Inilah salah satu kekhawatiran terbesarku. Aku tidak mau anakku memandangku buruk. Aku bisa mengatakan yang sebenarnya, tetapi itu berarti akan membuat Ethan terlihat seperti orang gila. Ibu berdiri dan duduk di sebelahku. Dia menarikku ke pelukannya. Aku merasakan air mataku mulai menggenangi mataku. Astaga, dasar hormon kehamilan. “Tidak apa-apa sayang. Jangan khawatirkan itu. Kami masih mencintaimu dan kami akan mencintai anak itu,” imbuh Ayah sambil ikut memelukku. Kami berpelukan selama beberapa saat sebelum melepas pelukan. “Kami akan mendapat cucu lagi. Luar biasa. Aku harus cepat berbelanja,” kata Ibu dengan antusias. Air mukanya berubah menjadi kebahagiaan. Ibu meloncat-loncat layaknya anak muda. “Berapa banyak orang yang bisa menyombongkan diri jadi Nenek di usia empat puluh tiga? Aku muda dan menjadi nenek-nenek yang penuh energi untuk bermain dengan cucuku.”Ayah dan aku tertawa oleh perkataan Ibu yang sedang berputar-putar seperti ballerina. Ayah berdiri dan merengk
“Terima kasih, sayang.” Aku tersenyum dengan terpaksa. “Ibu akan menyiapkan makan malam. Selesaikanlah pekerjaanmu, dan segeralah mandi.”Aku meninggalkan paket berisi pakaian itu dan bejalan ke dapur. Aku tidak yakin apa yang akan kulakukan dengan baju itu. Aku tidak menginginkan apa pun dari Rowan. Jujur saja, ini kali pertama aku dihadiahi oleh pria.Memikirkan baju itu membuatku teringat atas apa yang terjadi di ruang ganti. Aku masih tidak tahu apa yang salah dengannya. Ada yang tidak beres. Tidak biasanya dia berkelakuan seperti ini. Aku membenci nafsu yang kulihat di matanya. Aku benci menyadari bahwa dia begitu ingin meniduriku. Rowan tidak pernah menganggapku menarik. Tidak pernah dia melihatku seakan ingin ‘memakanku’. Apa yang terjadi sebenarnya.“Ava.”Aku menoleh ke sumber suara. Aku menatapnya dengan terkejut saat dia berdiri di pintu dapur.“Apa yang kamu lakukan di sini dan bagaimana caramu masuk?!” Tanyaku dengan nada ketus, merasa amarahku mulai memuncak“Noah mempe
Hari ini aku sedang tidak dalam suasana hati baik. Kebanyakan karena Noah masih marah padaku karena menendang Rowan keluar. Kupikir aku menutupinya dengan sempurna, nyatanya dia bisa menebakku.Di waktu seperti ini, kuharap kami tidak berpura-pura di hadapan Noah. Aku tahu bahwa kami pikir, kami melindunginya dan memberinya masa kecil yang bahagia. Yang kami lakukan adalah membohonginya. Sekarang dia berpikir bahwa kami pernah saling mencintai dan bisa bersama lagi.Aku tidak tahu bagaimana cara memberitahunya tanpa menyakitinya. Aku tidak tahu bagaimana cara memberitahunya bahwa segala yang dipercaya olehnya tentangku dan Rowan adalah kebohongan.Ketakutan terbesarku adalah dia akan membemci kami jika dia tahu. Namun, kami tidak bisa terus seperti ini. Kami tidak bisa terus-terusan membuatnya percaya bahwa ada kesempatan bagiku dan Rowan.Aku menghela nafas dan meninggalkan kasur. Aku kembali tidur setelah Noah berangkat ke sekolah. Semakin hari, semakin besar perutku dan aku semakin
”Ava…”Aku memotongnya. Aku tidak mau mendengar sepatah kata pun dari mulutnya, “Setiap kali kamu memihak Emma, setiap kali kamu memperlakukanku seperti sampah. Setiap kali kamu tertawa ketika Rowan merobek hatiku karena aku menyakiti adikmu tersayang, apakah kamu menganggapku keluarga? Bagaimana dengan ketika kamu bilang aku pantas atas derita yang kualami? Atau ketika Ayah dan Ibu mengabaikanku, seperti aku tidak berarti? Bagaimana ketika kalian semua menghindariku? Apakah aku tetap keluargamu?”Dia tidak berkata apa pun. Apa pula yang bisa dikatakannya? Dia tahu yang sebenarnya. Dia tidak menganggapku keluarga dulu. Baginya dan yang lain, aku bukan apa-apa selain penghuni tidak diinginkan, yang mereka akan melakukan apa pun untuk menyingkirkanku. “Jadi katakan padaku, jika kamu tidak menganggapku sebagai keluargamu saat itu, apa yang membuatmu berpikir aku akan menganggapmu sebagai keluargaku sekarang? Apa pun yang kamu coba lakukan dengan mempermainkan kata keluarga denganku tida
“Bangunlah!”Aku mengerang, tetapi tidak membuka mataku. Suaranya terdengar jauh dan kupikir aku bermimpi, sebab bagaimana bisa suaranya begitu kukenal?“Ava, bangunlah sialan!”Kali ini aku membuka mataku. Suaranya terdengar begitu nyata untuk menjadi sekedar mimpi. Lalu, untuk apa aku bermimpi tentangnya?Pandanganku kabur saat mataku mulai menyesuaikan sekitar. Seketika, ingatan akan apa yang terjadi datang padaku. Sialan! Aku diculik lagi. Pikiranku masih melayang, pasti karena klorofom yang kuhirup. Aku mengingatnya, kuharap bahan itu tidak berefek pada bayiku. Aku duduk di kursi dengan tangan terikat di belakang. Aku mencoba menggerakkan tanganku, tetapi nihil. Talinya kencang dan melukai kulitku. Siapa pun yang membawaku mungkin tidak ingin mengambil risiko aku melarikan diri."Apakah kamu sudah selesai?" Dia bertanya.Kupikir itu hanya khayalanku, tapi ternyata tidak. Aku menatap tajam ke kiri dan menemukan Emma juga terikat di kursi. Dia terlihat lebih waspada, artinya dia
“Lalu, untuk dirimu, tutuplah mulutmu. Bisakah kamu diam?”Aku terus bergerak di kursiku, berharap itu akan melonggarkan ikatannya. Tidak mungkin aku menetap di sini bersamanya sepanjang waktu. Hubungan kami benar-benar jelek. “Wow pertengkaran antar wanita yang menarik. Haruskah aku melepas ikatan kalian berdua, jadi kalian bisa bertanding satu sama lain?” Ucap seorang pria sambil berjalan ke arah kami. Aku begitu terfokus pada Emma sampai aku tidak sadar bahwa pintu sudah dibuka. Aku merutuk diriku sendiri karena kebodohanku.“Tentu, kenapa kamu tidak melepaskanku, dan ketika aku sudah selesai dengannya, aku akan memberimu pelajaran,” selorohku, membiarkan kemarahanku nampak. Pria itu hanya tertawa. Tentu saja lucu baginya. Tubuhnya sangat besar dibanding denganku. Baginya, melawanku akan seperti melawan anak kecil.“Coba saja.”Aku mendengus padanya. “Inikah yang kamu lakukan di waktu luang? Menculik wanita lemah? Apakah kamu merasa seperti pria ketika membuat wanita tidak sadark
Rowan. “Apakah kamu akan merenung selamanya?” Tanya Gabriel dengan sebal. Aku tidak memperhatikannya. Aku terus menatap cairan merah di gelasku. berpikir tentang segalanya menjadi lebih sulit soal Ava. Aku tidak cukup naif untuk berpikir bahwa dia sedang berlaku tidak rasional. Dia berlaku layaknya orang lain akan lakukan, seseorang yang disakiti berkali-kali oleh orang yang dikasihinya. “Kamu tidak bisa terus seperti ini, Ro. Jika dia tidak memberimu waktu, tinggalkan dia sendiri! Emma menginginkanmu menangis dengan suara keras. Sial, kamu tidak kekurangan dalam hal wanita yang menginginkanmu,” gerutunya sambil menjatuhkan diri ke kursi. Aku tidak mengakui omelan bodohnya. Sebaliknya, aku memberinya tatapan tajam. “Jika suasana hatiku saat ini sangat mengganggumu, kamu boleh pergi.” Dia tidak mengerti, dan aku sedang tidak ingin membuatnya mengerti. Seluruh keberadaanku baru-baru ini memutuskan bahwa aku tidak menginginkan Emma. Ia juga tidak menginginkan wanita lain selain Ava.
Satu-satunya alasan mengapa perusahaanku masih kokoh adalah karena kami sama kuatnya dengan Hadinata. Perusahaanku tidak akan terpengaruh oleh apa yang dilakukannya pada Travis. Aku tidak sebodoh itu untuk berpikir segalanya akan berakhir di sini. Mereka mungkin tidak bisa menghancurkan perusahaanku, tteapi aku yakin mereka akan mencari jalan lain untuk membalas dendam. Aku bahkan tidak berhadapan dengan mereka. Mereka berhak untuk menghancurkanku, aku layak mendapatkan apa pun yang mereka rencanakan, karena bagaimana aku memperlakukan putri mereka. “Itukah yang membuatmu begitu sedih? Bahwa dia menolak membantumu?” Gabriel menatapnya dengan simpati. Travis menghela nafas panjang dan lelah. "Iya. Itu yang dia katakan. Dia bilang dia tidak menganggapku keluarganya. Dengan kata lain, aku bukan siapa-siapa baginya.” Aku melihat rasa sakit yang ditimbulkannya, tetapi aku tidak bersimpati padanya. Kami sangat buruk padanya. Perlakuannya terhadap kami kurang dari yang seharusnya kami ter
HanaHandi, salah satu sopir Gabriel, membukakan pintu untukku, dan aku masuk lalu diikuti Gabriel yang duduk di sampingku. Aku masih belum percaya bahwa aku setuju untuk ini, tapi jauh di lubuk hati aku tahu ini masuk akal. Gabriel benar, tidak ada cara yang lebih baik untuk mendapatkan pengalaman dalam mengelola perusahaan selain belajar dari yang terbaik. Dalam hal bisnis, Gabriel dan Rowan adalah yang terbaik. Mereka bahkan melampaui Ayah mereka, yang sudah pensiun tapi masih menjadi kepala dewan direksi.Butuh waktu untuk bersiap-siap karena aku tidak bisa memutuskan pakaian apa yang akan kupakai. Kebanyakan waktu aku bekerja dari rumah, dan saat aku pergi ke kantor, aku mengenakan pakaian kasual karena perusahaan tempatku bekerja dulu agak santai dalam hal pakaian. Aku ingin terlihat rapi dan memberi kesan pertama yang baik. Aku tidak punya banyak pakaian kerja dan berencana untuk berbelanja akhir pekan ini. Uangku memang terbatas, tapi aku masih bisa membeli beberapa rok dan blu
Gabriel. Aku bangun dengan menggeram dan kejantananku yang sekeras batu. Sial, ketika aku menandatangani surat kontrak pernikahan dengan Hana, aku tidak memperkirakan seberapa menyiksanya ini. Aku tidak memperkirakan bagaimana dia akan membuatku merasa seperti ini. Aku tengah terangsang, dan kejantananku seolah protes seberapa sulitnya menahan ini. Aku beranjak dari ranjangku dan berjalan ke kamar mandiku yang tempatnya dekat dengan kejantananku yang mengeras. Aku masih tidak paham bagaimana hal ini bisa terjadi. Maksudku, aku bukanlah seorang remaja yang tidak bisa mengendalikan nafsunya. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku terbangun dengan kejantananku yang menegak. Bahkan belum sebulan sejak Hana kembali, dan aku bertingkah layaknya anak SMA. Aku jujur tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Aku tidak tahu bagaimana bisa dia memengaruhiku seperti ini, padahal dulunya tidak. Selain dari kemolekan tubuh dan sifatnya, dia masihlah Hana yang sama yang kukenal dulu, jadi aku tidak
“Apa yang kamu lihat larut malam begini?” Suara berat dari belakang mengejutkanku.“Astaga, kamu membuatku kaget,” gumamku sambil berusaha menenangkan jantungku yang berdebar kencang. “Jangan pernah muncul diam-diam seperti itu lagi.”Gabriel berjalan mengelilingi meja dapur dan berdiri di sisi seberang. Begitu dia berdiri di situ dan aku melihatnya, tenggorokanku tiba-tiba terasa kering. Aku merasa kehausan, seolah-olah sudah lama tidak minum, dan menelan ludah pun menjadi masalah besar.Gabriel tidak mengenakan apa pun kecuali celana olahraga abu-abu yang menggantung rendah di pinggulnya. Pria ini seperti karya seni dengan tubuh Dewa Yunani. Bahunya yang lebar, perutnya yang berotot, dan garis “V” yang pasti membuat siapa pun tergila-gila.Ada jejak rambut gelap yang dimulai dari pusarnya dan menghilang ke dalam celananya. Seolah-olah itu menunjuk ke arah kejantanannya.Aku ingin memalingkan mata, tapi itu mustahil. Mataku menikmati pemandangan itu seolah-olah dia adalah satu-satunya
GabrielAku masih bisa merasakan lembutnya kulitnya di bawah sentuhanku. Sesaat, aku ingin menggesekkan ibu jariku di persendian lengannya yang berdenyut.Versi baru dirinya ini menarik perhatian. Dia dipenuhi oleh semangat, dan sikap barunya adalah sesuatu yang bisa membuatku terobsesi. Aku suka wanita yang percaya diri, seksi, dan punya kepribadian berapi-api. Aku suka sekali ketika mereka melawan dan menantang balik.Dia telah bertransformasi menjadi tipe wanita seperti itu, dan ini membuatku tertarik. Dia tangguh dan tidak takut mengatakan padaku untuk pergi jauh. Kenapa aku tidak akan tertarik pada itu?Saat kami menikah, dia membosankan. Kepribadiannya yang hambar membuatnya tampak kusam di mataku. Tidak ada yang menarik darinya. Dia terlalu penurut, sementara aku menyukai wanita yang memiliki ‘cakar’. Dia melakukan segalanya untuk menyenangkan dan menarik perhatianku.Dia berusaha keras untuk membuatku tertarik padanya, tanpa menyadari bahwa hal itu justru membuatku semakin menj
Hana“Apa maumu, Gabriel? Seperti yang kamu lihat, aku sedang tidak ingin bicara.” Aku bangkit dari lantai sambil menghapus air mataku.Kata-kata Lilly masih terngiang di kepalaku serta menyayat hatiku berulang kali. Aku mengusap rambutku untuk mencoba mengusir rasa sakit yang kurasakan. Aku tahu ini akan terjadi. Aku tahu dia mungkin tidak akan menerimanya dengan baik.Maksudku, bagaimana bisa seseorang menerimanya dengan baik ketika ibunya tiba-tiba mengungkapkan bahwa pria yang selama ini dianggapnya Ayah ternyata bukan ayahnya? Bahwa dia telah dibohongi dan tidak ada yang mau memberi tahu kebenarannya hingga keadaan memaksa. Aku mengerti perasaannya dan paham reaksinya. Aku hanya tidak tahu bagaimana menghadapi kata-katanya dan rasa sakit yang kulihat di matanya.“Dia tidak benar-benar bermaksud begitu,” ujar Gabriel sambil berjalan lebih dekat ke kamarku.Aku menatapnya tajam dan merasakan sesuatu yang buruk membuncah di dalam diriku. “Bagaimana kamu tahu? Kamu bahkan belum cukup
HanaMinggu ini benar-benar kacau. Sejak kembali ke kota ini, rasanya aku terus-menerus berlarian menyelesaikan berbagai urusan tanpa sempat istirahat sedikit pun.Setidaknya Lilly sekarang merasa lebih nyaman. Gabriel menolak untuk mengirim kasurnya karena kasur di sini lebih nyaman, tapi dia setuju untuk mengirimkan seprai dan selimutnya. Itu sudah cukup membuat perubahan, dan sekarang dia bisa tidur nyenyak sepanjang malam.Gabriel … dari mana aku harus memulainya? Dia pulang ke rumah meskipun larut malam, tapi hanya sebatas itu. Kami saling menghindari dan mencoba hidup seperti tidak saling ada. Kurasa ini cara terbaik untuk kami. Ini akan mencegah Lilly melihat kami bertengkar terus-menerus.“Ibu, katanya ingin bicara denganku?” Suara Lilly menarikku dari lamunanku.Aku meletakkan pakaian yang sedang kulipat dan duduk di tempat tidur sebelum memberi isyarat padanya untuk melakukan hal yang sama. Dia melangkah mendekat dengan dahi berkerut dan duduk di sebelahku.Kami berada di kam
Punggung wanita itu membelakangiku, begitu juga dengan Guntur. Aku tidak perlu mengkhawatirkan Calvin, sebab dia terlihat begitu tergila-gila dan mengarahkan perhatiannya pada setiap perkataan wanita itu dengan senyuman lembut di bibirnya.Lagi-lagi, perasaan tidak nyaman menyusupi diriku. Mengapa aku merasa aku tidak bisa bernafas? Kerongkonganku terasa tercekat melihatnya. Aku berfokus pada mereka. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan karena mereka berjarak beberapa meja dariku, tapi kedamaian dan kebahagiaan di wajah Calvin sudah cukup untuk membuatku tahu apa yang tengah terjadi. Dia sedang berkencan dan Guntur ikut. Wanita itu bahkan tidak mempermasalahkannya, tapi tidak mungkin aku akan membiarkan wanita lain menggantikanku di kehidupan putraku. Aku tidak bisa melihat Guntur, tapi aku tahu, seperti dengan Calvin, dia senang bisa berada di sini. Calvin pasti akan langsung pergi dengan putra kami kalau dia merasa sebaliknya. Entah mengapa, aku tetap ada di sana meski
Perkataan Merrisa terus terngiang di telingaku bahkan setelah kami makan. Kami sedang memakan hidangan penutup kami. Aku suka es krim, tapi hari ini aku tidak bisa menikmatinya. Tidak ketika dia sudah membuatku meragukan segala yang kuyakini selama beberapa tahun terakhir ini. “Kenapa kamu begitu diam?” tanyanya setelah menaruh milkshake-nya ke meja. “Apakah kamu memikirkan apa yang kukatakan padaku?”Kalimat terakhirnya dikatakannya sambil tersenyum miring sambil bersandar kembali di kursinya. “Tentu tidak,” bohongku. “Aku hanya penasaran caraku untuk membuat Calvin dan Guntur memaafkanku. Tidak peduli seberapa keras kupikirkan, sepertinya tidak ada jalannya.”Sebagai seorang pengacara, aku terbiasa untuk memandang segala hal dari seluruh sisi ketika aku membela klienku. Itulah yang membuat pekerjaanku begitu lancar. Aku membereskan segalanya dan bisa menangani seluruh hasilnya. Aku melakukan itu pada masalahku sekarang dan kuyakin tidak ada harapan. Aku mungkin tidak mencintai Cal
“Kenapa aku harus membiarkanmu untuk meyakinkanku keluar makan siang?” keluhku sambil melihat pemandangan di depan kami. Sudah lama sekali sejak aku keluar dari rumah keluarga kami. Sepertinya terakhir kali aku keluar adalah saat aku menghadiri pernikahan Ava. Sejujurnya, aku bahkan terkejut bahwa dia mengundangku. Di antara semua orang, kupikir aku akan menjadi orang terakhir yang diinginkannya hadir di pernikahannya. “Sebab kamu harus keluar,” balas Merrisa sambil menarikku dari pemikiranku. “Aku biasanya keluar dari rumah, Merrisa,” ujarku untuk membela diriku. Dengusannya begitu membuatku kesal. “Pergi ke taman tidak terhitung keluar,” balasnya. “Sekarang, berhentilah mengeluh dan duduk serta nikmati. Kamu pasti akan menyukai ini, aku janji.”“Aku tidak yakin.”Setelah itu aku bersandar ke kursi dan menutup mataku. Benakku berkecamuk akan ribuan pemikiran di setiap menitnya. Aku tidak bisa mengendalikannya sama sekali. Setelah pembicaraanku dengan Merrisa di kamarku, benakku