“Dek, Sayang! Bangun dulu. Hampir subuh ini.” Gani, mengguncang pelan bahu terbuka Kirani. Istrinya ini tidur begitu nyenyak. Hasrat dan libido lelaki ini menuntut agar mengulang pengejaran gelora halal yang sudah lama ditahannya.Kirani yang masih malu-malu, pun menurut saja setiap apa yang Gani inginkan semalam. Ini bukan yang pertama bagi Kirani. Namun penyatuan keduanya diawal permainan tetap memberikan rasa tak nyaman dibawah sana. Bahkan sedikit nyeri membuat Kirani sedikit meringis di awal-awal.Gani tahu dan juga merasakan, lelaki ini bukan hanya menuntut hasrat seks semata yang berkobar semalam, namun kenyamanan dan kepuasan istrinya tetap menjadi perhatiannya. Memang semalam keduanya tak sempat lagi mandi wajib, selain lelah mendera juga karna rasa kantuk yang menyerang. Terutama Kirani. Sebab hampir pukul dua pagi barulah Gani menghentikan aksinya. Bahkan Kirani harus menarik rambut cepak suaminya yang tak henti menghentaknya seolah tenaga lelaki itu tak ada habisnya.“M
Waktu berjalan begitu lambat bagi Danu. Hari-harinya dipenuhi kesuraman dan tanpa gairah. Hidupnya seperti tak ada semangat. Pekerjaan pun diselesaikan tanpa banyak komentar."Sekali-kali keluarlah, Bro. Banyak yang bening di luar sana," saran seorang rekan kerja yang terkenal sedikit _nakal_.Namun Danu hanya tersenyum menanggapi. Ia tak ingin mengulang kesalahan yang sama saat masih menjadi suami Kirani.Kesalahan yang akhirnya membawa penyesalan dalam hidupnya. Baru sekarang ia menyadari, bila hatinya ikut terbawa bersama kepergian Kirani bertahun lalu.Bahkan ia benar-benar patah hati setelah Kirani yang sudah menjadi mantan istrinya menikah dengan orang lain.Rasanya sesak membayangkan Kirani berada dalam dekapan lelaki lain.Danu melihat keluar jendela. Semua berkas laporan sudah ia tandatangani tanpa mengecek ulang seperti biasa.Tampias hujan yang berguguran dari atap bumi menciptakan titik-titik embun yang dingin pada kaca jendela ruang kerja lelaki yang sedang merana ini.Ne
Alis tebal Gani berkerut heran saat melihat sebuah mobil warna merah yang cukup mahal terparkir di halaman rumah ibunya. Tamu siapa kira-kira yang datang dan rela menunggu cukup lama hanya untuk bertemu dirinya."Mungkin ada yang penting, Mas," ucap Kirani saat membantu dirinya merapikan diri dan pakaiannya tadi."Nggak ada yang nelpon juga," gerutu Ganu, sebab masih ingin bermanja bersama Kirani sebentar. Namun telepon ibu kembali masuk, mengingatkan supaya segera pulang. "Mas masih pengen berdua aja." Gani seperti anak kecil yang merajuk. Ia memeluk Kirani dan membenamkan wajahnya di ceruk leher istrinya. Menghirup dalam-dalam wangi _Raspeberry musk_ dari tubuh itu. Berharap badmoodnya kembali normal."Malam masih bisa berdua, Mas." Kirani membelai punggung kekar suaminya. Berharap bisa menyalurkan emosi yang positif pada lelakinya ini."Belum mandi juga ini." Gani melanjutkan protesnya. Kekesalan yang Gani rasa ini entah ditujukkan pada siapa. Pada ibu atau tamunya."Sampai rumah
Kirani dan Gani tak enak sendiri melihat ekspresi Amanda yang nampak terperangah tak percaya bila Gani sudah menikah. Bibir berlipstik merah itu menganga terbuka, dengan mata memandang Kirani lekat. Seolah memindai tampilan sederhana Kirani.Amanda sendiri yang masih berharap bisa menggaet Gani gak percaya, bila pria yang menjabat sebagai upervisor itu memilih perempuan sederhana untuk dijadikan istri. Punya gaji dan tunjangan yang lumayan ternyata tak membuat Gani gila pada perempuan yang berpenampilan modis dan modern di luar sana.Meski godaan diluar sana begitu gencar menggodanya.“Sekali-kali kelurlah, Bro. banyak yang bening-bening di luar sana,” tawar Beni. Rekan yang cukup terkenal di kalangan ekskutif muda sering gonta ganti partner hiburan. Meski Beni mengatakan Cuma jalan dan makan dengan wanita-wanita muda itu, tapi yang lain tahu kemana berakhirnya mereka setelah jalan dan makan.Tawaran yang selalu Gani tolak. Bayangan wajah putrinya akan menyadarkan bila sesekali keingi
Kirani menghapus bulir keringat yang membanjiri punggung lebar suaminya. Dinginnya hawa malam yang gerimis di luar sana juga udara yang berputar maksimal dari kipas angin di sudut ruangan tak mampu meredam panas tubuh dua insan yang saling menyalurkan emosi lewat gerakan penyatuan yang cukup menguras tenaga.Sebenarnya Kirani yang cemburu pada Amanda sore tadi. Ia sedikit percaya bila suaminya dulu pernah jalan bersama perempuan seksi itu."Pelan, Mas!" Protes Kirani saat Gani seperti singa kelaparan yang berhasil mendapatkan buruannya. Kirani yang cemburu, tapi Gani yang emosi. Emosi sebab rencananya di hotel tergangnggu, juga emosi karna kehadiran Amanda yang berhasil membuat Kirani lebih banyak diam malam ini.Kirani tak banyak bicara, tak juga menyampaikan rasa bila ia sedang cemburu. Wanita ini hanya lebih banyak diam juga sering berpaling kala pandangannya bertabrakan dengan netra hitam suaminya.Bahkan setelah shalat isya Kirani langsung masuk ke kamar Sofia sedikit memaksa pu
Entah mengapa Danu begitu berdebar. Tak biasanya dia seperti ini. Ia sudah sering menghadiri acara besar juga menerima penghargaan. Lelaki ini tak pernah canggung.Malam ini pun ia tak sendiri. Ada Nurma yang ia minta duduk tak jauh darinya. Sebab ada beberapa laporan yang harus ia bacakan dan laporan itu Nurma yang bawa.Para manager dan staf sudah banyak yang datang. Suara MC bergantian dengan penyanyi yang disewa mengalun pelan di telinga Danu. Danu duduk pada meja yang agak depan sesuai dengan jabatan yang diduduki."Kalau, Bapak butuh sesuatu saya duduk dua meja di belakang, Bapak.," bisik Nurma sambil menunjuk tempatnya duduk."Baik, terima kasih, Nurma," sahut Danu.Kemudian ada pak Irwan dan istri yang datang kebetulan duduk satu meja dengan Danu.Ketiganya berbincang akrab. Sesekali telinga Danu mendengar suara anak kecil yang harus ditenangkan ibunya. Itu berasal dari staf yang duduk di bagian belakang. Jujur Danu sebenarnya begitu merindukan punya anak. Sebab itulah ia begi
"Kita sambut....bapak Abdul Gani dan ....ibu Kirani Larasati!...beri tepuk tangan!" Artya berhasil membuat dunia Danu serasa berhenti. Tubuhnya seperti dilolosi semua tulang. Nyaris tak bertenaga. Mulutnya kelu. Pandangannya nanar pada sosok wanita anggun yang digandeng mesra oleh pria yang tak asing di matanya.Di depan sana, Kirani nampak tersenyum malu-malu atas godaan Artya dan juga karyawan lain yang mengenal Gani. Kirani ingat, beberapa di antara mereka ada yang datang di pernikahan sederhana mereka. Artya turun dari panggung kecil kemudian menghampiri Gani yang menggandeng mesra istrinya.Perempuan tiga puluh tujuh tahun itu mendekat kemudian menyalami Gani juga Kirani. Bahkan ia memeluk Kirani dan _bercipika cipiki_. Seorang pelayan laki-laki yang berseragam hotel terlihat mengarahkan Kirani dan Gani untuk duduk di meja yang sudah di sediakan.Rupanya meja untuk Gani dan Kirani terletak tepat di sebelah meja Danu dan pak Irwan. Kirani belum menyadari ada seorang pria yang men
Rasa lapar membuat Herda berkeringat dingin. Tangannya sedikit gemetar saat menyusun goodiebag-goodiebag itu kedalam keranjang dorong yang akan antarkan ke depan bagian recepsionist yang berjaga di pintu masuk. Tamu dan karyawan akan diberikan pada saat mereka akan keluar.“Mbak, kenapa? Lapar kah?” tanya seorang rekannya yang menggunakan jilbab biru. Sedari tadi ia memperhatikan Herda yang nampak gemetar.Lalu dengan sedikit malu-malu, Herda mengangguk. Tadi siang memang hanya makan sedikit.“Mbak istirahat dulu. Makanlah dulu. Biar kami disini. Giliran kita makan masih dua peluh menit lagi,” timpal rekan yang satunya. Seorang gadis muda yang baru lulus SMA. Lilis namanya. Dari pekerjaan harian ini Lilis berharap bisa dipanggil lagi kerja disini, walau hanya sebagai cleaning service.“Nggak apa-apa, biar kita makan sama-sama nanti.” Herda malu hati bila harus makan duluan.Kemudian Lilis mengeluarkan permen dari kantong bajunya seragam. Meski pun pekerja harian, mereka juga diberi se
Waktu berjalan begitu pantas dan berlalu tanpa bisa dihentikan. Masa-masa derita, sakit hati, kecewa dan air mata kini berganti tawa bahagia. Meski luka itu tetap meninggalkan bekasnya. Namun duka itu sebisa mungkin tak diingat-ingat lagi oleh Sofia dan Arbi. Pun dengan Kirani yang sudah terlebih dahulu memaafka luka masa lalu yang dulu membuatnya menangis kecewa. “Nenek sudah makan?” Davka yang sudah kelas lima SD menghampiri Kirani yang terlihat sedang menjahit sebuah jaket berwarna coklat tua. “Sudah, tadi ibumu sudah bawakan nenek ubi jalar rebus. Nenek sudah dua hari tak makan nasi, ibumu yang melarang.” “Karna mama bilang, gula darah nenek tinggi lagi!” Davka memperhatikan jaket coklat yang sering digunakan neneknya akhir-akhir ini. Terlihat ada tiga bekas jahitan pada baju hangat itu. “Nenek, kayanya suka sekali dengan jaket kakek ini?” “Ya, suka sekali. Kakekmu itu baik dan sangat sayang pada nenek.” Bukan sekali dua kali Kirani menceritakan tentang Gani pada cucu mere
“Kok, begitu liatnya, Mas?” Kening lebat Sofia berkedut heran, melihat Arbi menatapnya seolah tak berkedip. Baju dinas belum sempat Sofia lepas, bahkan rambut panjangnya hanya dicepol asal. Sofia sedikit terlambat pulang, siang ini. Membuatnya harus terburu mengeluarkan bahan makanan dari kulkas. Ia ingat suaminya pasti belum makan siang. Tinggal di desa seperti ini, tak seperti di kota, bila lapar bisa lari ke warung makan yang bertebaran dimana-dimana. Di sini, belum banyak yang menjual makanan masak. Hanya ada bakso, ayam crispy dan jajanan cilok dan sejenisnya. Penampilan berantakan itu malah membuat Sofia semakin terlihat cantik. Wajahnya terlihat bersinar. Bisa jadi karna efek KB juga. Sofia tak ingin kecolongan. Setelah memastikan dirinya tak hamil, segera saja ia meminta suntik KB satu bulan. Mungkin Kbnya cocok di tubuh Sofia. Ia tak merasa pusing atau keluhan lainnya. Lagian masa lalu yang menyakitkan itu membuatnya masih takut untuk memberi adik lagi pada Davka. Arbi me
“Fia,”“Y-ya, Mas!”Rasanya begitu gugup. Bukan hanya Sofia, tapi juga Arbi. Benar-benar canggung. Bahkan debaran itu semakin menggila saat Arbi melihat lagi rambut sebahu istrinya yang begitu indah. Bertahun-tahun baru ia melihat mahkota legam itu lagi. Ditambah dengan Sofia yang masih menggunakan baju mandi saja, membuat Arbi semakin, ah ...Tak jadi masuk, Arbi malah keluar lagi, mengganti lampu di ruang TV dengan yang lebih redup.“Huf! Selamat,” batin Sofia.Namun ...“Lho kok dimatiin lampunya, Mas?”Arbi masuk lagi, mematikan lampu kamar. Namun pintu kamar ia buka sedikit agar tetap bisa mengawasi Davka yang sedang tertidur di depan. Ingin tidur di kamar ini juga tak bisa, sebab kasurnya hanya muat untuk dua orang. Memang malam ini mereka harus tidur bertiga di depan tv. Namun, Arbi ada keinginan sendiri yang tak bisa ditunda. Melihat penampilan Sofia tadi membuatnya seketika on fire.“Mas kangen banget sama, kamu!”Arbi mendekat, bahkan langsung memeluk. Mendekap tubuh itu d
Sofia tergugu dalam isak tangisnya. Ini bukan tangis kesedihan lagi. Namun ini tangis keikhlasan. Keikhlasan yang membawanya kembali pada jodoh pertamanya.Ingin sekali rasanya Arbi memeluk tubuh terguncang itu, tapi disini ada bunda Kiran, dan tentu Sofia tak ingin disentuh terlalu jauh, sebab keduanya belum menjadi muhrim lagi.Antara bahagia dan sedih, juga rasa khawatir menyatu, mengepung benak perempuan tiga puluh tiga tahun ini. “Mama, maukah mama maafkan papa, biar papa bisa bobo sama kita disini?”Davka berdiri dengan sebuah kotak cincin sederhana di belakang Sofia yang sedang mengusap air mata yang tak ingin berhenti.Pertanyaan yang sudah diajarkan Arbi berulang kali tadi pada sang putra sebelum mereka masuk ke dapur menemui Sofia yang sedang menghapus air matanya yang tak ingin berhenti.Pernyataan Arbi tadi bila akan menikah, membuat hatinya nelangsa dan semakin hilang separuh rasanya.“Eh, Avka. Apa itu, Nak? Kembalikan sama papa.” Jujur hati Sofia sedikit tercubit, meli
Arbi yang dulu selingkuh, Arbi pula yang merasa kecewa. Keputusan Sofia yang belum ingin membuka hatinya kembali, cukup membuat Arbi merasa kecewa, sekaligus takut. Mengapa kecewa?Sebab Arbi merasa Sofia bukan hanya sedang menghukum dirinya, tapi juga sedang menghukum Davka yang begitu ingin melihat mama papanya tinggal serumah.“Kamu nggak, kasihan sama Davka, kah?”“Nanti pasti akan mengerti, Mas.”Sofia selalu yakin bila suatu hari Davka akan mengerti tentang kondisi orang tuanya yang tak sudah tak bersama. Kelak pun akan diceritakannya pada putranya itu bila, papa mamanya sudah berpisah sebelum dirinya dilahirkan.“Kok, papa nggak pernah bobo sama kita, Ma?” Pertanyaan polos seperti itu bukan satu dua kali meluncur dari bocah tampan berhidung mangir mirip ayahnya. Namun Sofia menguatkan hati, selalu mencari jawaban yang tepat, agar sang putra tak merasa sedih.“Papa kan, kerja, Nak. Jadi tidak bisa tinggal disini.”“Papanya Nanda juga kerja, tapi selalu diantar ngaji sama papa m
Masa sudah berlalu. Siang dan malam berkejaran laksana busur panah yang tak bisa dihentikan. Musim penghujan pun berganti dengan kemarau yang cukup panjang. Violetta menatap jauh kebawah sana. Pemadangan hijau nan asri begitu menyejukkan mata. Ia berdiri di balkon villa milik ibunya. Membelakangi Adam yang tampak begitu berharap padanya.“Mengapa menutup diri terlalu kuat, Vio. Apa tak ada cinta sedikit pun di hatimu untuk aku?”“Rasa mungkin bisa dipupuk kembali, Mas. tapi restu yang utama, kan? aku ini janda dan punya masa lalu yang cukup buruk. Menikah tanpa restu sudah pernah kurasakan. Dan akhirnya begitu sakit.”Violetta tersenyum kecut. Perasaannya untuk Arbi belum hilang sepenuhnya. Bukan hanya perasaan cinta, tapi juga ada dendam yang masih belum tuntas. Violetta cukup terharu, melihat kesungguhan di mata Adam. Namun Violetta juga tahu, jalannya bersama lelaki ini tidak akan semudah keinginan pria bermata tajam ini. Violetta mendekat mengelus cambang kasar yang tumbuh di s
“Ya Allah, ya Allah!”Habis sudah bangunan dan isi ruko tempat Arbi menjalankan usahanya sehari-hari selama ini. usaha yang awalnya dirintis oleh ayahnya, setelah rujuk kembali bersama ibunya. Kini ludes terbakar. Semen, cat tembok, pipa dan bahan bangunan lainnya ikut terbakar. Mungkin paku dan bahan lainnya yang terbuat dari besi atau aluminium, tidak ikut terbakar tapi tentu sudah tak bisa di jual lagi.Dua buah mobil pemadam kebaran datang membantu berusaha memadamkan api. Sebab api yang makin besar, membuat warga yang tadi ikut membantu memdamkan api, sekarang tak berani mendekat.Arbi menangis! netranya memerah. Perasaannya semakin kacau. Entah. Apa ini hari pembalasan untuk Arbi mulai dari pagi tadi, rasanya tak ada satupun urusannya yang beres.Apa yang bisa ia lakukan sekarang? Selain memandangi api yang melalap habis bangunan di depan matanya.Kehebohan bukan hanya terjadi di sini. Tapi juga tadi di rumah papa Gani. Sebab kabar kebakaran itu diterima Arbi saat ia duduk seba
Pov. Author__Arbi begitu susah payah menelan makanan enak yang ada diatas piringnya. Tenggorokannya terasa kering dan sakit. Laksana ada duri yang tumbuh pada batang lehernya. Bahkan beberapa kali dia harus menelan air mineral yang tersedia di depannya. Bahkan Davka yang duduk di pangkuannya dan menanyakan banyak hal, tak terlalu digubrisnya. Fokusnya lebih banyak pada Sofia yang nampak begitu cantik hari ini. gamis biru muda dengan potongan brokat di bagian dada dan lengan berpadu dengan jilbab warna senada dan make up tipis di wajahnya. Semakin mempertegas kecantikan mantan istrinya.Di depan sana, Sofia nampak duduk di samping seorang gadis berhijab yang mengenakan kebaya brokat warna kuning gading. Di samping gadis itu ada Keenan yang menggunakan kemeja batik dan celana kain warna hitam.Sofia dan Keenan, meski lahir dari ibu yang berbeda, namun garis wajah keduanya cukup mirip. Sama-sama beralis tebal dan berhidung bangir.Rasanya separuh sukma Arbi hilang tadi, saat remaja ya
Pov Arbi__Sengaja kudatangi penjara tempat Adam ditahan. Dari awal aku memang sedikit tak percaya saat mendengar pengakuan dirinya bila ia sudah mengintai dan merencanakan untuk mencelakai Sofia.Jika dibandingkan dengan Adam, mungkin aku jauh lebih pengecut dan brengsek dibanding dirinya. Lihatlah, bagaimana ia berusaha melindungi Violetta saat perempuan itu masih menjadi istriku.Peristiwa kecelakaan yang menimpa Sofia, menyadarkan diriku bila semua itu terjadi sebab kesalahan yang kubuat. Tak kusangka, walau aku dan Sofia sudah berpisah, tapi rupanya Violetta tak terima, saat kutuntut cerai dari dirinya.Dan kembali perempuan tersabar yang pernah kumiliki dalam hidupku yang menjadi korbannya.Satu kesalahan terbesar dalam hidupku saat mencoba bermain api bersama putri dari bos besar tempatku mencari nafkah.“Mas Arbi dewasa sekali. Aku nyaman sam mas Arbi.”Aku begitu terbuai saat mendengar kata-kata perempuan muda itu. sukses kedua orang tuanya ternyata membuat Violetta justru t