Persendianku begitu lemas, pupus sudah harapan untuk hidup kembali bersama Rissa. Rissa tersenyum miring saat meraih map dari tangan Bapak, sementara Bapak masih tertunduk enggan menengok kearahku. Melihatnya aku semakin muak, Bapak benar-benar mempermainkan aku. Aku masih ingat betul, dimana saat Bapak mengajari tentang mendidik istri yang mulai membangkang. Aku bahkan masih ingat, dimana Bapak berbicara agar aku memukul Rissa, jika Rissa mulai tak patuh padaku. Aku merasa dipecundangi! "Pak ..." suara familiar terdengar, aku menoleh lemas. Terlihat Ibu datang sambil menenteng plastik belanjaan. "Bu," Bapak sangat bersemangat, dia langsung mendekati Ibu dan memeluknya. Mata Ibu terlihat berkaca-kaca, sedetik kemudian air matanya mengalir dengan deras. Entah mengapa aku tak terharu sama sekali, yang ada aku malah semakin jengah melihat keduanya. "Rissa, trimaksih Nak. Maaf sudah merepotkanmu," lirih Ibu dengan tatapan lembut. Rissa hanya mengangguk, sambil tersenyu
"Ya Alloh ..."Jaya yang begitu cemas langsung berlari tunggang langgang keluar rumah, meminta pertolongan."Nayaa ... Ferdi!" seru Jaya ketakutan didepan rumah tetangganya. Gedoran pintu terdengar bertubi-tubi, membuat siempunya rumah keluar dengan jalan terpogoh-pogoh."Ada apa, Pak? Kenapa?" tanya Ferdi setengah sadar, jantungnya berdegup kencang, kaget dengan gedoran keras yang terasa menghujam dadanya."Tolong saya," Jaya menatap gemetar tetangganya. "Istri saya pingsan, nafasnya tidak ada!" ucap Jaya ketakutan setengah mati, hatinya bagai diremas-remas. Takut hal buruk menimpa pada Hanum."Astagfirulloh ..." Ferdi terperangah, rasa cemas kini mulai bergelayut didadanya."Kenapa, Mas?" Naya yang keluar dari kamar menatap Ferdi dan Jaya bergantian."Ayok, kita bawa kerumah sakit, Pak." ucap Ferdi tanpa menjawab pertanyaan istrinya."Kamu tunggu disini aja, Mah. Aku mau kerumah Bu Hanum." titah Ferdi pada istrinya.Dengan langkah tergesa keduanya memasuki rumah, menerobos masuk ked
Jaya mematung ditempatnya, menatap nanar kearah Ika yang memandang Wisnu dengan tatapan bengis. Emosi Ika kembali tersulut, melihat Wisnu yang menggeleng lemas dengan pandangan tak nyaman menatap Jaya. Seolah mengisyaratkan agar Ika tak banyak bicara pada Bapaknya."Kenapa? Kau malu?" cibir Ika. Wisnu menundukkan kepala diiringi nafas panjang.Malu? Ya. Itu benar. Wisnu sangat malu, dia merasa terhina dihadapan mertua. Pun Wisnu cemas, takut kalau Jaya akan menyeret dan menghajarnya ditempat. Meski semua itu memang pantas dia dapatkan."Setelah Dokter mengizinkan aku pulang, secepatnya aku akan menggugat cerai." ucap Ika. Wisnu seketika mendongkak, tak menjawab hanya menyorot Ika dengan tatapan penyesalan.Sungguh, hatinya teramat gusar. Mengingat Wisnu, yang masih sangat mencinta Ika.Ingin sekali menjelaskan bahwa dia hanya main-main. Tapi rasanya percuma, hanya akan kembali memicu emosi Ika."Ka ..." Jaya membuka suara. Ika menoleh, wajahnya terlihat datar namun sorotnya terlihat p
Santi menangis pilu melihat Wisnu dipapah oleh security, tubuhnya masih bergetar mengingat kejadian kekerasan didepan matanya.Jaya menatap sinis, menyentak pakaiannya lalu berjalan dengan hati puas menuju kamar inap Hanum."Dari mana saja, Pak." Hanum langsung melempar tanya saat Jaya menduduki kursi disamping ranjangnya."Dari kamar, Ika." sahut Jaya sambil menormalkan detak jantung. "Kamu belum tidur?" tanya Jaya, bibirnya melengkung tipis mencoba bersikap sewajarnya.Hanum menghela nafas, mengingat Ika, dadanya kembali terasa sesak."Ika bilang dia mau cerai," lirih Hanum, hati berderit pilu meraba sakit hati yang diderita putrinya. Jaya yang mendengar langsung menoleh, wajah terlihat kaku dengan kening yang mengkerut."Kasihan, Ika dan anaknya ..." desah Hanum dengan suara tertahan, wajah begitu lelah, ketara sekali sedang banyak fikiran."Menurutmu gimana, Pak?" tanya Hanum.Jaya bergeming, lidahnya mendadak sulit digerakan.Hanum menghela nafas panjang, menepuk pelan dada agar
Bugh!!Bugh!!Rudi menghantam tembok dengan kepalan tangannya, emosi yang terlalu besar membuat hatinya panas terbakar.Dia merasa terhina, bodoh dan sangat marah dengan keadaan. Andai tubuhnya tidak terkurung, sudah pasti Rissa lah yang menjadi sasaran kemarahannya."Siall!!" maki Rudi dengan geram. Amplop yang ada ditangannya mengumpal diremas secara kasar."Anj**ng!! Perempuan sialan. Sok cantik! Belagu!!" nafas Rudi menggebu-gebu, dilemparnya gumpalan amplop itu kesembarang arah tanpa membaca isi yang ada didalam kertas.Rudi kembali menghantam tangannya dengan tembok, tak peduli dengan rasa sakit dan perih yang menjalar atau darah yang bercucuran keluar dari buku-buku yang ada disela tangannya."Brengsek kamu Rissa ... awas saja kalau aku bebas. Aku cekik batang lehermu!" geram Rudi begitu murka. Kemarahan tergambar jelas disorot matanya."Heh! Berisik!" sentak petugas yang kebetulan lewat didepan sel nya. Mata Rudi mendelik, melotot tajam kearah petugas."Elu yang berisik!" bala
"sayang, anak Bunda." Hella mengulurkan tangan meraih Hamdan yang duduk menangis sesegukan."Kita berobat sekarang ya," lirihnya sambil mengambil gendongan, lalu meraih dompet berwarna pink yang ada diatas kursi, lalu memasukkannya kedalam tas kecil.Hela bertekad akan mencari keberadaan, Rissa. Tapi sebelumnya dia akan kerumah orangtua Rudi, untuk meminta sedikit uang.Yah, memalukan memang. Tapi dia tak punya pilihan. Dari pada anak sakit dan kelaparan, itu jauh lebih menakutkan.Meski baru dua kali menginjakkan kaki dirumah Hanum, Hella dapat mengingat jalan untuk kembali kerumah itu. Hella sudah menguatkan mental, berjaga-jaga jika nanti Hanum akan menyemprotnya dengan kata-kata kasar."Pak, beli obat panas untuk anak dua tahun." ujar Hella didepan apotek. Kebetulan didepan gang kontrakan ada ruko apotek, berjejer dengan toko sembako dan perabotan."Merek apa, Mbak?" tanya laki-laki setengah baya dibelakang etalase."Adanya apa, Pak? Yang murah tapi bagus?" Hella balik bertanya."
"Kembaliannya jangan diambil. Itu buat beli sayuran besok," pesan Hanum. Jaya mengangguk senang, lalu meraih uang itu dan berjalan keluar rumah.Hatinya berbunga-bunga, tak sabar ingin menengok wanita cantik yang sedang menunggunya dikontrakan.Jaya menepikan motor dihalaman kontrakan, suasana cukup sepi karna langit mendung dan rintikan hujan mulai membasahi tanah. Jaya berlari kecil kearah kontrakan Hella, sambil menenteng beberapa plastik berisi makanan yang dibelinya dipinggir jalan.Mengibaskan pundak yang terkena cipratan air hujan, merapihkan kemeja agar terlihat semakin rapih. Sungging senyum tak lepas dari bibirnya.Jaya mengucap salam sambil mengetuk pintu, menoleh kejendela sambil merapihkan rambut yang sedikit basah berantakan."Eh, Bapak. Masuk, Pak." ucap Hella saat membuka pintu, kakinya melangkah mundur memberi jarak agak Jaya bisa masuk kedalam rumah.Pintu dibiarkan terbuka oleh Hella, agar terlihat lebih tenang dan sejuk, karna didalam kontrakan hanya ada kipas angi
Hella masih bergeming ditempat, matanya menyorot nanar memandang kepergian laki-laki berusia 60 tahun tersebut.Menutup pintu dengan tergesa, tubuhnya bergidik jijik dengan tangan mengibas-ngibas kasar bokong sintalnya.Mata Hella memanas, jantungnya masih berdebar-debar dengan cepat."Astagfirulloh ..." kalimat Tuhan, akhirnya keluar dari bibir. Hella terguncang dengan air mata mengalir sambil mendekap erat tubuh Hamdan."Huhu ..." tangisan Hella, terdengar menyayat hati. Fikirannya langsung tertuju pada, Rudi.Aah ... mengapa sehina ini?Dalam hidup, tidak pernah Hella dilecehkan dan direndahkan. Persendiannya begitu lemas, dengan hati yang teramat sakit."Mas ... ya Tuhan."Tubuh Hella menggigil kuat, tanpa sadar kuku tangan mencakar pundak hingga kelengan. Hella teramat marah, kesal, jijik dan sakit hati.Tak menyangka, laki-laki yang dianggapnya orangtua. Akan berlaku hina pada dirinya."Aaarghhhh!"***Ofd."Mana buburnya, Ika mau makan?" Hanum menadahkan tangan saat Jaya masuk k
Pov Larissa."Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih sayang serius banget?" Mas Bagas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Bagas dengan wajah prihatin."Aamiin ..." aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada di dalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Hella terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya D
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ....Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai ..." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Larissa semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapny
Pov Hella."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahku
Pov Hella."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck ..." laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak pikiran. Bebaskan saja, jangan di pendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berpikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak pikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu b
"Mati saja kau, Buk. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ...."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru m
"Mas ...."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu ..," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf
ByurrrLimpahan air menerjang wajah, aku tergelagap dengan nafas terengah-engah."Hm ... saya bilang apa? Dia terlalu manja, dikit-dikit pingsan!" cibir seorang petugas wanita sambil berkacang pinggang.Dengan kasar, aku menyeka sisa air yang menempel diwajah. Hatiku pilu diperlakukan serendah ini."Bersihin sisa airnya! Jangan manja. Atau saya pindahkan ketahanan yang penghuninya sapleng semua." ketusnya dengan senyum miring menyerigai.Tubuhku benar-benar lemas, mata berkunang saat mencoba bangkit dari atas lantai."Cepeeet. Lelet banget!" Petugas bermana Mira itu menarik kasar, lalu mendorong keras tubuhku hingga mendarat kencang disudut tembok."Lelet!!" cebiknya sembul meninggalkan ruang tahananku."Dia emang terkenal brutal. Ga punya perasaan. Kalau dia lagi kontrol, jangan sesekali memasang wajah sakit. Dia ga suka," jelas Ira tanpa aku minta.Aku hanya diam, mata memanas menahan bulir air mata."Sana ganti baju, nanti masuk angin." titahnya, sok perhatian.Aku mengangguk pelan
Pov Diana.Suara bel rumah mengusik ketenanganku dengan Mas Mahesa. Aku segera beranjak dari sofa berjalan untu membuka pintu utama."Mah ..." Aku tersenyum tipis saat melihat kedatangan Mamah Hana."Kurang ajar sekali perempuan liar itu, bukti sudah di depan mata. Masih saja berkelit-kelit," gerutunya sambil berjalan melewatiku. Aku yang mengerti maksud ucapannya, hanya bisa mengekori dari belakang."Nasib Mamah buruk sekali bisa bertemu dengan orang seperti itu, Di." Keluhnya sambil menjatuhkan tubuh diatas sofa."Gimana, Mah. Sidangnya?" tanya Mas Mahesa sambil melipat koran yang tadi dia baca, lalu menaruhnya dibawah meja."Nyebelin!" sembur Mamah. "Ngeles saja kaya belut. Kesel banget Mamah," gerutunya."Ngeles gimana, Mah?" tanyaku penasaran."Dia masih tidak mau ngaku. Padahal ada saksi mata, Dokter yang kemarin itu, dia sudah meluangkan waktu untuk datang di persidangan pagi tadi." jawab Mamah panjang lebar.Mas Mahesa menyimak dengan antusias, sesekali dia mimijat pelipisnya.