"Mbak, tunggu sebentar." seru Wulan sambil jalan tergesa menyusulku. "Ini buat ongkos, maaf ya hanya sedikit." ucapnya sambil menyelipkan lembaran uang berwarna hijau ditanganku.Aku hanya mengangguk, lalu berterimakasih meski hati ini dongkol luar biasa.Bagaimana mungkin, orang seperti Wulan yang punya rumah bagus dan mobil mewah memberiku uang hanya dua puluh ribu saja.Yang benar saja, pelit sekali, bukan?"Hati-hati ya. Saya doakan, semoga Mbak Hella bisa menemukan jalan keluar." aku hanya tersenyum kecut, lalu mengangguk dengan pelan.Mata menoleh sendu kearah rumah Mbak Rissa, berharap pintunya terbuka lalu Dila berteriak memanggil namaku. Namun nihil, hampir lima menit aku berdiri didepan rumahnya, takku lihat Dila keluar dari pintu."Sudah ... jangan berharap sama manusia seperti itu. Doakan saja, semoga Rissa cepat sadar diri. Syukur-syukur kena azab." ketus Wulan, saat melihatku yang masih menatap rumah Mbak Rissa."Saya masuk dulu," ucapnya saat suara teriakan terdengar me
"Gimana, hhhm?" Lagi-lagi aku bergidik, saat kepalanya mendekat kewajahku. Sorot matanya melihatku dengan tatapa penuh dengan nafsu, membuat jantung ini bergenderang dengan kuat. Suara kekehan terdengar, Pak Jaya tertawa melihat ekpresiku. "Jangan terlalu tegang, aku tidak ingin memaksa. Aku ingin semua hal dilakukan atas dasar saling suka. Tidak ada paksaan atau apapun itu," lirihnya ditelinga. "Aku hanya ingin bernegoisasi padamu, jika mau aku akan menanggung biaya hidupmu juga Hamdan. Kalau tidak, aku tidak masalah." lanjutnya. Kini kepalanya sedikit menjauh, namun sorotnya tetap saja menikamku dengan lekat. "Sekarang makanlah, untuk melayaniku kamu butuh tenaga, bukan?" Saliva terasa menggumpal ditenggorokan, keringat dingin bercucuran saat tangannya membelai rambut hingga wajahku. Aku berada dalam posisi yang sangat sulit, seakan tidak bisa pergi atau menolak keinginannya. "Pak ..." lirih suaraku, tertelan rasa gugup. "Tidak bisakah, kamu menganggapku sebagai ana
Pov Larissa."Siap, Pak. Saya pasti datang." jawabku mantap.Aku tutup sambungan telepon dengan dada berdebar, tak terasa sidang tuntutan sudah diujung mata.Bismillah ... semoga langkahku benar, dan kehidupanku kedepannya akan jauh lebih baik."Sa ..." Tania menepuk pelan pundak, repleks aku menoleh dan mengangkat dagu."Ada yang nyariin tuh, di loby," ucapnya."Siapa?" tanyaku seraya mengantungi gawai disaku blazerku."Orangtua, kayanya mertua lu deh," Tania nampak berfikir."Mertua?" Tania mengangguk mantap."Seiingat gua sih, iya. Soalnya gua ga nanya, lagi buru-buru tadi." jawab Tania seraya berbalik badan menuju kursi kerjanya.Kuhembuskan nafas panjang, memandang gawai yang penuh dengan panggilan Ibu mertua. Sejak kemarin, aku memang mengabaikan panggilannya. Aku tak mengira Ibu akan datang kekantor tempatku bekerja.Mau tidak mau, aku menemui beliau. Kebetulan pekerjaanku sudah selesai hanya menunggu bel pulang saja.Langkah demi langkah menelusuri lorong, hati sudah tak enak,
Pov Author.Dengan perasaan jengkel, Hanum menarik tangan Jaya. Hatinya begitu kesal, mulutnya bergerak-gerak merutuki sikap egois menantunya.Sementara Rissa, hanya mematung ditempat. Menyesapi hati yang semakin tersayat-sayat."Rissa itu sombong, kita sudah bicara baik-baik. Dia seperti semakin besar kepala." Hanum menghentikan langkah saat keluar pintu utama, menormalkan detak jantung yang berdetak dengan ngilu.Rudi ... seburuk apapun dia, tetap anak kandungnya. Tidak rela, jika Rudi mendekam dipenjara hanya karna masalah rumah tangga saja.Baginya kesalahan, Rudi tidak begitu fatal. Rudi hanya tersesat dan main-main, itu saja."Sebagai istri, seharunya dia sedikit mengalah. Toh semua sudah terjadi, Rudi sudah menyesal dan minta maaf berkali-kali. Maunya apa sih," sambungnya sambil memegangi dada. Hati begitu panas, mengingat penolakan Rissa.Jaya mengusap-usap punggung belakang, Hanum mencoba menenangkan. Pasalnya banyak orang yang keluar masuk pintu, menatap heran kearah mereka.
"Dek, lihat nih." Wisnu begitu semangat menyodorkan gawai pada Ika.Ika yang masih setengah hati menerima kehadiran Wisnu, hanya mendengkus, tak menanggapi.Wisnu menghela nafas sedikit kesal, lalu menaruh gawai tepat didepan wajah istrinya."Lihat dulu ..." paksanya."Kenapa sih." Ika merengut."Ini, Mas Rudi kan?" ujarnya. Ika menatap lurus kearahnya dengan pandangan tak suka, meraih gawai lalu melihat layar."Apaan sih, ganggu aja." cebik, Ika sambil melihat layar.Wisnu tersenyum miring, saat melihat Ika melebarkan mata melihat isi video didalam layar."Hot juga ya, Mas mu itu." cibir Wisnu. "Aku dengar saat ini dia dipenjara, dilaporkan sama istrinya sendiri, Mbak Rissa." cecar Wisnu dengan suara yang begitu ringan, menyudutkan Ika.Nafas Ika tercekat, dia memandang kearah, Wisnu dengan tatapan tak percaya."Pantas saja, sudah seminggu kamu melahirkan dia tak datang menjenguk anak kita. Mbak Rissa pun, hanya sekali datang itu pun di rumah sakit." ucap Wisnu dengan fikiran meneraw
Pov Larissa."Dila, kenapa Bik?" tanyaku saat memasuki rumah, alis menaut saat melihat Dila yang terduduk dengan wajah lesu."Tidak tahu, Neng. Sejak pulang sekolah sudah murung begitu. Ditanyain, cuma geleng kepala saja." jawab Bik Narti, tangannya sibuk menaruh segelas es jeruk dan cemilan diatas meja.Aku hela nafas panjang, pandangan masih tertuju pada gadis kesayanganku."Kamu kenapa sayang?" tanyaku pelan, sambil menaruh bobot diatas sofa, tepat disampingnya.Dila menghembuskan nafas panjang, pandangannya perlahan menoleh kearahku."Hemm?" aku membelai rambutnya penuh kasih, menunggunya berbicara."Mah ... emang benar ya. Ayah sekarang ada di penjara?"Nyeees!Hatiku langsung berdenyut ngilu mendengarnya.Aku dan Bik Narti saling beradu tatap, wajahku tegang dengan perasaan yang begitu was-was."Ayah, lagi kerja." kilahku berusaha tersenyum. Dila menunduk tak bersemangat, hatiku menjadi ketar-ketir dibuatnya."Kerja di penjara?" ulangnya menatap sedih."Dila tahu, penjara itu ap
Hati begitu perih, melihat perlakuannya padaku. Namun aku mencoba tegar, dan meyakinkan hati untuk memenangkan kasus ini.Mas Rudi ... dia harus bertanggung jawab bukan?"Tenang, tarik nafas ..." Ryan berbicara saat aku menoleh kearahnya, aku tersenyum tipis sambil mengatur nafas mencoba untuk tenang.Pak Hakim, dan jajarannya sudah mulai berdatangan menduduki kursinya masing-masing. Hatiku kembali gundah, menengok kearah pintu berharap Buk Yuyus dan tetangga yang lain muncul dari sana."Bisa kita mulai?" wakil Hakim bersuara, semua orang mengangguk pun dengan diriku."Siap, Pak." serempak suara memenuhi ruangan.Pak Hakim dan jajarannya mulai membuka mapnya masing-masing, tubuhku sudah menegang dengan keringat dingin yang bercucuran di kening hingga wajah."Saudara, Rudi Sanjaya. Benarkah anda sudah melakukan kekerasan pada saudari, Larissa. Istri anda sendiri?"Mas Rudi menegakan badan, raut tegang tergambar jelas diwajahnya."Tidak, benar Pak Hakim." sahut Mas Rudi dengan suara lan
Benarkah itu kamu, Mas. Bukankah, kamu selalu mengajariku kejujuran. Tapi mengapa sekarang ...Huhh ... nafas ini tersembur panjang. Aku semakin yakin, untuk mengakhiri pernikahan kami."Anda yakin, Pak Rudi?" tanya Hakim ketua."Iya, saya yakin," balas Mas Rudi."Astagfirulloh ..." lirih, aku mendengar suara panjang Ibu Yuyus. Pandangan kami bersibobrok, Bu Yuyus menatap nanar kearahku."Ehm ... saya tidak menyangka, anda senekat ini, Pak." Buk Yuyus bersuara. "Pak Rudi tahu, resiko bersumpah dengan alquran, sementara Pak Rudi dalam keadaan berbohong?" Buk Yuyus melontarkan tanya.Mas Rudi hanya diam, nafasnya terlihat berat."Saya hanya menyetujui permintaan, Ibu Yuyus." desah Mas Rudi.Aku tak sanggup berkata-kata, hanya meraba hati yang semakin bergemuruh."Iya, baik. Jika memang, Pak Rudi menyetujuinya. Saya harap anda tidak menyesali keputusan ini." jawab Buk Yuyus dengan senyum kecut.Kulihat wajah Ibu mertua sudah memucat, terlihat gelisah meremas-remas ujung hijabnya. Aku han
Pov Larissa."Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih sayang serius banget?" Mas Bagas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Bagas dengan wajah prihatin."Aamiin ..." aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada di dalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Hella terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya D
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ....Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai ..." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Larissa semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapny
Pov Hella."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahku
Pov Hella."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck ..." laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak pikiran. Bebaskan saja, jangan di pendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berpikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak pikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu b
"Mati saja kau, Buk. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ...."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru m
"Mas ...."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu ..," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf
ByurrrLimpahan air menerjang wajah, aku tergelagap dengan nafas terengah-engah."Hm ... saya bilang apa? Dia terlalu manja, dikit-dikit pingsan!" cibir seorang petugas wanita sambil berkacang pinggang.Dengan kasar, aku menyeka sisa air yang menempel diwajah. Hatiku pilu diperlakukan serendah ini."Bersihin sisa airnya! Jangan manja. Atau saya pindahkan ketahanan yang penghuninya sapleng semua." ketusnya dengan senyum miring menyerigai.Tubuhku benar-benar lemas, mata berkunang saat mencoba bangkit dari atas lantai."Cepeeet. Lelet banget!" Petugas bermana Mira itu menarik kasar, lalu mendorong keras tubuhku hingga mendarat kencang disudut tembok."Lelet!!" cebiknya sembul meninggalkan ruang tahananku."Dia emang terkenal brutal. Ga punya perasaan. Kalau dia lagi kontrol, jangan sesekali memasang wajah sakit. Dia ga suka," jelas Ira tanpa aku minta.Aku hanya diam, mata memanas menahan bulir air mata."Sana ganti baju, nanti masuk angin." titahnya, sok perhatian.Aku mengangguk pelan
Pov Diana.Suara bel rumah mengusik ketenanganku dengan Mas Mahesa. Aku segera beranjak dari sofa berjalan untu membuka pintu utama."Mah ..." Aku tersenyum tipis saat melihat kedatangan Mamah Hana."Kurang ajar sekali perempuan liar itu, bukti sudah di depan mata. Masih saja berkelit-kelit," gerutunya sambil berjalan melewatiku. Aku yang mengerti maksud ucapannya, hanya bisa mengekori dari belakang."Nasib Mamah buruk sekali bisa bertemu dengan orang seperti itu, Di." Keluhnya sambil menjatuhkan tubuh diatas sofa."Gimana, Mah. Sidangnya?" tanya Mas Mahesa sambil melipat koran yang tadi dia baca, lalu menaruhnya dibawah meja."Nyebelin!" sembur Mamah. "Ngeles saja kaya belut. Kesel banget Mamah," gerutunya."Ngeles gimana, Mah?" tanyaku penasaran."Dia masih tidak mau ngaku. Padahal ada saksi mata, Dokter yang kemarin itu, dia sudah meluangkan waktu untuk datang di persidangan pagi tadi." jawab Mamah panjang lebar.Mas Mahesa menyimak dengan antusias, sesekali dia mimijat pelipisnya.