“Aku masuk kampus dan lanjut bekerja lebih keras lagi. Aku berubah menjadi tidak dikenali. Aku tenggelam dalam kehidupan kampus. Wanita, pesta, dan minuman keras. Hidupku menyenangkan. Aku didekati oleh banyak wanita. Aku bisa memilih wanita dari pesta kolam renang. Dengan segera, aku mulai melupakan Emma. Menangisi wanita yang tidak menginginkanku itu tidak penting saat aku bisa bersama yang lain.”Ava menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Aku tahu dia tidak menikmati kehidupan kuliahnya. Tidak setelah dia hamil di usia delapan belas tahun. Dia kemudian menjadi seorang ibu dan istri. Dia tidak punya waktu untuk menjadi mahasiswa normal tanpa kekhawatiran atau tanggung jawab. Setidaknya aku sempat merasakan pengalaman itu sebelum Emma muncul kembali dalam hidupku."Semuanya berjalan lancar sampai kakekku terkena stroke dan menjadi lumpuh. Kakekku yang membesarkanku setelah kedua orang tuaku meninggal dalam kecelakaan. Dia adalah satu-satunya yang aku miliki; aku tidak tahu ada anggot
Aku sangatlah takut, setidaknya itulah yang kupikirkan saat itu. Aku tidak tahu cara menjadi Ayah. Demi Tuhan aku belum pernah berada di dekat bayi. Sungguh itu menekanku, tapi aku tahu aku sudah mencintai anak itu."Dia ingin melakukan aborsi. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi, jadi aku mengancamnya." Aku menarik napas dalam-dalam, merasakan tenggorokanku tercekat sebab karena melawan emosi yang mendidih. "Aku membawanya ke rumah kakekku. Aku berharap semuanya akan membaik. Bahwa dia akan belajar mencintai bayi itu dan mencintaiku, tapi aku salah.""Dia sangat sulit untuk hidup bersama. Aku tidak akan berbohong padamu; selama waktu itu, kami masih berhubungan intim ketika dia sedang berselera, tapi itu tidak mengimbangi cara buruknya bersikap terhadapku. Dia sering memakiku, memanggilku dengan sebutan buruk, dan kadang-kadang bahkan menamparku. Dia bilang aku menghancurkan hidupnya dan dia membenci aku serta bayi kami."Aku menatap ke bawah. Aku mencoba memahami bahwa dia sedang m
AvaSeisi otakku seakan mau meledak.Aku sudah duduk di sini sejak Calvin pergi sekitar satu jam yang lalu. Aku bertanya padanya apakah Noah bisa menginap di rumahnya hari ini, dan dia setuju.Aku masih mencoba memahami semua yang aku pelajari hari ini. Terlalu banyak informasi dalam sekali waktu. Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.Teleponku berdering. Sekejap aku berpikir untuk mengabaikannya, tetapi aku memutuskan untuk tidak. Ini mungkin sebuah keadaan darurat.Aku menggeser layar tanpa melihat. Aku meletakkan gadget itu di telingaku, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Pikiran aku benar-benar kosong, jadi aku menunggu siapa pun di sisi lain untuk berbicara.“Ava,” dia menghela napas. “Syukurlah. Kamu baik-baik saja? Travis memberitahuku apa yang terjadi hari ini.”Segera aku mengenali suaranya. Ruby.“Aku tidak yakin, jujur,” balasku dengan lirih.Aku masih tidak mengerti bagaimana Emma bisa begitu kejam kepada Calvin dan Guntur. Aku tahu bahwa dia selalu ingin mengandung an
Baru saja aku mau mengatakan sesuatu saat kudengar bel rumahku berdering.“Ada orang yang bertamu, Ruby. Aku harus pergi.” Aku merasa sangat lelah dan terkuras, baik secara emosional maupun fisik."Oke. Kita bicara besok. Aku tahu ini hari yang melelahkan bagimu."Kami berdua mengucapkan selamat malam dan menutup telepon. Aku mempertimbangkan untuk mengabaikan orang di pintu. Seperti yang kukatakan, aku lelah. Aku tidak ingin bertemu siapa pun.Perlahan aku bangkit dan membuka pintu.“Rowan, apa yang kamu lakukan di sini?” tanyaku dengan terkejut.Aku terkejut melihatnya. Jujur saja, aku mengira dia akan berada di sisi Emma, dan menghiburnya. Aku terkejut dia malah di sini.“Bolehkah aku masuk?” tanyanya dan tidak menjawab pertanyaanku.Mungkin ada yang salah denganku, karena aku melangkah ke samping dan membiarkannya masuk. Dia memberiku senyum kecil saat memasuki rumahku.“Apa Noah sudah tidur?” tanyanya sambil melepas mantel.“Mungkin, tapi dia tidak di sini. Malam ini dia akan tidu
Aku selalu penasaran tentang apa yang dibicarakan oleh para penulis buku ketika mereka mengatakan ‘ciuman yang mampu menggoyangkan iman’. Inilah jenis ciuman itu.Indraku benar-benar tidak terasa lagi karena aku meraih belakang kepalanya dan memperdalam ciuman itu. Seolah-olah aku tidak bisa mendapatkan cukup darinya dan aku hanya menginginkan lebih. Bahkan ciuman Ethan tidak pernah terasa seperti ini.Aku tersesat dalam ciumannya saat dia melumat bibirku. Inilah yang selalu aku impikan. Aku selalu ingin Rowan menciumku seolah-olah dia menginginkanku. Inilah yang aku inginkan darinya setiap kali dia pulang dari kerja atau pergi di pagi hari. Inilah yang aku inginkan setiap kali kami berhubungan intim. Namun, kami tidak pernah mendapatkannya. Bukan karena aku tidak mencoba, tetapi karena dia tidak pernah menginginkanku."Kamu mencoba menjadi teman tidur yang baik, tapi kamu bahkan tidak bagus dalam hal itu. Setiap kali aku memasukimu, yang aku inginkan adalah Emma, yang aku bayangkan sa
Secercah cahaya terang menyisip melalui jendelaku dan membuat mataku terbuka. Alih-alih segera bangun, aku tetap di kasur untuk beberapa saat saat mengelus perutku dan merasakan bayiku bergerak di dalam sana.Aku melihat kalender di meja samping tempat tidur dan menyadari bahwa hari ini aku telah mencapai usia kandungan enam bulan. Rasanya menakutkan memikirkan bayi ini. Perjalanan kehamilan ini penuh dengan ketidakpastian. Aku selalu memastikan untuk berterima kasih kepada Tuhan setiap kali melewati bulan demi bulan dengan bayiku, menyadari bahwa tidak semua bayi lahir dengan selamat.Setelah mengucapkan doa singkat sebagai ungkapan syukur, aku bangun dan turun ke lantai bawah. Aku bisa mandi nanti, tapi sekarang aku merasa lapar. Dengan segala yang terjadi kemarin, aku sampai lupa makan.Pikiran tentang kemarin membawaku pada kejadian dengan Rowan. Aku masih tidak percaya bahwa aku membiarkan dia menciumku, atau bahwa aku benar-benar menikmatinya.Ini sangat menggangguku bahwa aku in
Emma“Aku tidak tahu aku harus apa, Merrisa,” ujarku padanya dengan hampir menangis. “Mereka benar-benar marah padaku sekarang.”Ibu dan Travis telah menolak untuk mengangkat teleponku atau bahkan berbicara denganku. Setelah bencana di acara pertemuan bulanan itu, aku belum melihat mereka atau berbicara dengan mereka.Travis mengabaikanku, dan Ibu mengusirku dari rumah begitu acara kecil itu selesai. Rasanya sangat canggung. Tidak ada satu orang pun yang berbicara padaku. Rasanya seperti aku tidak ada. Apa ini yang dirasakan Ava di masa lalu? Sungguh menyebalkan."Aku sudah berkata padamu untuk memberitahu mereka yang sebenarnya, tapi kamu tidak pernah mendengarkan." Suara Merrisa membawaku kembali dari lamunanku.Dia benar. Setiap kali dia menyebutkan topik itu, aku akan mengalihkannya sebelum dia sempat mengucapkan sepatah kata pun. Begitu aku tahu tentang kehamilanku, dia memohon agar aku memberitahu mereka, tapi aku menolak. Dia sudah mencoba selama delapan tahun terakhir. Itu tida
Memikirkan itu membuatku panik. Aku tidak ingin memikirkan itu. Aku tidak ingin melepaskan impianku untuk bersama Rowan. Aku tetap diam sambil melawan kata-katanya dalam kepalaku."Emma?" panggilnya.Aku mengetahuinya, dia ingin aku setuju. Dia ingin aku berkata padanya bahwa aku akan memikirkan hal itu, tapi aku tidak mau.Aku diselamatkan dari menjawabnya ketika terdengar ketukan di pintu."Aku harus pergi, Merrisa. Ada seseorang di depan pintu," kataku dengan terburu-buru sambil berjalan menuju pintu itu."Jangan pikir aku tidak tahu apa yang kamu lakukan, Em. Ini ..."Aku memutuskan telepon sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya.Saat membuka pintu, aku terkejut melihat ibu di sisi lain. Dia tidak tersenyum, tapi harapan masih mencercah di dalam diriku.Ibu tidak menunggu suruhanku untuk masuk, Ibu langsung masuk."Aku akan mengatakannya dengan singkat," katanya, dan semua harapan yang kumiliki sesaat tadi menyusut dan sirna.Aku menutup pintu dan menghadapi Ibu. Melihatnya, aku
HanaHandi, salah satu sopir Gabriel, membukakan pintu untukku, dan aku masuk lalu diikuti Gabriel yang duduk di sampingku. Aku masih belum percaya bahwa aku setuju untuk ini, tapi jauh di lubuk hati aku tahu ini masuk akal. Gabriel benar, tidak ada cara yang lebih baik untuk mendapatkan pengalaman dalam mengelola perusahaan selain belajar dari yang terbaik. Dalam hal bisnis, Gabriel dan Rowan adalah yang terbaik. Mereka bahkan melampaui Ayah mereka, yang sudah pensiun tapi masih menjadi kepala dewan direksi.Butuh waktu untuk bersiap-siap karena aku tidak bisa memutuskan pakaian apa yang akan kupakai. Kebanyakan waktu aku bekerja dari rumah, dan saat aku pergi ke kantor, aku mengenakan pakaian kasual karena perusahaan tempatku bekerja dulu agak santai dalam hal pakaian. Aku ingin terlihat rapi dan memberi kesan pertama yang baik. Aku tidak punya banyak pakaian kerja dan berencana untuk berbelanja akhir pekan ini. Uangku memang terbatas, tapi aku masih bisa membeli beberapa rok dan blu
Gabriel. Aku bangun dengan menggeram dan kejantananku yang sekeras batu. Sial, ketika aku menandatangani surat kontrak pernikahan dengan Hana, aku tidak memperkirakan seberapa menyiksanya ini. Aku tidak memperkirakan bagaimana dia akan membuatku merasa seperti ini. Aku tengah terangsang, dan kejantananku seolah protes seberapa sulitnya menahan ini. Aku beranjak dari ranjangku dan berjalan ke kamar mandiku yang tempatnya dekat dengan kejantananku yang mengeras. Aku masih tidak paham bagaimana hal ini bisa terjadi. Maksudku, aku bukanlah seorang remaja yang tidak bisa mengendalikan nafsunya. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku terbangun dengan kejantananku yang menegak. Bahkan belum sebulan sejak Hana kembali, dan aku bertingkah layaknya anak SMA. Aku jujur tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Aku tidak tahu bagaimana bisa dia memengaruhiku seperti ini, padahal dulunya tidak. Selain dari kemolekan tubuh dan sifatnya, dia masihlah Hana yang sama yang kukenal dulu, jadi aku tidak
“Apa yang kamu lihat larut malam begini?” Suara berat dari belakang mengejutkanku.“Astaga, kamu membuatku kaget,” gumamku sambil berusaha menenangkan jantungku yang berdebar kencang. “Jangan pernah muncul diam-diam seperti itu lagi.”Gabriel berjalan mengelilingi meja dapur dan berdiri di sisi seberang. Begitu dia berdiri di situ dan aku melihatnya, tenggorokanku tiba-tiba terasa kering. Aku merasa kehausan, seolah-olah sudah lama tidak minum, dan menelan ludah pun menjadi masalah besar.Gabriel tidak mengenakan apa pun kecuali celana olahraga abu-abu yang menggantung rendah di pinggulnya. Pria ini seperti karya seni dengan tubuh Dewa Yunani. Bahunya yang lebar, perutnya yang berotot, dan garis “V” yang pasti membuat siapa pun tergila-gila.Ada jejak rambut gelap yang dimulai dari pusarnya dan menghilang ke dalam celananya. Seolah-olah itu menunjuk ke arah kejantanannya.Aku ingin memalingkan mata, tapi itu mustahil. Mataku menikmati pemandangan itu seolah-olah dia adalah satu-satunya
GabrielAku masih bisa merasakan lembutnya kulitnya di bawah sentuhanku. Sesaat, aku ingin menggesekkan ibu jariku di persendian lengannya yang berdenyut.Versi baru dirinya ini menarik perhatian. Dia dipenuhi oleh semangat, dan sikap barunya adalah sesuatu yang bisa membuatku terobsesi. Aku suka wanita yang percaya diri, seksi, dan punya kepribadian berapi-api. Aku suka sekali ketika mereka melawan dan menantang balik.Dia telah bertransformasi menjadi tipe wanita seperti itu, dan ini membuatku tertarik. Dia tangguh dan tidak takut mengatakan padaku untuk pergi jauh. Kenapa aku tidak akan tertarik pada itu?Saat kami menikah, dia membosankan. Kepribadiannya yang hambar membuatnya tampak kusam di mataku. Tidak ada yang menarik darinya. Dia terlalu penurut, sementara aku menyukai wanita yang memiliki ‘cakar’. Dia melakukan segalanya untuk menyenangkan dan menarik perhatianku.Dia berusaha keras untuk membuatku tertarik padanya, tanpa menyadari bahwa hal itu justru membuatku semakin menj
Hana“Apa maumu, Gabriel? Seperti yang kamu lihat, aku sedang tidak ingin bicara.” Aku bangkit dari lantai sambil menghapus air mataku.Kata-kata Lilly masih terngiang di kepalaku serta menyayat hatiku berulang kali. Aku mengusap rambutku untuk mencoba mengusir rasa sakit yang kurasakan. Aku tahu ini akan terjadi. Aku tahu dia mungkin tidak akan menerimanya dengan baik.Maksudku, bagaimana bisa seseorang menerimanya dengan baik ketika ibunya tiba-tiba mengungkapkan bahwa pria yang selama ini dianggapnya Ayah ternyata bukan ayahnya? Bahwa dia telah dibohongi dan tidak ada yang mau memberi tahu kebenarannya hingga keadaan memaksa. Aku mengerti perasaannya dan paham reaksinya. Aku hanya tidak tahu bagaimana menghadapi kata-katanya dan rasa sakit yang kulihat di matanya.“Dia tidak benar-benar bermaksud begitu,” ujar Gabriel sambil berjalan lebih dekat ke kamarku.Aku menatapnya tajam dan merasakan sesuatu yang buruk membuncah di dalam diriku. “Bagaimana kamu tahu? Kamu bahkan belum cukup
HanaMinggu ini benar-benar kacau. Sejak kembali ke kota ini, rasanya aku terus-menerus berlarian menyelesaikan berbagai urusan tanpa sempat istirahat sedikit pun.Setidaknya Lilly sekarang merasa lebih nyaman. Gabriel menolak untuk mengirim kasurnya karena kasur di sini lebih nyaman, tapi dia setuju untuk mengirimkan seprai dan selimutnya. Itu sudah cukup membuat perubahan, dan sekarang dia bisa tidur nyenyak sepanjang malam.Gabriel … dari mana aku harus memulainya? Dia pulang ke rumah meskipun larut malam, tapi hanya sebatas itu. Kami saling menghindari dan mencoba hidup seperti tidak saling ada. Kurasa ini cara terbaik untuk kami. Ini akan mencegah Lilly melihat kami bertengkar terus-menerus.“Ibu, katanya ingin bicara denganku?” Suara Lilly menarikku dari lamunanku.Aku meletakkan pakaian yang sedang kulipat dan duduk di tempat tidur sebelum memberi isyarat padanya untuk melakukan hal yang sama. Dia melangkah mendekat dengan dahi berkerut dan duduk di sebelahku.Kami berada di kam
Punggung wanita itu membelakangiku, begitu juga dengan Guntur. Aku tidak perlu mengkhawatirkan Calvin, sebab dia terlihat begitu tergila-gila dan mengarahkan perhatiannya pada setiap perkataan wanita itu dengan senyuman lembut di bibirnya.Lagi-lagi, perasaan tidak nyaman menyusupi diriku. Mengapa aku merasa aku tidak bisa bernafas? Kerongkonganku terasa tercekat melihatnya. Aku berfokus pada mereka. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan karena mereka berjarak beberapa meja dariku, tapi kedamaian dan kebahagiaan di wajah Calvin sudah cukup untuk membuatku tahu apa yang tengah terjadi. Dia sedang berkencan dan Guntur ikut. Wanita itu bahkan tidak mempermasalahkannya, tapi tidak mungkin aku akan membiarkan wanita lain menggantikanku di kehidupan putraku. Aku tidak bisa melihat Guntur, tapi aku tahu, seperti dengan Calvin, dia senang bisa berada di sini. Calvin pasti akan langsung pergi dengan putra kami kalau dia merasa sebaliknya. Entah mengapa, aku tetap ada di sana meski
Perkataan Merrisa terus terngiang di telingaku bahkan setelah kami makan. Kami sedang memakan hidangan penutup kami. Aku suka es krim, tapi hari ini aku tidak bisa menikmatinya. Tidak ketika dia sudah membuatku meragukan segala yang kuyakini selama beberapa tahun terakhir ini. “Kenapa kamu begitu diam?” tanyanya setelah menaruh milkshake-nya ke meja. “Apakah kamu memikirkan apa yang kukatakan padaku?”Kalimat terakhirnya dikatakannya sambil tersenyum miring sambil bersandar kembali di kursinya. “Tentu tidak,” bohongku. “Aku hanya penasaran caraku untuk membuat Calvin dan Guntur memaafkanku. Tidak peduli seberapa keras kupikirkan, sepertinya tidak ada jalannya.”Sebagai seorang pengacara, aku terbiasa untuk memandang segala hal dari seluruh sisi ketika aku membela klienku. Itulah yang membuat pekerjaanku begitu lancar. Aku membereskan segalanya dan bisa menangani seluruh hasilnya. Aku melakukan itu pada masalahku sekarang dan kuyakin tidak ada harapan. Aku mungkin tidak mencintai Cal
“Kenapa aku harus membiarkanmu untuk meyakinkanku keluar makan siang?” keluhku sambil melihat pemandangan di depan kami. Sudah lama sekali sejak aku keluar dari rumah keluarga kami. Sepertinya terakhir kali aku keluar adalah saat aku menghadiri pernikahan Ava. Sejujurnya, aku bahkan terkejut bahwa dia mengundangku. Di antara semua orang, kupikir aku akan menjadi orang terakhir yang diinginkannya hadir di pernikahannya. “Sebab kamu harus keluar,” balas Merrisa sambil menarikku dari pemikiranku. “Aku biasanya keluar dari rumah, Merrisa,” ujarku untuk membela diriku. Dengusannya begitu membuatku kesal. “Pergi ke taman tidak terhitung keluar,” balasnya. “Sekarang, berhentilah mengeluh dan duduk serta nikmati. Kamu pasti akan menyukai ini, aku janji.”“Aku tidak yakin.”Setelah itu aku bersandar ke kursi dan menutup mataku. Benakku berkecamuk akan ribuan pemikiran di setiap menitnya. Aku tidak bisa mengendalikannya sama sekali. Setelah pembicaraanku dengan Merrisa di kamarku, benakku