Ava. Akhir pekan ini benar-benar menakjubkan. Tidak ada yang terjadi, tetapi aku menikmati menghabiskan waktu dengan Ibu dan Ayah. Mereka adalah tipe orangtua yang kuharapkan seorang Ibu dan Ayah sepertinya. Mengasihi, memedulikan, dan memerhatikan. Keluarga Santoso malah menjadi sebaliknya, kecuali jika itu tentang Emma dan Travis. Ah, bahkan mereka memperlakukan Rowan dan Gabriel lebih baik daripada diriku, meskipun mereka mengakuiku sebagai putri mereka. Semakin banyak waktu yang aku habiskan bersama Nora dan Theo, semakin aku mencintai mereka. Semakin aku menerima mereka sebagai orang tua aku. Berada di dekat mereka membuatku mengerti kenapa Ethan memuja mereka. Mengapa dia biasa berbicara dengan begitu penuh cinta ketika menyangkut mereka. Mereka adalah yang terbaik dan tidak seorang pun perlu diberitahu dua kali tentang hal itu.“Di mana dia?” Calista bertanya dengan kesal, membuyarkan lamunanku.Kami berada di sebuah kafe menunggu Ruby, yang biasanya terlambat. Wanita itu ad
“Tunggu sebentar, aku belum setuju akan ide ini!”Ruby tetap melanjutkan pembicaraannya, benar-benar mengacuhkanku. “Kita harus memperluas riset kita. Menurutku, karena Ava belum pernah memakainya, maka dia harus membeli mainan seks dari merk ternama dan mencobanya. Masukannya sebagai orang awam pada mainan seks akan membantu kita mengevaluasi apa yang kurang dari mainan tersebut dan bagaimana kita bisa mengembangkannya dan membuat milik kita jadi lebih baik.”Calista menganggukkan kepalanya, dia tersenyum licik mendengarnya. Aku tahu dia merasa senang sekarang. Tidak denganku, sebab aku menjadi semacam kelinci percobaan mereka. “Apakah aku diberikan kesempatan berbicara di sini?” Tanyaku dengan kesal. “Tidak. Kita akan membuatmu menghasilkan banyak uang, jadi...” Ruby tidak melanjutkan perkataannya. “Kamu tahu kalau aku tidak perlu uang, ‘kan? Aku sudah kaya.”Dia hanya mengedikkan bahunya sebelum berbicara lagi. “Tidak peduli, lagi pula, bukankah kamu yang bilang kalau kamu perlu
Aku melihat ke arah pengacaraku dengan gugup saat dia memeriksa proposal bisnis yang dikirimkan Calista padaku. Aku harus menyerahkan itu padanya. Dia bekerja begitu cepat. Belum sampai sehari sejak kami mendiskusikan bisnis itu, dan dia sudah selesai membuat proposalnya. Kuyakin dia pasti sudah mengerjakannya terlebih dahulu dan hanya menungguku dan Ruby untuk setuju. Aku menatap ke arah Raynaldi, bertanya-tanya apa yang ada di benaknya sekarang. Dia bukan hanya pengacaraku, tetapi juga penasihatku sejak aku meraih penghasilan berjumlah miliaran. Aku tidak pernah berbisnis tanpa menerima masukannya terlebih dahulu. Sejauh ini, dialah yang terbaik dan belum pernah salahSeluruh bisnis yang dikatakan olehnya padaku memiliki potensi untuk berkembang, benar terjadi, dan yang diperingatkannya akan bangkrut, juga begitu. Jadi seperti yang bisa kalian lihat, masukannya benar-benar penting. “Bagaimana pendapatmu?” Tanyaku padanya ketika aku sudah tidak tahan lagi atas kegugupanku. Matany
“Aku meminta maaf karena aku begitu memaksakan. Aku memaksakan persoalan Rowan dan tidak sadar bagaimana itu begitu menyakitimu. Aku ingin kamu bahagia dan sebagian diriku berpikir Rowan adalah kebahagiaanmu. Kamu mencintainya begitu lama dan sulit dipercaya semua rasa itu sudah sirna.”“Ruby...” Dia masih saja tidak memberiku kesempatan berbicara. “Aku ingin kamu memiliki kesempatan untuk berbahagia. Kamu berkata padaku bahwa kamu pernah menginginkan Rowan agar mencintaimu, tetapi sekarang ketika dia sudah kelihatan seperti itu, kamu tidak memercayai dan menentangnya. Aku hanya tidak mengerti.”Aku menghela nafas. Ini lagi?Aku sudah lelah mendengar mereka berbicara mengenai Rowan dan perasaannya itu. Hatiku seakan teriris setiap kali mereka melakukannya. Rowan tidak berarti apa pun di hidupku, begitu pun dengan perasaannya. Dia bisa mengubur dan membakar perasaannya kalau perlu. “Aku akan menjelaskan ini sekali lagi dan kemudian aku tidak mau mendengar ini lagi.” Aku menghela nafas
Aku memutar badanku. Kaget karena melihat Rowan berdiri di belakangku. ‘Astaga, benar-benar hari yang sial,’ rutukku dalam hati. “Rowan?” Suaraku terdengar serak, aku terkejut. “Apa yang kamu lakukan di sini?”Dari semua hari, kenapa hari ini aku begitu sial, dia menyaksikan aku berdiri di depan toko mainan seks?Ini adalah hal paling memalukan yang pernah kualami. “Pertanyaan yang sama kutujukan padamu,” katanya sambil melihat toko di belakangku. Aku merasa pipiku mulai merona, sebab aku tidak tahu apa yang harus kukatakan untuk lepas dari situasi ini. Aku berdiri di depan toko yang di jendelanya terpampang berbagai macam mainan seks. Sulit untuk berbohong bahwa aku tidak tahu toko apa ini. Aku menatap toko itu sebelum menatapnya dengan gugup. Aku tidak tahu mengapa aku gugup.“Aku di sini untuk membeli baju ibu hamil dan barang-barang bayi,” bohongku. Dia menatapku dengan sebelah alisnya yang dinaikkan. “Di toko mainan seks? Aku yakin kamu tidak akan menemukan apa yang kamu car
Pelayan toko itu tersenyum dan berjalan ke arah kami. “Nama saya Wendy, ikuti saja. Kami baru saja kedatangan edisi ekslusif yang cantik yang saya yakin istri Anda akan menyukainya.”Sebelum aku bisa mengoreksinya, Rowan meraih tanganku dan menyeretku dengan lembut ke toko, mengikuti di belakang Wendy seperti anak anjing dan induknya. Dia mempersilakan kami duduk di sofa dan meninggalkan kami. Aku menatap Rowan dengan tajam, benar-benar kesal. “Apa-apaan kelakuanmu ini?” Tanyaku dengan ketus, aku merasa amarahku seakan memuncak. Dia menatapku dengan pandangan malas, sebelum menjawabku dengan pertanyaan lain.“Apanya yang apa?”“Jangan pura-pura bodoh! Mengapa kamu memanggilku istrimu? Apakah kamu lupa kalau kita sudah bercerai? Atau bahwa sekarang kamu mengencani Emma?”“Ini baju-bajunya,” kata Wendy sambil berjalan ke arah kami dengan setumpuk baju. Astaga aku merasa kesal pada pelayan toko malang itu sebab menyelaku. Ini semua karena Rowan. “Bagimana kalau dimulai dengan ini?” T
Rowan. Sialan! Aku melihatnya kabur dari toko. Aku ingin mengikutinya, tetapi aku tahu bahwa aku akan menghancurkannya. Aku melihat kepanikan di sorot matanya, tetapi aku sungguh seperti tidak sadar. Pikiranku melayang ketika melihat tubuhnya yang hampir telanjang. Aku tidak sadar bahwa aku sudah bergerak dan memojokkannya. Tidak sampai dia medorongku menjauh saat aku sadar apa yang sedang kulakukan. Dia mantan istriku, astaga. Namun, dia tidak pernah semenggoda ini. Aku sudah melihatnya telanjang ratusan kali, tetapi kali ini berbeda. Aku tidak bisa menjelaskannya, tetapi benar begitu. Seakan aku melihatnya untuk pertama kali. Kehidupan ranjang kami cukup bagus, tetapi aku selalu menahan diri. Aku masih mencintai Emma dulu dan setiap kali aku meniduri Ava, aku merasa seolah aku mengkhianati Emma. Itu adalah bagian tersulit di awal pernikahan kami. Aku tenggelam dalam rasa bersalah setiap kali aku menyentuh Ava. Aku selalu minum sampai mabuk ketika kami sudah selesai. Setelah itu
“Iya pak?” Dia mengangkatnya di dering pertama. “Ada artikel mengenai diriku dan Ava yang baru dipublikasikan. Aku ingin artikel itu dimusnahkan,” perintahku dengan geram, aku dipenuhi oleh amarah. “Baik. Beri saya waktu sepuluh menit.”“Katakan juga, jika ada yang menulis artikel mengenai kehidupan pribadi Ava, mereka akan menghadapi kebangkrutan.”“Baik pak.”Aku memutus sambungan telepon dengan masih merasa marah. Ava adalah orang yang menjaga privasinya. Aku akan melindungi privasinya, tidak peduli dengan cara apa pun itu. “Apa yang terjadi antara kamu dan Ava, Ro?” Tanya Ibu setelah beberapa saat. Pandangannya menusuk ke arahku, seolah dia mencoba mencari jawabannya dengan menatapku dalam-dalam. Aku senang dia tidak bertanya apakah rumor kehamilannya benar atau tidak. Itu bukan hakku untuk memberitahunya dan aku tidak akan memberitahunya. “Aku tidak tahu,” jawabku dengan nada frustrasi. “Kate bilang pada Ibu kamu menjaga jarak dengan Emma. Emma berkata padanya bahwa kamu me
CalistaKakiku begitu pegal saat aku menaiki lift ke penthouse-ku. Ah, hari yang sama di mana aku bekerja lembur agar aku tidak perlu kembali ke apartemenku yang kosong. Aku sangat-sangat merindukan Reaper. Ketika kali pertama kudaratkan pandanganku padanya di rumah sakit setelah Ava tertembak, aku tidak terlalu memikirkan ketertarikan yang kurasakan padanya. Tentu, aku dengan cepat tertarik padanya, dan seolah jiwaku sudah mengenalnya, tapi dia adalah Reaper. Pria yang sama yang telah menculik salah satu sahabatku. Kalau aku harus jujur, aku tidak pernah merasakan ketertarikan seperti ini pada pria selain Reaper. Aku tidak tertarik pada seorang pria pada pandangan pertama saat kulihat mereka. Aku harus mengenalnya terlebih dahulu, baru aku bisa merasakan sesuatu. Tapi saat dengan Reaper, segalanya berbeda dan aku sungguh terheran dibuatnya. Aku hanya berpikir setelah pertemuan pertama itu, maka usailah. Kupikir itulah saat terakhir kulihat dirinya, dan rasa ketertarikanku akan den
“Gabriel.”Setelah dia mengetes liangku dan memastikan bahwa aku sudah siap, dia kembali menambahkan jarinya untuk dipompa masuk dan keluar, mencengkok dan menyapu titik kenikmatanku. Tidak butuh waktu lama untuk aku mencapai klimaks. Tatapan sayu Gabriel bertemu dengan tatapanku, bibir kami hanya berjarak seinci dari satu sama lain, dan deru nafas kami sampai terdengar oleh satu sama lain. Entah apa yang dilihatnya dari raut wajahku membuatnya tersenyum miring dan satu jemari lagi bergerak memutar perlahan di klitorisku. Aku menggesekkan diriku pada dirinya untuk mengejar kenikmatanku sendiri sampai seluruh tubuhku merinding akan sentuhannya. Dia terus mendorong, dan menggesekkan telapaknya di klitorisku serta terus memompanya sampai aku klimaks lagi dengan deruan nafas dan teriakan keras di kamar. Ketika pahaku akhirnya berhenti gemetar dan pandanganku sudah kembali jelas, aku menengadahkan wajahku ke arahnya. Rahang Gabriel menegang, dan pandangannya diselimuti oleh bara nafsu. A
Seperti beberapa pagi belakangan ini, aku terbangun dengan merasakan tangan Gabriel yang menjamah dadaku. Aku tidak tahu mengapa dia seperti itu, tapi entah mengapa hal ini selalu terjadi. Kami akan pulang hari ini dan aku tidak begitu tahu aku harus merasa apa. Kemarin, aku melewati batas ketika kubolehkan dia meniduriku. Aku merasa kalau aku tidak bisa mundur lagi. Jangan salah. Aku suka setiap menit yang kita lakukan kemarin. Aku menyukai setiap detik yang kulewati bersamanya beberapa hari terakhir ini, tapi aku masih takut bahwa segalanya ini bukanlah kenyataan. Aku takut bahwa aku akan segera terbangun dan menyadari ini hanyalah mimpi belaka.Sebagian diriku sangat menginginkan ini. Sedangkan, sebagian diriku yang lain masih skeptis akan apa pun yang terjadi di antara kami. Seolah bisa membaca pikiranku, tangan Gabriel yang semula di dadaku jatuh dan ganti untuk merengkuh pinggangku. Dia menarikku mendekat padanya, sampai aku bisa merasakan keinginan dan hasratnya melalui kulit
Dia melepas celana dalamku, dan aku merasakan salah satu tangannya kembali menelusuri perutku dan menyusup di antara kakiku. Hatiku terasa ragu, tapi aku sangat mendambakan sentuhannya. Mulutku membuka karena ciumannya dan mendesah di ciuman kami, sembari kuangkat pinggulku untuk menyentuhnya dan memohon agar dia tidak berhenti. Jemarinya menyusuri kulitku dan menggerayangi klitorisku dan menggelitik syarafku di sana. Sial, aku akan segera klimaks. Kakiku mulai gemetaran di atas ranjang, kepalaku terjulur kembali ke ranjang. Gabriel bersenandung senang saat menciumi badanku, kakiku membuka lebar, yang mana menawarkannya pandangan menyeluruh ke area tubuh bagian bawahku. Mataku menatap pandangannya yang dipenuhi oleh nafsu saat menatapku. “Seksi sekali.” Dia memindahkan jarinya dari klitorisku untuk memasuki liangku di dalam, memilin pergerakannya untuk meraih pusat kenikmatanku. Badanku terlonjak, dan helaan nafas terkejut terlontar dari kerongkonganku. Gabriel menyeringai lebar di
Bibir Gabriel menyambutku begitu pintu di belakang kami tertutup. Ciumannya sungguh kasar, seolah ingin menghukumku. “Tidak ada yang boleh menyentuh apa yang menjadi milikku. Lalu, jangan lupa bahwa kamu milikku, Hana,” geramnya dengan nada suara yang dipenuhi oleh amarah. “Aku hanya sedang menari ketika dia menghampiriku,” ujarku untuk membela diriku. “Aku sudah mencoba untuk menjauh, tapi dia mencengkeramku.”Hubunganku dengan Gabriel sudah menegang selama beberapa hari ini. Ya, menegang, bukan karena segalanya memburuk, tapi malah segalanya berjalan dengan baik. Tidak ada hal lain yang terjadi setelah makan malam di malam itu. Kami makan, minum, dan berbincang. Yah, ciuman itu menjadi puncak acara kami malam itu. Kami banyak berciuman sejak itu. Ciumannya membuatku menginginkan lebih. Ciumannya sudah menjadi adiksiku. Memang ini gila, aku tahu itu, tapi aku tidak bisa menahan diri. Ketika dia menangkup bibirku, diriku seketika meleleh dalam pesonanya. Sudah empat hari berlalu se
Aku bergerak mengikuti irama musik, dan kurasakan seluruh ketakutanku luruh. Sejujurnya, aku belum pernah ke klub sebelumnya. Aku tidak pernah menghadiri pesta manapun, kecuali pesta yang diselenggarakan karena pekerjaan orang tuaku. Ini adalah kali pertamaku. Orang tuaku bukan orang tua yang kolot, tapi aku tidak memiliki teman, dan aku merupakan penyendiri, sampai tidak ada orang di sekolah tahu aku hidup. Aku tidak diundang ke pesta, sesederhana karena aku begitu penyendiri, mungkin aku tidak tampak bagi mereka. Rasanya nikmat sekali untuk minum dan melupakan segalanya. Hari ini hari terakhir kami di Rafles, dan segalanya berjalan dengan lancar. Gabriel berhasil membuat mereka menyetujui syarat di kesepakatannya. Kami di sini, di klub mewah ini, sebab para investor mau merayakan kesepakatan ini, yang mana merupakan kesepakatan besar yang akan mendulang triliunan rupiah bagi Perusahaan Wijaya. Aku terus bergerak sesuai irama musik, mataku tertutup dan tanganku terangkat di udara.
‘Seperti aku yang jelas-jelas jatuh padamu.’Perkataan Gabriel terus terulang di benakku berulang kali sepanjang hari. Kami harus rapat terus menerus dengan investor yang berbeda, tapi aku tidak bisa fokus akan apa pun kecuali ketujuh kata itu.Seperti yang sudah kalian kira, aku orang yang terlalu banyak berpikir. Aku terlalu banyak menganalisa dan memikirkan segalanya sampai aku berada dalam tepi ketidakwarasan. Itulah yang kulakukan sepanjang hari.Apa artinya kata-kata itu? Apakah mungkin dia sudah jatuh cinta padaku? Bagaimana kalau itu hanya tipuan semata? Bagaimana kalau dia hanya mempermainkanku? Haruskah aku memercayai apa yang dikatakannya? Kalaupun itu benar, dan dia sungguh-sungguh akan perkataannya, apa yang harus kulakukan? Aku sangat ingin menanyakannya padanya, tapi aku tidak ingin terlihat berharap atau menganggapnya serius.Memang benar perkiraanku, dengan setuju menjadi istri Gabriel lagi, aku akan menjadi berantakan. “Apakah kamu baik-baik saja?” tanyanya dengan s
“Saya sudah mendengar bahwa Anda sudah menikah, tapi saya tidak tahu istri Anda akan secantik ini,” ujar salah satu partner saat kami akan memulai rapat dan mengemasi barang-barang kami. “Kuharap aku menggaetnya terlebih dahulu.”Pandangannya menelusuri diriku, dan membuatku merasa seolah tengah ditelanjangi dan tidak nyaman. Aku menggeser diriku untuk mendekat pada Gabriel, aku tidak suka pandangannya padaku. Astaga, aku ini sudah menikah dan suamiku duduk tepat di sebelahku. Bagaimana bisa dia seberani ini? Ini menjijikkan. “Kalau kamu tidak berhenti menatap istriku, Yohan, akan kucongkel matamu dengan sendok teh dan mencampurkannya menjadi sebuah jus dan membuatnya tertelan dalam tenggorokanmu,” ujar Gabriel dengan nada mengancam yang membuatku merinding. Yohan menelan ludahnya, raut wajahnya jelas ketakutan akan ancaman Gabriel. Aku tahu seharusnya nafsuku tidak membuncah, tapi fakta bahwa Gabriel posesif terhadapku sungguh membuatku terangsang, aku menyukainya.“Maafkan aku,”
Anggap saja aku pengecut, tapi aku tidak peduli, aku hanya tidak tahu cara untuk menghadapinya. Ketika aku sampai di ruang tengah, aku menelepon layanan kamar untuk memesan sarapan agar dibawakan di kamar kami sebelum duduk untuk menunggu. Aku tahu bahwa bencana sudah menungguku saat Gabriel berkata kami akan berbagi kamar. Kupikir, pembatas bantal sudah cukup membantu, tapi nyatanya tidak. Itu sama sekali tidak membantu. Ada ketukan di pintu dan aku menyeberangi ruangan untuk membukanya. “Selamat pagi, Nyonya,” sapa si pelayan dengan senyuman di wajahnya. “Selamat pagi.”“Di mana saya bisa meletakkan makanan ini?” tanyanya saat aku minggir untuk membiarkannya masuk. “Taruh saja di meja makan,” jawabku padanya. Dia menganggukkan kepalanya dan menuju ke meja. Dia baru saja menyusun sarapan kami dan baru saja akan pergi ketika Gabriel berjalan keluar dari kamar sambil mengancingkan bajunya. Langkahnya goyah dan dia hampir saja limbung saat melihat ke arahnya. Gabriel memang makhlu