Aku yang sedang memasukkan baju ke dalam tas langsung menghentikan apa yang sedang aku lakukan, dan meminta Risma untuk masuk ke dalam kamarku.“Ada apa, Risma? Apa yang ingin kamu bicarakan denganku?” jawabku sambil membereskan kembali pakaianku dan tasku, lalu meletakkannya kembali ke dalam lemari.“Apa kamu akan pergi, Cempaka?” tanya Risma yang masih berdiri di depan pintu, dan itu membuatku terdiam.Risma kemudian bertanya sekali lagi kepadaku apakah aku akan pergi, dan aku tidak tahu harus menjawab apa. Karena bila aku mengatakan iya, maka Risma akan tahu kalau aku memang akan pergi dari tempat ini, dan itu artinya aku melanggar janjiku kepada Aryo.Untuk beberapa saat aku diam memikirkan jawaban apa yang akan aku katakan kepada Risma, dan aku memilih untuk berbohong sekali lagi.“Tidak, Risma. Aku hanya sedang menyimpan pakaian yang diberikan Mbak Siti kepadaku saja. Karena aku tidak sanggup untuk melihatnya, ka
Tanpa menunggu persetujuanku, Aryo langsung menarikku dan membawaku menjauh dari kerumunan orang yang sedang berkumpul di rumah Bu Darmi.“Memangnya ada apa, Aryo? Mengapa kita tidak bisa berada di sana? Apa ini ada hubungannya dengan Pangeran Dayu? Apa dia berada di sana?”“Bukan dia yang ada di sana, Cempaka. Tapi orang suruhannya yang datang, dan aku tidak tahu apa tujuan orang itu datang ke tempat itu.”“Tapi bagaimana kamu bisa tahu, Aryo? Apa kamu melihatnya sendiri?”“Apa kamu sudah lupa siapa aku sebenarnya, Cempaka? Wujudku sekarang memang manusia seperti kalian, tapi bukan berarti aku tidak bisa mengetahui hal-hal yang tidak kalian ketahui.”Apa yang Aryo katakan memang benar, dan aku selalu saja lupa siapa Aryo sebenarnya bila sudah seperti ini. Siapa akan mengira pria tampan di depanku ini bukan manusia seperti kami?Parasnya yang tampan dengan tubuh yang tegap sebagai manusia, membuatku terlihat seperti seorang pangeran atau putra bangsawan.“Sekarang lebih baik kita sege
Aku yang tidak tahu siapa yang memanggilku tadi lalu menengok ke sekitarku, dan aku yakin sekali tadi adalah suara seorang wanita.“Cempaka,” panggil orang itu lagi.Aku yang masih mencari siapa yang memanggilku lalu manatap sekitar lagi, dan pandanganku lalu terpaku pada seseorang yang menutup kepalanya dengan kain yang berdiri di balik pohon tak jauh dari tempatku berada.“Aryo, ayo kita ke sana,” ajakku masih sambil menatap orang yang menjadi pusat perhatianku.Orang yang berdiri di balik pohon itu langsung berbalik ketika aku mendekatinya, dan aku langsung menarik tangannya untuk menghentikannya.“Siapa kamu?” tanyaku sambil menatap orang yang berdiri membelakangiku.Orang itu lalu berbalik dan menurunkan sedikit kain yang menutupi wajahnya, dan aku benar-benar terkejut begitu melihat siapa yang sedang berdiri di depanku.“Sri? Apa benar ini kamu?” tanyaku yang masih tidak percaya sambil memegang kedua bahunya.“Iya, Cempaka. Ini aku Sri temanmu,” jawab Sri.Aku langsung memeluk
Aku yang tidak bisa memaksa Sri untuk segera memberitahuku hanya bisa menunggu dia untuk memberiku jawaban. Karena ketika dia menyebut nama Mina, wajah Sri terlihat ketakutan.Bahkan, keringatnya pun ikut turun bersamaan dengan tangannya yang menggenggam erat tanganku.“Mina menghilang, Cempaka.” Ucap Sri tiba-tiba setelah terlihat tenang.“Menghilang? Apa maksudmu menghilang, Sri?”“Ketika kamu pergi, Mina masuk ke dalam kamarnya, Cempaka. Dan ketika aku mencarinya, aku tidak menemukannya, dan aku hanya menemukan kebaya yang sama dengan punya Mbak Siti saja tergeletak di lantai,” jelas Sri.“Kebaya?” ucapku sambil berusaha mengingat.“Iya, Cempaka. Kebaya putih yang Bu Darmi berikan kepada Mbak Siti itu sama dengan kebaya putih milik Mina.”Apa yang Sri katakan, sama dengan apa yang aku lihat ketika mencari mereka berdua. Apakah itu artinya?“Sri, memangnya kamu
“Ada apa, Cempaka? Kenapa kamu berhenti?” tanya Sri.“Itu, Sri. Lihat ke sana,” jawabku sambil menunjuk ke arah cahaya yang aku lihat.“Apa maksudmu, Cempaka? Ada apa di sana? Aku tidak melihat apa-apa di sana.”“Itu, Sri. Ada cahaya di balik pohon itu,” jawabku sambil menunjukkan pohon yang aku maksud.Sri yang ada di sampingku terlihat binggung dengan apa yag aku maksud. Sehingga aku lalu memintanya untuk berada di depanku dan aku lalu menunjukkan cahaya yang aku maksud.“Apa kamu melihatnya, Sri?” “Iya, Cempaka. Aku baru bisa melihatnya, tapi itu apa?”“Aku juga tidak tahu, Sri. Tapi bila di lihat dari cahaya itu, sepertinya di sana seperti sebuah perkampungan.”“Apa kamu yakin itu perkampungan, Cempaka? Bagaimana bila itu tempat tinggal orang-orang tadi?”Aa yang Sri katakan memang ada benarnya, tapi aku yakin sekali itu adalah perkampungan. Karena cahaya yang aku lihat itu sangat terang dan tidak hanya satu.“Sri, bagaimana bila kita ke sana dan memastikannya?”“Apa? Ke sana, Ce
Aku, Sri dan pria yang ada di depanku kemudian menoleh ke arah pria tua yang menyelaku, dan pria itu adalah pria tua yang menjadi pusat perhatianku tadi.“Mereka orang yang tersesat di hutan ini, Pak.” Jawab pria yang ada di depanku.“Tersesat?” jawab pria tua itu.Pria tua itu lalu menatap kami tajam, dan melihat kami dari atas hingga ke bawah, dan itu membuatku tidak nyaman.“Bawa mereka ke rumah kita, Jaka.” Ucap pria tua itu, dan dia langsung pergi setelah mengatakan hal itu.“Ayo kalian ikut denganku,” ucap pria yang sepertinya bernama Jaka itu.Aku dan Sri lalu saling menatap satu sama lain. Karena kami tidak bisa langsung percaya dengan pria itu.“Aku tidak akan menyakiti kalian, aku hanya ingin kalian beristirahat di rumahku saja,” ucap pria itu sambil memandang kami.“Bagaimana, Sri?” bisikku.“Iya, Cempaka.” Jawab Sri sambil men
“Bukankah ini dupa? Untuk apa dupa di letakkan di sini?” ucapku setelah melihat lebih dekat benda itu.Aku yang merasa janggal dengan dupa itu lalu berusaha untuk memegangnya, tapi hembusan angin dari jendela membuat asap dupa yang ada di depanku mengenaiku, dan itu membuatku pusing dan mataku langsung gelap.***“Ajeng, ayo bangun. Cepat tinggalkan kampung itu. Kamu tidak boleh berada di sini, Nak.” Terdengar suara Ki Joko di telingaku.Mendengar suara Ki Joko, aku lalu membuka mataku yang terasa berat. Tapi bukan Ki Joko yang aku lihat ketika membuka mata, melainkan Sri.“Akhirnya kamu sadar juga, Cempaka. Aku sangat khawatir kamu kenapa-kenapa,” ucap Sri dengan mata berkaca-kaca, dan dia lalu memelukku.“Sudah, Sri. Aku tidak apa-apa. Memangnya apa yang terjadi tadi padaku?”“Kamu tadi tidak sadarkan diri, Cempaka.” Jawab Sri setelah melepas pelukannya.“Apa? Tidak sadarkan diri?” ucapku tidak percaya.“Iya, Cempaka. Untung saja aku tadi segera menemukanmu. Kalau tidak, aku tidak t
“Sri, Cempaka, apa kalian sudah tidur?” panggil Jaka dari balik pintu.Karena tidak ingin ketahuan oleh Jaka bahwa aku melihat kejadian tadi, aku segera kembali ke tempat tidurku dan berpura-pura tidur.“Sri, Cempaka, apa kalian mendengarku,” panggil Jaka lagi.Aku yang masih berpura-pura tidur berusaha untuk tetap diam, dan tak lama setelah tidak mendapat jawaban dari kami berdua, terdengar suara pintu terbuka.“Den Jaka, aden dipanggil bapak,” terdengar suara Mbok Pon memanggil Jaka.Setelah suara Mbok Pon menghilang, aku tidak mendengar suara Jaka menjawab Mbok Pon, tapi yang aku dengar malah suara pintu yang sepertinya ditutup.“Siapa mereka sebenarnya?” ucapku setelah membuka mataku dan duduk di tepi tempat tidurku.Aku yang tidak bisa tidur lagi, terus saja memikirkan apa yang aku lihat tadi, dan aku langsung teringat dengan suara Ki Joko yang memintaku untuk segera pergi dari temp
“Seperti apa yang saya katakan sebelumnya, Cempaka. Bila kamu melewati pintu itu, maka kamu harus memilih. Kamu atau masmu yang akan hidup?” jawab Tuan Wisesa mengulangi pertanyaannya.“Ayah—,” ucap Dimas. Namun ayahnya segera menghentikannya dengan memberi isyarat.“Apa saya harus melakukannya, Tuan?” tanyaku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar.Pertanyaan yang Tuan Wisesa berikan benar-benar di luar dari perkiraanku. Bagaimana bisa dia bertanya seperti itu ketika Mas Budi atau Wirya tidak sadarkan diri. Apakah ini ada hubungannya dengan Pangeran Dayu?“Harus! Karena hanya itu saja yang bisa saya lakukan untuk meneruskan keturunan kalian,” tegas Tuan Wisesa membuatku tidak bisa berpikir.“Ma –maksud, Tuan?”“Ketika saya memutuskan untuk menyelamatkan kalian, ada hal yang harus digantikan untuk mengakhiri penjanjian terlarang itu, dan ayahmu s
“Cukup, Yah! Jangan—,” cegah ibu Dimas menghentikan suaminya. Namun Tuan Wisesa langsung menghentikan tindakan istrinya dengan memberi isyarat tangan.Ibu Dimas yang tadinya seperti menentang suaminya langsung terdiam begitu suaminya memberi tanda. Wanita itu seperti tidak berdaya bila suaminya seperti itu.“Jangan ada yang berani berbicara atau menyela apa yang saya katakan lagi. Bila tidak, jangan salahkan saya bila kalian tidak bisa berbicara lagi setelah itu!” ancam Tuan Wisesa.Mendengar ancaman Tuan Wisesa semua orang terlihat takut, termasuk aku. Tapi aku juga ragu apakah ancaman dari pemilik rumah ini benar-benar akan menjadi nyata atau tidak bila ada orang yang melanggarnya. Bila itu benar terjadi, itu artinya Tuan Wisesa bukan hanya kaya raya, tapi dia juga bukan orang biasa.“Cempaka, Wirya, saya tahu ini akan mengejutkan kalian berdua. Tapi ini adalah kebenarannya, dan kalian berhak tahu semua ini. Kalian be
“Iya, bukti. Tanpa bukti kalian tidak bisa menuduh keponakankan melakukan hal yang kalian tuduhkan,” ujar ibu Dimas dengan lantang.Semua orang hanya diam ketika ibu Dimas berkata seperti itu. Namun ayah Nirmala tiba-tiba mendekati istri Tuan Wisesa itu, dan mengatakan kepadanya bahwa dia akan menunjukkan bukti yang dia minta.Tegang dan bertanya-tanya, mungkin itu yang ada dalam pikiran beberapa orang yang ada di sini, termasuk aku. Hal itu terlihat dari raut wajah mereka ketika melihat perdebatan antara kakak beradik itu.“Bukti itu ada di sini dan saya akan mengatakannya di depan kalian semua,” ujar ayah Nirmala tak kalah lantang dengan ibu Dimas.Ketegangan semakin terasa ketika ayah Nirmala mengatakan hal itu. Pria itu diam sejenak sambil menatap keluarganya, terutama kedua anaknya. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini, yang pasti itu bukan sesuatu yang mudah, dan itu terlihat sekali dari sorot matanya yang menampakkan k
Aku yang masih membeku kemudian berbalik dan menatap semua orang yang ada di dalam ruangan ini. Mereka semua menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan, dan itu membuatku sangat tidak nyaman.“Mas Wisesa, apa maksud mas? Memangnya siapa Cempaka itu? Dan apa hubungannya dengan semua ini?” tanya ayah Nirmala memecah keheningan di antara kami semua.Tuan Wisesa bukannya menjawab pertanyaan adik iparnya, tapi dia malah menatapku dan mendekatiku. Ayah Dimas itu lalu mengajakku untuk kembali ke tempatku semula dan dia mengenalkanku kepada kedua orang tua Nirmala bukan sebagai pelayan rumah ini. Melainkan sebagai wanita yang seharusnya memang menikah dengan Dimas.Mendengar hal itu membuatku sangat terkejut. Bukan hanya aku, tapi semua orang yang ada di ruangan ini. Bahkan aku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar berusaha untuk memahami itu semua, tapi aku tetap tidak mengerti.“Apa maksud Mas Wisesa?” tanya ayah Nirmala memecah keheningan di antara kami semua.“Apa
“Ayah, tidak usah membahas hal ini lagi. Nirmala sudah menerima keputusan Dimas. Jadi kita tidak perlu memperpanjang masalah ini,” ujar Nirmala masih sambil berdiri dan menatap kami semua secara bergantian.“Nirmala, apa maksudmu nak? Bagaimana bisa kamu berkata seperti itu? Bukankah kamu ingin menjadi istri Dimas?” tanya ibu Nirmala terlihat heran.Bukan ibu Nirmala saja yang dibuat heran dan binggung, tapi kami semua yang ada di sini. Bagaimana bisa dia mengatakan menerima keputusan Dimas dengan semudah itu. Mencurigakan!“Benar Nirmala ingin menjadi istri Dimas. Tapi …,” Nirmala menggantung jwabannya dan menatapku sesaat, “Dimas tidak mencintai Nirmala, Bu. Dimas mencintai Cempaka, wanita yang duduk di samping Dimas saat ini,” lanjut Nirmala.“A –apa? Maksudmu pelayan wanita itu, Nirmala?” ucap ibu Nirmala terlihat terkejut.“Bulek!” bentak Dimas tiba-tiba
“A –ayah,” ucap Birawa terlihat terkejut.Pria yang baru saja datang itu terlihat sama terkejutnya seperti Birawa. Wajahnya yang hampir mirip dengan istri Tuan Wisesa tampak dingin menatap putranya itu, dan tak lama seorang wanita tiba-tiba muncul di belakang pria yang masih berdiri di depan pintu menatap dingin Birawa.“Birawa, kamu di sini nak?” ucap wanita tua itu dengan wajah yang tidak bisa aku artikan.Tapi wanita itu tidak bersikap dingin seperti ayah Birawa yang masih saja membeku. Wanita itu kemudian melangkah untuk mendekati Birawa. Namun pria yang bergelar ayah Birawa segera menahannya.“Ingat tujuan kita datang kemari!” tegas ayah Birawa sambil melirik wanita yang sepertinya istrinya.“Itu orang tua Nirlama dan Birawa,” bisik Damar tanpa aku tanya.Aku yang sudah menduga hal itu hanya diam, dan tidak menanggapi apa yang adik Dimas itu katakan. Walaupun awalnya aku cukup terkej
Aku dan semua orang yang ada di tempat ini langsung menoleh ke arah sumber suara yang sudah mengejutkan kami. Nirmala berdiri dengan raut wajah sangat marah menatap Dimas hingga guratan otot di lehernya terlihat dengan jelas.“Kembali ke kursimu, Nirmala!” bentak Tuan Wisesa tak kalah nyaringnya dengan apa yang Nirmala lakukan. Bahkan aku saja sampai takut mendengarnya.Tapi wanita itu masih saja berdiri dan mengabaikan apa yang Tuan Wisesa katakan. Bahkan ibu Dimas yang duduk di sampingnya sampai berdiri untuk menenangkannya. Namun wanita itu masih saja tidak mau duduk sambil menatapku dan Dimas secara bergantian seperti akan menerkam kami.“Dengar, Dimas. Aku tidak menerima ini semua. Aku mencintaimu, dan hanya aku yang pantas menjadi istrimu!” tegas Nirmala.“Nirmala!” bentak Dimas yang kini berdiri dengan wajah memerah.Melihat perseteruan antara Dimas dan Nirmala membuat suasana ruangan ini mencekam. Hal ini
“Tenang saja Nirmala, semua akan baik-baik saja. Kamu akan menikah dengan Dimas, dan bude sendiri yang akan membuat hal itu terjadi,” ucap ibu Dimas sambil mengusap punggung Nirmala yang kini tengah menunjukkan wajah seperti teraniaya.Nirmala yang menunjukkan wajah sedih mengangguk menjawab apa yang ibu Dimas katakan. Mereka berdua kemudian melangkah mengikuti Tuan Wisesa. Sedangkan aku memilih untuk bersembunyi terlebih dahulu, daripada menampakkan batang hidungku di depan mereka. Karena mereka pasti tidak akan menyukainya.“Apa sudah bisa saya mulai?” ucap Tuan Wisesa sambil menatap sekitar.Semua orang yang ada di ruangan ini hanya mengangguk. Aku yang berdiri di pojokan hanya bisa menunduk, hingga Tuan Wisesa kemudian memintaku untuk bergabung bersama dengan mereka semua yang sedang duduk bersama, dan itu membuatku terkejut.“Kemarilah, Cempaka. Tidak perlu takut,” ucap Tuan Wisesa lagi.Semua mata memandangku tidak suka ketika pemilik rumah ini memintaku untuk mendekat, kecuali
Di dalam ruangan di mana aku berdiri saat ini sudah seperti ruang persidangan saja. Karena yang ada di dalam ruangan ini bukan hanya aku dengan Tuan Wisesa saja, tapi juga ada Dimas, Nirmala, Wirya dan beberapa orang lainnya yang tidak aku kenal.“Saya harap tidak ada yang berbicara ketika saya berbicara dengan Cempaka? Bila ada, maka silahkan keluar dari ruangan ini!” tegas Tuan Wisesa menggelegar ke seluruh ruangan.Semua orang yang ada di ruangan ini tidak ada yang menjawab atau membatah pemilik rumah ini. Mereka semua hanya menunduk sebagai tanda mengerti.Setelah itu Wirya dan beberapa orang pengawal yang ada di dalam ruangan ini kemudian keluar dan menutup pintu ruangan ini. Kini tinggal aku dan Keluarga Wisesa saja yang berada di dalam ruang tertutup ini.“Apa kamu tahu Cempaka mengapa saya memanggilmu ke sini?” tanya Tuan Wisesa.“Ti –tidak tahu, Tuan.” Jawabku dengan menunduk.“Kalau b