Dia bergegas ke arah kami. Ketika dia mendekat, dia menarikku dari kursiku sebelum menciumku.Biasanya aku tidak akan protes akan ciuman itu, tapi ada sesuatu yang berbeda. Rasanya aku dipenuhi oleh kemarahan dan kepahitan. Itu menyakitkan dan menyakitkan. Hampir seperti dia mencoba mengklaimku. Seolah-olah dia berusaha menghapus nama Ethan dari bibirku.Aku berdiri kaku, menolak untuk membalas ciumannya. Aku ingin jawaban, dan dia memotong pembicaraan Ruby sebelum dia bisa memberi tahuku di mana Ethan berada.Ketika dia menyadari bahwa aku tidak merespons ciumannya, dia berhenti dan melangkah mundur. Kemarahan masih berkobar di matanya, tetapi itu tidak menggangguku sama sekali. Tidak ketika aku sangat ingin tahu apa yang terjadi pada pria yang ternyata telah membuatku jatuh cinta. Pria yang telah melakukan apa yang kupikir tidak mungkin, yaitu membawaku pergi dari Rowan.“Aku ingin jawaban, Rowan, dan aku ingin sekarang,” ujarku menuntut sambil melipat tanganku di dadaku. “Katakan pa
Aku menggendongnya dan kami menuju perpustakaan. Inilah salah satu tempat kesukaanku di rumah. Aku duduk di dekat jendela besar, aku melepas baju dan dalamanku, Liliana segera menyusu padaku.Aku melihatnya saat dia menyusu. Mata indahnya menatapku dengan kekaguman dan kepercayaan. Aku tertawa kecil saat aku menyadari tidak ada satu pun dari anak-anakku yang mewarisi mataku. Mereka berdua mewarisi mata ayahnya.Sembari menyusuri pipinya dengan jemariku, aku terus menatapnya. Bertanya-tanya bagaimana penampilan Ethan. Liliana terlihat seperti aku, kecuali matanya, jadi aku tidak memiliki apa pun untuk dibayangkan tentang bagaimana Ethan terlihat.Setelah dia selesai, aku berdiri dan menggendongnya. Dia bukan bayi yang rewel dan biasanya tidur setelah menyusu, tetapi saat ini dia bertindak keras. Dia menangis dan menolak untuk tenang.Aku hampir menyerah setelah beberapa menit mencoba menenangkannya ketika Rowan masuk. Dia telah melepas mantelnya, dan lengan bajunya dilipat. Dengan perla
Aku duduk di ruang tengah dan membaca beberapa kata dan angka. Kalau aku mau kembali mengajar, maka aku perlu mempelajari huruf dan angka ulang. Liliana tertidur di ranjang yang bisa dibawa ke mana-mana, jadi kubawa saja dari kamar atas. Aku tidak menyukai untuk meninggalkan dirinya sendirian sepanjang waktu. Jadi di sinilah kami. Dia tidur saat aku belajar ulang. Kepalaku masih berputar dari semua yang kuketahui kemarin tentang Ethan. Aku masih tidak percaya bahwa dia mempermainkanku dengan cara yang begitu kejam. Bahwa aku tidak mencurigainya sama sekali selama bulan-bulan kami bersama.Aku tidak tahu apa yang membuatku masuk dalam pesonanya di awal. Apakah karena Emma kembali dan aku ingin Rowan melihat bahwa hubungannya dengan Emma tidak mempengaruhiku? Atau karena aku sudah begitu putus asa dan haus akan kasih sayang sehingga aku jatuh cinta pada pria pertama yang menunjukkan ketertarikan padaku?Aku merasa frustrasi karena aku tidak tahu apa yang terjadi dalam pikiranku saat se
Nora dan Theo sampai sekitar tiga puluh menit kemudian. Seperti yang kukatakan, aku belum keluar rumah sama sekali setelah aku dipulangkan dari rumah sakit. Aku tidak sadar melihat seberapa besar perubahan kota ini. Empat tahun itu waktu yang lama bagi kota bermobilitas tinggi seperti ini untuk tetap sama.Ketika bel berbunyi, aku dengan antusias berdiri dan membuka pintu.“Apakah kamu dan Liliana sudah siap?” tanya Nora. Dia dipenuhi aura sama antusiasnya denganku. Aku membiarkan mereka berdua memelukku. Berada di pelukan mereka terasa nyaman dan familiar sekali. Seakan inilah yang sering kudapat dari mereka.“Iya. Sebentar, biar kuambil dia.”Aku berbalik dan kembali ke ruang tamu. Mengangkat putriku, lalu aku mengucapkan selamat tinggal dengan cepat kepada Teresa, lalu meninggalkan rumah.Aku hampir naik ke mobil mereka ketika seorang pengawal menghentikanku.“Maaf, Nyonya, tapi aku tidak bisa membiarkanmu pergi,” katanya, kemudian kegiranganku sirna.Aku tidak tahu namanya, meski
Rowan. Aku masih tidak bisa melupakan perkataan Ruby dari kepalaku. Ketika aku pulang lebih awal hari itu, aku sudah membayangkan untuk menghabiskan waktu bersama dengan Ava. Aku tidak berpikir akan mendengar Ruby berkata pada Ava bahwa dia jatuh cinta dengan Ethan. Rasa sakit yang merasuki hatiku sudah hampir membutakanku. Meskipun aku membenci hubungan Ava dengan Ethan, kupikir mereka hanya teman tidur belaka. Bahwa hal di antara mereka tidak lebih dari seks.Fakta bahwa dia telah jatuh cinta padanya lebih menyakitkan daripada mengetahui bahwa dia telah tidur dengannya. Rasanya aku hampir mati saat mengetahui bahwa dia telah mulai merancang masa depan dengan pria itu.Aku telah menyembunyikan rasa sakitku dengan kemarahan. Aku tidak tahu bagaimana memberitahunya bahwa kemungkinan dia merasakan secercah cinta untuk Ethan telah menghancurkan jiwaku menjadi serpihan darah yang menyakitkan. Rasanya terlalu menyakitkan untuk diungkapkan.Pertanyaan soal ‘bagaimana jika ...’ telah mengha
“Ada apa?” tanya Gabriel saat aku berdiri. Aku tidak bisa berpikir jernih. Mereka seharusnya menjaga Ava. Lalu kenapa dia ada di rumah sakit? Ini alasan mengapa aku tidak ingin dia meninggalkan kompleks perumahan. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi aku tahu dia lebih aman di rumah.“Theo baru saja memberi tahuku bahwa Ava telah dilarikan ke rumah sakit,” jawabku melalui gigi yang digertakkan.Aku marah dan khawatir pada saat yang sama. Aku tidak bisa menahan diri jika ada sesuatu yang terjadi padanya. Tidak ketika aku baru saja mendapatkan dia kembali.“Ayo, aku akan mengantarmu.”Aku hanya mengangguk sebelum menuju keluar.“Batalkan semua rapatku,” kataku pada sekretarisku saat berjalan menuju lift.Tatapanku pasti sudah tersirat karena orang-orang yang ada di lorong langsung menghindar. Mereka memberiku jalan seperti laut yang terbelah.Jantungku berdebar saat Gabriel dan aku naik lift ke tempat parkir bawah tanah. Aku tidak bisa menghentikan ingatan saat terakhir kali dia diba
Hai para pembacaku terkasih! Kuharap kalian semua baik-baik saja
Sudahkah kukatakan seberapa kesalnya aku? Aku benar-benar marah. Aku kagum bahwa telinga dan hidungku tidak mengeluarkan asap seperti kartun yang pernah kulihat. Setelah sampai di mobil, aku masuk, menyalakan mesin, dan keluar dari parkiran sialan itu.Aku tidak memikirkan apa pun selain apa yang Theo dan Nora katakan padaku. Aku hanya tidak mengerti mengapa Emma tidak bisa mengerti bahwa hubungan kami sudah berakhir. Bahwa aku sudah selesai dengannya.Aku tahu aku memberinya harapan ketika aku meminta kesempatan setelah perceraian, tetapi aku sudah menjelaskan kemudian bahwa hubungan kami tidak akan kemana-mana. Bahwa aku tidak ingin bersamanya.Aku akan menerima apa pun yang dia lontarkan padaku dan menangani semuanya dengan lembut karena masa lalu kami. Mencoba membuat Ava cemburu, silahkan. Menimbulkan keributan, ah itu pasti dilakukannya. Apa yang tidak akan aku toleransi adalah dia menyakiti Ava. Itu adalah batas yang seharusnya tidak dia lewati.Ponselku berdering, tetapi aku m
“Apakah makanannya sudah siap?” tanyaku ke pengurus rumah ketika aku memasuki dapur. Dia menjawab dengan senyuman lembut, “Belum, tapi akan siap dalam beberapa menit.”“Baiklah, biar aku menyiapkan mejanya.”Dia baru saja akan membantah, tapi dengan cepat kupotong argumennya. Aku mau membantu. Karena dia memasak, inilah setidaknya yang bisa kulakukan. “Apakah kamu perlu bantuan?”Aku menengadah dan melihat Ibu Gabriel dari sisi meja makan yang berlawanan. Aku menyusun piring di meja dan memberinya senyuman. “Iya. Tapi, aku hampir selesai.”Dia berjalan ke arahku dan mulai membantu menyusun gelas dan sendok. “Jadi, Hana, bagaimana perlakuan putraku terhadapmu?” tanyanya secara tiba-tiba. Aku tidak segera menjawab. Aku perlu beberapa saat untuk memikirkan pertanyaannya, bukan karena aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, tapi karena nada suaranya. Dia bukan hanya sedang memulai perbincangan. Dia benar-benar ingin tahu bagaimana perlakuan Gabriel terhadapku. Sepertinya aku terdia
“Kenapa aku membiarkan kalian berdua memengaruhiku dalam rencana kalian?” tanyaku dengan penuh nada frustasi sambil menatap Gabriel dan Lilly. “Sekarang, kita terlambat.”Mereka berdua sama sekali tidak terlihat merasa bersalah. Lilly tersenyum dan matanya berbinar akan kebahagiaan, sedangkan Gabriel mengulas senyumnya. Mereka berdua terlihat puas akan diri mereka sendiri. Aku menghela nafas kalah, bingung akan apa yang harus kuperbuat dengan mereka berdua. Aku bisa jelas melihatnya. Pasangan Ayah-anak itu selalu bekerja sama untuk membuatku kewalahan. Mereka selalu bergabung untuk ‘mengerjaiku’. Aku menatap sinis Lilly, lalu berucap, “Mana solidaritasmu?”“Ibu harus mengakui bahwa ini menyenangkan, ‘kan?” ujarnya sambil meraih lenganku dan Gabriel. Dia terlihat sangat bahagia. Bahkan, dia terlihat lebih bahagia dari biasanya sejak kami kemari. Tentu saja, kami memang bahagia, tapi tidak sebahagia ini. Lilly berhubungan baik dengan Eddy, tapi hubungannya tidak sebaik dengan hubunga
Aku memutar badanku untuk melihat ke sekeliling, sebelum akhirnya menatap Gabriel yang menatapku dengan penuh harap. “Rumah ini besar sekali, Gabriel!” Aku tahu bahwa masih ada banyak ruangan lagi, tapi akan kujelajahi lagi nanti. “Ada berapa banyak kamar tidur di sini?”Dia mendekat ke arahku. “Delapan kamar tidur dan dua kamar tamu.”Aku terpaku sampai tidak bisa berkata apa-apa saat kulihatnya. Tentu, kami memang tumbuh di rumah yang besar, tapi rumah itu hanya sampai memiliki lima kamar tidur. Itu juga sudah lebih dari cukup. “Sepuluh kamar tidur itu terlalu banyak Gabriel,” ujarku sambil tertawa kecil gugup. Apa yang akan kami lakukan dengan ruangan sebanyak itu?Dia kembali mendekat padaku, sebelum melingkarkan lengannya di pinggangku dan menarikku ke arahnya. Aku menempatkan tanganku di dadanya dan merasakan detak jantungnya yang berdegup. “Aku serius saat mengatakan bahwa aku menginginkan anak lagi, Hana.” Pandangannya menelisik secara dalam ke diriku. “Aku hanya tengah berj
Aku menatapnya dengan bingung. Aku mencoba untuk berbicara, tapi tidak ada yang bisa keluar dari mulutku saat pandanganku berganti dari Gabriel ke rumah itu. “Rumah ini cantik sekali!” seru Lilly. Keantusiasannya nampak saat dia melompat kegirangan, seolah dia benar-benar ingin meninggalkan kami dan memasuki rumah itu. “Di sinikah kita akan tinggal? Inikah rumah baru kita?”Pandangan Gabriel beralih dariku ke putri kami yang tersenyum lebar. “Kalau ibumu menyukainya, maka iya. Rumah ini akan menjadi rumah baru kita.”Pandanganku kembali ke rumah itu dan memandanganya dengan takjub. Rumah ini berdiri megah dengan berlatarkan perbukitan, kemegahannya terlihat dari berbagai sudut. Rumah ini perpaduan cocok antara elemen klasik dan modern, yang menggunakan eksterior marmer putih yang berkilauan di bawah cahaya matahari. Ada juga pahatan batu rumit di setiap sudut dan lekukan, membuat rumah ini terlihat elegan yang tidak akan lekang oleh waktu.Bagian pintu masuknya didominasi oleh sepasa
Aku menggelengkan kepalaku dan menepis pemikiran itu. “Ibu tidak tahu. Ayah bilang ini kejutan.”“Aku suka kejutan!” serunya. “Astaga,” gumamku. “Ayo pergi.”Lilly secara hati-hati menaruh bukunya sebelum melompat turun dari ranjangnya. Dia meraih tanganku dan menarikku keluar dari kamarnya. Kami melihat Gabriel menunggu kami di pintu sambil menyilangkan kakinya, dan melipat tangannya di dada bidangnya. Dia mengenakan kaus berleher V hitam yang terlihat ketat di pundaknya. Paha berototnya dibalut oleh celana jins Calvin Klein. Pose tubuhnya seperti ini membuatnya lebih menarik. “Suka apa yang kamu lihat?” goda Gabriel dengan senyuman miring. Perkataannya menarikku dari pemikiranku. “Hmm,” gumamku.Lilly mendecakkan lidahnya, untuk mengingatkanku bahwa dia ada di sini. “Aku tahu Ayah itu tampan, tapi kalian berdua ini menjijikkan.”“Tunggu saja sampai kamu bertumbuh dewasa dan bertemu dengan pria yang membuat jantungmu berdegup,” godaku sambil mencubit pipinya dengan lembut. “Setiap
Hana“Aku ingin kamu dan Lilly menemaniku ke suatu tempat,” ujar Gabriel.Aku di kamar kami dan melipat baju bersih. Memang, kami memiliki asisten rumah tangga, tapi aku tidak terbiasa untuk dibantu dalam pekerjaan rumah. Rasanya aneh bahwa aku terbiasa melakukan segalanya sendirian, dan sekarang ada orang lain yang melakukan hal itu untukku. Aku suka sibuk. Aku tidak bisa menghabiskan akhir pekan dengan tidak melakukan apa-apa. “Orangtuamu akan kemari untuk makan malam, Gabriel. Apakah kamu sudah melupakannya?” tanyaku. Aku membawa sebagian dari baju yang sudah terlipat itu dan berjalan menuju lemari kami yang luas, di mana aku menaruhnya sesuai tempatnya. Gabriel itu sepertiku, sangat rapi. Sedangkan Eddy tidak, dan hal itu sering membuatku kesal sampai aku marah. Kami menikah, jadi kami harus menemukan cara untuk betah tinggal bersama dengan kekurangan masing-masing. Memang tidak mudah, tapi kami selalu menemukan jalannya. Aku keluar dari tempat lemari dan melihatnya terduduk di
HanaSudah hampir dua minggu sejak Gabriel membuat janji padaku yang meluluh lantakkan seluruh pertahananku, aku hampir memberinya kesempatan kedua. Aku bersumpah, aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan sebahagia ini. Hidupku bersama Eddy memanglah indah, tapi saat bersama dengan Gabriel, hidupku jauh lebih indah lagi. Mungkin karena Gabriel-lah pria yang kucintai. Dialah pria yang memiliki tempat di hatiku selama hampir satu dekade. Bohong kalau kukatakan aku tidak takut. Masih ada sebagian kecil diriku yang berpikir segalanya akan berbalik. Lagipula, ini bukan kali pertama dalam hidupku, di mana orang yang kukasihi diambil dariku. Ada juga ketakutan bahwa segalanya berjalan dengan begitu mudah, ah kalian tahu lah. Seperti, bukankah seharusnya segalanya sedikit lebih sulit? Sedikit lebih susah. Sedikit lebih menantang ... atau hanya ini sisi diriku yang tidak mau maju?Mungkin aku terbiasa untuk tidak mendapat apa yang kuinginkan, yang mana membuatku bertanya-tanya ketika akhirn
Dia sekali lagi memandang mobilnya sebelum melangkah masuk. Kemudian dia berhenti sejenak, matanya bergerak mengamati ruangan itu.Mungkin sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali dia menginjakkan kaki di rumah ini. Terakhir kali, kalau tidak salah, adalah setelah dia ditembak saat pemakaman Ayah.Pandangannya terlihat muram. Aku bisa melihat bayangan kekelaman memenuhi pandangannya. Beban kenangan buruk yang dia bawa tentang rumah ini dan orang-orang di dalamnya. Apakah Guntur akan terbayang oleh hal yang sama karena aku? Karena apa yang telah aku lakukan?Aku tidak mau itu terjadi.Aku memang tidak banyak berada di sini setelah dia dan Rowan menikah, tetapi aku ada saat kami masih kecil. Aku tidak secara langsung mau mengakuinya sebagai saudaraku, seperti yang lainnya, aku mengabaikannya. Kami seharusnya menjadi saudara, tapi aku memperlakukannya seolah dia tidak pantas berada di sini. Orang lain juga melakukan hal yang sama. Saat melihatnya sekarang, aku bisa memahami apa yang Mia
Perkataan Mia terus terngiang di kepalaku bahkan saat aku memasuki mobilku. Kebenaran itu brutal. Tidak mudah untuk menelan pil pahit, tetapi aku harus menelannya.Alih-alih keluar dari tempat parkir dengan terburu-buru seperti biasanya, aku hanya duduk di dalam mobil dan membiarkan air mata mengalir. Aku tidak bisa menghentikannya, meskipun aku mau. Ruangan itu dipenuhi suara tangisanku. Isakanku terasa menyiksa dari dalam, seolah-olah seluruh bebanku menghantamku sekaligus.Kepalaku terjatuh ke kemudi karena aku sudah tidak bisa lagi menahannya. Rasa maluku sudah tertanam di diriku. Rasa malu itu terukir jauh di dalam diriku seperti sebuah tato yang terkutuk.Kenapa aku membiarkan semuanya sampai sejauh ini? Kenapa aku menyakitinya seperti itu? Kenapa aku membiarkan keegoisanku merusak ikatan yang bisa aku miliki dengan Guntur?Kenapa. Kenapa. Kenapa?Kalau saja kutahu bahwa suatu hari nanti aku akan sangat ingin memeluk Guntur. Ingin menjadi bagian dari hidupnya. Ingin mendengar dia