BAB 79 – JALAN PARA JENIUSLangit di atas arena utama tampak kelam, meski matahari masih bersinar garang. Debu-debu yang terus beterbangan membawa aroma tanah yang terbakar, bercampur dengan keringat dan darah. Babak pertama Turnamen Seribu Besar masih berlanjut, tetapi perlahan mulai menunjukkan siapa saja yang benar-benar layak untuk terus melangkah ke depan.Di tribun penonton, suara bisikan dan diskusi mulai terdengar semakin ramai. Para murid dari berbagai sekte, klan, dan kelompok independen mulai menganalisis para peserta yang berhasil mencuri perhatian di babak pertama ini. Di salah satu sudut tribun, beberapa murid sekte kecil tampak berbisik di antara mereka. Seorang pemuda berbaju biru dengan lambang Sekte Bambu Hijau menatap arena dengan ekspresi serius."Jadi... kalian pikir siapa saja yang bakal masuk sepuluh besar?" tanyanya pada rekan-rekannya.Seorang murid lain, seorang gadis dengan pedang tipis di punggungnya, menghela napas. "Jelas Raizo dari Sekte Guntur Hitam. Te
BAB 80 – PERTARUNGAN PARA PENERUSBabak pertama telah berakhir. Sebanyak 128 pendekar telah lolos ke tahap berikutnya, dan kini mereka harus bersiap untuk babak kedua, di mana lawan-lawan mereka akan jauh lebih kuat dan pertempuran akan semakin sengit. Langit mulai berwarna keemasan saat matahari merayap turun di ufuk barat. Di dalam balairung utama Sekte Lembah Babi, para tetua dan jenderal sekte berkumpul untuk membahas sistem pertarungan selanjutnya.Meja besar dari kayu hitam berukiran naga memenuhi ruangan, di mana Tetua Besar Hakka, Nenek Cio, Liam, Jenderal Batu, serta beberapa tetua lain duduk dengan wajah serius. Di tengah meja, sebuah peta besar arena turnamen terbentang, menunjukkan berbagai bagian yang telah disiapkan untuk babak kedua.Tetua Hakka mengelus janggut putihnya. "Babak pertama hanya ujian awal. Sebagian besar peserta yang tersaring memang berbakat, tetapi masih banyak yang belum menunjukkan potensi sebenarnya."Jenderal Batu menyeringai. "Dan di babak kedua, m
BAB 81 – UJIAN BERTAHAP: KAWASAN PERTARUNGAN SEJATILangit pagi itu masih diselimuti kabut tipis saat para peserta Turnamen Seribu Besar berkumpul di tengah arena utama. Sebanyak 128 pendekar yang tersisa berdiri dalam barisan rapi, menanti pengumuman resmi tentang babak kedua. Di atas panggung utama, Tetua Besar Hakka, Nenek Cio, Liam, Jenderal Batu, serta beberapa petinggi sekte lainnya berdiri dengan sorot mata serius. Kenta, yang ditunjuk sebagai wasit utama, melangkah ke depan dan mengangkat tangan, membuat arena mendadak hening."Babak kedua ini bukan sekadar duel biasa!" suaranya menggema, "Kali ini, kalian akan memasuki Ujian Bertahap di Kawasan Pertarungan Sejati!"Bisikan mulai terdengar di antara para peserta. Beberapa dari mereka menatap sesama dengan ekspresi bingung, sementara yang lain tampak semakin bersemangat.Tetua Liam mengambil alih penjelasan. "Kalian akan dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil, masing-masing terdiri dari empat orang. Setiap kelompok akan dimasu
BAB 82 – TAKTIK MELAWAN SERPENT MAGMAUdara di Zona Gurun Berapi terasa semakin panas. Angin kering membawa debu merah yang menggulung di sekitar mereka, membuat napas terasa berat. Serpent Magma, makhluk raksasa dengan sisik membara seperti lava cair, mengeliat ganas di depan mereka. Matanya yang menyala merah menatap tajam ke arah Haru dan kelompoknya. Raizo mengusap darah di sudut bibirnya. Benturan sebelumnya memang keras, tapi bukan berarti dia sudah kalah.Haru, yang berdiri di depan, memperketat genggaman pedangnya. "Kita hanya punya satu kesempatan. Saat makhluk ini menyerang, celah di lehernya akan terbuka sesaat."Mei Lan mengangguk, tangannya sudah bersiap dengan teknik penyembuhan. "Aku akan tetap di belakang, kalau terjadi sesuatu, aku bisa segera bertindak."Raito mengamati gerakan makhluk itu dengan cermat. "Serpent Magma ini tidak hanya mengandalkan semburan api. Ekor dan tubuhnya juga senjata yang mematikan. Kita tidak bisa hanya mengandalkan kecepatan."Raizo mengelu
Pasir gurun masih terasa panas di bawah telapak kaki mereka. Udara di Zona Gurun Berapi seakan menekan dada setiap orang yang bernapas di dalamnya. Namun, bagi Haru dan kelompoknya, tekanan itu bukan hanya karena panas, tetapi juga karena pertarungan barusan. Serpent Magma kini tak bergerak lagi, tubuhnya yang raksasa terhampar di tanah seperti bukti nyata akan kemenangan mereka. Darah merah menyala mulai mendingin, perlahan mengeras menjadi kristal magma yang memancarkan cahaya samar.Mei Lan masih duduk di tanah, wajahnya pucat akibat banyaknya energi yang terkuras. Raizo berdiri dengan satu tangan bertumpu pada pedangnya, berusaha menenangkan napasnya yang masih berat. Haru menatap ke langit yang mulai menggelap. Mereka tak bisa diam di sini terlalu lama.“Berapa banyak energi yang tersisa?” tanya Haru, suaranya tetap tenang meski kelelahan jelas t
BAB 84 – BAYANGAN DI BALIK HUTAN HITAMUdara di Zona Hutan Hitam terasa berat dan lembap. Tidak ada hembusan angin yang membawa kesejukan, hanya aroma tanah basah dan dedaunan busuk yang memenuhi udara. Pepohonan besar menjulang tinggi, ranting-rantingnya saling bertautan seperti sangkar alami yang mengurung siapapun yang masuk. Di tengah belantara ini, sekelompok peserta tengah bergerak dengan penuh kewaspadaan.“Berhenti.”Seorang pemuda berambut perak memberi isyarat dengan tangannya. Rei Kisaragi, jenius muda dari Sekolah Pedang Hujan Es, menajamkan tatapannya ke dalam kegelapan hutan. Tangannya masih menggenggam gagang pedang yang tergantung di pinggangnya, siap mencabutnya kapan saja. Dua orang lainnya berhenti di belakangnya.
BAB 85 – CAHAYA DAN BAYANGAN DI ZONA HUTAN HITAMKabut tipis masih menggantung di antara pepohonan raksasa di Zona Hutan Hitam. Cahaya matahari sulit menembus dedaunan yang lebat, membuat suasana tetap kelam meski sudah siang. Namun, di tengah hutan yang mencekam ini, suara pertempuran terus bergema. Di suatu tempat di dalam hutan, sekelompok pemuda berlari melewati akar-akar besar yang menjalar di tanah, napas mereka terengah-engah.“Mereka masih mengejar?!” seru seorang gadis bertubuh mungil dengan rambut kecokelatan yang diikat dua.Di belakangnya, seorang pemuda dengan pedang di punggungnya mengangguk cepat. “Mereka tidak akan berhenti begitu saja, Saeko!”Saeko menggigit bibirnya, lalu melirik ke belakang. Bayangan-bayangan berkelebat di antara pepohonan, mata merah bersinar dalam gelap. Mereka adalah sekelompok pemburu dari Sekte Taring Gelap, yang terkenal karena keahlian mereka dalam memburu lawan
BAB 86 – BAYANGAN YANG MENGINTAIHutan Hitam semakin berbahaya. Darah bercipratan di tanah, beberapa mayat monster penjaga tergeletak di antara akar-akar besar, tetapi masih banyak yang tersisa. Kael, Aya, Saeko, Alric, dan Dragan kini bertarung bersama, setidaknya untuk sementara, melawan ancaman yang lebih besar. Dragan mengayunkan tinjunya dengan kekuatan luar biasa, menghantam dada salah satu Penjaga Hitam.“DUARR!!” Makhluk itu terdorong ke belakang, namun tidak jatuh. Tubuhnya yang dilapisi semacam baja alami membuatnya nyaris tidak terluka.“Tsk! Keras sekali tubuhnya!” geram Dragan. Di sisi lain, Aya menghunus dua panah lagi dan menarik busurnya. Mata peraknya memancarkan cahaya redup saat dia menggunakan teknik khususnya.“Fleche Perak : Lima Nafas Pembunuh.” Lima panah meluncur ke udara dalam pola spiral, masing-masing mengenai sambungan tubuh makhluk itu, di antara celah armor alami
Bab 140 – Sampai JumpaKenta menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Angin sepoi-sepoi bertiup melewati wajahnya, membawa ketenangan yang aneh. Dunia ini… dunia nyata… terasa begitu berbeda dari dunia sistem yang selama ini ia jalani.Ia sudah kembali. Segalanya sudah berakhir. Namun, entah kenapa hatinya masih terasa berat. Maya… Apakah ia benar-benar pergi? Apakah tidak ada cara lain untuk bertemu dengannya lagi? Kenta mengepalkan tangannya, lalu menghela napas panjang.“Kau terlihat seperti orang yang kehilangan sesuatu.”Sebuah suara yang familiar terdengar dari belakangnya. Kenta menoleh dan mendapati seseorang berdiri di sana, seseorang yang seharusnya tidak mungkin ada di dunia ini.Matanya melebar. “…Maya?”Maya berdiri di sana, mengenakan pakaian serba putih yang bercahaya samar di bawah sinar bulan. Wajahnya tetap seperti yang Kenta ingat, tenang, lembut, dan penuh teka-
Bab 139 – Tamat: Menerima KenyataanKenta berdiri di depan sebuah gedung tua yang terlihat tak terawat.Alamat yang tertulis di surat membawanya ke sini. Bangunan ini berada di pinggiran kota, jauh dari keramaian. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitarnya, hanya cahaya redup dari lampu jalan yang sesekali berkelap-kelip.Hatinya masih dipenuhi keraguan."Apa ini jebakan?" pikirnya.Namun, jika ini adalah satu-satunya petunjuk untuk menemukan Maya atau mendapatkan jawaban tentang apa yang terjadi, ia tidak bisa mundur sekarang.Ia menarik napas dalam, lalu mendorong pintu kayu besar di hadapannya.Saat Kenta melangkah masuk, suara derit kayu memenuhi ruangan.Bangunan ini tampaknya adalah sebuah gudang lama. Debu memenuhi lantai, dan beberapa rak besi di sudut tampak berkarat.Namun, yang paling menarik perhatiannya adalah sosok seorang pria tua yang duduk di kursi kayu, tepat di tengah ruangan.Pria itu
Bab 128 – Arch Akhir: Tanpa Maya, Kenta Hanya PecundangKenta duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong pada lantai kamarnya yang berantakan. Kertas-kertas catatan, botol minuman kosong, dan beberapa buku berserakan di sana. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, tetapi ia tidak merasa hangat sedikit pun.Sudah sebulan sejak ia kembali ke dunia nyata. Sudah sebulan sejak ia melihat sosok Maya di gang sempit itu atau lebih tepatnya, sejak ia berhalusinasi melihatnya. Kenta menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan berat."Bangkitlah sekali lagi, Kenta."Kata-kata itu masih terngiang di benaknya. Tapi bagaimana caranya? Tanpa sistem, tanpa status, tanpa teknik bertarung, tanpa Maya… ia bukan siapa-siapa. Di dunia sistem, ia bisa mengalahkan lawan yang lebih kuat, menerobos batasan dirinya, dan berdiri sebagai pemain terkuat.Di dunia ini? Ia bahkan tidak bisa mendapatkan pekerjaan paruh waktu karena riwayat medisnya. S
Bab 137 – Arch Akhir: Kembali Sebagai Kenta si Pecundang di Dunia NyataBIP. BIP. BIP.Suara mesin monitor berdenting pelan di ruangan yang sunyi. Aroma antiseptik bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Kelopak mata Kenta bergerak sedikit, lalu perlahan membuka.Seketika cahaya putih menyilaukan matanya.Ia merasakan sesuatu yang berat di tubuhnya—seperti ada beban yang tak kasat mata menekannya. Sensasi itu terasa aneh, jauh berbeda dari medan perang yang selama ini ia jalani.Kenta mencoba menggerakkan jarinya.Lambat.Lemah.Seolah-olah tubuhnya adalah milik orang lain."Dimana aku…?" gumamnya dengan suara serak.Matanya perlahan menyesuaikan diri. Ia bisa melihat langit-langit putih, ventilasi udara yang mengeluarkan suara halus, dan… tabung infus yang terhubung ke tangannya.Ini rumah sakit.Aku… kembali?Hatinya berdebar. Ia b
Bab 127 – Arch Akhir: Menempuh Jalan untuk KembaliLangit masih dipenuhi retakan dimensi yang berpendar dalam warna keemasan dan hitam. Sisa-sisa kekuatan yang bertarung di medan perang tadi kini mereda, menyisakan ketegangan yang menggantung di udara.Di tengah-tengahnya, Kenta berdiri dengan tatapan teguh, meski dalam hatinya masih ada goncangan yang tak bisa ia redam.Ia telah membuat keputusannya.Sekarang, ia hanya perlu mencari jalan untuk mewujudkannya.Maya berdiri di hadapannya, matanya yang tajam menelisik ekspresi Kenta. "Kau sudah memutuskan?"Kenta mengangguk. "Ya."Maya menghela napas, lalu melangkah mendekat. "Jika kau benar-benar ingin kembali… maka ada satu cara. Tapi aku tidak yakin kau akan menyukainya."Kenta menajamkan pandangannya. "Apa itu?"Maya terdiam sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Sistem yang telah memulihkan dirinya sepenuhnya kini memiliki fungsi otomatis untuk mengembalika
Bab 134 – Arch Akhir: Lalu Bagaimana Caraku Kembali?Langit masih dipenuhi retakan-retakan dimensi. Pusaran energi kekacauan melayang di udara, menciptakan percikan cahaya yang terus menerus menyambar seperti petir abadi. Di tengah kehancuran yang melanda, Kenta berdiri terengah-engah, tubuhnya dipenuhi luka dan pakaiannya compang-camping.Di hadapannya, Maya menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Mereka baru saja mengungkap kebenaran tentang sistem, tentang asal usul dunia ini, dan mengapa Kenta menjadi bagian dari semua ini.Namun, satu pertanyaan besar masih menggantung di benaknya."Lalu… bagaimana caraku kembali?"Suara Kenta terdengar serak, nyaris berbisik. Entah kenapa, setelah semua ini, pertanyaan itu baru benar-benar menghantamnya dengan kesadaran yang menyakitkan.Apa yang akan terjadi setelah semuanya berakhir?Maya menutup matanya sejenak sebelum menjawab."Itu bukan sesuatu yang mudah dijawab
Bab 134 – Pemecahan Misteri Asal Usul Sistem (Bagian 3) – Mengapa Kenta Terpilih sebagai Player?Celah besar yang terbuka di atas mereka memperlihatkan lapisan dimensi lain—cahaya keemasan yang berkilauan bersanding dengan pusaran kegelapan yang meliuk-liuk, seolah mencoba menelan satu sama lain.Kenta masih berdiri diam, mencoba mencerna semua yang baru saja terungkap.Maya adalah bagian dari sistem.Ia adalah keseimbangan, eksistensi yang tidak seharusnya ada.Dan kini, ada satu pertanyaan yang masih belum terjawab.Mengapa dirinya yang terpilih sebagai Player?Dari semua orang di dunia ini—dari sekian banyak individu yang memiliki potensi—mengapa ia, Kenta, yang harus menanggung beban ini?Maya menatapnya dengan tatapan lembut, seakan tahu apa yang sedang dipikirkannya."Kau akhirnya sampai pada pertanyaan itu, ya?" katanya pelan.Kenta mendongak, menatap Maya dengan
Bab 133 – Pemecahan Misteri Asal Usul Sistem (Bagian 2) – Siapa Maya?Langit retak.Sebuah celah menganga di atas mereka, mengungkapkan kilauan cahaya keemasan dan kegelapan pekat yang berputar seperti pusaran tak berujung.Kenta dan Maya berdiri di tengah kekosongan itu. Mereka baru saja kembali dari Gerbang Ingatan, tempat di mana mereka menyaksikan bagaimana dunia dan Wadah Sistem tercipta. Namun, masih ada pertanyaan besar yang belum terjawab.Siapa Maya sebenarnya?Kenta menoleh ke arah Maya, yang berdiri dalam diam, wajahnya sulit dibaca. Sejak awal perjalanannya, Maya selalu berada di sisinya, terkadang sebagai sekutu, terkadang sebagai musuh. Namun, dalam ingatan yang mereka lihat tadi, Maya sama sekali tidak muncul.Itu tidak masuk akal. Jika Maya adalah bagian dari Wadah Sistem, seharusnya ada petunjuk tentang keberadaannya dalam sejarah itu.“Maya…” Kenta akhirnya berbicara, suaranya terdengar
Bab 132 – Pemecahan Misteri Asal Usul Sistem (Bagian 1)Langit yang semula dipenuhi kilatan cahaya akibat pertarungan dahsyat mulai meredup, menyisakan langit kelam yang perlahan kembali tenang. Kenta berdiri di tengah reruntuhan, napasnya terengah-engah sementara tubuhnya dipenuhi luka. Maya, yang berdiri tak jauh darinya, juga dalam kondisi serupa.Keduanya selamat… untuk saat ini.Namun, perasaan ganjil menyelimuti udara. Seakan ada sesuatu yang belum berakhir.Kenta menatap ke langit, dan untuk sesaat, ia merasa seperti dunia ini berbicara padanya.“Warisan yang kau kejar… kini tinggal satu misteri terakhir.”Seketika, kesadaran Kenta terguncang. Suara itu—ia pernah mendengarnya sebelumnya, dalam mimpi-mimpi samar yang terus menghantuinya.Maya berjalan mendekat, matanya menyorot keprihatinan. “Kau merasakannya juga, bukan?”Kenta mengangg