Aku yang masih berdiri di depan pintu langsung menoleh ke arah akik, dan akik memintaku untuk tetap berdiri di tempatku sekarang tanpa boleh melangkah sedikitpun.Akik kemudian duduk bersila sambil memajamkan mata, dan angin kencang yang tadi menghadangku tiba-tiba hilang perlahan hingga suasana tempat ini kembali seperti sebelumnya.“Ni, tolong ambilkan benda yang ada di dalam tempat itu,” perintah akik sambil menunjuk sebuah gentong kecil di dekat dinding.Ni Imah kemudian mengikuti apa yang dikatakan suaminya, dan mengambil sebuah kain yang terbungkus dari dalam tempat tersebut.Setelah memberikan kepada suaminya benda itu, akik kemudian mendekatiku dengan perlahan dibantu oleh istrinya.“Pakai ini, Nak Ajeng. Ini akan melindungimu dari serangan penunggu hutan dan makhluk tak kasat mata lainnya,” ucap akik setelah membuka bungkusan yang ada di dalam tangannya. Ternyata bungkusan itu berisi kalung, dan aku lalu menerimanya dan langsung memakainya, “ Dengar, Nak Ajeng. Apapun yang te
Mendengar suara seseorang berteriak membuatku panik. Karena aku takut orang yang berteriak itu adalah orang pangeran setengah ular itu. Sehingga aku lalu berlari menjauh dari orang yang meneriakiku tadi, tapi orang itu sepertinya masih saja mengikutiku. Karena aku masih bisa mendengar suara kakinya mengejarku.“Hai, tunggu!” teriak orang itu lagi, dan aku tetap saja berlari menjauh.Aku tidak tahu berapa lama aku berlari menghindari orang yang mengejarku tadi. Hingga aku akhirnya tidak mendengar langkahnya lagi, dan aku ternyata sudah tiba di suatu sungai.Tak jauh dari sungai ini ada air terjun, dan itu sangat indah sekali dan baru kali ini aku melihat air terjun seperti ini.Aliran airnya yang menyegarkan membuatku ingin mandi di sungai ini, tapi kemudian aku urungkan setelah mengingat pesan akik kepadaku. Akik berpesan kepadaku agar aku tidak terlena dengan keindahan air terjun dan air sungai yang ada di hadapanku saat ini.Karena bila aku terlena maka aku bisa melupakan tujuan uta
Aku hanya bisa diam membeku melihat kucing yang bersamaku selama ini ternyata sudah tidak bernyawa. Si Manis kucing yang aku temukan di hutan ketika aku baru saja masuk ke dalam hutan ini, kini sudah tidak bernyawa di tangan orang-orang yang dari pakaiannya adalah orang-orang Pangeran Dayu.Si Manis di tusuk berkali-kali dengan senjata yang mereka bawa, dan aku hanya bisa mengalihkan pandanganku saja tanpa bisa menolongnya.Andai saja tadi kucing itu aku bawa ke gua ini, tentu saja dia tidak akan mati seperti itu. Tapi sekarang semua sudah terlambat dan aku tidak bisa menolongnya. Karena bila aku menolongnya, maka orang-orang dari pangeran setengah ular itu akan menemukanku.Setelah orang-orang itu pergi meninggalkan Si Manis yang sudah tidak bernyawa, aku kemudian cepat-cepat untuk turun dan melihat keadaan kucing yang bersamaku selama ini.Tapi baru saja aku akan mendekati kucing itu, tiba-tiba kakiku terpeleset dan aku menjatuhkan batu ke dalam sungai.“Siapa di sana?” terdengar su
“Tidak usah banyak bertanya, sekarang kita harus pergi dari tempat ini dulu,” jawab Aryo sambil menarik tanganku untuk pergi.Kami berdua akhirnya meninggalkan tempat itu, dan suara itu masih saja terdengar. Karena aku tidak bisa menoleh ke belakang, aku akhirnya hanya mengikuti langkah Aryo yang ada di depanku.Kami terus saja berjalan sampai kami tidak mendengar suara itu lagi, dan tanpa kami sadari kami sudah berlari cukup lama, dan yang kami rasakan saat ini hanya lelah dan ingin beristirahat.“Itu tadi memangnya suara apa, Aryo? Mengapa terdengar seperti suara desis ular, tapi bila itu memang desis ular mengapa suaranya bisa sangat nyaring seperti itu dan tidak seperti desis ular pada umumnya?”“Apa kamu benar-benar tidak tahu itu suara apa, Ajeng?”Aku hanya menggeleng menjawab pertanyaan Aryo, dan pria itu kemudian mengubah posisi duduknya menghadapku, dan menghela napas beberapa kali sebelum mengatakannya.“Itu tadi adalah suara Pangeran Dayu, Ajeng.”“Apa?” ucapku terkejut se
Aku yang takut terjadi sesuatu pada Aryo kemudian berteriak memanggil lagi pria itu, namun aku masih tidak dapat mendengar derap langkah atau suaranya.Andai saja aku bisa menoleh ke belakang, pasti aku bisa mencari keberadaanya saat ini. Apa mungkin dia?Aku yang sudah binggung harus bagaimana, akhirnya memilih untuk meninggalkan pria itu karena perutku kini sudah bertambah lapar. Tapi baru saja aku melangkah, tiba-tiba sebuah tangan mengejutkanku.“Aryo!” bentakku.Aku yang masih terkejut dengan apa yang Aryo lakukan kemudian menarik tangannya hingga dia terjatuh di depanku, dan buah-buahan yang dipegangnya pun jatuh berserakan.“Lihat apa yang kamu lakukan, Ajeng!” bentak Aryo sambil memungut buah-buahan yang terjatuh tadi.“Memangnya apa yang sudah aku lakukan? Bukankah kamu yang memulai duluan!”“Apa katamu? Aku yang memulai duluan?”“Iya, kamu!” jawabku sewot.Sebenarnya aku tidak ingin berdebat dengan Aryo, tapi pria ini benar-benar membuatku kesal. Tapi semua itu ternyata tida
Mendengar suara ibu membuatku menghentikan langkahku. Aku tidak tahu itu benar suara ibu atau hanya hembusan angin saja yang miri dengan suara ibu.“Ajeng, kemari nak. Ibu ada di sini,” terdengar suara yang mirip dengan suara ibu lagi, dan suara itu terdengar tepat di belakangku.Aku yang sangat merindukan ibu, tanpa aku sadari langsung bergerak untuk menemui ibu. Tapi baru saja aku akan berbalik, tiba-tiba pesan akik terlintas dalam ingatanku, dan aku langsung mengurungkan niatku.“Ada apa, Ajeng? Kenapa kamu membelakangi ibu, apa kamu tidak merindukan ibu, Nak?”Aku yang masih dapat mendengar suara ibu lalu menutup telingaku, agar aku tidak mendengarnya lagi. Tapi suara ibu masih saja terdengar, dan ibu terus saja berbicara agar aku ikut dengannya.Karena tidak ingin terpaku dengan suara ibu, aku akhirnya melangkah sambil menutu telingaku. Tapi hembusan angin dari arah depan tiba-tiba semakin kencang, hingga hampir membuatku terpental.Bersamaan angin itu menghantam tubuhku, aku men
“Ni, akik!” teriakku memanggil Ni Imah yang ada di luar gubuk.Aku tidak tahu harus berkata apa ketika melihat tangan akik yang tiba-tiba saja bergerak memegang tanganku. Bahkan tanpa aku sadari, air mataku sampai menetes ke pipiku ketika akik perlahan-lahan membuka matanya.“A –ada apa dengan akik, Nak Ajeng?” tanya Ni Imah dengan napas yang terengah-engah.“Akik, Ni.” Jawabku sambil menatap Ni Imah kemudian menatap akik kembali.“A –akik,” ucap Ni Imah sambil memegang tangan suaminya.Air mata wanita tua itu pun ikut jatuh ketika memegang tangan suaminya yang kini sudah membuka matanya, dan akik kemudian menatap istrinya.Sebuah pemandangan yang tak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata untuk saat ini, dan aku pun ikut menangis lagi melihat akik dan ninik seperti itu.Karena tidak ingin mengganggu mereka berdua, aku kemudian memutuskan untuk keluar guguk untuk menghirup udara segar dan menenangkan diriku.Ketika aku sedang duduk di luar dan menikmati suasana saat ini, entah mengapa ti
Aku yang masih menatap apa yang sedang terjadi di depanku hanya bisa terpaku, dan tak lama tubuhku seperti ditarik dan dibawa masuk ke dalam gubuk.“Nak Ajeng, apa Nak Ajeng baik-baik saja?” tegur Ni Imah, tapi aku hanya bisa membeku dan menatap lurus ke depan, “Nak Ajeng!” panggil Ni Imah mengejutkanku.“I –iya, Ni. I –itu tadi?” jawabku masih sambil menatap dan menunjuk ke arah pintu.“Tidak usah di pikirkan, Nak Ajeng. Sekarang lebih baik kita mendekat ke akik saja.”Ni Imah kemudian menuju suaminya dan duduk di sampingnya, dan aku pun mengikutinya.Ketika aku baru saja akan duduk, tiba-tiba gubuk ini bergerak-gerak dan berbunyi seperti akan roboh, dan aku juga mendengar suara yang pernah aku dengar di hutan bersama Aryo dulu.“Ni, apa itu suara—.”“Jangan membahasnya, Nak Ajeng. Sekarang lebih baik Nak Ajeng duduk dan kita berdoa bersama,” sela Ni Imah.Setelah mengatakan hal itu, Ni Imah kemudian memejamkan matanya dan meletakkan kedua tangannya di depan dada seperti orang yang s
“Seperti apa yang saya katakan sebelumnya, Cempaka. Bila kamu melewati pintu itu, maka kamu harus memilih. Kamu atau masmu yang akan hidup?” jawab Tuan Wisesa mengulangi pertanyaannya.“Ayah—,” ucap Dimas. Namun ayahnya segera menghentikannya dengan memberi isyarat.“Apa saya harus melakukannya, Tuan?” tanyaku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar.Pertanyaan yang Tuan Wisesa berikan benar-benar di luar dari perkiraanku. Bagaimana bisa dia bertanya seperti itu ketika Mas Budi atau Wirya tidak sadarkan diri. Apakah ini ada hubungannya dengan Pangeran Dayu?“Harus! Karena hanya itu saja yang bisa saya lakukan untuk meneruskan keturunan kalian,” tegas Tuan Wisesa membuatku tidak bisa berpikir.“Ma –maksud, Tuan?”“Ketika saya memutuskan untuk menyelamatkan kalian, ada hal yang harus digantikan untuk mengakhiri penjanjian terlarang itu, dan ayahmu s
“Cukup, Yah! Jangan—,” cegah ibu Dimas menghentikan suaminya. Namun Tuan Wisesa langsung menghentikan tindakan istrinya dengan memberi isyarat tangan.Ibu Dimas yang tadinya seperti menentang suaminya langsung terdiam begitu suaminya memberi tanda. Wanita itu seperti tidak berdaya bila suaminya seperti itu.“Jangan ada yang berani berbicara atau menyela apa yang saya katakan lagi. Bila tidak, jangan salahkan saya bila kalian tidak bisa berbicara lagi setelah itu!” ancam Tuan Wisesa.Mendengar ancaman Tuan Wisesa semua orang terlihat takut, termasuk aku. Tapi aku juga ragu apakah ancaman dari pemilik rumah ini benar-benar akan menjadi nyata atau tidak bila ada orang yang melanggarnya. Bila itu benar terjadi, itu artinya Tuan Wisesa bukan hanya kaya raya, tapi dia juga bukan orang biasa.“Cempaka, Wirya, saya tahu ini akan mengejutkan kalian berdua. Tapi ini adalah kebenarannya, dan kalian berhak tahu semua ini. Kalian be
“Iya, bukti. Tanpa bukti kalian tidak bisa menuduh keponakankan melakukan hal yang kalian tuduhkan,” ujar ibu Dimas dengan lantang.Semua orang hanya diam ketika ibu Dimas berkata seperti itu. Namun ayah Nirmala tiba-tiba mendekati istri Tuan Wisesa itu, dan mengatakan kepadanya bahwa dia akan menunjukkan bukti yang dia minta.Tegang dan bertanya-tanya, mungkin itu yang ada dalam pikiran beberapa orang yang ada di sini, termasuk aku. Hal itu terlihat dari raut wajah mereka ketika melihat perdebatan antara kakak beradik itu.“Bukti itu ada di sini dan saya akan mengatakannya di depan kalian semua,” ujar ayah Nirmala tak kalah lantang dengan ibu Dimas.Ketegangan semakin terasa ketika ayah Nirmala mengatakan hal itu. Pria itu diam sejenak sambil menatap keluarganya, terutama kedua anaknya. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini, yang pasti itu bukan sesuatu yang mudah, dan itu terlihat sekali dari sorot matanya yang menampakkan k
Aku yang masih membeku kemudian berbalik dan menatap semua orang yang ada di dalam ruangan ini. Mereka semua menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan, dan itu membuatku sangat tidak nyaman.“Mas Wisesa, apa maksud mas? Memangnya siapa Cempaka itu? Dan apa hubungannya dengan semua ini?” tanya ayah Nirmala memecah keheningan di antara kami semua.Tuan Wisesa bukannya menjawab pertanyaan adik iparnya, tapi dia malah menatapku dan mendekatiku. Ayah Dimas itu lalu mengajakku untuk kembali ke tempatku semula dan dia mengenalkanku kepada kedua orang tua Nirmala bukan sebagai pelayan rumah ini. Melainkan sebagai wanita yang seharusnya memang menikah dengan Dimas.Mendengar hal itu membuatku sangat terkejut. Bukan hanya aku, tapi semua orang yang ada di ruangan ini. Bahkan aku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar berusaha untuk memahami itu semua, tapi aku tetap tidak mengerti.“Apa maksud Mas Wisesa?” tanya ayah Nirmala memecah keheningan di antara kami semua.“Apa
“Ayah, tidak usah membahas hal ini lagi. Nirmala sudah menerima keputusan Dimas. Jadi kita tidak perlu memperpanjang masalah ini,” ujar Nirmala masih sambil berdiri dan menatap kami semua secara bergantian.“Nirmala, apa maksudmu nak? Bagaimana bisa kamu berkata seperti itu? Bukankah kamu ingin menjadi istri Dimas?” tanya ibu Nirmala terlihat heran.Bukan ibu Nirmala saja yang dibuat heran dan binggung, tapi kami semua yang ada di sini. Bagaimana bisa dia mengatakan menerima keputusan Dimas dengan semudah itu. Mencurigakan!“Benar Nirmala ingin menjadi istri Dimas. Tapi …,” Nirmala menggantung jwabannya dan menatapku sesaat, “Dimas tidak mencintai Nirmala, Bu. Dimas mencintai Cempaka, wanita yang duduk di samping Dimas saat ini,” lanjut Nirmala.“A –apa? Maksudmu pelayan wanita itu, Nirmala?” ucap ibu Nirmala terlihat terkejut.“Bulek!” bentak Dimas tiba-tiba
“A –ayah,” ucap Birawa terlihat terkejut.Pria yang baru saja datang itu terlihat sama terkejutnya seperti Birawa. Wajahnya yang hampir mirip dengan istri Tuan Wisesa tampak dingin menatap putranya itu, dan tak lama seorang wanita tiba-tiba muncul di belakang pria yang masih berdiri di depan pintu menatap dingin Birawa.“Birawa, kamu di sini nak?” ucap wanita tua itu dengan wajah yang tidak bisa aku artikan.Tapi wanita itu tidak bersikap dingin seperti ayah Birawa yang masih saja membeku. Wanita itu kemudian melangkah untuk mendekati Birawa. Namun pria yang bergelar ayah Birawa segera menahannya.“Ingat tujuan kita datang kemari!” tegas ayah Birawa sambil melirik wanita yang sepertinya istrinya.“Itu orang tua Nirlama dan Birawa,” bisik Damar tanpa aku tanya.Aku yang sudah menduga hal itu hanya diam, dan tidak menanggapi apa yang adik Dimas itu katakan. Walaupun awalnya aku cukup terkej
Aku dan semua orang yang ada di tempat ini langsung menoleh ke arah sumber suara yang sudah mengejutkan kami. Nirmala berdiri dengan raut wajah sangat marah menatap Dimas hingga guratan otot di lehernya terlihat dengan jelas.“Kembali ke kursimu, Nirmala!” bentak Tuan Wisesa tak kalah nyaringnya dengan apa yang Nirmala lakukan. Bahkan aku saja sampai takut mendengarnya.Tapi wanita itu masih saja berdiri dan mengabaikan apa yang Tuan Wisesa katakan. Bahkan ibu Dimas yang duduk di sampingnya sampai berdiri untuk menenangkannya. Namun wanita itu masih saja tidak mau duduk sambil menatapku dan Dimas secara bergantian seperti akan menerkam kami.“Dengar, Dimas. Aku tidak menerima ini semua. Aku mencintaimu, dan hanya aku yang pantas menjadi istrimu!” tegas Nirmala.“Nirmala!” bentak Dimas yang kini berdiri dengan wajah memerah.Melihat perseteruan antara Dimas dan Nirmala membuat suasana ruangan ini mencekam. Hal ini
“Tenang saja Nirmala, semua akan baik-baik saja. Kamu akan menikah dengan Dimas, dan bude sendiri yang akan membuat hal itu terjadi,” ucap ibu Dimas sambil mengusap punggung Nirmala yang kini tengah menunjukkan wajah seperti teraniaya.Nirmala yang menunjukkan wajah sedih mengangguk menjawab apa yang ibu Dimas katakan. Mereka berdua kemudian melangkah mengikuti Tuan Wisesa. Sedangkan aku memilih untuk bersembunyi terlebih dahulu, daripada menampakkan batang hidungku di depan mereka. Karena mereka pasti tidak akan menyukainya.“Apa sudah bisa saya mulai?” ucap Tuan Wisesa sambil menatap sekitar.Semua orang yang ada di ruangan ini hanya mengangguk. Aku yang berdiri di pojokan hanya bisa menunduk, hingga Tuan Wisesa kemudian memintaku untuk bergabung bersama dengan mereka semua yang sedang duduk bersama, dan itu membuatku terkejut.“Kemarilah, Cempaka. Tidak perlu takut,” ucap Tuan Wisesa lagi.Semua mata memandangku tidak suka ketika pemilik rumah ini memintaku untuk mendekat, kecuali
Di dalam ruangan di mana aku berdiri saat ini sudah seperti ruang persidangan saja. Karena yang ada di dalam ruangan ini bukan hanya aku dengan Tuan Wisesa saja, tapi juga ada Dimas, Nirmala, Wirya dan beberapa orang lainnya yang tidak aku kenal.“Saya harap tidak ada yang berbicara ketika saya berbicara dengan Cempaka? Bila ada, maka silahkan keluar dari ruangan ini!” tegas Tuan Wisesa menggelegar ke seluruh ruangan.Semua orang yang ada di ruangan ini tidak ada yang menjawab atau membatah pemilik rumah ini. Mereka semua hanya menunduk sebagai tanda mengerti.Setelah itu Wirya dan beberapa orang pengawal yang ada di dalam ruangan ini kemudian keluar dan menutup pintu ruangan ini. Kini tinggal aku dan Keluarga Wisesa saja yang berada di dalam ruang tertutup ini.“Apa kamu tahu Cempaka mengapa saya memanggilmu ke sini?” tanya Tuan Wisesa.“Ti –tidak tahu, Tuan.” Jawabku dengan menunduk.“Kalau b