“Aku ingin makan siang bersamamu.” Perkataan Rowan sekali lagi mengejutkanku. Aku menatapnya curiga. “Kenapa?”“Aku ingin kita berbicara.”Aku melihat ke arah jalan. Memeriksa apakah aku dapat menemukan taksi. Hari ini aku datang ke sana karena aku sedang tidak ingin untuk mengemudi. “Menurutku itu bukan ide yang bagus. Benar-benar tidak ada yang perlu kita bicarakan,” Aku memusatkan pandanganku kembali padanya. Dia menyisir rambut hitamnya dengan tangannya. Tampak sedikit frustrasi. “Rowan…” Aku hendak memberitahunya bahwa aku akan pergi, tapi dia memotongku. Wajahnya menjadi sedingin batu. “Aku tidak akan menerima jawaban tidak. Kamu boleh masuk sendiri atau aku yang menggendongmu masuk,” katanya sambil menunjuk ke mobilnya. “Kamu tidak akan berani,” “Coba saja, Ava” Dia mulai mendekati aku dan aku baru tahu bahwa dia akan melakukan ancamannya. Dengan menggerutu, aku berbalik dan menaiki mobilnya. Dia membuka kunci mobil dan aku masuk. Aku memelototinya ketika dia masuk da
Kami tidak berbicara setelah itu. Makan siang berjalan dengan canggung dan kami makan dalam diam. Pikiranku masih terngiang atas ucapan maafnya. Aku tidak tahu apa yang dia mau dariku, tetapi aku harap itu bukan permintaan maaf. Tidak sekarang. Setelah selesai makan siang, dia mengantarku pulang. Kami terdiam selama perjalanan. Kami berdua hilang dalam pikiran masing-masing. Aku tidak tahu bagaimana caranya menghadapi dirinya. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan versi terbaru dirinya. Ini benar-benar asing bagiku. “Terima kasih,” kataku ketika kami sudah sampai rumah. “Terima kasih karena menemaniku di klinik dan makan siangnya.”“Sama-sama,” dia mencoba untuk tersenyum. Aku mengangguk dan keluar dari mobil, tetapi dihentikan olehnya yang meraih tanganku. “Aku ingin berkata padamu, tolong beritahu aku kalau kamu mau ke klinik lagi,” katanya sambil menatapku dalam. Aku sekali lagi menatapnya, tidak bisa mengerti apa yang sedang ada di pikirannya. “Kenapa aku harus melak
“Apa? Itu benar dan Ibu bangga padamu.”Dia tersenyum jahil dan aku tahu dia ada maunya. “Bolehkah aku bermain game kalau begitu, sebab aku pintar dalam matematika?”Aku tahu ini. Dia jelas mau sesuatu. Aku menghela nafas. “Baiklah, tapi satu jam saja.”Dia segera berlari menaiki tangga dan berteriak terima kasih berulangkali, membuatku tersenyum karenanya. “Mila, kamu boleh pergi,” ujarku pada pengasuh Noah saat aku pergi ke dapur. “Apakah Anda yakin?”“Iya. Pergilah.”Dia tersenyum padaku sebelum mengambil barangnya. Lima belas menit kemudian dia pergi dan kuharap aku tidak terlalu terdengar memaksanya untuk pergi. Karena Noah ada di kamarnya, aku sendirian. Aku tidak ada apa-apa untuk dipikirkan, jadi pikiranku mulai memikirkan banyak hal. Aku baru saja mempertimbangkan untuk memulai makan malam lebih awal ketika pintu depanku terbuka.“Halo, Ava dimana kamu?”Suara Ruby membuatku tersenyum."Di dapur!" Aku balas berteriak.Beberapa menit kemudian, dia masuk ke kamar dan saya
Hari ini hari yang santai. Tidak banyak yang harus kulakukan. Noah sudah ada di sekolah, dan aku sedang bersantai di rumah. Setelah merasa sedih, aku memutuskan untuk beristirahat dari pekerjaanku. Muridku tidak senang akan itu, tetapi mereka mengerti bahwa aku benar-benar banyak pikiran beberapa minggu ini. Aku berencana melanjutkannya setelah aku melahirkan. Fokusku sekarang ada di anakku dan Yayasan Harapan. Aku masih berusaha menerima semua yang terjadi beberapa minggu terakhir ini. Termasuk perubahan perilaku setiap orang. Satu-satunya orang yang tampaknya konsisten dengan kepribadiannya yang penuh kebencian adalah Emma. Sisanya tampaknya telah berubah pikiran dalam semalam.Daripada berfokus pada pemikiran itu. Aku mendorong mereka menjauh dan mengangkat teleponku dan menghubungi nomor Ibu. Dia mengangkatnya pada dering pertama."Hai Ibu," aku menyapanya. Aku belum terbiasa memanggilnya seperti itu, tapi perlahan-lahan aku mulai melakukannya.“Ava!” Dia berteriak melalui tele
“Belum pernah seumur hidupku aku melihat hati seseorang luluh begitu cepat soal anjing. Biasanya orang-orang menganggapnya begitu menyebalkan.” Suara hangat itu membuatku menolehkan kepalakku dengan cepat, begitu cepat sampai leherku hampir sakit. Astaga. Pria ini benar-benar menawan sekali. Rambut hitam, matanya yang bagus, tulang pipi tinggi, dan rahang yang tegas, bibir yang mempesona dan badan yang terpahat sempurna. Dia sangat rupawan dan dia tahu itu. Aku tahu apa yang kalian pikirkan. ‘Pelan-pelan Ava, kamu sudah pernah dibohongi oleh wajah rupawan, jangan jatuh ke lubang yang sama.’Aku tidak. Aku sudah tidak memikirkan itu lagi, tetapi bukan berarti aku tidak bisa mengapresiasi rupa orang. Aku tidak buta. “Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” Pertanyaan itu keluar dari mulutku sebelum aku bisa menghentikannya. “Kamu terlihat familiar.”Dia menatap sebentar sebelum menjawab. “Iya, dulu kita satu sekolah, kamu dua tahun di bawahku.”Aku mencoba mengingatnya, tapi tetap saj
“Noah, apakah kamu sudah selesai dengan pekerjaan rumahmu?” Aku memanggil Noah, tetapi tidak mendapat jawaban. Ini Jumat sore dan aku sudah sangat lelah. Aku lupa bahwa ketika hamil, orang akan mudah lelah. Segalanya membuatku lelah. Satu-satunya yang bisa kusyukuri adalah aku tidak mual mual, tidak seperti saat aku hamil Noah. “Noah?” Panggilku lagi. Aku bertanya-tanya apa yang sedang dilakukannya. Dia biasanya langsung menyahut. Kecuali jika ada yang mendistraksi perhatiannya. Sebelum aku naik untuk melihatnya, bel pintuku berdering. Aku menghela nafas berat. Bukannya aku tidak ingin melihat siapa pun, aku hanya butuh istirahat. Mungkin juga aku perlu mandi. Aku menghabiskan sepanjang waktuku di Yayasan Harapan untuk mengurus setumpuk dokumen yang perlu kuurus. Mataku kering. Pikiranku sudah lelah dan badanku pegal. Aku menyeret kakiku untuk membuka pintu dan aku terkejut melihat Calvin dan Guntur di terasku. Sudah dua hari sejak kejadian di halaman belakangku itu. Ketika Gu
“Semoga Noah bisa membantunya keluar dari zona nyamannya,” gumamku sambil memberinya kue. Aku mengitari meja dapur. Mengambil salah satu kursi bar, aku menghembuskan napas lega karena aku sudah bisa berdiri. Aku mengambil salah satu cupcake. Pikiranku benar-benar kosong.“Aku ingin meminta maaf” kata Calvin setelah beberapa saat."Untuk apa?"“Bersikap kasar beberapa hari yang lalu.”Melambaikan tanganku dengan acuh, aku menghadapnya. “Tidak apa-apa, aku yang terlalu berlebihan.”Berbicara tentang hari itu mengingatkan aku pada rasa sakit yang aku lihat di matanya. Saat ini dia telah melakukan pekerjaan yang baik dalam mencoba menyembunyikannya. Orang lain mungkin menganggap dia baik-baik saja, tapi menurutku dia tidak baik-baik saja. Aku mengenali pergumulan dalam jiwanya karena aku biasanya mengalami hal yang sama.Sangat mudah bagi seseorang yang terluka untuk melihat kepedihan yang coba disembunyikan orang lain. Apalagi jika jenis rasa sakitnya sama dengan yang Anda alami sendiri
RowanHari ini kami mengadakan pertemuan bulanan bersama. Keluarga Wijaya dan Santoso sudah menjadikan ini tradisi sejak aku berusia lima tahun. Keluarga kami sudah sangat dekat. Itu ssemua karena Ibu kami adalah teman baik sejak mereka masih kecil. Sudah patut bahwa anak-anak mereka menjadi dekat dan kedua keluarga menjadi dekat. “Ayah, mengapa kamu menyetir lama sekali? Kamu akan membuat kita kehabisan steak barbeque Opa!” Noah mengomel, alisnya bertaut. Jika bukan karena Noah, aku tidak akan pergi. Aku dulu mencintai mereka. Apalagi saat aku tahu Ava tidak akan ada. Ketika aku tahu bahwa dia tidak diundang. Dulu aku mengira hanya itu satu-satunya tempat di mana aku bisa melarikan diri darinya. Berada di ruangan di mana semua orang kecuali Noah membencinya adalah tempat terbaik.Tapi sekarang, rasanya tidak seperti itu lagi. Sebaliknya aku membenci diriku sendiri dan orang lain atas rasa sakit yang kami alami padanya.“Aku akan pergi secepat yang aku bisa” jawabku padanya."Tida
“Apa yang kamu lihat larut malam begini?” Suara berat dari belakang mengejutkanku.“Astaga, kamu membuatku kaget,” gumamku sambil berusaha menenangkan jantungku yang berdebar kencang. “Jangan pernah muncul diam-diam seperti itu lagi.”Gabriel berjalan mengelilingi meja dapur dan berdiri di sisi seberang. Begitu dia berdiri di situ dan aku melihatnya, tenggorokanku tiba-tiba terasa kering. Aku merasa kehausan, seolah-olah sudah lama tidak minum, dan menelan ludah pun menjadi masalah besar.Gabriel tidak mengenakan apa pun kecuali celana olahraga abu-abu yang menggantung rendah di pinggulnya. Pria ini seperti karya seni dengan tubuh Dewa Yunani. Bahunya yang lebar, perutnya yang berotot, dan garis “V” yang pasti membuat siapa pun tergila-gila.Ada jejak rambut gelap yang dimulai dari pusarnya dan menghilang ke dalam celananya. Seolah-olah itu menunjuk ke arah kejantanannya.Aku ingin memalingkan mata, tapi itu mustahil. Mataku menikmati pemandangan itu seolah-olah dia adalah satu-satunya
GabrielAku masih bisa merasakan lembutnya kulitnya di bawah sentuhanku. Sesaat, aku ingin menggesekkan ibu jariku di persendian lengannya yang berdenyut.Versi baru dirinya ini menarik perhatian. Dia dipenuhi oleh semangat, dan sikap barunya adalah sesuatu yang bisa membuatku terobsesi. Aku suka wanita yang percaya diri, seksi, dan punya kepribadian berapi-api. Aku suka sekali ketika mereka melawan dan menantang balik.Dia telah bertransformasi menjadi tipe wanita seperti itu, dan ini membuatku tertarik. Dia tangguh dan tidak takut mengatakan padaku untuk pergi jauh. Kenapa aku tidak akan tertarik pada itu?Saat kami menikah, dia membosankan. Kepribadiannya yang hambar membuatnya tampak kusam di mataku. Tidak ada yang menarik darinya. Dia terlalu penurut, sementara aku menyukai wanita yang memiliki ‘cakar’. Dia melakukan segalanya untuk menyenangkan dan menarik perhatianku.Dia berusaha keras untuk membuatku tertarik padanya, tanpa menyadari bahwa hal itu justru membuatku semakin menj
Hana“Apa maumu, Gabriel? Seperti yang kamu lihat, aku sedang tidak ingin bicara.” Aku bangkit dari lantai sambil menghapus air mataku.Kata-kata Lilly masih terngiang di kepalaku serta menyayat hatiku berulang kali. Aku mengusap rambutku untuk mencoba mengusir rasa sakit yang kurasakan. Aku tahu ini akan terjadi. Aku tahu dia mungkin tidak akan menerimanya dengan baik.Maksudku, bagaimana bisa seseorang menerimanya dengan baik ketika ibunya tiba-tiba mengungkapkan bahwa pria yang selama ini dianggapnya Ayah ternyata bukan ayahnya? Bahwa dia telah dibohongi dan tidak ada yang mau memberi tahu kebenarannya hingga keadaan memaksa. Aku mengerti perasaannya dan paham reaksinya. Aku hanya tidak tahu bagaimana menghadapi kata-katanya dan rasa sakit yang kulihat di matanya.“Dia tidak benar-benar bermaksud begitu,” ujar Gabriel sambil berjalan lebih dekat ke kamarku.Aku menatapnya tajam dan merasakan sesuatu yang buruk membuncah di dalam diriku. “Bagaimana kamu tahu? Kamu bahkan belum cukup
HanaMinggu ini benar-benar kacau. Sejak kembali ke kota ini, rasanya aku terus-menerus berlarian menyelesaikan berbagai urusan tanpa sempat istirahat sedikit pun.Setidaknya Lilly sekarang merasa lebih nyaman. Gabriel menolak untuk mengirim kasurnya karena kasur di sini lebih nyaman, tapi dia setuju untuk mengirimkan seprai dan selimutnya. Itu sudah cukup membuat perubahan, dan sekarang dia bisa tidur nyenyak sepanjang malam.Gabriel … dari mana aku harus memulainya? Dia pulang ke rumah meskipun larut malam, tapi hanya sebatas itu. Kami saling menghindari dan mencoba hidup seperti tidak saling ada. Kurasa ini cara terbaik untuk kami. Ini akan mencegah Lilly melihat kami bertengkar terus-menerus.“Ibu, katanya ingin bicara denganku?” Suara Lilly menarikku dari lamunanku.Aku meletakkan pakaian yang sedang kulipat dan duduk di tempat tidur sebelum memberi isyarat padanya untuk melakukan hal yang sama. Dia melangkah mendekat dengan dahi berkerut dan duduk di sebelahku.Kami berada di kam
Punggung wanita itu membelakangiku, begitu juga dengan Guntur. Aku tidak perlu mengkhawatirkan Calvin, sebab dia terlihat begitu tergila-gila dan mengarahkan perhatiannya pada setiap perkataan wanita itu dengan senyuman lembut di bibirnya.Lagi-lagi, perasaan tidak nyaman menyusupi diriku. Mengapa aku merasa aku tidak bisa bernafas? Kerongkonganku terasa tercekat melihatnya. Aku berfokus pada mereka. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan karena mereka berjarak beberapa meja dariku, tapi kedamaian dan kebahagiaan di wajah Calvin sudah cukup untuk membuatku tahu apa yang tengah terjadi. Dia sedang berkencan dan Guntur ikut. Wanita itu bahkan tidak mempermasalahkannya, tapi tidak mungkin aku akan membiarkan wanita lain menggantikanku di kehidupan putraku. Aku tidak bisa melihat Guntur, tapi aku tahu, seperti dengan Calvin, dia senang bisa berada di sini. Calvin pasti akan langsung pergi dengan putra kami kalau dia merasa sebaliknya. Entah mengapa, aku tetap ada di sana meski
Perkataan Merrisa terus terngiang di telingaku bahkan setelah kami makan. Kami sedang memakan hidangan penutup kami. Aku suka es krim, tapi hari ini aku tidak bisa menikmatinya. Tidak ketika dia sudah membuatku meragukan segala yang kuyakini selama beberapa tahun terakhir ini. “Kenapa kamu begitu diam?” tanyanya setelah menaruh milkshake-nya ke meja. “Apakah kamu memikirkan apa yang kukatakan padaku?”Kalimat terakhirnya dikatakannya sambil tersenyum miring sambil bersandar kembali di kursinya. “Tentu tidak,” bohongku. “Aku hanya penasaran caraku untuk membuat Calvin dan Guntur memaafkanku. Tidak peduli seberapa keras kupikirkan, sepertinya tidak ada jalannya.”Sebagai seorang pengacara, aku terbiasa untuk memandang segala hal dari seluruh sisi ketika aku membela klienku. Itulah yang membuat pekerjaanku begitu lancar. Aku membereskan segalanya dan bisa menangani seluruh hasilnya. Aku melakukan itu pada masalahku sekarang dan kuyakin tidak ada harapan. Aku mungkin tidak mencintai Cal
“Kenapa aku harus membiarkanmu untuk meyakinkanku keluar makan siang?” keluhku sambil melihat pemandangan di depan kami. Sudah lama sekali sejak aku keluar dari rumah keluarga kami. Sepertinya terakhir kali aku keluar adalah saat aku menghadiri pernikahan Ava. Sejujurnya, aku bahkan terkejut bahwa dia mengundangku. Di antara semua orang, kupikir aku akan menjadi orang terakhir yang diinginkannya hadir di pernikahannya. “Sebab kamu harus keluar,” balas Merrisa sambil menarikku dari pemikiranku. “Aku biasanya keluar dari rumah, Merrisa,” ujarku untuk membela diriku. Dengusannya begitu membuatku kesal. “Pergi ke taman tidak terhitung keluar,” balasnya. “Sekarang, berhentilah mengeluh dan duduk serta nikmati. Kamu pasti akan menyukai ini, aku janji.”“Aku tidak yakin.”Setelah itu aku bersandar ke kursi dan menutup mataku. Benakku berkecamuk akan ribuan pemikiran di setiap menitnya. Aku tidak bisa mengendalikannya sama sekali. Setelah pembicaraanku dengan Merrisa di kamarku, benakku
Emma. “Kamu harus keluar dari kamarmu, Emma. Kamu tidak bisa menghabiskan harimu di dalam sini.” Aku mendengar perkataan Ibu, tapi aku tidak menatapnya sebab mataku tetap terfokus pada drama sedih yang sedang kutonton. Aku duduk di ranjangku dengan masih memakai piyama dan beberapa cemilan yang berceceran di sekitar selimutku. Aku minum bermacam-macam minuman dan sekotak besar es krim, yang mana tengah menjadi adiksiku saat ini. Gorden kamarku tertutup dan menghalangi sinar matahari masuk sedari aku menutup gorden ini sejak beberapa bulan lalu. “Itulah yang sudah kucoba katakan padanya, tapi wanita itu tidak mau mendengarku!” dengus Merrisa. Aku bisa merasakan kata-katanya menusuk di hatiku, tapi aku sama sekali tidak mengindahkannya. Aku hanya mau sendirian untuk meresapi penderitaanku. Lagipula, akulah yang membawa penderitaan ini sendiri. “Apa yang akan Guntur katakan kalau dia melihatmu seperti itu? Kamu begitu berantakan, begitu juga dengan ruanganmu. Aku tidak tahu kapan ter
Aku melihat Rowan begitu kami masuk. Sama seperti kembarannya, dia memakai jas hitam. Kami berjalan ke depan kapel saat pendeta berjalan masuk ke dalam.“Hai, Hana,” sapa Rowan dengan sopan dan menyambutku dengan senyumannya. Aku benar-benar terkejut. Dia sudah sangat berubah, dia tidak seperti Rowan yang kuingat. Sebelumnya, dia selalu terlihat dingin dan datar, seolah dia menganggap seluruh orang tidaklah penting. Tapi sekarang, dia terlihat hangat. Seolah kekelaman yang dulu menyelimutinya sudah sepenuhnya sirna. “H ... Hai,” balasku dengan terbata-bata. Aku penasaran apakah dia berhasil kembali bersama mantan pacarnya. Lagipula, semua orang tahu bahwa dia berubah setelah dia kehilangan dirinya dan terpaksa untuk menikahi Ava. Ah, pasti dia sudah kembali bersama mantan pacarnya. Dia begitu membenci Ava, jadi perubahan ini pastilah karena kakaknya Ava, Emma. “Bisa kita mulai sekarang?” sela si pendeta dan kami bertiga mengangguk. Aku berdiri di sebelah Gabriel dan Rowan berdiri