Higrataling menggeser Olengpati. Ganti mengintip Menik Sarasti dan Delingwisa. Higrataling juga terperanjat ketika melihat Menik Sarasti yang tidur pulas dalam pelukan Delingwisa.
”Ah, biarlah Menik Sarasti berbuat nyeleweng! Patih Ganggayuda saja juga nyeleweng!” bisik Olengpati. ”Kita ganti ke kamar barat itu!”
Keduanya membuka genting kamar di sebelah barat kamar Delingwisa. Kali ini mereka beruntung. Ternyata di bawah sana terlihat peti baja milik mereka. Selain itu juga tampak puluhan peti baja untuk menyimpan harta Delingwisa.
Keduanya sangat gembira. Harta karun mereka masih ada. Harta karun yang diperoleh dengan susah payah, masih tersimpan di rumah Delingwisa.
Tanpa membuang waktu lagi, keduanya membuka genting lebih lebar. Lalu keduanya masuk kamar penyimpanan harta.
Mereka berhasil mengambil peti baja mereka. Kemudian meninggalkan kamar lewat jendela. Mereka lari hendak menginggalakan rumah Delingwisa lewat sebela
Singgat membuka kedua tangannya. Lalu tubuhnya bergulingan di tanah. Secara tiba-tiba tangan kanannya mencakar ke bumi. Setelah mencakar ke bumi, seluruh tubuhnya memancarkan warna jingga. Inilah ajian wasajingga. Lebih tinggi dibanding ajian wasagni yang dimiliki Olengpati dan teman-temannya.“Gila…, Singgat telah mengeluarkan ajian andalannya. Kata Olengpati dalam hati. “Ini pertanda buruk bagi siapa pun yang menjadi musuhnya. Dalam dunia persilatan sering tersiar kabar bahwa hampir semua musuh Singgat tewas ketika Singgat telah mengeluarkan ajian wasajingga.”Pancaran sinar jingga dari tubuh Singgat memudar. Warna tubuh Singgat kembali seperti semula. Bersamaan itu dia menyerang kedua lawannya hanya dengan tangan kosong disertai jurus cakar api!Ketika tubuh Singgat melesat sangat cepat, ada tebaran hawa panas yang menyirat. Lawan yang diserang, akan merasakan hawa panas yang memancar dari tubuh Singgat.Tubuh
Bhug! Bengkas terhantam tendangan dari arah samping kanan. Sebuah tendangan yang tak pernah diduganya. Akibat tendangan itu, tubuh Bengkas terjerembab ke bumi. Akar cipirajag yang hampir saja menghabisi lawan malah terpental ke tanah. Tepat di samping Janurwasis. Janurwasis lolos dari sabetan akar cipirajag. Janurwasis lolos dari maut yang bisa saja terjadi kalau sampai senjata maut menghantam dadanya. Hampir semua lawan Bengkas tak bisa selamat ketika tergores cipirajag. Tubuh Bengkas jatuh menelungkup. Tendangan Wening Kusuma yang dia anggap licik itu membuat Bengkas merasakan sakit luar biasa. Dia merasa sulit untuk bangun atau sekadar menggerakkan sendi-sendi ototnya. Hal yang sama juga menimpa Wening Kusuma. Luka akibat cakaran inti api membuat seluruh tubuhnya memanas. Segera dia menotok bahu kanannya agar hawa panas beracun itu tidak menyebar ke seluruh tubuh. Dia pun hanya duduk sambil memulihkan tenaga dalamnya. Dia duduk tepat di dekat Janur
Westi Ningtyas menangkis dengan gerakan cepat pula.Dhuar!Westi Ningtyas dan Delingwisa sama-sama terlempar ke belakang beberapa tombak. Keduanya sama-sama terpelanting mencium tanah. Lalu sama-sama bangkit untuk meneruskan pertarungan.“Bangsat! Sundal ini ternyata hebat juga,” gumam Delingwisa sambil berdiri. Karena tenaga serasa terkuras, untuk berdiri saja terasa berat. “Tak kuduga dia ternyata memiliki tenaga dalam tingkat tinggi.”Di tempat yang sama, Suro Joyo tampak keteter menghadapi ajian cakar inti api. Dada kirinya koyak oleh cakaran maut itu. Ada rasa panas di dada akibat tergores cakaran yang penuh hawa membara.Suro Joyo mundur beberapa tombak untuk mengalirkan hawa murni ke dadanya. Dia ingin hawa panas yang mematikan anggota tubuh bisa punah.Setelah lukanya mengering, Suro Joyo menggenggam kedua tangannya. Berputar-putar di depan dada. Merentang ke samping kanan dan kiri dalam keadaan terbuka. Kini
Dua orang laki-laki muda sedang berburu di pinggiran selatan hutan Alas Waru. Mereka menyandang panah dan memegang busur. Panah yang jumlahnya berpuluh-puluh buah tersampir di punggung. Busur tergenggam di tangan kiri. Mereka terus berjalan menyusuri jalan setapak menuju arah utara. Kedua laki-laki muda berwajah tampan. Satu dari dua laki-laki muda itu berkumis, namanya Sambego. Sedangkan yang tak berkumis sama sekali bernama Juna. Sambego sudah beranak-istri, Juna masih perjaka tulen. Mereka sama-sama berasal dari desa Aseman. Sebuah desa sepi yang letaknya di timur hutan, masih termasuk wilayah Kerajaan Parangbawana. Mereka sejak kecil sudah dilatih berburu oleh orang tua masing-masing. Berkat didikan orang tua selama bertahun-tahun, mereka menjadi mahir berburu. Malah lebih mahir dari orang tua masing-masing. “Ilmu berburu dari orang tua kita, bisa kita jadikan pegangan ketika mencari binatang buruan,” kata Sambego pada Juna. “Benar,” sahut Juna. “Aku tak
“Tidak ada apa-apa, Pangeran Banaswarih,” jawab Bandem. “Kita berhenti di sini barang sejenak dulu.”Ketiganya berhenti persis di tempat Sambego dan Juna tadi berhenti.”Begini,” lanjut Bandem, “kalau ingin ke pesanggrahan milik Keksi Anjani, kita melalui jalan ke arah utara.””Benar kata Bandem, Pangeran,” Lunjak menambahkan. ”Berarti dari sini kita ganti arah, yaitu ke arah utara.””Baiklah, kalau begitu kita lanjutkan perjalanan sebelum waktu menjelang sore. Kalau bisa, jangan sampai kita bermalam di hutan.”“Baiklah, Pangeran,” sahut Bandem dan Lunjak.Ketiga pendekar itu pun melanjutkan perjalanan. Mereka terus berjalan menyusuri semak belukar yang rimbun. Selain rimbun, kadang-kadang terselip duri tajam di balik semak belukar.Cukup jauh mereka bertiga menempuh perjalanan ke arah utara. Tak terasa, hari makin sore.Sudah jauh j
Hari menjelang senja, tapi dan pertempuran terus berlangsung. Kedua pihak sama-sama kuat. Memiliki ilmu silat yang sebanding. Baik Banaswarih maupun Arum Sarastri menyadari bahwa pertempuran ini tak akan selesai-selesai kalau hanya menggunakan tangan kosong. Untuk itulah keduanya sama-sama berpikir untuk menggunakan senjata atau kesaktian andalan masing-masing. “Sebaiknya kuakhiri pertempuran ini supaya tidak berlarut-larut dan membuang-buang waktu,” gumam Banaswarih. “Lagi pula kalau sampai malam, tanpa ada yang kalah atau menang, tenaga bisa terkuras sampai habis.” Tiba-tiba Banaswarih mencabut pisau berantai emas yang melingkari pinggang. Pisau sakti ini dia putar-putar di atas kepalanya. Rantai emas yang cukup panjang ini membuat pisau sakti yang ada pada ujungnya memiliki jangkauan jauh. Sehingga mampu menusuk atau melukai lawan dalam jarak satu sampai limok tombak dari dirinya. Arum Sarastri menyadari bahwa lawannya sudah mengeluarkan senjat
”Juna..., kamu mungkin belum kenal aku. Kenalkan, namaku Keksi Anjani. Aku yang biasa dijuluki Putri Siluman Alas Waru. Dan aku pula yang mendirikan kerajaan baru di hutan ini. Kerajaan itulah yang kuberi nama Kerajaan Alas Waru. Ah, tapi soal kerajaan baruku itu, tak usah kamu pikirkan.” Keksi Anjani tersenyum sambil bertanya, ”Umurmu sekarang berapa, Juna?””Dua puluh tiga,” jawab Juna singkat. Masih bertanya-tanya di dalam hati. Untuk apa diriku diculik kemari? “O..., ternyata jauh lebih muda dariku. Umurku sudah lebih dari tiga puluh. Tapi..., bentuk tubuhku masih bagus kan?”Bukan hanya ‘masih bagus’, tetapi ‘sangat bagus’! Begitu jawab Juna dalam hati. Kulitnya yang kuning, kencang, mulus, parasnya yang jelita dengan sinar mata menawan, sungguh membuat laki-laki manapun sulit lepas dari jeratannya. Di tambah lagi dada yang menonjol karena kesuburannya, lebih memb
”Kami ingin membalas dendam,” jawab Mayang Kencana. Lalu dia ceritakan secara singkat peristiwa yang pernah dia alami beberapa waktu lalu. Riris Manik pun menceritakan kehancuran sanggarnya. “Suro Joyo yang menghancurkan sanggarku. Maka, dengan cara apa pun, akan akan menuntut balas pada Suro Joyo. Suro Joyo harus hancur dalam genggamanku. Dia remuk, aku baru merasa puas.” ”Kebetulan..., kedatangan kalian merupakan sesuatu yang sangat kuharapkan. Ibarat pucuk diminta, ulam pun tiba.” kata Keksi Anjani. ”Kalian akan kuberi ilmu silat dan kesaktian tambahan. Namun ada satu syarat dan kalian mesti mau melaksanakannya. Kalian berdua kuharapkan bersedia memperkuat kerajaan Alas Waru. Kerajaan ini akan menjadi kuat kalau kalian mau memperkuatnya. Bagaimana, apa kalian bersedia?” ”Ya, kami bersedia, Keksi Anjani,” jawab Riris Manik dan Mayang Kencana bersamaan. Tanpa pikir panjang lagi, mereka berdua menyanggupi keinginan Keksi Anjani. ”Walaupun aku ma
CataAkibat kena hantaman Ajian Maruta Seketi, tubuh melesat tinggi ke langit dengan tubuh berputar. Namun kali ini Suro Joyo bisa menguasai angin puting beliung. Dia bersalto beberapa kali sehingga lepas dari kisaran angin puting beliung Ajian Maruta Seketi. Malah dengan gesitnya dia menghantamkan pukulan Rajah Cakra Geni ke arah lawan saat dirinya melayang ke bumi! Sinar merah melesat ke arah Keksi Anjani yang sudah berada pada keadaan luka. Dia berusaha menghantamkan ajiannya dengan menggunakan tangan kiri. Paniratpati tidak tega mengetahui keadaan Keksi Anjani. Dia menyambar tubuh Keksi Anjani. Dia bawa lari ke tempat yang aman, lalu meletakkannya di bawah pohon besar. Leretan ajian dari Suro Joyo menghantam batu besar. Batu itu hancur menjadi kepingan-kepingan kecil. Bahan ada yang menjadi debu. Debu melayang ke udara bebas. ”Paniratpati..., kalau kamu ingin mempersuntung diriku, habisi Suro Joyo terlebih dahulu!” rayu Keksi Anjani dekat telinga Paniratpati. Laki-laki muda berwa
Godar mundur beberapa langkah untuk menghindari tendangan yang lebih keras dan mematikan. Setelah berjarak beberapa tombak, Godar berhasil menguasai diri. Dia pasang kuda-kuda lagi sambil mengarahkan pedang yang ujungnya telah patah, ke arah lawan.“Wooo, kamu bisa selamat dari serangan pertamaku,” kata Rumpang. “Hanya pedangmu yang patah, bukan lehermu! Kalau orang lain, mungkin ada anggota tubuh yang kutung.”“Aku berbeda dengan siapa pun, termasuk denganmu,” sahut Godar untuk mencari celah-celah kelemahan supaya bisa menundukkan lawan. “Kalau orang lain mati akibat serangan pedang bajamu, tetapi aku tidak. Aku masih bisa menandingi serangan pedang baja.”“Baiklah, kalau pada serangan pertama kamu bisa lolos dari maut, sekarang kamu tidak bisa lolos lagi, hiaaat!” kata Rumpang sambil menyabetkan pedang bajanya. Rumpang pmengalirkan tenaga dalam ke tangan kanan yang menggenggam pedang baja warna hitam.
Benturan keras dua pedang tak terhindarkan. Saat menangkis tadi, gerakan Sengkalis agak terlambat. Pedang Sengkalis melencong. Melenceng. Menyerempet bahu kiri lawan. Palarum terperanjat setelah menyadari bahwa dirinya merasakan sengatan panas akibat goresan kecil pedang di tangan Sengkalis.Palarum mundur beberapa langkah untuk melihat luka di bahu kirinya. Dia lihat hanya goresan kecil akibat terserempet ujung pedang Sengkalis.“Ternyata tidak parah,” gumam Palarum. “Aku bisa menyerang lagi untuk menghabisinya. Seperti yang pernah dikatakan Gusti Putri Keksi Anjani, dengan cara apa pun, lawan harus dilenyapkan!”Sengkalis yang lolos dari sabetan pedang lawan yang mengarah kepala, juga mundur beberapa langkah. Meskipun ujung pedangnya tadi telah menggores bahu kecil Palarum, tapi Sengkalis tetap pasang kuda-kuda untuk menyongsong serangan lawan. Dia lihat Palarum telah siap melakukan serangan lagi dengan ujung pedang mengarah ke depan. M
Setiap ingat kematian Riris Manik dan Mayang Kencana, Keksi Anjani jadi naik pitam. Kemarahannya meledak-ledak tak terkendali. Dua saudara seperguruan telah tewas oleh Suro Joyo. Hanya satu cara dendam Keksi Anjani terlampiaskan, bunuh Suro Joyo. Tak ada hal lain yang bisa menuntaskan kemarahan dan dendam Keksi Anjani kecuali kematian Suro Joyo.Keksi Anjani mengumpulkan segenap tenaga dalamnya pada kedua telapak tangan. Dia ingin melancarkan serangan tangan kosong. Satu jurus dia siapkan untuk menyerang, tapi Suro Joyo tiba-tiba menahan Keksi Anjani supaya tidak menyerang terlebih dulu.”Tunggu! Aku perlu memberi penjelasan padamu dulu,” kata Suro Joyo dengan tenangnya. ”Bukannya aku sombong, memang beginilah pembawaanku. Sifatku seperti ini. Aku kadang-kadang suka bercanda. Mungkin karena kata-kataku kadang-kadang ada yang kasar, mungkin orang-orang menyebutku sombong.”Keksi Anjani menahan gerakannya untuk lawan sedang berbicara untuk
Suro Joyo menghela napas sejenak sambil mengingat-ingat mimpi yang dialaminya saat dirinya tidur. Tepatnya pingsan, lalu dilanjutkan tidur. Waktu pingsan dan tidur itu selama sehari semalam. Berapa lama dirinya pingsan dan berapa waktu pingsan, Suro Joyo tidak tahu. Pingsan dan tidur dialami manusia dalam keadaan tidak sadar. Suro Joyo mimpi saat dirinya tidur.“Tadi aku mimpi didatangi seorang pendekar muda yang umurnya sebaya denganku,” Suro Joyo memulai cerita mimpinya. “Wajah orang itu persis dengan wajahku. Hanya bedanya pakaian yang dikenakannya berwarna kuning. Mulai baju, celana, dan ikat kepala, semua berwarna kuning.”Banaswarih, Bandem, dan Lunjak mendengarkan cerita Suro Joyo sambil mengamati pakaian Suro Joyo yang serba putih. Pakaian yang dikenakan Suro Joyo robek-robek di sana-sini karena kena Ajian Maruta Seketi kemarin.“Pendekar muda yang mirip aku itu membentak-bentakku dengan suara keras,” lanjut Suro Joyo.
Ketika bangun dari pingsannya, Suro Joyo merasa dirinya berada di sebuah tempat yang asing. Dia kini juga bertatapan dengan tiga orang yang asing. Padahal, baru saja dirinya mimpi ditemui sosok yang membuatnya terbangun. Terbangun dari pingsan, juga tidur selama sehari semalam.Suro Joyo duduk sambil mengucek-ngucek mata beberapa kali. Dia ingin memastikan bahwa dirinya sedang sadar. Sudah bangun dari mimpinya. Mimpi yang membuatnya merasa ngeri karena bentakan orang dalam mimpi yang tidak pernah dikenalnya!“Eh…, maaf, kalian ini siapa?” tanya Suro Joyo kepada tiga orang yang menungguinya selama Pendekar Kembara Semesta itu tak sadar diri. “Dan…, aku ini di mana sekarang?”“Namaku Banaswarih,” jawab kesatria tampan itu. “Ini anak buahku, Bandem dan Lunjak.”Banaswarih melanjutkan perkataannya, “Coba Kisanak Suro Joyo ingat kembali peristiwa kemarin. Kemarin Kisanak bertarung melawan Keks
Keksi Anjani tahu bahwa Palasih ingin mengincar nyawanya. Pedang di tangan Palasih yang sekarang berada di ketinggian, siap membabat leher Keksi Anjani. Keksi Anjani menyadari bahwa Palasih tak kan ragu sedikit pun untuk menghabisi dirinya. Palasih sangat bernafsu untuk membunuh bekas pemimpinnya. Perasaan dendam Palasih terhadap Keksi Anjani membuatnya tega melakukan perbuatan keji. Perbuatan keji yang dilakukan Palasih ada dua. Pertama Palasih mencuri kitab Ajian Maruta Seketi. Perbuatan keji kedua, yang sekarang akan dia lakukan. Palasih sangat yakin dirinya bakal bisa memenggal Keksi Anjani! Saat Palasih berada berada di atasku, ini kesempatan yang baik. Kata hati Keksi Anjani. Ini kesempatan yang kutunggu-tunggu. Setiap lawanku melesat ke udara, maka itu kesempatan nyata yang tidak boleh disia-siakan. Aku bisa melakukan sesuatu yang menguntungkan diriku. Benar, kesempatan tersebut tidak disia-siakan Keksi Anjani. Dia menghantamkan ajian
Mereka berdua keluar dari goa. Mereka berdua terbelalak kaget demi dilihatnya sosok pendekar wanita yang berdiri membelakangi mereka. Sosok itu memandang lurus ke timur. Tempat ke arah matahari terbit. Janurwasis dan Palasih tahu siapa wanita yang berdiri tegak dalam posisi membelakangi. Wanita pendekar. Wanita cantik yang menjadi pendiri Pesanggrahan Alas Waru! Ya…, dia Keksi Anjani! Janurwasis sebagai orang selama ini naksir, menginginkan Keksi Anjani untuk dijadikan istri, tentu sangat mengenal Keksi Anjani. Baik dari segi fisik, tubuh, kecantikan, Janurwasis sangat hafal. Begitu juga dengan Palasih. Palasih anak buah sejak lama. Tentu saja Palasih sangat mengenali bentuk tubuh tuan putrinya itu. Keksi Anjani sengaja memunggungi kedua orang yang sama-sama dia anggap pengkhianat dan jahat. Palasih dia anggap pengkhianat karena telah mencuri kitab Ajian Maruta Seketi. Janurwasis dia anggap jahat karena telah memperdaya Palasih, sehingga mencuri kitab rahasia
Godar sejak tadi sudah merasa bahwa posisi pasukan Parangbawana mulai terdesak. Banyak prajurit berguguran di tangan lawan. Lebih-lebih sekarang Suro Joyo yang secara langsung atau tidak langsung membantu Parangbawana dalam keadaan terluka dan dibawa kabur oleh Banaswarih. Kalau keadaan seperti ini terus berlangsung, maka lama kelamaan pasukan Parangbawana bisa tumpas. Kata Godar dalam hati. Pasukan Parangbawana bisa habis tak tersisa. Sehebat apa pun pasukan Parangbawana, mereka sebagian kalah mengenali medan pertempuran, sehingga mudah ditundukkan lawan. Pasukan Parangbawana banyak yang gugur karena kalah mengenal areal pertempuran. Ketika Sengkalis memberi isyarat kepada dirinya, Godar sudah tanggap. Dia memberikan isyarat balik pada Sengkalis bahwa dirinya sudah paham akan isyarat yang diberikan Sengkalis. ”Mundur...!” teriak Sengkalis lantang. Suaranya menggema membelah angkasa. Dia berharap seluruh pasukan Parangbawana yang tersisa bis