Hanum mengurai pelukan, berbalik badan matanya melotot tajam pada suaminya. Jaya mendengkus kesal, menghempaskan bokong dengan kasar diatas kursi.'Dasar tua keladi! Semakin tua, semakin jadi.' geram batin Hanum."Kamu sudah berobat, Nak?" tanya Hanum basa-basi. Sungguh pertanyaan yang sangat bodoh."Sudah, Buk." jawab Rissa sopan.Hanum menghela nafas kasar, canggung berdekatan dengan menantunya. Sesekali dia melirik kearah Rissa, meringis ngilu saat melihat lebam di wajahnya."Pak ..." ucap Hanum dengan suara tertahan, matanya melirik kearah Jaya dan Rissa bergantian. "Cepat minta maaf," sambungnya dengan suara pelan namun ditekan.Jaya berpura pilon, menatap acuh pada istrinya.Berkali Hanum mengatur nafas, menahan letupan emosi yang mulai bersarang didadanya."Laporan di terima, kami akan segera melakukan proses penyelidikan." ucap Polisi muda di balik meja."Makasih, Pak." jawab Rissa dengan senyum tipis, lalu bangkit dari kursi."Dengan saudara Jaya?" ucap Polisi. Jaya menoleh m
Mata Jaya melotot, menatap Hanum dengan tatapan meyalang. Panas hati yang sejak tadi dia pendam kini meletup-letup, tangannya mengepal dengan kuat. Andai tidak berada didalam jeruji, sudah pasti Jaya akan melayangkan tamparan keras dimulut Hanum."Kenapa?" sentak Hanum, di balas tatapan Jaya dengan tatapan tajam pula.Jaya menarik nafas, mencoba menahan amarah."Tolonglah, Buk. Masa kamu tega lihat aku tidur disini," suara Jaya melemah, wajahnya memelas. Kali ini dia berusaha untuk menekan imagenya di depan Hanum.Toh nanti Hanum yang akan memohon pada Rissa, bukan dirinya."Kamu yang bikin masalah, aku juga yang repot. Coba saja dari awal kamu dengar omonganku. Pasti ... kamu tidak akan ada didalam penjara saat ini. Apa susahnya sih, berlaku baik didepan Rissa. Sekarang bisanya menyusahkan aku." cecoros Hanum dengan nafas kembang-kempis. Rasa kesal masih saja bergelayut dibenaknya, mengingat tingkah Jaya didepan Rissa.Jaya kembali menarik nafas, cerocosan Hanum membuat kepalanya sem
Hanum menggedor pintu rumah tetangganya, tubuhnya bergetar hebat membayangkan hal buruk yang menimpa pada Ika."Ada apa, Buk?" tanya Naya saat membuka pintu rumah."Neng, tolong pinjami Ibu mobil. Si Ika, pingsan Neng." cerocos Hanum sambil memegangi tangan Naya, wajahnya benar-benar cemas membuat Naya langsung menganggukkan kepalanya."Mas Ferdi ada dirumah?" cicit Hanum."Ada, Buk." jawab perempuan manis berusia 27 tahun itu."Tolong antar Ika kerumah sakit, Ibu takut Ika kenapa-napa." tangis Hanum pecah, Hanum benar-benar ketakutan.Naya langsung masuk kedalam rumah, membangunkan Ferdi yang baru saja memejamkan mata.Gegas Ferdi mencuci muka mendengar ucapan sang istri, dia langsung menyambar kunci mobilnya."Kamu ikut, Bun?" tanya Ferdi."Kamu saja, Mas. Yayat baru saja tidur, kasihan kalau dibangunkan." jawab Naya.Hanum langsung berlari kerumahnya, sementara Ferdi masuk kedalam mobil dan melajukannya keluar halaman."Mas, tolong bantu angkat Ika." titah Hanum dengan suara berget
Belum sempat Hanum melanjutkan ucapan, tiba-tiba gawainya mati. Rissa yang sedang dilanda kecemasan langsung bangkit dari tempatnya dan meninggalkan meja makan."Mau kemana, Neng?" sela Bik Narti terpogoh mengikuti langkah Larissa."Mau kerumah sakit, Bik. Ika sudah melahirkan, kata Ibu saat ini keadaannya kritis." jawab Rissa cemas. Bik Narti terkejut, mengusap dada sambil menyerukan nama Tuhan."Ya sudah, Neng. Hati-hati ya," sahut Bik Narti dengan wajah cemas."Iya, Bik. Titip Dila ya," Rissa langsung menuju mobilnya, memanaskan mesin sebentar lalu melajukannya menuju rumah sakit.Sepanjang perjalanan Rissa tak henti beristigfar, dan berdoa berharap keadaan Ika baik-baik saja.Ditengah perjalanan gawainya kembali berdering, kali ini nama Pak Bowo tertera di dalam layar. Rissa melambatkan laju kendaraan, memasang earphone bluetooth di telinga."Ehm ..." Rissa melonggarkan tenggorokan sebelum menjawab panggilan Bossnya."Pagi, Pak?" sapa Rissa."Iya, pagi. Kamu sudah mulai masuk har
Suster menyerahkan gawai milik Hanum yang sebelumnya dititipkan untuk mengisi daya batrai. Dia langsung menghubungi Rissa saat gawai ditangannya kembali menyala."Astagfirulloh ... maaf, Buk." pekik Rissa saat Hanum bertanya mengapa dia tak kunjung datang."Pulang kerja, Rissa langsung kerumah sakit." jelas Rissa dengan wajah sungkan. Meski tak melihat langsung wajah mertua, Rissa yakin Hanum sangat kecewa menunggunya."Keadaan Ika gimana, Buk?" tanya Rissa.Hanum menghela nafas, terhitung sudah 16 jam Ika belum juga sadarkan diri."Keadaan Ika belum ada perkembangan, dia masih kritis." jawab Hanum sambil meremas ujung bajunya dengan gusar."Ya Alloh ..." Rissa diujung telepon menghela nafas panjang, memejamkan mata merasakan perih di dalam sanubari."Keadaan Ibu sendiri gimana?" tanya Rissa."Semalam Ibu pingsan, terus di pasang infusan. Ibu sendiri masih lemas, Riss. Belum lagi kepikiran Rudi dan Bapakmu," jawab Hanum dengan suara memelas.Rissa tersenyum tipis, kembali mengingat su
Pov Larissa."Pergi saya bilang!"Aku bergeming melihat tatapan tajam Ika pada Wisnu. Jujur saja aku sedikit kaget, mengingat Ika dan Wisnu selalu mesra tiap kali kami bertemu.Ada apa sebenarnya?Alisku menaut, memperhatikan Ika yang memandang Wisnu dengan tatapan penuh kebencian."Ada apa ini, Nu. Ika?" Ibu Asih menatap bingung kearah anak dan menantunya. Sorot matanya meminta penjelasan."Bu ... tolong. Aku tidak mau dia ada disini," ucap Ika dengan suara tertahan sambil menoleh pada Ibu Hanum, wajahnya memelas dengan mata berkaca-kaca."Ini ada apa, besan?" Ibu Asih nampak semakin bingung."Nu ..." kali ini tatapan matanya beralih pada Wisnu. Wisnu hanya diam, menatap Ika dengan sorot penuh penyesalan."Dek ..."Ika bahkan memalingkan wajah, seolah tak sudi melihat suaminya."Wisnu, Ibu harap kamu keluar. Kasihan Ika," ucap Bu Hanum dengan tatapan sedih.Wisnu menghela nafas berat, sebelum beranjak dari tempatnya dia masih menatap Ika dengan mata merah berkaca-kaca."Dek, maaf. Ak
Setahuku Hella disini tidak ada sanak saudara selain Rissa, apa iya Rissa mau menampungnya kembali?Aaargghh!Meremas rambut dengan kuat, kepalaku kini berdenyut-denyut memikirkan nasib Hella.Gusar ... kakiku melangkah mengelilingi ruangan pengap dan lembab ini, kegelisahan dihati membuat aku ingin melempar apa pun yang ada didalam ruangan."Bisa diam ga sih, Rud. Bapak pusing denger kakimu, berisik!" gerutu Bapak.Membuang nafas dengan kasar melalui mulut, mencengkram jeruji besi dengan erat.Pikiran benar-benar kacau, sungguh aku tak ingin terlalu lama tinggal didalam neraka ini."Ibu kemana sih, ga kasih kabar sama sekali!" geramku. Kepala benar-benar terasa panas, hati semeraut tak tentu arah.Rissa ... kau benar-benar membuatku gila!Bapak yang sedang tiduran beringsut duduk, menyenderkan tubuh ditembok kusam yang penuh dengan coretan."Rud ..." panggil Bapak, membuat aku sedikit menoleh."Apa?" jawabku acuh."Sini, duduk!" Bapak menepuk sisi tikar disampingnya. Dengan malas aku
Biar bagaimana pun, aku tidak ingin dirugikan. Aku tidak mau tangan kotor lelaki tua itu kembali melukaiku.Saat keadaan mulai tenang, aku putuskan untuk pulang setelah melaksanakan sholat magrib, tak lupa menyelipkan beberapa lembaran uang seratus ribuan pada Ibu mertua. Ibu sempat menolak, namun aku bersikeras aku tidak mau Ibu kesulitan jika mau membeli sesuatu mengingat saat ini adalah tanggal tua."Makasih, Riss." mata Ibu masih berkaca-kaca, senyumnya terlihat tulus saat menatap kearahku."Ibu jaga kesehatan," ucapku."Iya. Kamu hati-hati, titip salam sama Dila. Ibu kangen sama dia," sahut Ibu. Aku hanya mengangguk, menoleh kearah Ika yang masih terlelap lalu keluar ruangan.Didepan pintu aku lihat ada Wisnu yang duduk terpekur, tatapan matanya terlihat kosong wajah sedihnya masih jelas terlihat.Ingin menegur, aku sungkan. Namun karna dia sudah terlanjur melihatku, akhirnya aku hanya menyunggingkan senyum seraya melewatinya."Pulang, Mbak?" tanyanya sambil memaksakan senyum."I
Pov Larissa."Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih sayang serius banget?" Mas Bagas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Bagas dengan wajah prihatin."Aamiin ..." aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada di dalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Hella terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya D
Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ....Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai ..." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Larissa semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapny
Pov Hella."Lepass!" aku memberontak saat dua laki-laki berseragam rumah sakit memegangi kedua tangan."Kalian tuli, hah! Lepas aku bilang!" sungutku sambil terus memberontak.Kedua laki-laki itu hanya mendengkus kesal tak mengindahkan ucapanku."Jalan!" ucapnya, lalu menyeret tubuhku keluar dari penjara.Nafasku terengah-engah, terpaan sinar matahari menerjang wajah menimbulkan sensasi hangat dan menenangkan.Otak mulai mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku terbahak menyadari akan keluar dari tempat pengap itu."Hahah ... aku bebas. Aku bebas!" teriakku bersemangat. "Bawa aku pulang ke apartement, aku rindu rumahku. Aku rindu." cerocosku sambil menatap penuh harap kearah dua laki-laki itu.Satu diantaranya membuka pintu bagasi mobil khas rumah sakit, setelah terbuka lebar dia kembali memegangi tanganku."Masuk!" titahnya sambil mendorong tubuhku."Hati-hati, jangan membuatnya marah. Atau kalian akan tersakiti." ucap Polisi gendut. Keduanya saling bertatapan, lalu menoleh kearahku
Pov Hella."Tahanan ini benar-benar keterlaluan, dia membunuh Ibunya sendiri saat datang berkunjung menemuinya." ujar petugas gendut sambil melirik kearahku sorotnya memancarkan ketidak percayaan."Ckckck ..." laki-laki berperawakan tinggi besar itu menatap lekat, menggelengkan kepalanya. Aku semakin menundukan wajah, takut tiba-tiba pukulan kembali menyerangku.Tubuh ini menggigil, luka memar terlihat disekujur tubuh. Rasanya sakit dan menyiksa sekali."Teman satu selnya pun ikut dihajar, aku rasa dia mengalami gangguan jiwa." Mataku mendelik, tak terima dengan kata-kata sipir jelek itu."Bawa dia masuk kembali, tempatkan dia diruangan 355 a. Jangan disatukan dengan yang lain, saya mencuim gelagat mengerikan dari tatapan matanya," ucap komandan Polisi."Siap, Dan!" sahut dua petugas sambil menegakkan badan."Cepat!" tubuh ini diseret paksa. Aku hanya bisa menurut, menyeret kaki mengikutinya.Dug!Rasa nyeuri menerjang lutut dan telapak tangan, saat tubuhku didorong masuk oleh petugas
"Istri saya sakit apa, Dok?" tanyaku setelah Dokter Murni memeriksa keadaan Diana."Sepertinya hanya terlalu lelah," jawab Dokter Murni sambil tersenyum tipis pada Diana."Jangan terlalu capek dan banyak pikiran. Bebaskan saja, jangan di pendam nanti tambah sakit," sambungnya sambil mengusap tangan Diana."Iya, Dok. Trimakasih," jawab Diana."Saya hanya meresepkan beberapa vitamin, sama obat pusing ya. Untuk berjaga-jaga, khawatir kepala Nyonya Diana ikut pusing juga karna terlalu banyak berpikir," ucap Dokter Murni sambil terkekeh pelan. Diana tersenyum menanggapinya."Saya permisi, jangan lupa diminum vitaminnya." ucapnya sambil mengemasi alat-alat ke Dokteran yang tadi dia keluarkan."Iya, Dok. Trimakasih ya," sahutku lalu mengekorinya jalan keluar kamar."Kamu tidak apa-apa, Mih?" tanyaku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut."Tidak, apa. Aku hanya butuh istirahat saja," jawab Diana."Kamu lagi banyak pikiran ya? Mikirin apa sih?" cecarku berpura bodoh. Padahal aku tahu b
"Mati saja kau, Buk. Hidup pun tak berguna, hanya bisa menyusahkan anak-anakmu saja!" bisikku tepat ditelinganya. Wajah Ibu terlihat membiru, dengan lidah menjulur dan suara nafas yang tercekat ditenggorokan.Aku semakin bersemangat, bibir melengkung sempurna saat melihat Ibu menghadapi sarakatulmaut."Mati, kamu Buk. Mati!" desisku dengan suara tertekan."Hei ... mau apa kamu!" suara sumbang mengganggu kesenanganku. Tangan lemah Ibu terus memukul tangan ini, dan meminta pertolongan. Aku semakin kalap saat beberapa orang mulai mendekat, cengkraman tangan dileher Ibu semakin aku tekan.Dia harus lenyap, aku tak ingin hidup menderita sendirian.Tubuh Ibu mulai lemas, tangannya terkuai tidak lagi melakukan perlawanan.Kedua tanganku ditarik paksa, seruan dari suara sumbang terus saja mengusik pendengaranku."Hei, sudah gila kamu ya!" hadrik suara seseorang."Lepas!""Pak, tolong ...."Plakk plakk!!Rasa panas langsung menjalar dipipiku, setelah memastikan Ibu tak lagi bergerak aku baru m
"Mas ...."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu ..," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf
ByurrrLimpahan air menerjang wajah, aku tergelagap dengan nafas terengah-engah."Hm ... saya bilang apa? Dia terlalu manja, dikit-dikit pingsan!" cibir seorang petugas wanita sambil berkacang pinggang.Dengan kasar, aku menyeka sisa air yang menempel diwajah. Hatiku pilu diperlakukan serendah ini."Bersihin sisa airnya! Jangan manja. Atau saya pindahkan ketahanan yang penghuninya sapleng semua." ketusnya dengan senyum miring menyerigai.Tubuhku benar-benar lemas, mata berkunang saat mencoba bangkit dari atas lantai."Cepeeet. Lelet banget!" Petugas bermana Mira itu menarik kasar, lalu mendorong keras tubuhku hingga mendarat kencang disudut tembok."Lelet!!" cebiknya sembul meninggalkan ruang tahananku."Dia emang terkenal brutal. Ga punya perasaan. Kalau dia lagi kontrol, jangan sesekali memasang wajah sakit. Dia ga suka," jelas Ira tanpa aku minta.Aku hanya diam, mata memanas menahan bulir air mata."Sana ganti baju, nanti masuk angin." titahnya, sok perhatian.Aku mengangguk pelan
Pov Diana.Suara bel rumah mengusik ketenanganku dengan Mas Mahesa. Aku segera beranjak dari sofa berjalan untu membuka pintu utama."Mah ..." Aku tersenyum tipis saat melihat kedatangan Mamah Hana."Kurang ajar sekali perempuan liar itu, bukti sudah di depan mata. Masih saja berkelit-kelit," gerutunya sambil berjalan melewatiku. Aku yang mengerti maksud ucapannya, hanya bisa mengekori dari belakang."Nasib Mamah buruk sekali bisa bertemu dengan orang seperti itu, Di." Keluhnya sambil menjatuhkan tubuh diatas sofa."Gimana, Mah. Sidangnya?" tanya Mas Mahesa sambil melipat koran yang tadi dia baca, lalu menaruhnya dibawah meja."Nyebelin!" sembur Mamah. "Ngeles saja kaya belut. Kesel banget Mamah," gerutunya."Ngeles gimana, Mah?" tanyaku penasaran."Dia masih tidak mau ngaku. Padahal ada saksi mata, Dokter yang kemarin itu, dia sudah meluangkan waktu untuk datang di persidangan pagi tadi." jawab Mamah panjang lebar.Mas Mahesa menyimak dengan antusias, sesekali dia mimijat pelipisnya.