"Silahkan, Pak." ucapku seraya menaruh minuman kaleng dan dua potong brownis diatas meja."Kamu tinggal disini, sendiri?" tanya Pak Mahesa sambil mengamati apartement milikku."Iya ..." jawabku sambil menjatuhkan tubuh di atas sofa tepat di depannya."Sudah lama?""Lumayan, tapi sebentar lagi saya pindah dari sini." sahutku."Kenapa?" alis itu nampak menaut."Saya tidak bekerja, jadi tak ada uang untuk bayar sewa." jawabku. Pak Mahesa menatap sekilas, lalu mengalihkan pandangan."Kenapa tidak balik kerja di kantor lagi, dari pada disini tidak ada kerjaan," ucapnya."Untuk apa kembali kekantor? Untuk melihat kemesraan, Bapak bersama istri? Aah ... menyakitkan," desahku sambil menyenderkan tubuh. Wajah aku buat sesedih mungkin, demi manarik simpatinya."Kamu tak suka dengan istri saya?" tanyanya. Aku hanya tersenyum kecut menanggapinya.Tentu aku tidak suka, istrimu menghalangi langkahku!"Ada perlu apa repot-repot mampir kesini?" ucapku sambil mengambil toples cemilan di bawah meja, la
"Jangan galak-galak dong cantik, mari kita bersenang-senang dulu ..." ucapnya dengan tatapan mesum sambil menyorot bagian sensitifku.Aku tersentak kaget, saat tangan kasar salah satu dari mereka meraih dagu ini.Refleks aku menghindar, lalu mundur beberapa langkah."Cantik ..." kekehnya sambil melempar pandang pada teman penjahatnya."Dia benar-benar cantik. Menang banyak kita." bisik manusia berwajah seram itu. Tatapan mereka begitu aneh, keduanya bahkan mengecap bibir sendiri."Dari jauh sudah wangi ... gimana dalamnya." sambungnya dengan senyum menyerigai.Laki-laki berambut plontos itu terkekeh, lalu berjalan mendekatiku."Pergi!!" teriakku sambil terus memundurkan langkah."Pergi kemana? Enak disini temani kamu. Haha ...."Tatapan mereka semakin liar, gelak tawa keduanya memenuhi ruang sempit ini."Mereka bilang kamu ahlinya memuaskan laki-laki," ucap laki-laki dengan brewok yang memenuhi rahannya."Aku jadi penasaran," kekeh si rambut plontos.Jantungku semakin berdetak tak kar
"Cepat bantu aku," ucap seseorang. Kemudian tubuhku terangkat dengan pelan dan hati-hati.***OfdMata terbuka pelan, kepala langsung berdenyut sakit saat kesadaran mulai kembali. Samar terdengar suara orang bicara diluar kamar yang aku singgahi ini. Aku langsung memijat pelipis, sambil meringis menahan sakit.Agrh ....Kandung kemihku terasa penuh, dengan susah payah aku beringsut menuruni tangga. Suara orang berbincang semakin jelas, perlahan aku membuka pintu."Permisi ..." ucapku kikuk saat sudah keluar. Ada tiga laki-laki remaja, dan satu perempuan tua. Berkumpul diruangan."Eh ... sudah bangun?" Perempuan tua itu menatap hangat lalu berjalan kearahku. Semua mata kini tertuju padaku."Mau kemana?" tanyanya."Mau pipis, Buk." jawabku."Ayo, Ibu antar ..," ajaknya lalu berjalan mendahuluiku. Remaja yang berkumpul menatap kasihan kearahku, tersenyum tipis saat melihat aku menganggukkan kepala pada mereka."Maaf ya ... rumahnya pabalatak," ucapnya ramah. "Silahkan ..." sambungnya samb
"Hukum istrimu Mas, dia sudah menyiksa aku dengan sangat keji." Pintaku dengan deraian air mata.Mas Mahesa bergeming ditempat, sorotnya menyimpan kesedihan."Tapi kamu baik-baik saja kan?" tanyanya.Aku menggeleng lemah. "Aku takut Mas, bayangan para penjahat itu menyiksaku terus teringat dikepala. Aku sangat takut ..." aku berucap sambil terisak pilu, berharap Mas Mahesa mau menuruti keinginanku."Aku yakin Diana pelakunya ... dia sudah tahu tentang perselingkuhan kita. Dan dia marah besar padaku," ucapku bersungguh-sungguh."Tapi Diana bersikap biasa saja, tak ada yang berubah dari dirinya," bantah Mas Mahesa, membuatku kesal."Dia cuma pura-pura, Mas ... aku yakin semua kesialan yang menimpaku belakangan ini adalah ulahnya," semburku murka. Aku benar-benar kesal dengan perempuan tua itu. Aku yakin dialah dalang dari semua masalahku.Mas Mahesa masih bergeming, ucapan yang keluar dari bibirku seakan tidak tercerna olehnya."Pulang sana, Mas ..." desahku sambil melepaskan pelukan la
Tubuhku semakin lemas, saat sedang mandi membersihkan badan tubuhku langsung ambruk dengan pandangan yang semakin gelap.***Ofd.Mata terbuka pelan, tempat asing berwarna putih dengan aroma obat menguar diindra penciuman. Kepala berdenyut ngilu, ditanganku sudah terpasang selang infusan.Mwngejrapkan mata berulang kali, tak ada siapapun disini, aku ada dimana? Mengapa aku bisa ada ditempat ini?Beragam pertanyaan menumpuk di kepala, membuat semakin pusing untuk sekedar menoleh kekini dan kanan. Kembali aku menutup mata meski telinga mendengar suara kecil yang ada di dalam ruangan.Tak lama suara pintu terbuka, kupaksa membuka mata meski berat. Samar aku melihat laki-laki berbadan tegap memasuki ruangan, ditemani dua orang perempuan berseragam senada."Pasien masih belum sadarkan diri ya?" tanya Dokter laki-laki yang masih muda dan terlihat tampan itu."Eh ... pasien sudah membuka matanya Dok?" suster berwajah imut menelisik wajahku. Aku tersenyum tipis, mengisyaratkan sudah sadar dari
Tatapannya kini beralih pada perempuan gila itu, bukannya segera menolong. Mas Mahesa hanya diam ditempat dengan tubuh seakan membeku."Mas ... kenapa diam! Usir perempuan gila ini," sentakku menyadarkannya."Eh ..." Mas Mahesa terlonjak mendengar suaraku."Mas!!""I-iya ..." aku mendicih sinis, kenapa Mas Mahesa seperti orang bodoh. Dia terlihat menggaruk tengkuk lehernya, menatap takut pada sosok preman didekatku.Perempuan gila itu tersenyum miring, menatap Mas Mahesa dengan dingin. Siapa sebenarnya perempuan ini, kenapa Mas Mahesa diam saja?Dengan susah payah aku bangkit, dan berjalan menuju Mas Mahesa."Telpon Polisi sekarang, Mas. Dia sudah menganiaya aku," titahku di balas dengan senyum kecut oleh Mas Mahesa."Mas ... iish," aku mengguncang lengannya."Telpon dong, Mahes ... jangan diam saja, sekalian bawa jendral kesini. Tanggung kalau cuma Polisi," ucap perempuan gila itu dengan senyum mengejek."Mah ..." liris, calon suamiku.Aku menautkan alis, Mas Mahesa nampak meneguk sa
Pov Diana.Selepas anak-anak pergi sekolah dan Mas Mahesa berangkat kerja, aku bergegas menuju garasi. Melajukan mobil dengan kecepatan sedang, tujuanku pergi kerumah Mamah mertua.Aku ingin mengeluhkan tentang sikap Mas Mahesa selama ini. Akan aku terima segala petuahnya, bagiku mertua adalah orangtuaku sendiri. Aku yakin mereka akan memberi nasihat yang bijak, seperti masalah sebelumnya."Hei ... kok datang tidak mengabarkan?" Mamah Hana tersenyuma manis, menyambut kedatanganku."Maaf Mah, tidak sempat. Mamah lagi sibuk?" Tanyaku setelah mencium tangan dan mencium kedua pipinya."Tidak juga, Mamah free hari ini," jawabnya sumringah. "Ayok masuk, kita ngobrol di dalam," ajaknya sambil mengamit lenganku.Aku dan Mamah memang cukup dekat, kami mempunyai hobi dan selera yang sama itulah yang menyebabkan kami menjadi lebih akrab."Si Tuti bikin pizza, cobain, Di." Mamah menyodorkan pizza dengan toping sosis dan daging dengan lelehan mozarela diatasnya."Gimana, Nyonya?" tanya Tuti, asist
"Ini siapa ya?" tanyanya."Saya Diana, benar ini dengan nomer Mbak Larissa?" jawabku tegas."Benar ...." sahutnya. Bibirku melengkung tipis, untuk beberapa detik aku terdiam. Memikirkan harus memulai pembicaraan dari mana."Maaf, Diana siapa ya?" suara Larissa terdengar."Eh iya Mbak, saya ... saya ada perlu dengan Mbak Larissa. Bisa kita bertemu?" aku menggigit bibir, mencerna kata-kataku sendiri."Bertemu? Apa sebelumnya kita pernah kenal?" tanyanya."Kita memang belum pernah kenal, tapi saya membutuhkan bantuan Mbak Larissa," jawabku."Butuh bantuan?" nadanya terdengar heran."Maaf saya sibuk.""Ini masalah, Hella," ucapku kemudian, sebelum Mbak Larissa memutuskan sambungan. Dia pasti berpikir, aku seorang penipu, yang butuh bantuan uang. Larissa terdiam, aku memeriksa gawai. Detik panggilan masih berjalan."Hella? Hella siapa?" tanyanya."Hella ... Perempuan yang sudah merusak keluarga Mbak," jawabku.Terdengar helaan nafas dari, Larissa."Maaf, saya tidak ada urusan dengan mereka