanya ingin tahu kebenaran yang sebenarnya."Aku harus kembali," kataku pada Devi setelah tanpa sengaja menunjukkan rasa kerinduanku yang dalam pada wanita itu.Apa? Rindu yang dalam? Ah, sepertinya karena terlalu banyak masalah, aku menjadi tambah gila sekarang.Devi hanya diam, aku tahu dia lagi-lagi kecewa padaku. Untuk menenangkan hatinya, kembali kuraih kedua tangannya yang mungil dan berkulit putih bersih tersebut."Percaya padaku Dev, hingga masalah ini belum menemukan titik terang, aku tidak akan pernah melepaskanmu barang sedikit pun." Kupandang matanya yang bening namun memancarkan keindahan itu cukup lama, pesona yang
Bab 49. Jangan BerpisahPOV DeviTerus memikirkan Daniel bukan berarti aku lupa akan kesehatan diri, aku sadar dengan keadaanku yang ringkih ini, aku gampang sekali terserang penyakit. Satu-satunya solusi yang kuambil adalah memperbanyak minum vitamin dan juga berolahraga secara rutin.Jam menunjuk pukul tiga sore, waktu yang tepat untuk berolahraga dengan santai. Karena aku sedang berbadan dua, kuputuskan untuk mengambil yoga sebagai olahraga alternatif selama di rumah."Nyah, ada surat untuk Nyonyah." Bi Nani tergopoh-gopoh menghampiriku yang tengah duduk di atas matras dan melakukan gerakan yoga.Aku menoleh, menyeka peluh yang bercucuran dengan handuk yang terkalung di leherku. "Surat apa Bi?""Entahlah Nyah, tadi ada Pak pos datang membawakan amplop coklat ini. Katanya dari pengadilan," ucap Bi Nani dengan polos. Wanita paruh baya itu berdiri di sampingku sambil menyodorkan amplop.Aku mendongak, perasaanku sudah ti
Bab 48. Panggilan dari Pengadilan"Surat apa-apaan sih ini Mas? Kamu jangan ngada-ngada ya?! Mana ada. Kamu itu ayah kandungnya Mas, sudah deh percaya sama aku. Lagipula darimana kamu dapat surat kayak gitu hah? Surat itu hanya ingin memecah keharmonisan kita aja Mas," bantah Anggun sambil meremas kertas tersebut lalu memberikannya padaku. "Percaya sama aku Mas, kamulah ayah kandungnya.""Tidak, aku percaya dengan bukti ini. Anggun, katakan padaku yang sejujurnya. Siapa ayah Dena yang asli," tegasku sambil menyorot matanya dengan tajam."Mas, kamu ini kenapa sih?! Aku sudah bilang, kamu ini ayah kandungnya. Masa nggak percaya sih.""Nggun, surat ini tuh udah akurat. Aku sengaja mengetes sampel DNA Dena dua minggu yang lalu. Aku penasaran, kenapa Dena memiliki golongan darah yang berbeda dari kita.""Mas, jadi orang jangan picik-picik amat deh Mas. Coba kamu baca artikel atau tanya ke dokternya langsung. Golongan darah anak bisa saja berbe
Bab 47. Meminta KepastianPOV DanielDua Minggu ini aku menghilang, sengaja pergi dari kehidupan Devi karena memang aku memiliki urusan sendiri. Kurasa tidak apa-apa mengabaikan Devi sementara waktu toh dia wanita yang kuat dan tegar, ia tidak akan mungkin marah jika aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri.Setelah mengurusi operasi Dena, aku masih memiliki kepentingan yang hanya aku dan Riko yang tahu. Ya, aku diam-diam mengumpulkan helaian rambut Dena untuk kuuji DNA di rumah sakit lain. Tentu saja semua ini bersifat rahasia tanpa satu orang pun yang tahu kecuali Riko.Berawal dari rasa penasaran kenapa golongan darah kami berbeda, dari situlah aku memberanikan diri untuk mengetes DNA Dena dan memasukkannya ke laboratorium rumah sakit lain. Aku tidak ingin tindakanku ini dianggap gegabah makanya aku menyembunyikannya dari orang-orang.Aku mengabaikan segalanya hingga waktuku benar-benar senggang sekarang. Mengingat kandungan Devi terus ber
Bab 46. Salah PahamWanita diciptakan dengan segala keruwetannya, berkata tidak padahal ingin, pura-pura abai padahal ingin diperhatikan. Begitulah dengan diriku sekarang, Daniel kira aku bilang ingin cerai itu adalah sungguhan? Tidak, aku tidak betul-betul menginginkannya. Hanya saja pria itu salah memahamiku dan akhirnya benar-benar menceraikanku. Walau bagaimana pun nasi sudah menjadi bubur.Aku mendesah berat, setelah tahu Daniel membubuhkan tanda tangannya di atas kertas itu aku memilih untuk tidak mencari tahu akan dikemanakan kertas itu selanjutnya. Aku hanya akan menunggu surat panggilan dari pengadilan saja.Duduk termenung di dalam kamar, kulalui waktu-waktuku yang sepi hanya untuk menatap keluar jendela kamar. Jarang bicara bukan berarti aku tengah terpuruk sekarang. Hanya saja, terkadang orang memilih diam untuk melihat hal lain lebih jernih lagi.Aku tidak memikirkan apa pun, masalah toko perlengkapan bayi yang kubuka beberapa waktu l