Iblis Petir yang tadinya duduk bersila segera meloncat ke atas ikut berdiri di sebelah Kupra di atas atap. Pasalnya dia merasakan hawa dingin meresap dari tanah.
Guru dan murid ini mengerahkan seluruh kekuatan yang dimiliki. Tubuh Agnibali mulai dikabari api, sedangkan Iblis Petir melindungi dirinya dengan zirah yang terbuat dari kilatan-kilatan petir. Hawa panas kedua orang ini berusaha menyeruak tindihan hawa dingin dari atas dan bawah. Bahkan akhirnya sosok kedua orang ini ditutupi oleh kobaran api. Tentu saja keduanya tidak merasakan panas karena ini adalah kekuatan dari mereka sendiri. Kobaran api itu untuk melindungi diri dari hawa dingin yang menyerang. Sementara itu wanita berpakaian dan bercadar hitam menarik nafas lega setelah adanya hawa dingin dari bawah dan langit tampak meredup. Dia tidak perlu mengerahkan tenaga lebih banyak lagi seperti sebelumnya. Yang ditunggu-tunggu sepertinya telah tiba.Seperti gurunya, tubuh Kupra juga hancur berserakan. Seakan tidak puas, ibu dan anak ini sampai menginjak-injak serpihan tubuh Kupra yang menjadi seperti pasir. Pertempuran berakhir. Dua tokoh golongan hitam paling kuat saat ini telah menemui ajalnya. Sementara itu Bayu dan Asmarini sudah tidak ada di tempatnya. Mereka sudah berjalan meninggalkan wilayah desa Rancawaru. "Sekarang ceritakan, bagaimana kau bisa jadi pawang hujan?" Asmarini mendengkus kesal. "Pawang hujan, pawang hujan!" "Oh, ya, ya! Bidadari Pengendali Air!" Akhirnya Asmarini tersenyum. Kemudian sambil berjalan gadis ini menceritakan pengalamannya. "Setelah kita berpisah waktu itu, tiba-tiba datang seseorang yang mengaku gurunya ibuku!" "Nenek Pancasari?" Bayu tahu karena pernah mendengar dari ayahnya. "Benar!" "Lalu?" Nenek Pancasari yang dulu telah mengu
Sejak Eyang Ismaya memutuskan menjadi santri di Pesantren Quro, posisi sesepuh Padepokan Cakrabuana diserahkan kepada Ki Abiasa.Semua kegiatan di padepokan berjalan seperti biasanya. Setiap dua tahun menerima murid baru dengan syarat yang sudah ditetapkan sejak dahulu.Karena padepokan ini dekat dengan kerajaan, maka murid-murid yang sudah siap turun gunung kebanyakan direkrut menjadi pejabat di kerajaan khususnya di bidang keprajuritan.Letak padepokan yang berada di lereng gunung bahkan mendekati puncaknya membuat kegiatan di dalamnya terasa tenang. Semua murid bisa mengambil pelajaran dengan tenang dan fokus.Namun, di suatu pagi terjadi sebuah kegemparan yang tidak pernah disangka-sangka. Seluruh penghuni padepokan ditemukan tewas termasuk Ki Abiasa.Yang pertama kali menemukan keadaan ini adalah sepasang suami isteri di mana sang suami adalah murid padepokan tersebut.Mereka adalah Wirapati yang dikenal dengan julukan Tapak Sakti dan Parwati yang dijuluki Walet Putih. Yang palin
Secara alami pada saat lahir dalam tubuh Bayu sudah tertanam dua kekuatan angin dan petir, sementara kesaktian Darah Peri tidak ikut masuk ke dalamnya.Jadi anak ini sudah memiliki kelebihan dalam tubuhnya, hanya belum bisa mengendalikan dan memanfaatkannya.Bayu juga mewarisi bakat luar biasa ayahnya, yaitu daya ingat yang kuat. Hanya saja dia lambat dalam mempraktekkan arahan sang ayah untuk mengendalikan kekuatan yang dia miliki.Sehingga sampai di umur yang keduabelas, Bayu belum mampu mengendalikan dan memanfaatkan kesaktian angin petir dalam tubuhnya.Ditambah lagi peristiwa di Padepokan Cakrabuana yang menyeret nama Panji membuat upaya sang ayah dalam mengajari anaknya jadi terhambat.Akhirnya Panji menyerahkan pendidikan sang anak kepada Eyang Ismaya. Siapa tahu walaupun tidak bisa menggunakan kekuatan alami yang dimiliki, tapi masih memiliki ilmu lain warisan dari Eyang Ismaya."Tentu saja, aku sudah menganggap Bayu seperti cucuku sendiri. Aku juga senang ada orang yang akan
Apa yang ditemukan Eyang Ismaya pada jasad Ki Abiasa? Jawabannya disimpan dulu.Keesokan paginya.Sekarang berita tentang ditetapkannya Panji dan keluarga sebagai buronan kerajaan telah menyebar. Ini membuat Eyang Ismaya menjadi agak sempit gerakannya dalam membawa Bayu.Tidak mungkin dia akan terus tinggal di rumahnya bersama Bayu. Pihak kerajaan sewaktu-waktu pasti akan datang karena tahu sang sesepuh dekat dengan keluarga Panji Saksana."Bayu, sepertinya kita harus mengembara dari tempat ke tempat guna menghindari pengejaran pihak kerajaan. Kasihan sekali masih muda sudah menjadi buronan. Padahal tidak ada sangkut pautnya dengan ayahmu!""Aku menuruti apa saja yang menurut Eyang baik," sahut Bayu tegas. Wajahnya tak sedikit pun menunjukkan rasa takut. Tidak seperti ayahnya yang tengil dan suka bercanda, sifat Bayu lebih mirip ibunya yang pendiam."Baiklah, terlebih dahulu kita akan mengubah penampilan agar tidak mudah dikenali orang."Beberapa saat kemudian mereka sudah berganti pa
Bayu terpental sejauh tiga tombak setelah menahan pukulan si kakek yang bernama Setan Berambut Putih itu. Dalam beberapa saat dia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Setelah itu hilang lagi sakitnya dalam sekejap. Tenaganya kembali pulih.Ketika bangkit lagi, Setan Berambut Putih sudah tiga langkah di hadapannya dengan satu kaki mengangkat melepaskan tendangan ke arah kepala.Wush!Remaja ini cepat guling-gulingkan badannya hingga menjauh sampai mendapatkan kesempatan untuk berdiri. Setelah berhasil berdiri dia siap kabur.Namun, Setan Berambut Putih terus memburunya. Hawa membunuh kini terpancar dari tubuhnya. Dia tidak segan-segan walau korbannya masih anak remaja.Memiliki kesempatan untuk berlari, Bayu tak menyia-nyiakannya. Sekuat tenaga dia ambil langkah seribu.Setan Berambut Putih sangat geram. Bagaimana bisa anak yang dianggap masih ingusan ini begitu mudah lepas darinya? Tak ingin kehilangan muka, kakek kurus ini melesat menggunakan ilmu meringankan tubuh.Di depan, Bayu me
"Sudah malam, Eyang. Kita akan istirahat di mana?""Kita makan jamur Suung dulu. Mari, cari tempat yang nyaman!"Eyang Ismaya melangkah ke arah gubuk tempat tadi Bayu duduk. Walaupun gelap mereka berdua mampu melihat dalam kegelapan.Kalau Eyang Ismaya menggunakan hawa sakti yang disalurkan ke mata, sedangkan Bayu sudah pembawaan dari lahir karena adanya tenaga petir dalam tubuhnya.Sampai di gubuk, Bayu mengeluarkan jamur dari dalam buntalannya. Lalu tidak lama kemudian dia sudah mengumpulkan ranting-ranting kering untuk membuat pembakaran."Coba kau buatlah api dengan tenaga petirmu," suruh Eyang Ismaya.Untuk hal-hal yang ringan seperti itu, Bayu memang sudah bisa melakukannya berkat bimbingan sang ayah. Anak ini hanya mengibas kecil ujung tangan sebatas pergelangan.Praatt!Keluar percikan petir kecil dari salah satu jari menimpa ranting-ranting yang telah ditumpuk di atas tanah, lalu timbul api yang langsung membakar ranting-ranting tersebut.Seketika tempat itu jadi agak terang.
"Eh, kalau Tuhan belum mau ambil nyawaku, maka aku akan terus hidup. Kau juga sudah tua, apa itu cucumu?" Nenek ini menatap ke arah Bayu."Bukan, selama hidup di luar aku tidak pernah menikah dan punya anak. Dia muridku!""Aduh, kau ini bodoh sekali. Kenapa tidak kawin, nanti siapa yang meneruskan keluarga Pedang Pembelah Langit?""Mungkin anak ini yang berjodoh dengan pusaka itu, makanya aku bawa ke sini. Sekalian aku melepas rindu kepada orang-orang di sini.""Sudah, sudah. Bicaranya nanti saja, sudah malam, istirahat saja dulu!"Kemudian nenek ini membawa Eyang Ismaya dan Bayu ke dalam menapaki jalan kecil yang dipadati dengan batu-batu pipih dan rapi.Sepanjang jalan penuh dengan taman-taman indah. Suasana tengah hutan sudah tidak ada lagi. Mereka memasuki perkampungan yang asri dan nyaman.Keesokan harinya.Suasana kampung kecil ini semakin jelas keindahannya ketika tersiram oleh cahaya matahari pagi. Begitu tenang dan udara segar.Eyang Ismaya mengajak Bayu ke sebuah pemakaman.
Bayu tidak menjawab, kedua matanya terus terpaku pada lembaran pertama kitab Aksara Sakti. Anak ini melihat susunan aksara Sunda kuno.Untungnya sejak kecil Bayu diajari membaca beberapa aksara olah ayahnya. Di antaranya aksara Sunda, Jawa, Arab dan Palawa. Jadi Bayu bisa membaca rangkaian kalimat dalam kitab Aksara Sakti.Bayu hanya membaca dalam hati, tetapi dia merasakan ada sesuatu yang mengalir ke dalam tubuhnya. Seperti hawa sejuk merasuk menjalar ke setiap rongga dan syaraf dalam tubuhnya.Seketika Bayu merasakan tubuhnya menjadi segar, ringan dan berisi."Tampaknya dia merasakan sesuatu dalam tubuhnya seperti ayah kita dulu," ujar Nini Winah sambil memandangi wajah Bayu penuh selidik."Dia berjodoh dengan kitab itu," sahut Eyang Ismaya.Tanpa disadari Bayu membaca isi kitab itu sampai halaman terakhir. Beberapa saat anak ini termenung setelah selesai membaca. Lalu kitab itu ditutup kembali."Aku bisa melihat isinya, Eyang!" kata Bayu setelah menoleh kepada Eyang Ismaya. Dia ju
Seperti gurunya, tubuh Kupra juga hancur berserakan. Seakan tidak puas, ibu dan anak ini sampai menginjak-injak serpihan tubuh Kupra yang menjadi seperti pasir. Pertempuran berakhir. Dua tokoh golongan hitam paling kuat saat ini telah menemui ajalnya. Sementara itu Bayu dan Asmarini sudah tidak ada di tempatnya. Mereka sudah berjalan meninggalkan wilayah desa Rancawaru. "Sekarang ceritakan, bagaimana kau bisa jadi pawang hujan?" Asmarini mendengkus kesal. "Pawang hujan, pawang hujan!" "Oh, ya, ya! Bidadari Pengendali Air!" Akhirnya Asmarini tersenyum. Kemudian sambil berjalan gadis ini menceritakan pengalamannya. "Setelah kita berpisah waktu itu, tiba-tiba datang seseorang yang mengaku gurunya ibuku!" "Nenek Pancasari?" Bayu tahu karena pernah mendengar dari ayahnya. "Benar!" "Lalu?" Nenek Pancasari yang dulu telah mengu
Iblis Petir yang tadinya duduk bersila segera meloncat ke atas ikut berdiri di sebelah Kupra di atas atap. Pasalnya dia merasakan hawa dingin meresap dari tanah. Guru dan murid ini mengerahkan seluruh kekuatan yang dimiliki. Tubuh Agnibali mulai dikabari api, sedangkan Iblis Petir melindungi dirinya dengan zirah yang terbuat dari kilatan-kilatan petir. Hawa panas kedua orang ini berusaha menyeruak tindihan hawa dingin dari atas dan bawah. Bahkan akhirnya sosok kedua orang ini ditutupi oleh kobaran api. Tentu saja keduanya tidak merasakan panas karena ini adalah kekuatan dari mereka sendiri. Kobaran api itu untuk melindungi diri dari hawa dingin yang menyerang. Sementara itu wanita berpakaian dan bercadar hitam menarik nafas lega setelah adanya hawa dingin dari bawah dan langit tampak meredup. Dia tidak perlu mengerahkan tenaga lebih banyak lagi seperti sebelumnya. Yang ditunggu-tunggu sepertinya telah tiba.
Kupra berpindah tempat, meloncat ke atas atap. Kedua tangannya diputar-putar. Kepalanya terus mendongak ke langit. Dia mengerahkan kekuatan apinya lebih besar lagi. Seketika di seluruh tempat sampai ke pelosok desa diselimuti hawa panas terik bagai di siang hari di musim kemarau. Bahkan tidak terasa sedikit pun semilir angin yang memberikan kesejukan. Perubahan cuaca ini dirasakan dampaknya pada mereka yang tengah bertempur baik anak buah Kupra sendiri atau pendekar golongan putih. Apalagi warga desa yang merupakan orang biasa tidak memiliki kepandaian apa-apa. Mereka merasakan seperti dipanggang. Banyak yang langsung berlari menuju sungai agar tidak kepanasan. Di dalam ruang bawah tanah, Iblis Petir merasakan hawa panas yang disebarkan muridnya itu. "Sepertinya muridku mendapat lawan yang berat. Aku harus membantunya. Kau tetap di sini, kalau kau keluar maka tubuhmu akan seperti dipanggang api sangat panas!"
Hampir semua anak buah yang dibawa Kalacakra akhirnya tewas. Sedangkan yang tersisa tidak kuat lagi menahan gigitan racun dari dalam tubuh sehingga ambruk dengan sendirinya. Termasuk Kalacakra, kini dia terdesak hebat. Tongkat Ki Hanggareksa yang bisa memanjang dan memendek sudah berkali-kali memberikan luka di tubuhnya. Awalnya memang bisa menahan dengan tenaga dalam yang ada, tapi lama-lama tenaganya melemah juga. Apalagi Ki Hanggareksa menghantamkan tongkatnya ke bagian yang berbahaya. Takk! Bukk! Bukk! Senjata cakra yang terbang sudah entah ke mana hilangnya. Senjata yang satunya pun bisa dikatakan tidak berguna lagi. Hanya benda yang digenggam di tangan saja, tapi tak bisa memberikan perlawanan. "Kalian licik!" seru Kalacakra menyadari kalau dia terkena racun, walau tidak tahu siapa dan bagaimana cara racun itu masuk ke tubuhnya. "Ah, baru sekali ini saja. Kalian sendiri melakukan kelicika
Mereka berlima ditambah Lasmini berkumpul di ruang pertemuan. "Sepertinya kelompok aliran putih sudah mulai menyerang," duga Soca Srenggi, ketua perguruan Elang Setan. "Mata-mata melaporkan mereka memang sudah bergerak, tetapi mendadak lenyap begitu saja setelah dekat dengan desa ini," sambung Kalacakra, ketua perguruan Gunung Sindu. Sementara dari tadi Kupra memperhatikan langit yang gelap, tetapi dia tampak tenang saja walau hatinya bertanya-tanya karena hal yang aneh ini. "Saat ini aku hanya menantikan Panji. Apa mungkin dia sudah bisa mengendalikan hujan atau air. Atau mengendalikan angin untuk membawa hujan?" batin Kupra. Lalu datanglah salah satu anggota melaporkan bahwa memang kelompok golongan putih sudah mengepung desa. Ini sungguh mengejutkan karena pergerakan golongan putih tidak terdeteksi ketika sudah dekat ke markas mereka. Akhirnya Agnibali memerintahkan keempat wakilnya untuk me
Parwati menoleh dan langsung kaget. Begitu juga Wirapati yang masih berendam di sungai langsung melesat ke samping Istrinya. Sepasang suami istri ini memang sedang dalam perjalanan menuju desa Rancawaru yang menjadi markas Laskar Raja Api. "Mau apa kau?" sentak Wirapati seraya langsung menyiapkan tenaga sakti. Tentu saja karena sekarang Kupra bukan yang dulu lagi. Sekarang Kupra menjadi pemimpin Laskar Raja Api. "Mau mengambil Parwati!" kata Kupra lantang dengan sorot mata tajam mengancam Wirapati. "Sejak pertama kali melihat dia, aku sudah jatuh hati. Sekarang ada kesempatan untuk membawanya tinggal bersamaku!" "Setan keparat, lancang!" umpat Wirapati. Kupra tertawa lantang sambil melepas hawa sakti panas guna menekan Wirapati. "Sekarang tidak ada lagi yang aku takutkan. Aku bisa membunuhmu semudah membalikkan telapak tangan. Aku adalah penguasa rimba persilatan. Yang kuat yang berkuasa!"
Amoksa langsung berkelebat dan berdiri di samping Lasmini. Gadis ini baru saja mengeringkan badan beserta pakaiannya menggunakan hawa saktinya. "Memangnya siapa dia sampai-sampai kau seperti melindunginya?" "Dia Lasmini putrinya Ki Rembong!" Belasan laki-laki itu langsung berubah sikap. Mereka membuang hasratnya yang tadi ingin menikmati tubuh Lasmini. Tentu saja karena tidak ingin kena semprot wakil ketua yaitu Ki Rembong. Mereka langsung memberi jalan ketika Amoksa hendak membawa Lasmini ke markas. Tiba di markas Amoksa menyuruh salah seorang untuk melaporkan bahwa Lasmini telah ditemukan. Tentu saja Ki Rembong sangat gembira mendengar kedatangan putrinya. Lasmini langsung disambut dan dibawa ke ruang utama bertemu dengan Ketua Agnibali. Pada saat itulah Kupra terbelalak matanya begitu melihat keanggunan Lasmini. Si gadis mencoba bersikap santun sebagaimana layaknya menghadap s
Ki Abiasa menarik napas sebelum berkata. "Kalau Eyang Resi sudah memerintahkan, apa lagi yang saya cemaskan. Saya sangat yakin dengan keputusan Eyang. Baiklah, saya akan membawa mereka segera bertindak." Hawa sakti berputar-putar di dalam ruangan menghasilkan tiupan udara lembut, lalu perlahan menghilang pertanda seseorang yang dipanggil Eyang tadi juga sudah pergi. Ki Abiasa menghembuskan napas lega. "Akhirnya Eyang Resi Kuncung Putih datang juga!" Tidak menunggu lama lagi, segera Ki Abiasa mengumpulkan empat murid Resi Kuncung Putih dan para pendekar lain yang sudah berkumpul di padepokan. ***000*** Malam hari sebelum Lasmini berangkat. Sepasang kekasih ini sudah diberikan kamar khusus untuk mereka. Walaupun belum terikat pernikahan, tetapi hubungan mereka sudah terlalu dalam. Sebelum Radika pulang dan sebelum Lasmini datang ke sini saja, mereka sudah sangat intim bag
Ada empat perguruan aliran hitam yang sudah bergabung dengan Laskar Raja Api yang diketuai oleh Kupra alias Agnibali. Selain perguruan Cengkar Wulung dan Oray Hideung ditambah perguruan Gunung Sindu yang dipimpin Kalacakra dan perguruan Elang Setan yang diketuai oleh Soca Srenggi. Laskar Raja Api menduduki sebuah desa yang akan dijadikan markas. Desa Rancawaru jadi sasaran karena tempatnya yang strategis, jauh dari desa-desa di sekitarnya dan juga subur. Ki Kuwu beserta perangkat desa sampai sesepuh dibunuh tanpa ampun. Balai desa dijadikan pusat markas. Penduduk desa juga menjadi sasaran kesemena-menaan mereka. Yang laki-laki dipaksa menjadi budak yang harus bekerja melayani segala keperluan mereka. Para wanita yang masih layak sudah pasti dijadikan pemuas nafsu. Sedangkan anak-anak dan orang yang sudah tua renta dihabisi karena tenaga mereka dianggap tidak berguna. Situasi yang mengerikan di