AvaSeisi otakku seakan mau meledak.Aku sudah duduk di sini sejak Calvin pergi sekitar satu jam yang lalu. Aku bertanya padanya apakah Noah bisa menginap di rumahnya hari ini, dan dia setuju.Aku masih mencoba memahami semua yang aku pelajari hari ini. Terlalu banyak informasi dalam sekali waktu. Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.Teleponku berdering. Sekejap aku berpikir untuk mengabaikannya, tetapi aku memutuskan untuk tidak. Ini mungkin sebuah keadaan darurat.Aku menggeser layar tanpa melihat. Aku meletakkan gadget itu di telingaku, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Pikiran aku benar-benar kosong, jadi aku menunggu siapa pun di sisi lain untuk berbicara.“Ava,” dia menghela napas. “Syukurlah. Kamu baik-baik saja? Travis memberitahuku apa yang terjadi hari ini.”Segera aku mengenali suaranya. Ruby.“Aku tidak yakin, jujur,” balasku dengan lirih.Aku masih tidak mengerti bagaimana Emma bisa begitu kejam kepada Calvin dan Guntur. Aku tahu bahwa dia selalu ingin mengandung an
Baru saja aku mau mengatakan sesuatu saat kudengar bel rumahku berdering.“Ada orang yang bertamu, Ruby. Aku harus pergi.” Aku merasa sangat lelah dan terkuras, baik secara emosional maupun fisik."Oke. Kita bicara besok. Aku tahu ini hari yang melelahkan bagimu."Kami berdua mengucapkan selamat malam dan menutup telepon. Aku mempertimbangkan untuk mengabaikan orang di pintu. Seperti yang kukatakan, aku lelah. Aku tidak ingin bertemu siapa pun.Perlahan aku bangkit dan membuka pintu.“Rowan, apa yang kamu lakukan di sini?” tanyaku dengan terkejut.Aku terkejut melihatnya. Jujur saja, aku mengira dia akan berada di sisi Emma, dan menghiburnya. Aku terkejut dia malah di sini.“Bolehkah aku masuk?” tanyanya dan tidak menjawab pertanyaanku.Mungkin ada yang salah denganku, karena aku melangkah ke samping dan membiarkannya masuk. Dia memberiku senyum kecil saat memasuki rumahku.“Apa Noah sudah tidur?” tanyanya sambil melepas mantel.“Mungkin, tapi dia tidak di sini. Malam ini dia akan tidu
Aku selalu penasaran tentang apa yang dibicarakan oleh para penulis buku ketika mereka mengatakan ‘ciuman yang mampu menggoyangkan iman’. Inilah jenis ciuman itu.Indraku benar-benar tidak terasa lagi karena aku meraih belakang kepalanya dan memperdalam ciuman itu. Seolah-olah aku tidak bisa mendapatkan cukup darinya dan aku hanya menginginkan lebih. Bahkan ciuman Ethan tidak pernah terasa seperti ini.Aku tersesat dalam ciumannya saat dia melumat bibirku. Inilah yang selalu aku impikan. Aku selalu ingin Rowan menciumku seolah-olah dia menginginkanku. Inilah yang aku inginkan darinya setiap kali dia pulang dari kerja atau pergi di pagi hari. Inilah yang aku inginkan setiap kali kami berhubungan intim. Namun, kami tidak pernah mendapatkannya. Bukan karena aku tidak mencoba, tetapi karena dia tidak pernah menginginkanku."Kamu mencoba menjadi teman tidur yang baik, tapi kamu bahkan tidak bagus dalam hal itu. Setiap kali aku memasukimu, yang aku inginkan adalah Emma, yang aku bayangkan sa
Secercah cahaya terang menyisip melalui jendelaku dan membuat mataku terbuka. Alih-alih segera bangun, aku tetap di kasur untuk beberapa saat saat mengelus perutku dan merasakan bayiku bergerak di dalam sana.Aku melihat kalender di meja samping tempat tidur dan menyadari bahwa hari ini aku telah mencapai usia kandungan enam bulan. Rasanya menakutkan memikirkan bayi ini. Perjalanan kehamilan ini penuh dengan ketidakpastian. Aku selalu memastikan untuk berterima kasih kepada Tuhan setiap kali melewati bulan demi bulan dengan bayiku, menyadari bahwa tidak semua bayi lahir dengan selamat.Setelah mengucapkan doa singkat sebagai ungkapan syukur, aku bangun dan turun ke lantai bawah. Aku bisa mandi nanti, tapi sekarang aku merasa lapar. Dengan segala yang terjadi kemarin, aku sampai lupa makan.Pikiran tentang kemarin membawaku pada kejadian dengan Rowan. Aku masih tidak percaya bahwa aku membiarkan dia menciumku, atau bahwa aku benar-benar menikmatinya.Ini sangat menggangguku bahwa aku in
Emma“Aku tidak tahu aku harus apa, Merrisa,” ujarku padanya dengan hampir menangis. “Mereka benar-benar marah padaku sekarang.”Ibu dan Travis telah menolak untuk mengangkat teleponku atau bahkan berbicara denganku. Setelah bencana di acara pertemuan bulanan itu, aku belum melihat mereka atau berbicara dengan mereka.Travis mengabaikanku, dan Ibu mengusirku dari rumah begitu acara kecil itu selesai. Rasanya sangat canggung. Tidak ada satu orang pun yang berbicara padaku. Rasanya seperti aku tidak ada. Apa ini yang dirasakan Ava di masa lalu? Sungguh menyebalkan."Aku sudah berkata padamu untuk memberitahu mereka yang sebenarnya, tapi kamu tidak pernah mendengarkan." Suara Merrisa membawaku kembali dari lamunanku.Dia benar. Setiap kali dia menyebutkan topik itu, aku akan mengalihkannya sebelum dia sempat mengucapkan sepatah kata pun. Begitu aku tahu tentang kehamilanku, dia memohon agar aku memberitahu mereka, tapi aku menolak. Dia sudah mencoba selama delapan tahun terakhir. Itu tida
Memikirkan itu membuatku panik. Aku tidak ingin memikirkan itu. Aku tidak ingin melepaskan impianku untuk bersama Rowan. Aku tetap diam sambil melawan kata-katanya dalam kepalaku."Emma?" panggilnya.Aku mengetahuinya, dia ingin aku setuju. Dia ingin aku berkata padanya bahwa aku akan memikirkan hal itu, tapi aku tidak mau.Aku diselamatkan dari menjawabnya ketika terdengar ketukan di pintu."Aku harus pergi, Merrisa. Ada seseorang di depan pintu," kataku dengan terburu-buru sambil berjalan menuju pintu itu."Jangan pikir aku tidak tahu apa yang kamu lakukan, Em. Ini ..."Aku memutuskan telepon sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya.Saat membuka pintu, aku terkejut melihat ibu di sisi lain. Dia tidak tersenyum, tapi harapan masih mencercah di dalam diriku.Ibu tidak menunggu suruhanku untuk masuk, Ibu langsung masuk."Aku akan mengatakannya dengan singkat," katanya, dan semua harapan yang kumiliki sesaat tadi menyusut dan sirna.Aku menutup pintu dan menghadapi Ibu. Melihatnya, aku
Rowan.Sudah dua hari sejak kebenaran terungkap, dan aku masih tidak bisa melupakan ciuman itu.Ketika aku menundukkan kepalaku untuk mencium Ava, aku mengharapkan dia mendorongku menjauh. Lebih buruk lagi, menamparku. Aku tidak bisa mengelak bahwa aku terkejut saat dia membiarkanku menciumnya. Rasa terkejut itu segera berubah menjadi kebahagiaan dan suka cita.Aku tidak bisa percaya bahwa aku sudah lama tidak mendapatkan ciumannya. Bibirnya lembut, dan adiktif. Aku bisa menghabiskan seluruh hidupku hanya untuk menciumnya, dan aku akan bahagia.Sekali lagi, aku katakan, aku sangat bodoh. Setiap kali aku menolak ciuman Ava ketika kami menikah, aku pikir aku sedang menghukumnya. Aku tidak menyadari apa yang aku lewatkan. Karena itu, aku akan selalu menyesal karena aku menyia-nyiakan banyak hal.Saat ini aku berada di kantorku, dan aku tidak bisa fokus sama sekali. Aku ada pertemuan bisnis dalam beberapa hari ke depan, namun satu-satunya yang berputar di kepalaku adalah ciuman itu.Aku me
Semua harapan yang aku miliki menyusut dan sirna. Sial. Apakah aku akan pernah mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki semuanya? Apakah mungkin untuk memenangkannya kembali?“Aku ragu itu satu-satunya alasan. Kita semua tahu Ava. Jika dia tidak mau, dia tidak akan membiarkanmu. Hormon sialan,” dia mencoba untuk menyemangatiku, tapi aku tidak merasakannya saat ini.Pintu kantorku terbuka, dan Travis masuk. Dia terlihat sangat hancur. Dia melangkah masuk dan duduk di samping Gabriel."Kamu terlihat payah," Gabriel memberitahunya.Travis hanya mendesah. “Aku tahu. Aku juga merasa begitu.”Semuanya berantakan setelah mengetahui bahwa saudara perempuannya yang berharga menyimpan rahasia tentang seorang anak yang dia sembunyikan selama delapan tahun."Bagaimana kabarmu?" tanyaku."Buruk. Aku tidak bisa tahan berada di ruangan yang sama dengan Emma sekarang. Ibu juga. Sebenarnya, dia memberi Emma sebuah ultimatum. Entah dia membangun hubungan dengan Guntur atau dia dipotong dari hidupnya.”B
Aku memutar badanku untuk melihat ke sekeliling, sebelum akhirnya menatap Gabriel yang menatapku dengan penuh harap. “Rumah ini besar sekali, Gabriel!” Aku tahu bahwa masih ada banyak ruangan lagi, tapi akan kujelajahi lagi nanti. “Ada berapa banyak kamar tidur di sini?”Dia mendekat ke arahku. “Delapan kamar tidur dan dua kamar tamu.”Aku terpaku sampai tidak bisa berkata apa-apa saat kulihatnya. Tentu, kami memang tumbuh di rumah yang besar, tapi rumah itu hanya sampai memiliki lima kamar tidur. Itu juga sudah lebih dari cukup. “Sepuluh kamar tidur itu terlalu banyak Gabriel,” ujarku sambil tertawa kecil gugup. Apa yang akan kami lakukan dengan ruangan sebanyak itu?Dia kembali mendekat padaku, sebelum melingkarkan lengannya di pinggangku dan menarikku ke arahnya. Aku menempatkan tanganku di dadanya dan merasakan detak jantungnya yang berdegup. “Aku serius saat mengatakan bahwa aku menginginkan anak lagi, Hana.” Pandangannya menelisik secara dalam ke diriku. “Aku hanya tengah berj
Aku menatapnya dengan bingung. Aku mencoba untuk berbicara, tapi tidak ada yang bisa keluar dari mulutku saat pandanganku berganti dari Gabriel ke rumah itu. “Rumah ini cantik sekali!” seru Lilly. Keantusiasannya nampak saat dia melompat kegirangan, seolah dia benar-benar ingin meninggalkan kami dan memasuki rumah itu. “Di sinikah kita akan tinggal? Inikah rumah baru kita?”Pandangan Gabriel beralih dariku ke putri kami yang tersenyum lebar. “Kalau ibumu menyukainya, maka iya. Rumah ini akan menjadi rumah baru kita.”Pandanganku kembali ke rumah itu dan memandanganya dengan takjub. Rumah ini berdiri megah dengan berlatarkan perbukitan, kemegahannya terlihat dari berbagai sudut. Rumah ini perpaduan cocok antara elemen klasik dan modern, yang menggunakan eksterior marmer putih yang berkilauan di bawah cahaya matahari. Ada juga pahatan batu rumit di setiap sudut dan lekukan, membuat rumah ini terlihat elegan yang tidak akan lekang oleh waktu.Bagian pintu masuknya didominasi oleh sepasa
Aku menggelengkan kepalaku dan menepis pemikiran itu. “Ibu tidak tahu. Ayah bilang ini kejutan.”“Aku suka kejutan!” serunya. “Astaga,” gumamku. “Ayo pergi.”Lilly secara hati-hati menaruh bukunya sebelum melompat turun dari ranjangnya. Dia meraih tanganku dan menarikku keluar dari kamarnya. Kami melihat Gabriel menunggu kami di pintu sambil menyilangkan kakinya, dan melipat tangannya di dada bidangnya. Dia mengenakan kaus berleher V hitam yang terlihat ketat di pundaknya. Paha berototnya dibalut oleh celana jins Calvin Klein. Pose tubuhnya seperti ini membuatnya lebih menarik. “Suka apa yang kamu lihat?” goda Gabriel dengan senyuman miring. Perkataannya menarikku dari pemikiranku. “Hmm,” gumamku.Lilly mendecakkan lidahnya, untuk mengingatkanku bahwa dia ada di sini. “Aku tahu Ayah itu tampan, tapi kalian berdua ini menjijikkan.”“Tunggu saja sampai kamu bertumbuh dewasa dan bertemu dengan pria yang membuat jantungmu berdegup,” godaku sambil mencubit pipinya dengan lembut. “Setiap
Hana“Aku ingin kamu dan Lilly menemaniku ke suatu tempat,” ujar Gabriel.Aku di kamar kami dan melipat baju bersih. Memang, kami memiliki asisten rumah tangga, tapi aku tidak terbiasa untuk dibantu dalam pekerjaan rumah. Rasanya aneh bahwa aku terbiasa melakukan segalanya sendirian, dan sekarang ada orang lain yang melakukan hal itu untukku. Aku suka sibuk. Aku tidak bisa menghabiskan akhir pekan dengan tidak melakukan apa-apa. “Orangtuamu akan kemari untuk makan malam, Gabriel. Apakah kamu sudah melupakannya?” tanyaku. Aku membawa sebagian dari baju yang sudah terlipat itu dan berjalan menuju lemari kami yang luas, di mana aku menaruhnya sesuai tempatnya. Gabriel itu sepertiku, sangat rapi. Sedangkan Eddy tidak, dan hal itu sering membuatku kesal sampai aku marah. Kami menikah, jadi kami harus menemukan cara untuk betah tinggal bersama dengan kekurangan masing-masing. Memang tidak mudah, tapi kami selalu menemukan jalannya. Aku keluar dari tempat lemari dan melihatnya terduduk di
HanaSudah hampir dua minggu sejak Gabriel membuat janji padaku yang meluluh lantakkan seluruh pertahananku, aku hampir memberinya kesempatan kedua. Aku bersumpah, aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan sebahagia ini. Hidupku bersama Eddy memanglah indah, tapi saat bersama dengan Gabriel, hidupku jauh lebih indah lagi. Mungkin karena Gabriel-lah pria yang kucintai. Dialah pria yang memiliki tempat di hatiku selama hampir satu dekade. Bohong kalau kukatakan aku tidak takut. Masih ada sebagian kecil diriku yang berpikir segalanya akan berbalik. Lagipula, ini bukan kali pertama dalam hidupku, di mana orang yang kukasihi diambil dariku. Ada juga ketakutan bahwa segalanya berjalan dengan begitu mudah, ah kalian tahu lah. Seperti, bukankah seharusnya segalanya sedikit lebih sulit? Sedikit lebih susah. Sedikit lebih menantang ... atau hanya ini sisi diriku yang tidak mau maju?Mungkin aku terbiasa untuk tidak mendapat apa yang kuinginkan, yang mana membuatku bertanya-tanya ketika akhirn
Dia sekali lagi memandang mobilnya sebelum melangkah masuk. Kemudian dia berhenti sejenak, matanya bergerak mengamati ruangan itu.Mungkin sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali dia menginjakkan kaki di rumah ini. Terakhir kali, kalau tidak salah, adalah setelah dia ditembak saat pemakaman Ayah.Pandangannya terlihat muram. Aku bisa melihat bayangan kekelaman memenuhi pandangannya. Beban kenangan buruk yang dia bawa tentang rumah ini dan orang-orang di dalamnya. Apakah Guntur akan terbayang oleh hal yang sama karena aku? Karena apa yang telah aku lakukan?Aku tidak mau itu terjadi.Aku memang tidak banyak berada di sini setelah dia dan Rowan menikah, tetapi aku ada saat kami masih kecil. Aku tidak secara langsung mau mengakuinya sebagai saudaraku, seperti yang lainnya, aku mengabaikannya. Kami seharusnya menjadi saudara, tapi aku memperlakukannya seolah dia tidak pantas berada di sini. Orang lain juga melakukan hal yang sama. Saat melihatnya sekarang, aku bisa memahami apa yang Mia
Perkataan Mia terus terngiang di kepalaku bahkan saat aku memasuki mobilku. Kebenaran itu brutal. Tidak mudah untuk menelan pil pahit, tetapi aku harus menelannya.Alih-alih keluar dari tempat parkir dengan terburu-buru seperti biasanya, aku hanya duduk di dalam mobil dan membiarkan air mata mengalir. Aku tidak bisa menghentikannya, meskipun aku mau. Ruangan itu dipenuhi suara tangisanku. Isakanku terasa menyiksa dari dalam, seolah-olah seluruh bebanku menghantamku sekaligus.Kepalaku terjatuh ke kemudi karena aku sudah tidak bisa lagi menahannya. Rasa maluku sudah tertanam di diriku. Rasa malu itu terukir jauh di dalam diriku seperti sebuah tato yang terkutuk.Kenapa aku membiarkan semuanya sampai sejauh ini? Kenapa aku menyakitinya seperti itu? Kenapa aku membiarkan keegoisanku merusak ikatan yang bisa aku miliki dengan Guntur?Kenapa. Kenapa. Kenapa?Kalau saja kutahu bahwa suatu hari nanti aku akan sangat ingin memeluk Guntur. Ingin menjadi bagian dari hidupnya. Ingin mendengar dia
Ava memberikannya sebuah kasih Ibu, yang mana tidak kuberikan padanya. Kasih itulah yang sudah didambakannya dariku untuk diberi padanya. Aku menyadarinya sekarang. Ketika dia bertemu dengan Ava. Saat dia membangun hubungan dengannya, bahkan setelah kebenarannya diketahui, itulah saat dia menyerah padaku. Saat itulah Guntur berhenti untuk memedulikan akan hubungan di antara kami. “Aku mendengarmu, Emma.” Mia lalu memberiku tisu. “Aku mendengarmu, tapi aku harus bertanya. Di mana tekadmu ini dulu? Mengapa dulu kamu menolak untuk berhubungan dengan Guntur?”Aku juga sudah menanyakan hal itu berulang kali ke diriku sendiri. Selama delapan tahun, aku menepis eksistensinya. Selama delapan tahun, aku memperlakukannya seolah dia tidak ada. Selama delapan tahun, aku tidak mengasihinya. “Aku paham bahwa mungkin ini kedengarannya seperti sebuah alasan bodoh kalau dipikir sekarang, tapi saat itu aku tidak mau berurusan dengan apa pun dan siapa pun yang mengingatkanku akan kehidupanku saat Rowa
EmmaAku kembali dengan sesi terapi bersama Mia. Aku masih tidak percaya bahwa aku benar-benar menuju kantor Calvin dan meminta maaf. Sejujurnya, kalau ini menyangkut Calvin, aku tidak pernah melakukan hal seberani itu sebelumnya. “Ya?”“Tadi kamu berkata bahwa kamu meminta maaf pada Calvin,” ujarnya sambil mendorong kacamata ke hidungnya. Humidifier di ruangannya membuat suara lembut sambil membuat aroma menenangkan dari lavender di udara. Aku merasa tenang. Aku merasa seolah sedang melayang. Mungkin sudah saatnya bagiku untuk membeli aroma terapi, sebab sejauh ini, aku suka akan dampaknya padaku. “Ya, benar,” jawabku sambil kembali dari angan-anganku. “Dokter membuatku menyadari seberapa salahnya aku dalam memperlakukan Calvin dan meskipun aku sudah menyadari kesalahanku, aku belum pernah meminta maaf padanya.”“Lalu, apa perasaanmu setelah meminta maaf padanya?”“Bebanku terasa sedikit lebih ringan.”Aku menyisirkan jemari di rambutku sebelum menempatkannya ke pangkuanku. Aku men