‘Tiga teguran lagi dan matilah kamu, Ava.’Aku membaca dan membaca ulang catatan itu. Jantungku berdetak begitu kencang sampai aku merasa akan menembus dada. Aku sangat ketakutan dan tidak tahu harus berbuat apa. Ini adalah catatan ketiga yang aku terima.Aku baru saja dari mengantar Noah ke sekolah ketika menemukannya di depan pintuku. Ketika pertama kali melihat kotak yang dibungkus dengan pita merah, aku mengira itu adalah hadiah. Sampai aku membukanya dan menemukan tikus mati serta catatan di sampingnya.Sekarang aku panik karena ancaman ini tampaknya semakin buruk.Aku membuang kotak dan tikus itu ke dalam tempat sampah sebelum mengambil ponsel dan menelepon Reaper. Aku berdoa agar dia memiliki jawaban untukku. Bahwa dengan keajaiban, dia telah menemukan siapa yang ada di balik semua ini.Dia menjawab setelah dering kedua dan aku menghela napas lega.“Ava,” jawabnya dengan kasar. Suaranya terdengar seperti dia baru saja merokok.“Tolong katakan bahwa kamu ada kabar untukku,” aku m
Rowan“Pak? Apakah ada yang bisa saya ambilkan untuk Anda dari restoran?” Sekretarisku bertanya, tetapi aku terus menatap keluar jendela kantorku.Pemandangannya memang sangat indah. Itu salah satu alasan mengapa aku memilihnya, tetapi hari ini tidak memberi aku ketenangan yang biasanya ditawarkannya.“Tidak. Tidak hari ini,” jawabku tanpa menoleh padanya.“Baiklah, saya akan kembali dalam tiga puluh menit.”Aku tidak menjawabnya dan setelah beberapa detik, aku mendengar pintu tertutup. Aku menghela nafas frustrasi. Entah mengapa, perasaan yang buruk terus melingkupi aku. Itu menyelimuti aku dalam gelombang. Hari ini lebih dari hari-hari sebelumnya.Aku tidak tahu apa itu, tetapi hatiku cemas. Aku tidak bisa tenang atau fokus. Rasanya seperti jiwaku mencoba memberi tahu sesuatu, tetapi aku tidak bisa mencari tahu apa.Mencoba mengalihkan perhatian, aku memikirkan Ava dan percakapan kami. Aku mengerti dia. Sungguh, aku mengerti keraguannya. Aku telah menghabiskan lebih dari sepuluh tahu
Aku melihatnya menelan ludah sebelum pandangannya terfokus padaku.“Ini soal Ava,” akhirnya dia berkata.Aku hampir bertanya padanya apa yang salah dengan Ava ketika suara yang tidak bisa dikenali menyebut namanya. Aku mulai berbalik ke arah TV.“Kumohon, Rowan … jangan tonton itu, fokuslah padaku,” pinta saudaraku, tetapi aku tidak memperhatikannya.Aku perlu tahu apa yang dilaporkan para presenter tentang Ava.Berita Utama.Judulnya ditulis dengan huruf besar dan tebal."Berita terbaru, Anggota Keluarga Santoso dan pendiri Yayasan Harapan hari ini ditembak oleh orang tidak dikenal. Kami belum mengetahui keadaannya, tetapi penembaknya membuka tembakan yang tampaknya merupakan serangan yang ditargetkan padanya. Video yang akan Anda saksikan mungkin mengganggu bagi sebagian orang.”Aku merasa lututku lemas, tetapi tidak ada yang bisa mempersiapkan aku untuk melihat wanita yang aku cintai ditembak berkali-kali.Videonya menunjukkan Ava saat dia berjalan keluar dari sebuah kedai es krim.
Sial. Kenapa ini harus terjadi padanya? Kenapa seseorang melakukan ini padanya? Apakah ada tanda-tanda yang aku abaikan? Apakah dia dalam bahaya, dan aku tidak menyadarinya?Pertanyaan-pertanyaan itu terus membombardir kepalaku saat Gabriel mengemudikan mobil keluar dari parkir bawah tanah. Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri jika dia dalam bahaya dan aku tidak menyadarinya, atau bahkan melakukan sesuatu tentang itu.“Apakah dia masih hidup?” aku bertanya saat rasa takut akan jawabannya membuatku tersedak.Dia harus masih hidup. Dia hanya perlu hidup.Gabriel melirik ke samping. “Aku tidak tahu banyak, tetapi aku tahu dia masih hidup.”‘Hampir’Kata-kata itu tidak diucapkan, tetapi tersirat.Aku melihat videonya. Siapa pun yang mengejarnya ingin memastikan bahwa Ava mati. Bahwa dia tidak memiliki kesempatan untuk selamat. Aku tidak tahu seberapa parah lukanya, tetapi aku tahu setidaknya dua peluru mengenai dirinya.“Apakah kamu tahu rumah sakit mana dia dibawa?” aku bertanya
“Ava Santoso!” aku hampir berteriak saat sampai di meja perawat.Salah satu dari mereka mengangguk dan melambaikan tangan untukku. “Ikuti saya, dia dibawa masuk sekitar sepuluh menit yang lalu. Saat ini dia berada di ruang gawat darurat.”“Bagaimana keadaannya? Bagaimana dengan bayinya?”“Maafkan saya, Pak Wijaya, tetapi saya tidak tahu. Para dokter sedang bersamanya dan aku diberi instruksi untuk mengarahkan keluarganya ke ruang tunggu ketika mereka tiba.”Aku ingin berteriak dan berteriak padanya, tetapi aku tahu itu tidak akan ada gunanya. Itu tidak akan membantu dalam cara apapun.Dia membawaku ke ruang tunggu, dan kemudian pergi beberapa detik kemudian. Aku ditinggalkan dengan pikiran yang bergejolak dan sekumpulan kekhawatiran. Justru ketika aku berpikir aku tidak bisa menahannya lagi, aku merasakan lengan kecil melingkari tubuhku.Aku berbalik untuk menghadapi pengganggu itu hanya untuk menemukan ibuku menatap kembali padaku.“Ibu,” aku berbisik. Aku merasakan air mata menggenan
Aku menatap dokter seolah-olah aku adalah idiot yang tidak bisa memahami apa yang baru saja dia katakan. Untuk membela diri, kata-katanya tidak sepenuhnya masuk ke dalam pikiranku. Dia memintaku untuk memilih antara Ava dan bayinya. Apakah dia tahu betapa sulitnya itu?“Pak Wijaya, waktu sangat penting. Kami perlu tahu keputusanmu,” dia hampir memohon.Aku membuka mulutku, tetapi tidak ada kata yang keluar. Aku mencoba lagi, dan hal yang sama terjadi lagi.“Pak Wijaya?” suster memanggil dengan kekhawatiran terdengar di suaranya.“Bayi itu,” suara lembut Ruby tiba-tiba terdengar dan memecah keheningan. “Selamatkan bayi itu, jika kami harus memilih.”Dokter dan suster mengangguk sebelum bergegas kembali ke ruang gawat darurat. Aku berbalik menghadapi Ruby dengan perasaan campur aduk yang saling berperang di dalam diriku.Tatapanku pasti telah menyampaikan sesuatu karena dia mengeraskan matanya dengan tantangan sebelum berbicara.“Jangan lihat aku seperti itu, Rowan. Ini yang diinginkan A
Aku berdiri terpaku di tempatku saat kata-kata itu terus bergaung di telingaku.Seorang bayi perempuan.Ava memiliki bayi perempuan. Dia memiliki seorang putri kecil. Noah pasti akan sangat bahagia. Dia telah berdoa agar dia mendapatkan seorang saudara perempuan, dan doanya terjawab.“Bisakah aku melihatnya?”“Aku tahu kamu ingin melihat putrimu, Pak Wijaya, tetapi kamu harus menunggu sedikit sampai kami selesai memeriksanya,” katanya.Awalnya, kata-katanya tidak masuk akal bagiku, tetapi segera aku menyadari bahwa dia mengira aku adalah Ayah bayi itu. Aku tidak keberatan sama sekali; itu hanya mengejutkan.“Dia lahir prematur karena usianya baru dua puluh enam minggu, dan mengingat cedera yang dia alami ketika Ava tertembak dan jatuh ke tanah, kami akan menempatkannya di inkubator. Dia akan berada di NICU sampai kami merasa dia cukup sehat untuk bersama keluarga.”Aku memperhatikan bahwa dia belum menyebutkan apa pun tentang Ava. Apakah itu berarti mereka tidak memiliki harapan untuk
“Ayah, di mana Ibu? Aku bertanya pada Calvin kenapa dia menjemputku, bukan Ibu, tapi dia bilang, kamu akan dijelaskan semuanya,” katanya, dengan ekspresi khawatir di wajahnya.Sial, ini sulit sekali. Aku punya waktu untuk memikirkan cara menyampaikan berita ini, tetapi kata-kata tak kunjung muncul.“Apakah dia sudah melahirkan? Apakah itu sebabnya kita berada di rumah sakit?” tanyanya dengan mendesak.Aku menarik napas dalam-dalam sebelum membuka mulut untuk berbicara.“Ibumu terluka sangat parah, nak. Dokter sedang bersamanya sekarang dan mereka melakukan segalanya untuk memastikan dia baik-baik saja.”Hatiku hancur melihat air mata yang memenuhi pelupuk matanya. Dia seharusnya tidak melalui ini. Dia tidak seharusnya berada di sini, khawatir tentang ibunya yang tercinta.“Bagaimana dengan bayi itu?” Suaranya serak saat dia bertanya.Aku tersenyum padanya. “Kamu punya seorang saudara perempuan, Noah. Sama seperti yang kamu inginkan.”Mata Noah melebar, dan rasa ingin tahunya terlihat j
Aku memutar badanku untuk melihat ke sekeliling, sebelum akhirnya menatap Gabriel yang menatapku dengan penuh harap. “Rumah ini besar sekali, Gabriel!” Aku tahu bahwa masih ada banyak ruangan lagi, tapi akan kujelajahi lagi nanti. “Ada berapa banyak kamar tidur di sini?”Dia mendekat ke arahku. “Delapan kamar tidur dan dua kamar tamu.”Aku terpaku sampai tidak bisa berkata apa-apa saat kulihatnya. Tentu, kami memang tumbuh di rumah yang besar, tapi rumah itu hanya sampai memiliki lima kamar tidur. Itu juga sudah lebih dari cukup. “Sepuluh kamar tidur itu terlalu banyak Gabriel,” ujarku sambil tertawa kecil gugup. Apa yang akan kami lakukan dengan ruangan sebanyak itu?Dia kembali mendekat padaku, sebelum melingkarkan lengannya di pinggangku dan menarikku ke arahnya. Aku menempatkan tanganku di dadanya dan merasakan detak jantungnya yang berdegup. “Aku serius saat mengatakan bahwa aku menginginkan anak lagi, Hana.” Pandangannya menelisik secara dalam ke diriku. “Aku hanya tengah berj
Aku menatapnya dengan bingung. Aku mencoba untuk berbicara, tapi tidak ada yang bisa keluar dari mulutku saat pandanganku berganti dari Gabriel ke rumah itu. “Rumah ini cantik sekali!” seru Lilly. Keantusiasannya nampak saat dia melompat kegirangan, seolah dia benar-benar ingin meninggalkan kami dan memasuki rumah itu. “Di sinikah kita akan tinggal? Inikah rumah baru kita?”Pandangan Gabriel beralih dariku ke putri kami yang tersenyum lebar. “Kalau ibumu menyukainya, maka iya. Rumah ini akan menjadi rumah baru kita.”Pandanganku kembali ke rumah itu dan memandanganya dengan takjub. Rumah ini berdiri megah dengan berlatarkan perbukitan, kemegahannya terlihat dari berbagai sudut. Rumah ini perpaduan cocok antara elemen klasik dan modern, yang menggunakan eksterior marmer putih yang berkilauan di bawah cahaya matahari. Ada juga pahatan batu rumit di setiap sudut dan lekukan, membuat rumah ini terlihat elegan yang tidak akan lekang oleh waktu.Bagian pintu masuknya didominasi oleh sepasa
Aku menggelengkan kepalaku dan menepis pemikiran itu. “Ibu tidak tahu. Ayah bilang ini kejutan.”“Aku suka kejutan!” serunya. “Astaga,” gumamku. “Ayo pergi.”Lilly secara hati-hati menaruh bukunya sebelum melompat turun dari ranjangnya. Dia meraih tanganku dan menarikku keluar dari kamarnya. Kami melihat Gabriel menunggu kami di pintu sambil menyilangkan kakinya, dan melipat tangannya di dada bidangnya. Dia mengenakan kaus berleher V hitam yang terlihat ketat di pundaknya. Paha berototnya dibalut oleh celana jins Calvin Klein. Pose tubuhnya seperti ini membuatnya lebih menarik. “Suka apa yang kamu lihat?” goda Gabriel dengan senyuman miring. Perkataannya menarikku dari pemikiranku. “Hmm,” gumamku.Lilly mendecakkan lidahnya, untuk mengingatkanku bahwa dia ada di sini. “Aku tahu Ayah itu tampan, tapi kalian berdua ini menjijikkan.”“Tunggu saja sampai kamu bertumbuh dewasa dan bertemu dengan pria yang membuat jantungmu berdegup,” godaku sambil mencubit pipinya dengan lembut. “Setiap
Hana“Aku ingin kamu dan Lilly menemaniku ke suatu tempat,” ujar Gabriel.Aku di kamar kami dan melipat baju bersih. Memang, kami memiliki asisten rumah tangga, tapi aku tidak terbiasa untuk dibantu dalam pekerjaan rumah. Rasanya aneh bahwa aku terbiasa melakukan segalanya sendirian, dan sekarang ada orang lain yang melakukan hal itu untukku. Aku suka sibuk. Aku tidak bisa menghabiskan akhir pekan dengan tidak melakukan apa-apa. “Orangtuamu akan kemari untuk makan malam, Gabriel. Apakah kamu sudah melupakannya?” tanyaku. Aku membawa sebagian dari baju yang sudah terlipat itu dan berjalan menuju lemari kami yang luas, di mana aku menaruhnya sesuai tempatnya. Gabriel itu sepertiku, sangat rapi. Sedangkan Eddy tidak, dan hal itu sering membuatku kesal sampai aku marah. Kami menikah, jadi kami harus menemukan cara untuk betah tinggal bersama dengan kekurangan masing-masing. Memang tidak mudah, tapi kami selalu menemukan jalannya. Aku keluar dari tempat lemari dan melihatnya terduduk di
HanaSudah hampir dua minggu sejak Gabriel membuat janji padaku yang meluluh lantakkan seluruh pertahananku, aku hampir memberinya kesempatan kedua. Aku bersumpah, aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan sebahagia ini. Hidupku bersama Eddy memanglah indah, tapi saat bersama dengan Gabriel, hidupku jauh lebih indah lagi. Mungkin karena Gabriel-lah pria yang kucintai. Dialah pria yang memiliki tempat di hatiku selama hampir satu dekade. Bohong kalau kukatakan aku tidak takut. Masih ada sebagian kecil diriku yang berpikir segalanya akan berbalik. Lagipula, ini bukan kali pertama dalam hidupku, di mana orang yang kukasihi diambil dariku. Ada juga ketakutan bahwa segalanya berjalan dengan begitu mudah, ah kalian tahu lah. Seperti, bukankah seharusnya segalanya sedikit lebih sulit? Sedikit lebih susah. Sedikit lebih menantang ... atau hanya ini sisi diriku yang tidak mau maju?Mungkin aku terbiasa untuk tidak mendapat apa yang kuinginkan, yang mana membuatku bertanya-tanya ketika akhirn
Dia sekali lagi memandang mobilnya sebelum melangkah masuk. Kemudian dia berhenti sejenak, matanya bergerak mengamati ruangan itu.Mungkin sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali dia menginjakkan kaki di rumah ini. Terakhir kali, kalau tidak salah, adalah setelah dia ditembak saat pemakaman Ayah.Pandangannya terlihat muram. Aku bisa melihat bayangan kekelaman memenuhi pandangannya. Beban kenangan buruk yang dia bawa tentang rumah ini dan orang-orang di dalamnya. Apakah Guntur akan terbayang oleh hal yang sama karena aku? Karena apa yang telah aku lakukan?Aku tidak mau itu terjadi.Aku memang tidak banyak berada di sini setelah dia dan Rowan menikah, tetapi aku ada saat kami masih kecil. Aku tidak secara langsung mau mengakuinya sebagai saudaraku, seperti yang lainnya, aku mengabaikannya. Kami seharusnya menjadi saudara, tapi aku memperlakukannya seolah dia tidak pantas berada di sini. Orang lain juga melakukan hal yang sama. Saat melihatnya sekarang, aku bisa memahami apa yang Mia
Perkataan Mia terus terngiang di kepalaku bahkan saat aku memasuki mobilku. Kebenaran itu brutal. Tidak mudah untuk menelan pil pahit, tetapi aku harus menelannya.Alih-alih keluar dari tempat parkir dengan terburu-buru seperti biasanya, aku hanya duduk di dalam mobil dan membiarkan air mata mengalir. Aku tidak bisa menghentikannya, meskipun aku mau. Ruangan itu dipenuhi suara tangisanku. Isakanku terasa menyiksa dari dalam, seolah-olah seluruh bebanku menghantamku sekaligus.Kepalaku terjatuh ke kemudi karena aku sudah tidak bisa lagi menahannya. Rasa maluku sudah tertanam di diriku. Rasa malu itu terukir jauh di dalam diriku seperti sebuah tato yang terkutuk.Kenapa aku membiarkan semuanya sampai sejauh ini? Kenapa aku menyakitinya seperti itu? Kenapa aku membiarkan keegoisanku merusak ikatan yang bisa aku miliki dengan Guntur?Kenapa. Kenapa. Kenapa?Kalau saja kutahu bahwa suatu hari nanti aku akan sangat ingin memeluk Guntur. Ingin menjadi bagian dari hidupnya. Ingin mendengar dia
Ava memberikannya sebuah kasih Ibu, yang mana tidak kuberikan padanya. Kasih itulah yang sudah didambakannya dariku untuk diberi padanya. Aku menyadarinya sekarang. Ketika dia bertemu dengan Ava. Saat dia membangun hubungan dengannya, bahkan setelah kebenarannya diketahui, itulah saat dia menyerah padaku. Saat itulah Guntur berhenti untuk memedulikan akan hubungan di antara kami. “Aku mendengarmu, Emma.” Mia lalu memberiku tisu. “Aku mendengarmu, tapi aku harus bertanya. Di mana tekadmu ini dulu? Mengapa dulu kamu menolak untuk berhubungan dengan Guntur?”Aku juga sudah menanyakan hal itu berulang kali ke diriku sendiri. Selama delapan tahun, aku menepis eksistensinya. Selama delapan tahun, aku memperlakukannya seolah dia tidak ada. Selama delapan tahun, aku tidak mengasihinya. “Aku paham bahwa mungkin ini kedengarannya seperti sebuah alasan bodoh kalau dipikir sekarang, tapi saat itu aku tidak mau berurusan dengan apa pun dan siapa pun yang mengingatkanku akan kehidupanku saat Rowa
EmmaAku kembali dengan sesi terapi bersama Mia. Aku masih tidak percaya bahwa aku benar-benar menuju kantor Calvin dan meminta maaf. Sejujurnya, kalau ini menyangkut Calvin, aku tidak pernah melakukan hal seberani itu sebelumnya. “Ya?”“Tadi kamu berkata bahwa kamu meminta maaf pada Calvin,” ujarnya sambil mendorong kacamata ke hidungnya. Humidifier di ruangannya membuat suara lembut sambil membuat aroma menenangkan dari lavender di udara. Aku merasa tenang. Aku merasa seolah sedang melayang. Mungkin sudah saatnya bagiku untuk membeli aroma terapi, sebab sejauh ini, aku suka akan dampaknya padaku. “Ya, benar,” jawabku sambil kembali dari angan-anganku. “Dokter membuatku menyadari seberapa salahnya aku dalam memperlakukan Calvin dan meskipun aku sudah menyadari kesalahanku, aku belum pernah meminta maaf padanya.”“Lalu, apa perasaanmu setelah meminta maaf padanya?”“Bebanku terasa sedikit lebih ringan.”Aku menyisirkan jemari di rambutku sebelum menempatkannya ke pangkuanku. Aku men