Bab 19. Salah Tingkah
Daniel tak segera menanggapi, aku tahu sepertinya ia keberatan dengan permintaanku kali ini. Karena tak kunjung mendapatkan jawaban, aku buru-buru menunduk dan menelan kekecewaanku sendiri.Tersenyum tipis, aku mulai memahami keadaan ini. Tidak mungkin bagi Daniel yang super sibuk mau menemaniku ke acara tidak penting seperti pertunangan itu. Mungkin beda cerita kalo Anggun yang meminta, mungkin Daniel akan langsung mengiyakan mengingat Anggun adalah cinta pertama sekaligus cinta berkesan bagi Daniel."Maaf, lupakan saja. Sepertinya kau tidak mau menemaniku," ucapku pelan sambil menyeringai malu. "Acara seperti itu tidak terlalu penting bagimu. Sekali lagi maaf, mungkin aku bisa datang sendiri atau bersama Mas Riko nanti."Mendengar nama Riko disebut entah kenapa pria itu mendongak. Ia memandangku dengan tatapan yang aneh dan sedikit berbeda. Entahlah, mungkin perasaanku saja karena terlalu berharap."Aku akan datangBab 20. Kedatangan Ayah yang MendadakSetelah membaca pesan ayah tadi malam, jujur aku tidak bisa tidur dengan tenang. Bahkan momen indah bersama Daniel tiba-tiba hilang begitu saja di dalam memori otakku. Ya, aku tidak benar-benar menikmatinya sekarang.Kini di dalam otakku hanya dipenuhi dengan beberapa kemungkinan yang terjadi. Apakah ada masalah di kantor? Apakah ini ada kaitannya dengan uang perusahaan yang sempat kublokir? Atau ... apa?Sungguh aku tidak bisa tidur dengan nyenyak malam ini. Sebelum subuh pun aku bangkit dari tidurku dan menuju ke dapur. Beruntung Bi Nani sudah bangun dan mulai memasak air di dapur.Aku menyapanya pelan sambil memberitahu perihal kedatangan ayah dan ibu pagi ini."Selamat pagi Bi," sapaku dengan lirih sambil mendekat ke arah lemari es. Mencari botol kemasan air putih dingin, aku lantas duduk di kursi ruang makan."Selamat pagi Nyah, kok sepertinya masih ngantuk? Mending Nyonya balik tidur saja, m
Bab 21. PertolonganKini semua mata tertuju pada Daniel termasuk aku. Aku berharap dalam hati bahwa Daniel akan tetap mempertahankan hubungan ini kendati ia tidak mencintaiku. Please, tolong Daniel katakan kamu akan tetap berada di sampingku sampai kapan pun."Saya ..." Daniel menunduk, ada kebimbangan yang terlihat di wajahnya yang tampan. Pria itu melirikku sejenak untuk meminta pertimbangan, aku menggeleng mengisyaratkan supaya ia tidak setuju dengan ucapan ayah."Terserah Devi saja Pak, saya hanya menurut. Bagaimanapun semua kisah ini putri Bapak yang mulai," ujar Daniel dengan pelan."Bedeb*h! Bagus ya kamu bilang begitu," tandas Ayah sambil menggebrak meja. "Sudah jelas kamu tidak akan mau melepas Devi. Kamu tahu, anakku adalah sumber uang bagimu. Iya kan?!"Daniel hanya menggigit bibir, ia tidak bisa membela dirinya sekarang. Apa yang dikatakan ayah ada benarnya, dia di kehidupan ini hanyalah menumpang. Tanpa diriku mana mungkin ma
Bab 22. Bimbang MemilihPOV Daniel"Karena Mas Daniel ... Mas Daniel adalah ayah dari janinku, Yah."Kau tahu bagaimana perasaanku setelah mendengar kata-kata itu? Tentu saja aku syok dengan pengakuan yang dibuat Devi. Walau aku tahu Devi hanya pura-pura dan berusaha untuk menyelamatkan diriku, entah kenapa ada perasaan kecewa sekaligus ada harap yang menyembul dalam dadaku.Apakah aku benar-benar berharap bahwa itu bukan rekaan semata dan menjadi nyata? Tidak, bangun Bodoh! Kamu sudah memiliki dua anak dari rahim Anggun. Kamu juga sudah mengklaim bahwa kamu hanya mencintai Anggun dan bukan Devi. Sadar bodoh, sadar!Pertarungan dalam hatiku bergejolak. Tak kubiarkan otakku bermain dengan fantasi liar yang membuatku rugi. Anggap saja aku berhutang budi pada Devi masalah ini, setelahnya mungkin tidak akan lagi.Melihat wanita itu berkorban untuk diriku kesekian kalinya, hatiku tentu saja teriris sakit. Tidak ada yang namanya pria m
Bab 23. Permintaan si Bocah KembarPOV DeviSejak aku tanpa sengaja mendengar dering ponsel Mas Daniel di ruang tengah, firasatku mendadak tidak enak. Melihatnya dari balik pintu kamar di lantai atas, aku bisa melihat suamiku tengah menerima telepon dari seseorang."Memangnya kamu nggak bisa bawa dia ke rumah sakit dulu?" Mas Daniel tampak beremosi saat itu.Aku yang tanpa sengaja mendengar percakapannya langsung mengerutkan kening. Ehm, memangnya siapa yang sakit? Lalu siapa yang tengah menelpon sekarang?"Ya sudah, tunggu aku di situ. Aku akan segera menghampiri kalian di penginapan," ujar Mas Daniel lalu mematikan panggilan telepon.Setelah mendengar Mas daniel menyebut-nyebut soal penginapan, barulah aku bisa menyimpulkan jika suamiku tengah berbincang dengan cinta pertamanya. Aku merasa tersisihkan, batinku mendadak ingin menangis. Dalam keadaan seperti ini, jelas terlihat bahwa pria yang berstatus sebagai suamiku tersebut l
Bab 24. Tak BerdayaUcapan Daniel terlihat meyakinkan, itulah kenapa aku mengiyakan saja dan mengikuti kemana arah langkah kakinya sekarang. Keluar dari penginapan, kami pergi ke mobil masing-masing dan pergi ke sebuah kedai dimana Daniel lebih tahu tentang lokasi kedai tersebut.Aku mengikuti laju mobil Daniel yang sudah mendahului di depan. Ia lebih tahu dimana letak kedai yang ia maksud. Jujur, aku tidak pernah makan di kedai atau warung. Jika aku lapar, paling minim aku pergi ke resto kecil di pinggir jalan dan memiliki merek dagang yang aku sendiri sudah kenal sebelumnya.Setelah mengikuti mobil Daniel kurang lebih sepuluh menit, akhirnya kami tiba di sebuah cafe sederhana dengan suasana pedesaan. Aneh, di kota yang besar ini ada kedai semacam ini. Ah, mungkin aku saja yang ketinggalan informasi sehingga kedai sebagus ini terlewatkan oleh pandangan mataku.Turun dari mobil, aku mendekati Daniel yang sudah menunggu di samping mobilnya. Kami be
Bab 25. PerjanjianAku tak ingat apa pun. Yang kurasakan saat ini adalah kepala yang terasa berat dan mata yang sulit terbuka, bahkan aku seperti mengarungi lautan mimpi yang panjang dan melelahkan. Sialnya, bahkan dalam mimpiku itu aku harus berteman dengan anak-anak Anggun dan mengasuhnya kesana-kemari.Mencoba untuk meninggalkan bayang-bayang anak Anggun yang menghantui, aku berlari secepat mungkin. Napasku naik turun, kakiku gemetaran menahan lelah dan remuk. Keringatku bercucuran, aku berusaha mengerahkan seluruh tenagaku untuk berlari bahkan sampai ke sisa-sisanya."Kembalikan papaku, Tante. Kembalikan!" Dua bocah itu mengejarku, dengan kakinya yang mungil mereka sama sekali tidak merasa kelelahan. Ya Allah, selamatkan aku. Selamatkan aku.Aku tersentak, bersamaan dengan itu mataku terbuka lebar-lebar. Pikiranku kosong, yang ada hanyalah plafon putih di atas kepalaku. Ini dimana, dengan siapa, aku sama sekali kosong dan tidak mengerti.
Bab 26. KecewaPanggilan sudah berakhir, mataku yang terbuka karena telepon itu hanya diam dan terus memperhatikan mimik wajah Daniel yang sedih dan resah. Pria berkemeja kotak-kotak itu mendengkus pelan, ia berbalik badan dan ..."Telepon dari siapa?" tanyaku lirih saat mendapati pandangan kami saling bertemu satu sama lain.Daniel yang terpaku sejenak kembali mengembuskan napas. Dengan senyuman terpaksa ia berjalan mendekat ke arahku sambil menyimpan kembali ponselnya di saku celana."Bukan siapa-siapa, ayo tidur. Kamu harus segera sembuh," hiburnya dengan tutur kata yang lembut. Daniel tampak memanipulasi wajahnya, ia terlihat datar seolah tidak terjadi apa-apa.Aku terus memandang wajahnya, tak percaya jika Daniel bisa setenang itu setelah mendapatkan kabar genting dari Anggun. Apakah suamiku sudah berubah? Jika ya, aku yakin pasti perjanjian itulah yang telah mengubah Daniel yang dingin menjadi hangat seperti ini."Katakan padaku Mas, jangan berbohong lagi. Aku sudah dengar tadi,
Bab 27. TerbongkarIbu lantas merapikan mangkuk dan alat minumku di atas meja. Dengan sikap terburu-buru, wanita yang memakai blus putih itu memasukkan ponsel ke dalam tas tangan lalu pergi begitu saja dari ruanganku. Terasa begitu terburu-buru hingga tidak menyadari bahwa sebenarnya aku sama sekali belum tidur.Bangun dari rebahan, aku mencoba mencabut selang infus yang masih tertanam di punggung tanganku bagian kiri. Sakit rasanya tapi akan lebih sakit jika aku tidak tahu soal rahasia dan perjanjian itu.Turun dari ranjang rumah sakit, aku menyambar jaket yang tersampir di atas kursi samping ranjang. Menutupi pakaian ala rumah sakit yang kukenakan, dengan langkah tertatih aku mengikuti langkah Ibu keluar dari rumah sakit dan menuju ke parkiran mobil.Tak kurang akal, aku meminta taksi yang kebetulan baru saja menurunkan penumpang di area rumah sakit tersebut. Soal uang, ah nanti saja. Toh aku masih ada cincin yang bisa kubayarkan pada Pak sopir.
Bab 70. Ayah BaruAku dan Riko kini akhirnya bisa hidup satu atap. Setelah pernikahan, aku diboyong dan tinggal di sebuah perumahan yang cukup luas dan nyaman. Meski tidak semewah yang dulu, aku merasa hidupku jauh lebih berbahagia.Perumahan yang sekarang adalah hasil keringat Riko sejak tiga tahun yang lalu. Beruntungnya aku hanya tinggal dan menempatinya saja.Kami bertiga hidup di perumahan itu, memiliki kebun kecil yang sering kutanami sayur mayur dan beberapa jenis bunga. Tak heran jika rumahku paling hijau sendiri dibandingkan rumah-rumah yang lain.Jarak dari perumahan ke tempat kerja Riko juga tidak jauh. Tak perlu memakai mobil, Riko lebih senang mengendarai motornya untuk pergi bekerja. Benar-benar hidup yang sederhana namun bahagia."Hallo Alvaro, sudah makan belum nih? Nih ayah belikan biskuit buat kamu," ujar Riko setiap kali pulang dari tempat kerjanya di restoran.Pria itu sangat penyayang, sering mengajak Alvaro main cilukba bahkan saat ia baru pulang kerja dan capek.
Bab 69. Aku Mengaku KalahHari pernikahan telah ditentukan, seluruh keluarga kembali berkumpul untuk mendiskusikan berbagai hal mulai dari wedding organizer, konsep pernikahan, souvernir apa yang akan mereka beri untuk tamu, hingga jenis hidangan yang akan mereka suguhkan nanti.Semua orang begitu ribut membahas hal ini, beda dengan diriku dan Riko yang hanya pasrah dan menunggu clear saja.Setelah melakukan banyak persiapan yang hampir disiapkan sebulan penuh, hari bahagia itu akhirnya sampai juga di depan mata. Kami menggunakan konsep adat Jawa dimana kami memang sama-sama keturunan orang Jawa.Pernikahan digelar di sebuah gedung yang besar, mewah, meriah, dan banyak tamu yang diundang. Tentu saja penikahan kali ini tak kalah semarak dari pernikahanku yang dulu. Hanya bedanya, dulu pasanganku adalah pria dingin yang sama sekali tidak berniat untuk membalas cintaku sedangkan saat ini, pria yang berdiri di sampingku adalah pria baik hati yang akan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk
Bab 68. Kedatangan MantanMenahan napas beberapa detik, aku sadar jika kejadian seperti ini pasti bakal terjadi suatu saat. Ya, semenjak pisah dengan Daniel, aku memutuskan akur demi Alvaro. Akur di sini bukan berarti tidak ada lagi masalah, hanya saja aku memilih menghindar tiap kali bertemu Daniel.Pria itu akan datang beberapa bulan sekali untuk menjenguk Alvaro. Hanya Alvaro dan sama sekali tidak bertemu denganku. Bagaimana pun luka tetap saja luka, butuh waktu untuk benar-benar bisa menyembuhkannya."Ini bukan saat yang tepat Mas, aku masih bekerja." Aku mengucapkan alasan sambil menunduk, "mungkin nanti selepas dhuhur kamu bisa menemui Alvaro di rumah."Daniel menggeleng, tidak setuju dengan saran yang kuberikan."Tidak bisa, aku ada pekerjaan lain selepas dhuhur nanti." Daniel menolak ideku, matanya yang tajam kini memandangku, "aku bisa mengubahnya misal kau juga mau menemuiku nanti."Aku menelan ludah. Sulit rasanya menerima penawaran itu, selama ini setiap kali bertemu Alva
Bab 67. Lamaran"Iya, kamu jangan kaget." Ayah menepuk lenganku dengan lembut. "Ternyata Pak Effendi ini dulu temen perjuangan ayah waktu SMA. Kami punya hobi yang sama, sama-sama menyukai bonsai. Hanya baru akhir-akhir ini kami bertemu saat reuni sekolah."Ayah terkekeh, menggelengkan kepala sesaat. "Ternyata dunia ini tidak selebar daun kelor ya. Kukira siapa, ternyata kamu toh.""Dan yang lebih mengejutkannya lagi, si Devi ini sudah kenal Riko beberapa tahun belakangan. Bener-bener jodoh nggak sih Yah?" Ibu turut berbaur dengan perbincangan itu. Kedua keluarga saling terkekeh, berbagi kebahagiaan satu sama lain."Iya Pak, Bu, saya juga kaget ternyata ayah saya malah jauh lebih kenal keluarga ini ketimbang saya," ucap Riko dengan sopan. Pria itu sesekali melirikku yang tengah memangku Alvaro sambil tersenyum."Berarti memang benar-benar jodoh," timpal Pak Effendi mantap dan disambut tawa ceria yang lain."Oh ya Pak, Bu, silakan diminum dulu tehnya. Dimakan juga cemilannya," ucap ibu
Bab 66. Pernyataan Cinta"Ini?" Riko lalu mengalihkan pandangannya sendiri ke arah dekapannya. Ia lantas tertawa, "bukan. Ini keponakanku Dev. Anak dari kakak perempuanku, baru berusia sepuluh bulan.""Oh kirain anakmu," sahutku dengan wajah sedikit malu. Pria berkaos hitam itu hanya terkekeh sambil menimang-nimang keponakannya yang berjenis kelamin perempuan."Bukan. Aku masih single, belum memiliki istri apalagi anak," ujar Riko selaki lagi. "Oh ya, bisa kita ngobrol di sana nggak? Sambil minum kopi atau makan roti."Riko menunjuk pada salah satu stand yang menjajakan kopi dan juga roti. Aku menoleh ke arah yang ditunjukkan Riko, tanpa basa-basi aku pun langsung mengiyakan saja."Kamu pesan apa? Aku hari ini yang akan mentraktirmu," ujar Riko setibanya di stand itu. Sambil mendudukkan keponakannya di pangkuan, Riko begitu luwes ketika memomong bayi berumur sepuluh bulan tersebut."Terserah kau saja," jawabku tanpa keberatan. Riko mengangguk, ia lantas melambaikan tangannya pada penj
Bab 65. Siapa yang Lebih Munafik?POV DeviAku masih diam, saat ini aku nggak tahu harus bersikap bagaimana. Dengan kaki gemetar, aku melangkah untuk melihat bayi mungil tersebut dari dekat.Benar saja, kini terlihat jelas bagaimana wajah, dagu, alis, hingga warna kulitnya sama persis dengan Daniel. Aku menelan ludah, bagaimana pun aku benar-benar seperti ditusuk dari belakang oleh Daniel. Dia bilang nggak berbuat, dia bilang mungkin itu bayi orang lain tapi apa? Buktinya bayi ini bahkan amat sangat mirip dengannya. Memang, dosa akan bicara pada waktunya."Lihat Dev, bayinya mirip dengan Mas Daniel bukan?! Aku tidak berbohong. Aku memang hanya berbuat dengan dia seorang," ucap Anggun sambil menarik tanganku dengan lembut. "Tapi aku nggak tahu harus kukemanakan bayi ini. Mas Daniel terus saja mengelak, ia tidak ingin mengakui anak ini."Anggun mulai terisak, ada kesedihan di wajahnya kali ini. Sebagai seseorang yang sudah menjadi ibu, tentu saja aku tahu bagaimana perasaan Anggun saat
Bab 64. Bayi AnggunPOV AuthorDaniel tak bisa berkata-kata. Wajar jika Riko menyukai Devi, wanita itu sangat baik dan dermawan. Bahkan ketika ia disakiti selalu ada lautan maaf yang ia berikan. Kini, ketika Daniel mendapati kenyataan bahwa Riko juga menyukai Devi, Daniel tidak sanggup mengelak.Posisi pria itu makin terancam, ia tidak bisa bersaing dengan pria sebaik Riko. Sejauh ini hanya pria itulah yang benar-benar peduli pada Devi. Bahkan Riko mengaku jika ia tunduk dibawah kuasa Daniel bukan karena apa melainkan karena permintaan Devi sendiri kepadanya. Ya, saking cintanya Riko ia merendahkan harga dirinya dan membantu rivalnya dalam segala hal.Tertohok, tentu saja. Namun Daniel tidak bisa berbuat apa-apa. Saat ini kondisi rumah tangganya benar-benar berada di ujung tanduk. Karena hawa nafsunya, ia menanam benih pada orang yang salah dan pada akhirnya benih itu tumbuh dan kelak akan bersaksi atas perbuatan salahnya.Satu bulan berlalu, setelah ketahuan menyimpan foto-foto Devi
Bab 63. Penemuan FotoAlvaro, itu nama yang kuberikan pada bayi laki-laki yang kulahirkan beberapa hari yang lalu. Bermakna bijaksana, aku menyematkan harapan yang besar pada anak kesayanganku tersebut. Dilimpahi kasih sayang dari orang-orang terdekat, Alvaro adalah bocah yang penurut dan sangat manis.Setelah memandikannya dengan air hangat dan merawat pusarnya yang belum puput, kususui bayi itu agar tidak rewel dan lekas tertidur seperti sebelum-sebelumnya.Peranku cukup terbantu dengan adanya Bi Nani dan Ibu yang bahu membahu menggantikan posisiku ketika lelah. Mereka tidak membiarkan aku sendirian, selalu menemani dan mengobrol apa saja yang membuatku cukup terhibur dan tidak stres. Ya, Alvaro masih gemar begadang membuat kami bertiga harus bekerjasama untuk merawat bayi mungil berbobot dua setengah kilo gram tersebut."Apakah kau sudah minum susumu dengan baik?" tanya ibu saat mengecek vitamin yang harusnya kuminum pagi ini.Aku mendongak, mengalihkan perhatianku pada Alvaro yang
Bab 62. Tiba WaktunyaSetelah melakukan taruhan itu, aku dan Daniel memang tidak berdekatan satu sama lain. Aku sendiri juga heran, entah kemana perginya rasa cinta yang dulu pernah menggebu untuknya. Aku pun menikmati kesendirianku bersama orangtuaku di rumah yang lama.Seiring berjalannya waktu, kehamilanku telah menginjak usia sembilan bulan. Waktu yang sangat mendebarkan untuk menunggu anakku lahir ke dunia.Sepanjang itu banyak dukungan yang ditujukan kepadaku. Dania yang baru saja naik jabatan, mengirimi kami hadiah yang sangat mengesankan. Ya, sebuah dorongan bayi merek terkenal.Tak hanya Dania, Ratih dan Pamela pun memberikan kami hadiah yang tak kalah menarik. Kehadiran dan dukungan mereka benar-benar menjadi salah satu support sistem saat aku menjalani kehamilanku sendirian tanpa Daniel.Pagi itu aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Berjalan menyusuri taman atau bergerak apa saja guna memperlancar persalinanku nanti.Orangtuaku juga senang ketika aku bisa terpantau di r