Aku mengambil boks terakhir dan menatap sekeliling ruanganku. Ruangan ini sudah menjadi tempat nyamanku selama dua tahun terakhir. Dekorasi, lukisan, dan furnitur ini. Aku mengubahnya agar menjadi cocok dengan selera wanita dewasa. Di sinilah kamar di mana aku menangis saat aku mengetahui bahwa Rowan tidur bersama Ava. Bertahun-tahun kemudian, di kamar yang sama, aku menjilat ludahku sendiri setelah menyadari seluruh rasa sakit dan derita yang kusebabkan. Ruangan ini menjadi sumber kenyamananku. Satu-satunya tempat di mana aku bisa lari dan bersembunyi. Satu-satunya tempat aku bisa menangis kencang tanpa ada yang menyaksikanku hancur. Kalau tembok bisa berbicara, mereka akan memberi tahu seberapa banyak yang sudah mereka saksikan. Rahasia yang kusembunyikan. Pikiran gelap untuk mengakhiri segalanya. Tapi sekarang, aku sudah siap untuk meninggalkan itu semua. Aku tahu bahwa aku masih akan tidur di sini untuk acara di mana aku harus menghabiskan malam di rumah, tapi entah kenapa, rasa
Aku terus menatap kakakku. Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku begitu tenggelam dalam apa yang terjadi dalam hidupku sehingga aku gagal memperhatikan orang lain di sekitarku.Begitulah depresi. Depresi bisa membuatmu gagal melihat penderitaan orang lain karena terlalu fokus pada dirimu sendiri. Aku telah membiarkan hidup berlalu begitu saja selama beberapa tahun terakhir. Aku tidak terlibat dengan orang-orang di sekitarku. Bahkan, aku menarik perhatian semua orang ke arahku karena mereka begitu khawatir tentang kesehatan mentalku.Aku tidak berhenti untuk memikirkan apa yang sedang Ibu lalui dengan rasa bersalahnya sendiri. Aku tidak berhenti memikirkan Travis, yang membawa beban hidupnya sendiri, ditambah dengan beban perusahaan. Aku tidak berhenti memikirkan siapa pun selain diriku sendiri.Aku merasa sangat buruk ketika memikirkan semua itu. Semua hal yang telah kubuat mereka lalui. Kekhawatiran, kegelisahan, rasa sakit. Aku tahu aku tidak ingin melihat salah satu dari mereka dalam ko
Aku keluar dari mobilku dan berjalan perlahan ke arah mansion dengan kedua tangan yang gemetar dan keringat yang mengalir di sekujur tubuhku.Aku masih tidak percaya bahwa ini semua telah terjadi. Bahwa aku akhirnya bercerai dari lelaki itu. Buktinya ada di dalam tasku. Aku di sini untuk memberikan surat terakhir padanya dan menjemput Noah.Aku mendengar suara yang terdengar samar-samar begitu memasuki rumah, lalu menghentikan langkahku begitu dekat dengan dapur.Sekarang aku dapat mendengar suara itu dengan jelas dan apa yang kudengar membuatku terpaku.Noah bertanya pada ayahnya, “Aku masih tidak mengerti mengapa Ayah tidak bisa tinggal bersamaku dan Ibu?”Aku mengepalkan tanganku yang bergetar ke arah dadaku. Hatiku hancur mendengar kesedihan dalam suaranya. Aku rela melakukan apa pun baginya, tapi perceraian ini harus tetap dilakukan.Pernikahan kami merupakan sebuah kesalahan. Segalanya tentang kami merupakan kesalahan. Butuh beberapa waktu bagiku untuk menyadarinya.“Kau tahu me
“Aku harus pergi, bisakah kamu menemani Noah? Aku tidak tahu berapa lama aku akan di rumah sakit.” Aku berkata dengan tergesa-gesa sembari mengambil tasku.“Tentu. Aku akan ke sana kalau ibuku datang ke rumah untuk menemani Noah.” Rowan menjawab, tetapi perkataannya tenggelam seiring aku merasakan telingaku berdenging.Tidak banyak yang bisa kupikirkan saat aku pamit pada putraku dan keluar dari rumah. Aku masuk ke dalam mobil dan mengendarainya ke arah rumah sakit. Memori masa kecil mulai membanjiri pikiranku.Aku tumbuh dengan minim kasih sayang. Aku adalah anak yang tidak dipedulikan oleh kedua orangtuaku. Anak kesayangan ayahku adalah kakak perempuanku, Emma. Dia selalu memanggilnya putri kecilnya. Putrinya. Lalu, anak kesayangan ibuku adalah kakak laki-lakiku, Travis. Dia adalah laki-laki yang tampan. Sedangkan aku, bukanlah anak kesayangan siapa-siapa. Aku hanyalah aku, Ava.Aku selalu merasa tidak diinginkan. Tidak diharapkan. Bukan hanya oleh orangtuaku, tetapi juga oleh saudar
Aku duduk di kursi rumah sakit yang dingin sembari menghela nafas. Ibu masih menangis sesenggukkan dan tidak dapat ditenangkan. Hatiku hancur melihatnya. Aku mengerti, tidak mudah rasanya kehilangan pria yang kamu sayangi, apalagi dengan cara yang di luar bayanganmu.Fakta bahwa ayahku meninggal masih membuatku tercengang. Aku yakin dia dapat sembuh, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, dan aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan sekarang.Kami tidak pernah bertatapan mata dan meskipun dia membenciku, aku mengasihinya. Bagaimanapun juga dia adalah ayahku, bagaimana aku bisa membencinya?“Apakah kamu baik-baik saja?” Rowan bertanya sambil duduk di sebelahku.Dia sampai sekitar satu jam yang lalu dan dia baru saja membuka suaranya sekarang. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan dengan kekhawatiran yang dia tunjukkan. Bagaimanapun juga, dia tidak pernah memikirkan perasaanku sebelumnya.“Iya,” aku membalasnya.Aku belum menitikkan air mata setitik pun sejak kami mendengar kabar du
Pernahkah kamu merasakan hatimu seakan dicincang? Itulah yang aku rasakan sekarang melihat mereka. Aku merasa hatiku seolah sedang dicincang menjadi potongan yang kecil-kecil.Jika aku bisa membuang hatiku jauh-jauh, aku akan melakukannya. Sebab derita yang menyayat padaku sakitnya tidak dapat digambarkan.Aku ingin lari menjauh, mengalihkan pandanganku, tetapi aku tidak bisa. Pandanganku terpaku kepada mereka yang tengah mempertunjukkan kasih sayang di depanku, dan tanganku ingin untuk memisahkan mereka yang merekat kuat.Aku melihat mereka melepaskan pelukannya. Mata Rowan meneduh saat melihat kekasih hidupnya. Aku melihatnya menangkup wajah Emma di tangannya, membawanya mendekat ke wajahnya. Tidak, dia tidak menciumnya, dia hanya menempelkan keningnya ke kening wanita itu.Dia terlihat damai, seperti akhirnya dia pulang ke rumah setelah beberapa waktu. Akhirnya dia merasa utuh.‘Aku merindukanmu’ Aku membaca gerak bibir Rowan.Aku tidak mau membayangkan apa yang akan terjadi di anta
Hari itu bisa dibilang sebuah bencana. Matahari bersinar terang dan segalanya berjalan baik-baik saja saat aku sedang menyetir di jalan yang biasa aku lewati.Kapel terlihat ramai ketika kami sampai. Hampir semuanya datang untuk memberikan penghormatan terakhir.Aku berkeliling di tempat dan merasa senang, semuanya terlihat sempurna. Tidak ada yan membantuku untuk persiapan pemakaman. Akulah yang dibebankan untuk mengurusnya.Namun, aku tidak mengeluh. Kuanggap ini sebagai kesempatan untuk membayar kembali atas apa yang telah dia lakukan untukku. Bagamana pun juga, dia memberiku sandang, pangan, dan papan.Upacara akan dimulai dan semuanya sudah duduk. Aku memilih untuk duduk di tempat yang sepi. Rasanya aneh jika aku duduk dengan yang lain. Apalagi kalau aku duduk di sebelah Emma.“Ibu, mengapa kita tidak duduk di situ? Bukankah kita seharusnya duduk di dekat Nenek?” Tanya Noah sembari menunjuk ke tempat yang lain.Tentu saja kami menerima pandangan aneh dari yang lain, tetapi aku tid
Rowan Ada sesuatu yang akan kamu rasakan ketika melihat mantan istrimu, Ibu dari anakmu, tertembak dan berdarah di atas tanah pemakaman yang dingin. Sesuatu yang tidak pernah aku kira akan kurasakan untuk Ava. Ketika aku melihat pria dengan pistol mengarah ke kami, aku benar-benar tidak berpikir. Aku tahu Noah aman bersama orangtuaku, jadi instingku mengambil alih dan berlari ke arah Emma. Aku rela mati untuknya, dan aku sudah siap untuk itu.Aku lega ketika para penembak lari setelah melihat polisi, tetapi kelegaanku sirna ketika salah satu dari anggota polisi berteriak untuk memanggil ambulans. Aku berbalik, penasaran siapa yang tertembak. Tidak kubayangkan Ava-lah yang tertembak, dan melihatnya seperti itu membuat kakiku melemas hingga aku jatuh berlutut.Semuanya berlangsung cepat. Ambulans datang setelah itu dan polisi itu tidak mau melepaskan Ava sampai dia yakin Ava aman di tangan dokter.Aku sangat tersinggung oleh kegigihannya tidak mau melepaskannya, dia istriku—maksudku ma
Aku terus menatap kakakku. Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku begitu tenggelam dalam apa yang terjadi dalam hidupku sehingga aku gagal memperhatikan orang lain di sekitarku.Begitulah depresi. Depresi bisa membuatmu gagal melihat penderitaan orang lain karena terlalu fokus pada dirimu sendiri. Aku telah membiarkan hidup berlalu begitu saja selama beberapa tahun terakhir. Aku tidak terlibat dengan orang-orang di sekitarku. Bahkan, aku menarik perhatian semua orang ke arahku karena mereka begitu khawatir tentang kesehatan mentalku.Aku tidak berhenti untuk memikirkan apa yang sedang Ibu lalui dengan rasa bersalahnya sendiri. Aku tidak berhenti memikirkan Travis, yang membawa beban hidupnya sendiri, ditambah dengan beban perusahaan. Aku tidak berhenti memikirkan siapa pun selain diriku sendiri.Aku merasa sangat buruk ketika memikirkan semua itu. Semua hal yang telah kubuat mereka lalui. Kekhawatiran, kegelisahan, rasa sakit. Aku tahu aku tidak ingin melihat salah satu dari mereka dalam ko
Aku mengambil boks terakhir dan menatap sekeliling ruanganku. Ruangan ini sudah menjadi tempat nyamanku selama dua tahun terakhir. Dekorasi, lukisan, dan furnitur ini. Aku mengubahnya agar menjadi cocok dengan selera wanita dewasa. Di sinilah kamar di mana aku menangis saat aku mengetahui bahwa Rowan tidur bersama Ava. Bertahun-tahun kemudian, di kamar yang sama, aku menjilat ludahku sendiri setelah menyadari seluruh rasa sakit dan derita yang kusebabkan. Ruangan ini menjadi sumber kenyamananku. Satu-satunya tempat di mana aku bisa lari dan bersembunyi. Satu-satunya tempat aku bisa menangis kencang tanpa ada yang menyaksikanku hancur. Kalau tembok bisa berbicara, mereka akan memberi tahu seberapa banyak yang sudah mereka saksikan. Rahasia yang kusembunyikan. Pikiran gelap untuk mengakhiri segalanya. Tapi sekarang, aku sudah siap untuk meninggalkan itu semua. Aku tahu bahwa aku masih akan tidur di sini untuk acara di mana aku harus menghabiskan malam di rumah, tapi entah kenapa, rasa
Aku tidak tahu, tapi entah mengapa, mendengarnya meminta maaf membuat diriku bergejolak akan sesuatu yang tidak bisa kujelaskan, dan bahkan aku tidak tahu apa yang selama ini kutahan. “Ini bukan salahmu, dan tidak ada yang perlu diampuni. Aku juga harusnya menyadari lebih awal bahwa kita itu tidak bejodoh. Cinta kita dulu itu cinta monyet yang tidak akan bertahan selamanya. Astaga, aku tidak benar-benar berpikir kita akan berpacaran kalau bukan karena orang tua kita yang mendorong kita untuk menjalin hubungan.”Rowan tertawa kecil sebelum bibirnya berubah menjadi senyuman miring. “Jadi, kamu juga sadar bahwa orang tua kitalah alasan mengapa kita bersama? Perkataan mereka soal kita akan jadi pasangan serasi dan semua omong kosong itu. Perkataan itu terpatri di benak kita dan karena sering mendengarnya, kita mulai memercayainya.”“Benar. Aku tidak berpikir kita akan berpacaran kalau bukan karena intervensi mereka. Ke mana pun kita pergi, selalu ada orang yang beranggapan bahwa kita sera
”Sejak kapan kamu bisa sedewasa ini?” godaku sambil menatapkan bahuku dengannya. “Aku lebih tua, seharusnya aku lebih bijak.”“Kedewasaan datang bersamaan oleh pengalaman, kamu tahu,” ujarnya sambil mengedikkan bahunya dan tersenyum. “Cinta membuat kita melakukan apa yang terbaik bagi anak kita. Jadi, selama kamu dikendalikan oleh cinta, kamu akan selalu menginginkan yang terbaik bagi anakmu, dan kamu akan membuat keputusan berdasarkan itu.”Kami terdiam selama beberapa saat, saat aku mencerna apa yang dikatakannya. Hal itu membuatku tidak merasa menjadi orang gagal saat tahu bahkan Ava memiliki keraguan ketika bagiku, dialah gambaran Ibu yang sempurna. “Ngomong-ngomong, di mana Liliana?” tanyaku sambil melihat sekitar saat menyadari aku belum melihat bocah itu sejak aku sampai. “Dia di kamarnya bersama Rowan. Mereka bermain pesta teh.” Jawabannya ditemani oleh sebuah senyuman. Aku tidak bisa menahan tawaku. “Rowan? Bermain pesta teh?”Kedengarannya aneh. Sangat tidak biasanya, seol
Aku iri. Iri bahwa Ava merasakan hal ini bersama Noah. Dia juga memiliki hubungan dekat dengan Guntur. Kenapa aku tidak sadar dari kebodohanku sebelum segalanya sudah terlalu terlambat? Aku hanya bisa berdoa bahwa jika Guntur dan aku tidak bisa sedekat Ava dan Noah, setidaknya kami bisa sampai di mana dia tidak sangat membenciku. “Tidak akan. Aku berjanji,” ucapku lirih dengan kerongkongan tercekat. Dia memberiku tatapan tajam sebelum menoleh. “Noah,” panggilku sebelum dia pergi. Punggungnya seketika kaku, tapi dia melihatku dari sisi bahunya. “Maafkan aku karena sudah memperlakukan ibumu dengan buruk dan mencoba menghalangi ayahmu dengan ibumu. Aku benar-benar minta maaf.”Aku tidak mengharapkannya membalas ucapanku, dan benar saja. Alih-alih, dia beranjak dan meninggalkanku yang berdiri di depan pintu. Sembari menghela nafas, aku bertanya-tanya apakah aku harus masuk atau menunggu Ava kemari dan menyambutku. Ajaran ibuku masih terpatri di benakku bertahun-tahun kemudian. Aku tida
Emma. Aku benar-benar gugup. Sangat gugup. Jantungku berdegup kencang sampai aku tidak bisa bernafas. Aku menggenggam erat kemudi mobilku saat aku mencoba untuk menenangkan rasa panik yang menyeruak dari dalam diriku. Kalau boleh jujur, aku akui bahwa aku sungguh skeptis sejak berbicara dengan Ava. Perkataanku sungguh merupakan keberanian palsu dari wanita yang saat itu merasakan setruman arus kepercayaan diri yang tidak biasa. Setelah Ava pergi, keberanian palsu itu sirna. Kepercayaan diriku luruh dan aku jadi meragukan keputusan yang kubuat. Aku tersiksa akan itu, bertanya-tanya apakah aku melakukan hal yang benar. Aku meragukan rencana yang mau kulakukan. Aku tidak yakin apakah itu akan membuahkan hasil atau aku akan membuat segalanya memburuk dengan mendorong diriku pada mereka. Akhirnya, aku memutuskan untuk menunda rencanaku. Sejujurnya hal itu mengejutkanku, aku sebelumnya tidak seperti itu. Aku tidak pernah meragukan diri dan keputusanku. Kalau aku menginginkan sesuatu, aku
EmmaAku berjalan ke kantor Mia untuk sesi terapi lagi. Seperti yang biasa, aku pertama-tama melepaskan sepatuku sebelum duduk. “Hai, Emma,” ujar Mia dengan senyuman yang ditujukan untukku. Senyumannya begitu ramah dan hangat seperti biasanya. Senyumannya membuatku merasa tenang dan rileks. “Hai, Mia.”“Oke, kamu tahu apa yang akan kita lakukan pertama-tama. ‘kan?”Dia bertanya dan aku menganggukkan kepalaku. Aku mengambil nafas dalam sebelum menutup mataku. Aku menelisik isi benakku. Aku tidak bisa terus berpegang padanya selamanya. Alih-alih, aku membiarkannya lepas tanpa menyelami isinya.Aku menepis pemikiran mengenai Calvin, Guntur, kakakku, Ibu, dan Ava. Aku menjernihkan pikiranku sampai tidak ada apa-apa di dalamnya. Sampai isi kepalaku kosong dan aku merasa damai. Ketika sudah selesai, aku membuka mataku. “Apakah kamu sudah siap untuk mulai?” tanya Mia yang memerhatikanku. Aku mengangguk, “Iya.”“Ketika kita terakhir kali berbincang, kamu memberi tahuku bahwa kamu siap un
“Aku tahu bahwa mungkin kamu bingung, tapi alasan aku memberi tahumu ini adalah karena aku ingin agar kamu memberikan kesempatan bagi Gabriel. Aku tahu bahwa dia mengacau sebelumnya, tapi kalau dilihat dirinya sekarang, aku bisa tahu bahwa dia mencintaimu. Kedua putraku ini menuruni kebodohan ayahnya kalau soal wanita yang dicintai mereka. Meskipun sebagian kebodohan Rowan itu disebabkan karena kami sebagai orang tua, baik aku, Antony, dan kedua orang tua Emma, kami mengacaukannya.”“Sarah ...” aku mencoba untuk menimpalinya, tapi dia memotongku. “Sepertinya memang dari genetik keluarga ini. Sepertinya peribahasa buah tidak jatuh jauh dari pohonnya itu benar, sebab kedua putraku menyakiti wanita yang dicintai oleh mereka, sama seperti yang dilakukan Ayah mereka padaku. Apa yang kuminta padamu adalah untuk memberinya kesempatan, sebab peribahasa yang sama juga berlaku dalam sisi positifnya. Ketika pria dari Keluarga Wijaya jatuh cinta, mereka mencintai wanita dengan sepenuh hati dan ji
“Apakah makanannya sudah siap?” tanyaku ke pengurus rumah ketika aku memasuki dapur. Dia menjawab dengan senyuman lembut, “Belum, tapi akan siap dalam beberapa menit.”“Baiklah, biar aku menyiapkan mejanya.”Dia baru saja akan membantah, tapi dengan cepat kupotong argumennya. Aku mau membantu. Karena dia memasak, inilah setidaknya yang bisa kulakukan. “Apakah kamu perlu bantuan?”Aku menengadah dan melihat Ibu Gabriel dari sisi meja makan yang berlawanan. Aku menyusun piring di meja dan memberinya senyuman. “Iya. Tapi, aku hampir selesai.”Dia berjalan ke arahku dan mulai membantu menyusun gelas dan sendok. “Jadi, Hana, bagaimana perlakuan putraku terhadapmu?” tanyanya secara tiba-tiba. Aku tidak segera menjawab. Aku perlu beberapa saat untuk memikirkan pertanyaannya, bukan karena aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, tapi karena nada suaranya. Dia bukan hanya sedang memulai perbincangan. Dia benar-benar ingin tahu bagaimana perlakuan Gabriel terhadapku. Sepertinya aku terdia