Orang yang sedang mencariku itu sekarang sedang dikerumuni oleh beberapa wanita yang ada di warung ini. Bahkan sekarang untuk melihat wajahnya secara jelas saja aku hampir tidak bisa, tapi aku masih ingat sekali bagaimana wajah dan bentuk tubuh dari orang itu.“Cempaka, ada apa denganmu? Apa kamu kenal dengan pria itu?” tanya Mbak Siti menyadarkanku.“Tidak, Mbak. Aku tidak mengenalnya,” jawabku berbohong tanpa memandang Mbak Siti dan masih menatap pria yang duduk di ujung warung ini.“Benarkah kamu tidak mengenalnya, Cempaka? Kalau kamu tidak mengenalnya, mengapa dia bisa tahu kamu bekerja di sini?”Pertanyaan Mbak Siti membuatku menoleh ke arahnya, dan aku lalu mengatakan kepadanya bahwa aku benar-benar tidak tahu siapa dia, dan mungkin saja dia hanya pelanggan di warung Bu Darmi ini dan dia mengenalku dari warung ini.“Apa kamu yakin dia pelanggan kita, Cempaka? Karena sepertinya baru kali ini mbak melihat pria itu datang ke sini.”“I –Iya, Mbak. Dia pelanggan kita dan dia juga per
Aryo hanya tersenyum begitu aku melontarkan pertanyaan itu, dan dia lalu duduk di salah satu pohon patah yang ada di hutan di mana kami berada saat ini.“Duduklah di sini, Ajeng. Aku akan menceritakan semuanya,” jawab Aryo.Ada rasa enggan ketika aku akan duduk di samping Aryo. Jadi aku memilih untuk tetap berdiri dan mendengarkan cerita Aryo tentang bagaimana dia tahu bahwa aku adalah Ajeng.Ternyata pria itu tahu karena dia mengintip selama aku melakukan ritual bersama akik dan ninik, dan itu juga tanpa sepengetahuan akik dan ninik.Bahkan ketika aku pergi dan sudah mengganti identitasku dan wajahku, dia juga tahu dan masih mengikutiku hingga aku keluar dari desa hutan terlarang.Namun karena tugasnya sebagai pangeran tidak bisa dia tinggalkan dan abaikan, dia tidak bisa mengikutiku lagi. Tapi dia lalu meminta anak buahnya untuk mengikutiku hingga saat ini, dan dari anak buahnya itulah dia tahu di mana aku berada saat ini dan apa yang terjadi padaku.“Tunggu dulu, Aryo. Apa maksudmu
“Makam? Makam apa yang kamu maksud, Aryo?” jawabku berpura-pura tidak mengerti.“Tidak usah berpura-pura, Cempaka. Kamu tahu apa yang aku maksud. Jadi jangan berpura-pura lagi dan jelaskan kepadaku itu makam siapa,” ucap Aryo sambil mendekaatkan wajahnya dan menatapku dengan tatapan yang serius.Aku yang masih tidak tahu harus menjawab apa pada Aryo hanya diam membeku menatapnya kembali, dan kedua mata kami saat ini saling menatap satu sama lain seperti mencari jawaban dari pertanyaan kami masing-masing.Apakah aku harus menceritakan yang sebenarnya kepada Aryo, ataukah aku harus mengarang cerita tentang makam Ajeng itu seperti yang aku lakukan pada Pak Dirga?Pikiranku benar-benar kacau dan aku tidak tahu harus mempercayai Aryo atau tidak. Karena di dalam hatiku aku juga takut yang berdiri di hadapanku saat ini bukanlah Aryo yang asli, tapi orang suruhan Pangeran Dayu yang menyamar menjadi Aryo.Tapi cara bicara dan perilaku Aryo saat ini sama seperti Aryo yang aku kenal sebelumnya.
Mbak Siti dan juga Sri terlihat binggung dengan sikapku, dan mereka kemudian saling memandang lalu memandangku.“Ada apa denganmu, Cempaka? Mengapa kamu seperti terkejut seperti itu?” tanya Mbak Sri.“Ti –tidak, Mbak. Aku tidak terkejut kok,” elakku berusaha menutupi rasa terkejutku, “Aku hanya heran saja, kok Bu Darmi memberikan mbak baju kebaya putih seperti itu. Itu ‘kan seperti baju kebaya pengantin,” lanjutku.“Betul apa yang kamu katakan, Cempaka. Aku kok juga merasa seperti itu ya, aneh sekali,” tambah Sri.“Awalnya aku juga heran sama seperti kalian, tapi kata Bu Darmi kebaya ini cucok untukku dan acara yang akan kami hadiri besok lusa. Jadi aku akhirnya menerima apa yang Bu Darmi berikan. Lagi pula kebaya ini sangat bagus dan juga mahal, makanya aku tidak menolak,” jelas Mbak Siti.“Iya sih, Mbak Siti. Apa yang mbak katakan memang benar, tapi apakah mbak enggak merasa aneh Bu Darmi membelikan mbak baju mahal begitu. Karena setahuku, walaupun Bu Darmi baik kepada kita, tapi di
“Cempaka, aku takut. Apa Mbak Siti atau orang yang di luar tadi mendengar apa yang aku katakan?” ucap Sri dengan suara bergetar sambil menatap ke arah langit-langit kamarku.“Orang? Orang apa maksudmu, Sri?” tanyaku sambil menatap Sri yang masih memelukku.Bukannya jawaban yang aku dapat dari Sri, tapi suasana kamarku tiba-tiba menjadi sangat aneh. Karena lampu di kamarku jadi bergoyang ke sana kemari dan hidup nyala, dan itu membuat Sri tambah memelukku.“Ce –Cempaka, apa kita akan mati?” ucap Sri tiba-tiba.Aku yang masih menatap sekitar, langsung menatap Sri ketika dia mengatakan sesuatu yang menggangguku. Karena tidak mungkin kami akan mati hanya karena hal seperti ini saja.“Apa yang kamu katakan, Sri? Jangan berlebihan seperti itu! Kita tidak akan mati, tidak akan!” jawabku berusaha menenangkan Sri, padahal aku sendiri juga takut.“Nak Ajeng, baca apa yang akik pernah berikan kepadamu, dan jangan membuka matamu sampai kamu selesai membacanya,” tiba-tiba terdengar suara akik sepe
“Siapa kamu?” tanyaku tanpa berani menoleh ke belakang.Keringat dingin mengucur ke seluruh wajahku ketika hembusan angin menerpa tengkukku, dan bulu kudukku pun ikut berdiri.Karena masih tidak berani menengok ke belakang aku hanya diam dan menutup mataku. Tapi tiba-tiba sebuah tangan mencengkaram bahuku, dan entah mengapa aku merasa tangan itu tidak seperti tangan orang biasa. Tapi?“Cempaka,” panggil Aryo ketika aku membuka mata.Aku yang terkejut langsung mendorong Aryo menjauh dariku. Rasanya jantungku sudah mau lepas saja dari tempatnya karena ketakutan dan juga terkejut.“Ada apa denganmu, Cempaka. Kenapa kamu mendorongku?” protes Aryo.Karena tidak ingin mengganggu tidur Sri, aku lalu menarik telinga Aryo untuk ikut denganku dan pria itu terus saja merintih kesakitan sampai aku membawanya keluar dari kamarku.“Bagaimana kamu bisa masuk ke kamarku, Aryo? Apa kamu tidak takut ketahuan dan digebukin warga?”Aryo bukannya langsung menjawab pertanyaanku, tapi dia malah tertawa terb
“Apa semua sudah siap?” tanya Bu Darmi pada salah satu pria yang sedang bersamanya.“Sudah, Bu.” Jawab pria yang berkepala plontos kepada Bu Darmi.“Oh iya, Jang. Apa bapak sudah kemari?”“Sudah, Bu. Dari tadi, dan sekarang berada di dalam bersama dengan Mbak Siti,” jawab pria plontos itu.“Baiklah kalau begitu, sekarang saya masuk dulu. Oh iya jangan lupa minta orang-orangmu untuk berjaga di luar, dan jangan masuk kalau tidak saya suruh,” perintah Bu Darmi dengan nada suara yang tidak seperti biasanya aku dengar.Bu Darmi yang aku kenal biasanya sangat ramah dan suaranya sangat lembut, tapi sekarang terdengar sangat kasar dan juga ketus. Berbanding terbalik sekali, dan itu membuatku terheran-heran.Apakah ini sosok asli Bu Darmi?Setelah Bu Darmi dan dua orang yang bersamanya pergi, aku dan Aryo masih bersembunyi di tempat kami dan mengawasi Bu Darmi pergi, dan wanita tua yang masih cantik itu ternyata masuk ke dalam rumah yang aku lihat tadi.Sedangkan dua orang yang bersamanya tadi
“Apa yang tidak mungkin, Cempaka? Memangnya kamu mengenal siapa wanita yang mereka maksud?”“Aku sangat mengenalnya, Aryo. Dia wanita yang ada di kamarku ketika kamu datang,” jelasku.“Jadi wanita yang mereka maksud itu adalah wanita itu,” ucap Aryo terdengar sedikit terkejut.Aku hanya mengangguk menjawab Aryo. Karena pikiranku saat ini sedang kacau, dan yang ingin aku lakukan saat ini hanya menyelamatkan Sri saja. Sedangkan Mbak Siti, aku juga binggung harus bagaimana dengannya.“Aryo, apa kita juga tidak bisa menyelamatkan Sri?”“Apa maksudmu, Cempaka?”“Kalau aku memang tidak bisa menyelamatkan Mbak Siti, bisakah kita menyelamatkan Sri dari mereka dan Pangeran Dayu?”“Aku tidak yakin kita bisa melakukannya, Cempaka. Apalagi bila temanmu itu sudah mendapatkan baju kebaya dari wanita tua itu,” jawab Aryo sambil menatapku.“Baju kebaya? Apa maksudmu, baju kebaya putih seperti yang digunakan para pengantin, Aryo?”“Hmmm.”“Apa hubungannya baju itu dengan Pangeran Dayu, Aryo?”“Tentu s
“Seperti apa yang saya katakan sebelumnya, Cempaka. Bila kamu melewati pintu itu, maka kamu harus memilih. Kamu atau masmu yang akan hidup?” jawab Tuan Wisesa mengulangi pertanyaannya.“Ayah—,” ucap Dimas. Namun ayahnya segera menghentikannya dengan memberi isyarat.“Apa saya harus melakukannya, Tuan?” tanyaku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar.Pertanyaan yang Tuan Wisesa berikan benar-benar di luar dari perkiraanku. Bagaimana bisa dia bertanya seperti itu ketika Mas Budi atau Wirya tidak sadarkan diri. Apakah ini ada hubungannya dengan Pangeran Dayu?“Harus! Karena hanya itu saja yang bisa saya lakukan untuk meneruskan keturunan kalian,” tegas Tuan Wisesa membuatku tidak bisa berpikir.“Ma –maksud, Tuan?”“Ketika saya memutuskan untuk menyelamatkan kalian, ada hal yang harus digantikan untuk mengakhiri penjanjian terlarang itu, dan ayahmu s
“Cukup, Yah! Jangan—,” cegah ibu Dimas menghentikan suaminya. Namun Tuan Wisesa langsung menghentikan tindakan istrinya dengan memberi isyarat tangan.Ibu Dimas yang tadinya seperti menentang suaminya langsung terdiam begitu suaminya memberi tanda. Wanita itu seperti tidak berdaya bila suaminya seperti itu.“Jangan ada yang berani berbicara atau menyela apa yang saya katakan lagi. Bila tidak, jangan salahkan saya bila kalian tidak bisa berbicara lagi setelah itu!” ancam Tuan Wisesa.Mendengar ancaman Tuan Wisesa semua orang terlihat takut, termasuk aku. Tapi aku juga ragu apakah ancaman dari pemilik rumah ini benar-benar akan menjadi nyata atau tidak bila ada orang yang melanggarnya. Bila itu benar terjadi, itu artinya Tuan Wisesa bukan hanya kaya raya, tapi dia juga bukan orang biasa.“Cempaka, Wirya, saya tahu ini akan mengejutkan kalian berdua. Tapi ini adalah kebenarannya, dan kalian berhak tahu semua ini. Kalian be
“Iya, bukti. Tanpa bukti kalian tidak bisa menuduh keponakankan melakukan hal yang kalian tuduhkan,” ujar ibu Dimas dengan lantang.Semua orang hanya diam ketika ibu Dimas berkata seperti itu. Namun ayah Nirmala tiba-tiba mendekati istri Tuan Wisesa itu, dan mengatakan kepadanya bahwa dia akan menunjukkan bukti yang dia minta.Tegang dan bertanya-tanya, mungkin itu yang ada dalam pikiran beberapa orang yang ada di sini, termasuk aku. Hal itu terlihat dari raut wajah mereka ketika melihat perdebatan antara kakak beradik itu.“Bukti itu ada di sini dan saya akan mengatakannya di depan kalian semua,” ujar ayah Nirmala tak kalah lantang dengan ibu Dimas.Ketegangan semakin terasa ketika ayah Nirmala mengatakan hal itu. Pria itu diam sejenak sambil menatap keluarganya, terutama kedua anaknya. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini, yang pasti itu bukan sesuatu yang mudah, dan itu terlihat sekali dari sorot matanya yang menampakkan k
Aku yang masih membeku kemudian berbalik dan menatap semua orang yang ada di dalam ruangan ini. Mereka semua menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan, dan itu membuatku sangat tidak nyaman.“Mas Wisesa, apa maksud mas? Memangnya siapa Cempaka itu? Dan apa hubungannya dengan semua ini?” tanya ayah Nirmala memecah keheningan di antara kami semua.Tuan Wisesa bukannya menjawab pertanyaan adik iparnya, tapi dia malah menatapku dan mendekatiku. Ayah Dimas itu lalu mengajakku untuk kembali ke tempatku semula dan dia mengenalkanku kepada kedua orang tua Nirmala bukan sebagai pelayan rumah ini. Melainkan sebagai wanita yang seharusnya memang menikah dengan Dimas.Mendengar hal itu membuatku sangat terkejut. Bukan hanya aku, tapi semua orang yang ada di ruangan ini. Bahkan aku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar berusaha untuk memahami itu semua, tapi aku tetap tidak mengerti.“Apa maksud Mas Wisesa?” tanya ayah Nirmala memecah keheningan di antara kami semua.“Apa
“Ayah, tidak usah membahas hal ini lagi. Nirmala sudah menerima keputusan Dimas. Jadi kita tidak perlu memperpanjang masalah ini,” ujar Nirmala masih sambil berdiri dan menatap kami semua secara bergantian.“Nirmala, apa maksudmu nak? Bagaimana bisa kamu berkata seperti itu? Bukankah kamu ingin menjadi istri Dimas?” tanya ibu Nirmala terlihat heran.Bukan ibu Nirmala saja yang dibuat heran dan binggung, tapi kami semua yang ada di sini. Bagaimana bisa dia mengatakan menerima keputusan Dimas dengan semudah itu. Mencurigakan!“Benar Nirmala ingin menjadi istri Dimas. Tapi …,” Nirmala menggantung jwabannya dan menatapku sesaat, “Dimas tidak mencintai Nirmala, Bu. Dimas mencintai Cempaka, wanita yang duduk di samping Dimas saat ini,” lanjut Nirmala.“A –apa? Maksudmu pelayan wanita itu, Nirmala?” ucap ibu Nirmala terlihat terkejut.“Bulek!” bentak Dimas tiba-tiba
“A –ayah,” ucap Birawa terlihat terkejut.Pria yang baru saja datang itu terlihat sama terkejutnya seperti Birawa. Wajahnya yang hampir mirip dengan istri Tuan Wisesa tampak dingin menatap putranya itu, dan tak lama seorang wanita tiba-tiba muncul di belakang pria yang masih berdiri di depan pintu menatap dingin Birawa.“Birawa, kamu di sini nak?” ucap wanita tua itu dengan wajah yang tidak bisa aku artikan.Tapi wanita itu tidak bersikap dingin seperti ayah Birawa yang masih saja membeku. Wanita itu kemudian melangkah untuk mendekati Birawa. Namun pria yang bergelar ayah Birawa segera menahannya.“Ingat tujuan kita datang kemari!” tegas ayah Birawa sambil melirik wanita yang sepertinya istrinya.“Itu orang tua Nirlama dan Birawa,” bisik Damar tanpa aku tanya.Aku yang sudah menduga hal itu hanya diam, dan tidak menanggapi apa yang adik Dimas itu katakan. Walaupun awalnya aku cukup terkej
Aku dan semua orang yang ada di tempat ini langsung menoleh ke arah sumber suara yang sudah mengejutkan kami. Nirmala berdiri dengan raut wajah sangat marah menatap Dimas hingga guratan otot di lehernya terlihat dengan jelas.“Kembali ke kursimu, Nirmala!” bentak Tuan Wisesa tak kalah nyaringnya dengan apa yang Nirmala lakukan. Bahkan aku saja sampai takut mendengarnya.Tapi wanita itu masih saja berdiri dan mengabaikan apa yang Tuan Wisesa katakan. Bahkan ibu Dimas yang duduk di sampingnya sampai berdiri untuk menenangkannya. Namun wanita itu masih saja tidak mau duduk sambil menatapku dan Dimas secara bergantian seperti akan menerkam kami.“Dengar, Dimas. Aku tidak menerima ini semua. Aku mencintaimu, dan hanya aku yang pantas menjadi istrimu!” tegas Nirmala.“Nirmala!” bentak Dimas yang kini berdiri dengan wajah memerah.Melihat perseteruan antara Dimas dan Nirmala membuat suasana ruangan ini mencekam. Hal ini
“Tenang saja Nirmala, semua akan baik-baik saja. Kamu akan menikah dengan Dimas, dan bude sendiri yang akan membuat hal itu terjadi,” ucap ibu Dimas sambil mengusap punggung Nirmala yang kini tengah menunjukkan wajah seperti teraniaya.Nirmala yang menunjukkan wajah sedih mengangguk menjawab apa yang ibu Dimas katakan. Mereka berdua kemudian melangkah mengikuti Tuan Wisesa. Sedangkan aku memilih untuk bersembunyi terlebih dahulu, daripada menampakkan batang hidungku di depan mereka. Karena mereka pasti tidak akan menyukainya.“Apa sudah bisa saya mulai?” ucap Tuan Wisesa sambil menatap sekitar.Semua orang yang ada di ruangan ini hanya mengangguk. Aku yang berdiri di pojokan hanya bisa menunduk, hingga Tuan Wisesa kemudian memintaku untuk bergabung bersama dengan mereka semua yang sedang duduk bersama, dan itu membuatku terkejut.“Kemarilah, Cempaka. Tidak perlu takut,” ucap Tuan Wisesa lagi.Semua mata memandangku tidak suka ketika pemilik rumah ini memintaku untuk mendekat, kecuali
Di dalam ruangan di mana aku berdiri saat ini sudah seperti ruang persidangan saja. Karena yang ada di dalam ruangan ini bukan hanya aku dengan Tuan Wisesa saja, tapi juga ada Dimas, Nirmala, Wirya dan beberapa orang lainnya yang tidak aku kenal.“Saya harap tidak ada yang berbicara ketika saya berbicara dengan Cempaka? Bila ada, maka silahkan keluar dari ruangan ini!” tegas Tuan Wisesa menggelegar ke seluruh ruangan.Semua orang yang ada di ruangan ini tidak ada yang menjawab atau membatah pemilik rumah ini. Mereka semua hanya menunduk sebagai tanda mengerti.Setelah itu Wirya dan beberapa orang pengawal yang ada di dalam ruangan ini kemudian keluar dan menutup pintu ruangan ini. Kini tinggal aku dan Keluarga Wisesa saja yang berada di dalam ruang tertutup ini.“Apa kamu tahu Cempaka mengapa saya memanggilmu ke sini?” tanya Tuan Wisesa.“Ti –tidak tahu, Tuan.” Jawabku dengan menunduk.“Kalau b