EmmaAku ada di dapur untuk sarapan, tapi makananku tidak bisa dengan mudah kutelan. Setiap kali aku mencoba untuk menelannya, makanan itu seolah tersangkut di tenggorokanku, sebab aku merasa gugup dan cemas. “Apakah kamu baik-baik saja?” tanya ibuku ketika aku akhirnya menyerah dan membiarkan garpu dan pisau terjatuh dari genggamanku. “Aku tidak tahu, Bu. Aku gugup.” Suaraku bahkan terdengar gemetar bahkan dalam pendengaranku sendiri. Ya Tuhan. Apa yang kupikirkan? Apakah ini jalan yang bagus? Apakah aku siap untuk ini atau aku akan memperburuk segalanya?Pertanyaan itu terus menghujani benakku saat kupandang jijik makananku. Selera makanku sangat memburuk selama beberapa bulan belakangan, tapi hari ini malah lebih buruk lagi. Ibu menggenggam tanganku pada tangannya sebelum mengelusnya dengan lembut. Sorot matanya melembut saat memandangku. “Ibu tahu ini menakutkan, sayang, tapi kamu harus melakukannya,” ujarnya dengan lembut dan senyuman. “Ini demi kebaikanmu sendiri. Kamu tidak
Aku memainkan jemariku sembari menunggu terapisku selesai dengan pasiennya sekarang. Aku sungguh tergoda untuk kabur, tapi itu hanya akan membuatku terlihat seperti pengecut. Aku sudah lelah menjadi seorang pengecut. Ponselku berdering dan membuat benakku teralihkan. Aku menghela nafas lega, merasa bersyukur dan senang akan interupsi ini. Bahkan tanpa mengecek siapa yang menelepon, aku menggeser layar dan menerima panggilan itu. “Apakah kamu sudah di sana?” Suaranya terdengar dari teleponku. Aku tidak perlu menebak siapa itu. Suaranya sudah terpatri di benakku. Aku akan langsung mengetahuinya, bahkan di mimpiku. “Halo juga,” balasku dengan sarkastik dan aku bersandar di kursi, aku merasakan diriku mulai tenang. Ruangan ini dicat dengan warna oranye hangat. Mungkin kalian akan menganggapnya jelek, tapi sungguh, ini tidaklah jelek. Ruangan ini membuat suasana ruangan ini hangat. Lalu, ruangan ini juga mengingatkanmu akan suasana matahari terbenam. Warna bukan hanya yang membuat rua
Ini Ava yang kita sedang bicarakan. Aku selalu menganggapnya sebagai sainganku sejak hari di mana aku sadar bahwa dia memiliki perasaan pada Rowan. Aku tidak pernah membencinya, tapi tidak bisa kubilang juga bahwa aku menyayanginya meskipun aku menganggapnya dia saudaraku sendiri. Bagiku, dia hanyalah Ava. Dia tidak begitu hadir di duniaku. Tapi, kebencianku muncul padanya ketika aku mengetahui dia tidur dengan Rowan. Ava menggelengkan kepalanya seolah mau memperjelasnya, lalu dia berjalan mendekat padaku, “Apa yang kamu lakukan?”“Aku ada janji terapi di sini.”Senyuman kecil terbentuk di bibirnya saat dia mengerlingkan kepalanya untuk menatapku. “Nah, kamu datang ke tempat yang tepat. Dokter Mia adalah dokter terbaik di kota ini. Dia adalah terapisku sejak Ethan ditangkap.”Aku kira dia akan merasa penuh kebencian atau kepahitan atas apa yang dilakukan oleh Ethan, tapi nyatanya tidak. Dia hanya tersenyum tulus saat mengucapkan namanya. Sekretaris di belakangku mengatakan padaku bah
Eh, apa yang harus kukatakan? Aku bukan orang yang percaya akan energi positif atau negatif. “Jadi, kalau boleh kutanya, kenapa kamu kemari, Emma? Apa yang membuatmu memutuskan untuk diterapi?” Pertanyaannya membuatku terkesiap dan untuk beberapa saat aku menyusun jawabanku. “Aku tidak mau ke sini awalnya. Astaga, bahkan bukan aku yang membuat janji, tapi temanku berpikir terapi ini akan berguna bagiku. Dia pikir, aku perlu untuk sembuh dan memaafkan diriku sendiri sebelum bisa melangkah maju.”Jawaban itu terlontar begitu saja dari bibirku tanpa aba-aba, yang mana membuatku terkejut. Aku tidak pernah bermaksud untuk mengatakan itu padanya dengan jujur. Dia tersenyum padaku, wajahnya menyinarkan kedamaian. “Sejujurnya, aku menyukai jawabanmu. Itu adalah salah satu yang kuharapkan dari klienku. Tanpa kejujuran, bagaimana bisa aku membantu mereka? Iya, ‘kan?”Ketika aku tidak mengatakan apa pun, dia lanjut berbicara. “Kamu menyebut soal memaafkan dirimu sendiri. Kalau kubilang itu ka
Ava berdiri dan berjalan mendekatiku begitu aku keluar dari pintu. “Bagaimana perasaanmu?” tanyanya dengan pandangannya menatap padaku. Sejujurnya, aku terkejut dia masih ada di sini. Ketika dia berkata bahwa dia akan menungguku, aku tidak mengira dia akan menepatinya. Aku hanya berpikir dia akan menunggu sampai aku di dalam lalu pergi. Aku tidak pernah mengira dia akan menunggu selama satu setengah jam. “Ternyata rasanya enak juga,” balasku dengan tidak yakin akan cara mengatakannya. Aku menyukai sesi terapi ini lebih dari yang kupikir. Untuk beberapa lama, aku terus menahan apa yang kurasakan. Tentu, aku mengatakannya pada Merrisa, tapi aku tidak pernah membiarkan diriku untuk merasakan perasaan itu. Aku tidak pernah mengatakan padanya apa yang kurasakan. Rasa sakit hati, derita, kekosongan, semua itu kusimpan untuk diriku sendiri. Maka dari itu, saat aku bisa melakukan semua itu dengan Mia, hal itu sungguh membuka mataku. Aku tidak tahu bagaimana caranya melakukannya. Aku tidak
Hatiku terasa perih mendengar rasa sakit yang masih tertanam dalam suaranya. Aku mengerti kenapa dia masih menjalani terapi. Ava belum sepenuhnya pulih.Aku melihat ke belakang dan mencoba menempatkan diriku di posisinya. Aku tidak pernah mempertanyakan mengapa orang tuaku bersikap seperti itu terhadap Ava, bahkan sebelum dia dan Rowan membuat kekacauan. Aku hanya mengikuti arus. Aku tidak mengabaikannya, tapi aku juga tidak pernah berusaha membuatnya merasa diterima.Setelah masalah dengan Rowan, aku terlalu patah hati dan tenggelam dalam rasa sakitku sendiri untuk peduli dengan bagaimana kejamnya mereka memperlakukan Ava. Dalam pikiranku, aku membenarkan hal itu dengan mengatakan bahwa dia pantas mendapatkannya.“Aku bukan kakak yang baik waktu kita tumbuh besar, ‘kan?” tanyaku perlahan, seiring beban kesalahanku terus menghantamku.“Tidak apa-apa, itu tidak terlalu penting. Aku juga bukan adik yang baik dan aku merusak segalanya. Aku mencintai Noah, sungguh, dan aku tidak pernah men
Ava Aku duduk di meja riasku dengan menatap kosong kaca saat menyisir rambutku. Sudah pukul sembilan malam dan benakku kacau. Ketika aku menuju sesi terapiku hari ini, aku tidak pernah mengira akan bertemu Emma. Astaga, aku tidak pernah mengira akan menawarkan untuk menunggunya lalu mengajaknya makan es krim serta menghabiskan berbincang dengannya selama berjam-jam. Dia berkata padaku ini adalah kali pertama sesi terapinya dan aku merasa harus ada di sana untukmua. Aku tahu seberapa berat sesi terapi itu untukku. Aku merasakan ketakutan, kecemasan, kepanikan, dan tekanan. Aku pergi ke sana sendirian dan hampir saja mengalami serangan jantung oleh seberapa cemas dan gugup aku dibuat olehnya. Ketika aku selesai terapi, aku merasa seperti habis ditelanjangi. Seolah lukaku habis diamplas. Aku tidak melakukan apa-apa untuk menyembuhkannya. Alih-alih, aku hanya membalutnya dan menenggelamkan kepalaku di pasir. Perban tidak bisa memperbaiki luka tembak, dan itulah yang sedang kucoba untuk
Aku tetap diam sambil memperhatikannya melepas jas, lalu dasi, lalu kaus kaki. Sisa pakaiannya dilepaskan satu per satu, sampai dia hanya mengenakan celana dalam. Aku mengamatinya berjalan melintasi kamar dan menghilang ke dalam kamar mandi. Beberapa detik kemudian, suara pancuran terdengar. Aku memalingkan mata dari pintu itu dan menatap lurus ke depan, tanpa benar-benar melihat apa pun.Pikiranku kembali melayang ke Emma.Aku mendapatkan akhir yang bahagia, tapi bagaimana dengannya? Apakah aku pantas menyebutnya akhir bahagia, ketika Rowan awalnya adalah miliknya? Apakah mereka akan tetap bersama jika aku melepaskan? Apakah mereka akan bahagia?Semua pertanyaan ini terus berputar di kepalaku. Semua keraguan ini terus membuatku mempertanyakan keputusanku untuk tetap bersama Rowan. Aku ingin semua orang bahagia. Aku benci mengetahui bahwa aku mendapatkan akhir bahagia, sementara Emma dan Calvin tidak.Mungkin jika aku melepaskannya, Emma dan Rowan akan tetap bersama. Mereka akan tetap
Beberapa menit kemudian, kami sudah berada di luar kamar kami, dan tiba-tiba perasaan asing menyergapku. Gabriel membuka pintu dan mendorongnya terbuka. Kami disambut oleh foyer yang dihiasi oleh lantai marmer yang berkilauan di bawah cahaya lembut lampu gantung yang mewah dan mencetak pola menawan di tembok. Lalu, ada area tengah yang luas, dihiasi oleh sofa empuk dan jendela besar yang memanjang dari lantai hingga langit-langit, yang menangkap bayangan kota yang memukau, mereka berkilauan layaknya lautan bintang-bintang. Terdapat juga sistem hiburan yang dapat membuat malam kami semakin nyaman, lalu ada juga dapur cantik dengan peralatan masak dari stainless steel dan meja dapur luas yang sempurna untuk memasak berbagai makanan. Ruang makan yang mewah juga memiliki suasana hangat, diperuntukkan untuk pertemuan antar kerabat. “Sepertinya kamu menyukainya?” tanya Gabriel dengan nada menggoda. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Seperti yang kukatakan, keluargaku juga sempat kaya, ka
Pesawat jet ini sedikit mengalami lonjakan di landasan. Tangan Gabriel menyelamatkanku dari jatuh terjerembab saat pesawat sudah mendarat. “Apakah kamu baik-baik saja?” tanyanya sambil memandangku. “Ya.”Setelah Gabriel memberi tahuku soal wanita yang pernah dicintainya, tidak banyak yang terjadi setelah itu. Dia masih membawa luka yang masih menghantuinya. Luka yang masih membekas dalam dirinya.Aku bisa melihatnya dari sorot matanya setelah dia memberi tahuku segalanya. Dia tidak mau membicarakannya lagi. Dia sudah menceritakan hal soal dirinya yang tidak diketahui oleh orang lain, bahkan oleh saudara kembarnya. Aku tidak mendorongnya untuk melanjutkan ceritanya setelah itu. Aku tidak mendorongnya untuk memberi tahuku apa yang terjadi setelah dia mengetahui kebenarannya, atau apa yang terjadi pada wanita itu. Perasaannya saat ini rentan, dan aku paham bahwa dia butuh waktu untuk menenangkan dirinya, jadi aku memberikan ruang baginya. Aku menghabiskan setengah waktuku dengan memba
Bukankah cinta itu rasanya indah sekali? Tapi aku merasakan sesuatu telah terjadi. Sesuatu telah berubah. Kalau segalanya baik-baik saja, dia pasti akan bersama dirinya sekarang. Dia tidak akan pernah menikahiku. Suaranya serak saat dia melanjutkan perkataannya. “Segalanya berjalan dengan sempurna. Dia sangatlah luar biasa dan setiap harinya aku terus jatuh cinta lebih lagi padanya. Aku belum memperkenalkannya pada Rowan, sebab aku menginginkannya bagi diriku sendiri. Aku tidak menyembunyikannya, tapi aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengannya sebelum dia bertemu dengan keluargaku. Setiap hari aku bangun sambil berpikir, betapa beruntungnya diriku bisa menemukan seseorang sepertinya. Kamu tahu dunia kita, Hana, dan kamu tahu menemukan orang yang cocok tidaklah mudah.”Seperti itulah bagaimana cara kerja lingkungan kami. Sulit untuk menemukan seseorang yang benar-benar mencintaimu. Beberapa pernikahan di lingkungan kami hanyalah kesepakatan bisnis semata dan hanya sedikit pern
“Hana?” panggilnya. “Oh, maaf. Aku tenggelam dalam pikiranku sendiri tadi.” Aku lalu menggelengkan kepalaku untuk menepis pemikiranku. “Ya, aku sudah selesai berkemas.”“Baguslah, ayo pergi.”Sejam kemudian, kami sudah duduk di jet pribadi Gabriel. Tapi kali ini, aku menemaninya untuk menandatangani sebuah kesepakatan bisnis. “Apakah segalanya baik-baik saja? Apakah kau membutuhkan sesuatu? Aku bisa memanggil pelayan untuk membawakanmu apa pun yang kamu inginkan,” ujar Gabriel begitu jetnya lepas landas. Lihat apa yang kumaksud? Dia sangat perhatian. Di pernikahan pertama kami, dia tidak seperti ini. Aku tidak mengingat apa yang dilakukan Gabriel pernah menorehkan senyuman padaku. Bahkan, yang terjadi sebaliknya. Dia tidak pernah memikirkan apa yang kubutuhkan atau kuinginkan. Dia tidak pernah peduli apakah aku nyaman atau tidak. Dia tidak pernah peduli apakah aku hidup atau tidak. Dia hanya benar-benar tidak memedulikanku. Tapi sekarang sudah berbeda, itulah mengapa aku merasa ru
“Apakah Ibu benar-benar harus pergi?” tanya Lilly dengan pandangan yang berganti-ganti ke arahku dan koper yang terbuka di kamarku. Aku benci persiapan di menit-menit terakhir, tapi kami benar-benar sibuk di kantor selama beberapa hari terakhir ini, jadi setiap kali aku sampai di rumah, yang bisa kupikirkan hanyalah tidur. Kakiku sangat pegal dan aku tidak memiliki tenaga untuk melakukan hal selain makan dan tidur. “Ya,” balasku dengan lembut. “Ada sebuah kesepakatan penting dan ayahmu harus di sana untuk menandatanganinya ...”“Aku tidak paham mengapa aku tidak boleh ikut dengan Ibu? Aku mau melihat bagaimana cara Ayah melakukannya, cara dia menyetujui sebuah kesepakatan.”Aku tengah melipat sepotong pakaian terakhir, sebuah blus satin berwarna biru sebelum memasukkannya bersamaan dengan baju yang lainnya. Setelah selesai, aku menutup koperku sebelum menaruhnya di lantai.“Kamu pasti paham kalau kamu tidak boleh ikut,” jawabku sambil duduk di kasur. “Kenapa tidak?”“Karena kamu mas
Pernahkah kalian dibuat kehilangan kata-kata oleh perkataan seseorang? Seolah mereka membuatmu tidak bisa mengucap sepatah kata pun dan merasa bodoh di waktu yang sama? Itulah apa yang diperbuat oleh perkataannya padaku. Aku benar-benar membeku mendengar perkataannya sampai aku merasa merinding. Aku melihat sorot mata dan mendengar nada suaranya. Dia benar-benar serius dan baru saja melontarkan sebuah janji. Sebuah janji yang mau dipenuhinya. Apa yang kalian katakan pada situasi seperti ini? Bagaimana kalian menjawabnya? Apa jawaban kalian?Sisi dirinya ini benar-benar asing bagiku. Beri aku Gabriel yang arogan, egois, kasar dan yang suka menyakitiku, maka aku akan tahu bagaimana cara menanganinya. Tapi, sisi dirinya yang ini? Aku sama sekali buta akan sisi yang ini. Aku tidak tahu apa-apa soal bagaimana cara untuk berurusan atau menanganinya. Aku menyetujui pernikahan ini dengan tujuan yang jelas. Aku tahu apa yang sedang kuperbuat. Aku sudah bersiap untuknya, tapi sekarang, dia su
Dia berjalan ke arah bar kecil di pojok kantornya dan mengambil satu pak es serta menyelimutinya dengan handuk sebelum kembali ke arahku. Dengan lembut, dia meraih tanganku dan menempatkan es itu di atasnya. “Apakah sakit?” tanyanya dengan begitu lembut, sampai aku hampir tidak mendengarnya.“Sedikit.”“Aku tidak mengira kalau kamu akan berani untuk meninju seseorang.”Aku tertawa, sebab aku juga tidak mengira aku akan seberani itu. “Aku sudah tidak tahan lagi dan langsung beraksi tanpa berpikir lagi. Maafkan aku, sebab aku membuatmu dalam masalah. Seharusnya aku tidak meninju dia. Perilaku itu tidak menunjukkan citra diri dari seorang istri bos dengan baik.”Dia mendekatkan dirinya dan menatap intens ke mataku. “Jangan pernah minta maaf untuk membela dan mempertahanku dirimu sendiri, Hana. Kamu itu istriku, biarkan mereka tahu bahwa kamu bukanlah orang yang bisa sembarangan diinjak-injak.”“Aku tidak paham. Apakah kamu tidur dengannya?” Aku menyemburkan pertanyaan itu secara tiba-ti
“Perilaku serta sikap burukmu itulah yang membuatmu dipecat. Jangan timpakan kesalahanmu padaku.”“Ini salahmu. Kalau kamu tidak datang kemari, semua ini tidak akan terjadi!”Belum sempat kujawab, dia menerjang ke arahku untuk menyerang, dan aku terkejut dibuatnya. Aku limbung sebelum bisa mengendalikan diriku sendiri. Jalang sialan ini sudah melalui banyak hal, dia tidak akan puas dengan tamparan semata. Tanpa berpikir lagi, aku melayangkan tinjuanku ke arahnya. Kami berteriak di saat yang bersamaan. “Sialan, sakit sekali!” rutukku. “Kamu meninjuku!”Karena dia tidak menduga bahwa aku akan meninijunya, dia terjatuh sambil memegangi hidungnya yang berdarah. Meski aku merasakan sakit di tanganku, aku merasa sangat puas saat melihatnya berdarah dan mendeita. “Hana!” Suara teriakan Gabriel terdengar dari belakangku, tapi pandanganku masih melekat pada Laras, untuk berjaga-jaga kalau dia memutuskan untuk menyerangku lagi. Beberapa detik kemudian, pandanganku yang semula melihat si wa
HanaAku begitu lelah dan lapar, sampai-sampai kupikir aku akan mati. Aku tidak sempat sarapan pagi ini, sebab aku bangun terlambat. Akhir-akhir ini ada pembahasan tentang kesepakatan bisnis yang penting, jadi Gabriel pergi ke kantor lebih awal dariku. Aku tidak tidur nyenyak tadi malam, jadi aku benar-benar melewatkan alarmku.Lilly sudah mulai nyaman di sekolah, dan meskipun aku masih sempat mengantarnya sesekali, sebagian besar waktu, supirnya yang mengantar dia ke sekolah. Tapi, kami tetap makan malam bersama setiap malam. Lalu, Gabriel masih memastikan untuk pulang sebelum dia tidur.Sedangkan untuk hubunganku dengan Gabriel, bisa dibilang cukup tegang. Jangan salah paham, dia tidak bersikap kejam atau semacamnya, malah dia bersikap sebaliknya yang justru membuatku terkejut.Aku terkejut karena itu sangat tidak seperti dia.Aku terus menunggu sifat lamanya seperti saat pernikahan kami yang pertama muncul, tapi sifat itu sama sekali tidak terlihat. Bahkan, aku terus menunggu Gabri