Pendekar Banci Kelana berdiri dengan melipat kedua tangannya di dadanya sembari tersenyum sinis ke arah lawannya yang sudah makin tak berdaya. Tak lama kemudian sang lawan ambruk menggelepar ke bumi dengan meregang nyawa.
Beberapa laki-laki masuk dan mengangkat keluar mayat Pendekar Iblis Cebol dari panggung pertarungan. Sesaat kemudian muncul juru acara, Ki Surojoya dan langsung mengangkat tangan kanan Pendekar Banci Kelana sembari mengumumkan kemenangannya atas lawannya, Pendekar Iblis Cebol.
Pasangan kelima yang maju di panggung pertarungan adalah dua orang pendekar yang memiliki postur sama-sama besar tinggi dan kekar. Yang seorang berjuluk Pendekar Iblis Tenggara dan lawannya bernama Pendekar Kapak Sakti.
Menurut bisikan Ki Jalak Ireng, Pendekar Iblis Tenggara merupakan saudara seperguruan dari Pendekar Iblis Cebol dan Pendekar
Ki Jalak Ireng dan Nimas Isyana langsung saling bertatapan. “Jika dia adalah seorang pendekar, mengapa bukan dia sendiri yang ikut ambil bagian dalam sayembara ini?” bertanya Juragan Srandak seolah-olah pada dirinya sendiri. “Maaf, Juragan. Jika pun benar Anom adalah seorang pendekar, tentu saja dia tetap tak tertarik dengan sayembara itu. Pertimbangan saya, pertama, dia lebih bahagia hidup bebas sebagai saudagar petualang, dan tak ingin terikat oleh sebuah jabatan. Yang kedua, dia tidak tertarik dengan hadiah dari juragan itu, karena dia seorang saudagar kaya juga.” “Ya, ya, aku setuju dengan pendapatmu, Jalak Ireng,” puji Juragan Srandak. “Lalu pertanyaan keduanya adalah, mengapa tiba-tiba Laksmi berminat untuk ikut sayembara yang berbahaya ini? Padahal tujuan akhirnya adalah me
Saat bangun itu, Raden Anom memegang tangan Nimas Isyana untuk membantunya bangun dan berdiri. “Terima kasih,” ucap Nimas Isyana lalu tersenyum manis. “Sama-sama, Nyi...!” Saat melihat Raden Anom melihat ke arah Ki Jalak Ireng dan ingin mengucapkan sesuatu, laki-laki itu menyambutnya dengan sebuah kedipan sebelah matanya. Raden Anom langsung tersenyum sembari menggeleng-geleng pelan. Penonton pada pertandingan di hari kedua jauh lebih ramai dari penonton yang kemarin. Penonton di hari kedua ini bukan saja berasal dari warga dari desa Blimbingan sendiri, namun berasal dari berbagai desa tetangga. Ternyata yang membuat para warga desa-desa lain itu hadir dalam sayembara berdarah-nyawa itu adalah karena mereka mendengar adanya keikutsertaan se
Pertarungan ketujuh adalah antara seorang pendekar yang bertubuh jangkung yang bergelar Pendekar Jangkung Saketi dan pendekar berkulit gelap yang berjuluk Pendekar Kebo Ireng. Begitu nama keduanya disebutkan oleh juru acara, Ki Surojoyo, kedua pendekar itu nyaris bersamaan melentingkan tubuhnya ke atas panggung pertarungan. Keduanya sama-sama membentengi diri dengan senjata andalannya masing-masing. Pendekar Jangkung Saketi memegang tombak trisula, sementara Pendekar tongkat dari wesi kuning. Dilihat dari tampilan, keduanya memiliki usia yang lumayan jauh selisihnya. Pendekar jangkung terlihat jauh lebih tua, sementara Pendekar Kebo Ireng masih terlihat muda dan lebih kekar. Menurut Ki Jalak Ireng, usia pendekar jangkung nyaris tujuh puluh tahun, tetapi kedigdayaannya masih sangat diperhitungkan oleh lawan-lawannya, baik di kalangan aliran hitam maupun di kal
Pendekar Wadon Kulon melirik ke samping, ia melihat dua kaki lawannya. Artinya, jika ia melakukan sebuah gerakan, maka sama halnya dia membunuh dirinya sendiri, dan benar...ujung salah satu pedang yang ditekan di punggungnya akan menembus jantungnya. Maka ia pun langsung menjatuhkan tubuhnya sehingga membuatnya seperti orang yang tidur tengkurap. “Baiklah, Cah Bagus, aku menyerah...!” “Terima kasih, nek. Tapi nenek jangan pernah berpikir untuk melakukan kecurangan, sebab aku tak akan memaafkan nenek!” ancam Pendekar Naga Merah dengan suaranya yang datar. “Baiklah, Cah Bagus, aku tahu. Aku tak mungkin melakukan itu.” “Baik, terima kasih...!” Tepukan tangan dan seruan-seruan penonton pun langsung pecah membahana. Na
Malam hari, Raden Anom mengobrol berdua dengan Laksmi di halaman belakang rumah. Walau dinaungi oleh beberapa pohon sawo, namun sinar rembulan tetap mampu menerangi tempat itu. Keduanya membahas masalah lanjutan pertandingan esok hari. “Apa ada yang Dik Laksmi pikirkan tentang pertandingan esok hari?” tanya Raden Anom. “Tidak pada pertarungannya, Mas, tapi hanya pada siapa calon tarung pertama saya besok.” “Hm. Tapi siapa pun yang lawan pertama atau selanjutnya Dik Laksmi besok, tidak perlu dirisaukan, karena Mas akan melindungi Dik Laskmi tanpa siapa pun yang tahu. Bahkan bila perlu, Dik Laksmi minta kepada juru acara agar Dik Laksmi agar bisa melawan dua orang sekaligus. Jika demikian, maka kemungkinan Dik Lasmi akan bertarung dengan Pendekar Naga Merah di pertarungan terakhir.”
Lagi-lagi Pendekar Banci kelana tertipu. Rupanya gerakan liciknya itu sudah diketahui oleh sang lawan. Saat ujung selendang mengandung maut itu satu depa lagi akan memotong urat lehernya, dengan cepat Pendekar Cambuk Iblis melentingkan tubuhkan ke belakang, yang kemudian dengan menggunakan siku kiri untuk menyangga tubuhnya, tangan kanannya dengan cepat dan kuat mengayunkan cemeti saktinya ke depan, dan... Crash..! Crash...! Dua kali ujung cambuk yang ada semacam pisau pendek namun sangat tajam itu mengenai perut lawannnya, Pendekar Banci Kelana dan mengoyaknya. “Ah...!” Semua penonton spontan menutup wajahnya atau memalingkannya ke arah samping karena tak sanggup melihat pemandangan yang mengerikan di hadapan mereka. Serta-merta Pendekar banci Kelana
Yang paling bernafsu untuk menyerang adalah Pendekar Kapak Kembar. Begitu Ki Surojoyo turun dari panggung pertarungan, laki-laki yang bertubuh kekar dan berwajah garang itu langsung menyerang ke depan dengan memutar kedua kapak kembarnya dengan sasaran yang berbeda pada tubuh lawannya, Pendekar Naga Merah. Pemuda yang bergelar Pendekar Naga Merah tentunya bukanlah pendekar berkepandaian rendah. Begitu mendapat serangan itu, ia justru menyambut serangan yang sangat berbahaya itu dengan menggunakan tangan kosong sembari menyambutnya dengan tendangan memutar yang sangat keras dan mengarah langsung pada bagian bawah dada lawannya. Saat Pendekar Kapak Kembar bergerak memutar untuk menghindari tendakan keras lawannya, justru saat itu sang lawannya mengirimkan tendangan kerasnya dengan menggunakan kakinya yang lain. Bughk...!! Bughk.
Suara penonton langsung gegap gempita untuk memberikan semangat kepada kedua bertarung. Tetapi nama Laksmi atau Pendekar Cantik terus-terusan dielu-elukan. Pendekar Cambuk Iblis terus saja menyabetkan cambuk bajanya ke arah tubuh Laksmi, tetapi sejauh ini tak satu pun yang mampu menembus pelindung tak kasat mata yang menyelimuti tubuh gadis cantik itu. Bahkan pukulan dan tendangannya hanya mengenai angin kosong karena dengan mudahnya lawannya itu menghidarinya dengan hanya menggerakkan tubuhnya sedikit. Ia benar-benar seperti sedang melawan sesosok bayangan semata. “Ayo pria tua, teruskan seranganmu. Apakah keperkasaanmu yang kau bangga-banggakan itu hanya segitu saja?” ejek Laksmi sembari terus menggerakkan tubuhnya mengelakkan setiap serangan cambuk, tangan, dan kaki lawannnya. Mendengar ejekan itu
Di pelaminan yang cukup megah, pengantin laki-lakinya senantiasa menebarkan senyum bahagia. Sementara pengantin wanitanya, Nilamsari, nyaris tak ada senyuman yang menghiasi wajah cantiknya. Justru ia lebih banyak menunduk dengan wajah sedih. Ia tak henti-hentinya mengusap air matanya yang menetes dengan ujung kain yang menutup kepalanya. Namun suasana bahagia bagi Ki Wisesa Nararya itu tiba-tiba berubah gaduh. Para undangan yang hadir dalam malam bahagia itu tiba-tiba panik dan berlarian setelah sebuah ledakan bak gemuruh petir langsung menghancurkan tempat berlangsuntgnya acara. Puluhan anak buah Ki Wisesa Nararya yang sedang mengamankan berlangsungnya acara malam itu langsung bersiaga untuk menjaga kedua mempelai dari kemungkinan buruk. Sebab mereka tahu, bahwa ledakan yang menghancurkan itu bukanlah gemuruh dan sambaran petir yang sesungguhnya, tetapi adalah serangan dadakan dari seseorang. Dan benar saja. Seorang yang mengenakan cadar hitam adalah pelakunya. Puluh
“Ya, ya, duduklah,” ucap Raden Anom. “Apakah kamu benar-benar mencintai kekasihmu itu?” “Tentu, Kakang Pendekar. Andaikata saya ada pada saat Nilamsari dibawa paksa oleh para anak buahnya Ki Lurah Darka itu, tentu saya akan melawan para keparat itu, walau nyawa taruhannya!” papar Yodha dengan wajah marah dan geram. “Hum,” Raden Anom tertawa tertahan mendengar ucapan pemuda di sampingnya. “Jika nyawamu telah melayang, lantas siapa lagi yang akan menjadi calon suaminya Nilamsari? Kamu kan sudah mati konyol?!” Yodha menunjukkan wajah kagetnya. Satu tegukan air liurnya ditelannya dengan susah payah, karena saluran tenggorakannya tiba-tiba menjadi sempit. “Ya, kalau nyawa saya me-la-yang, tentu yang akan menjadi suaminya Nilamsari adalah ... Ki Lurah keparat itu, Kakang Pendekar.” Sontak Pendekar Cambuk Halilintar tertawa terbahak-bahak. “Jadi manusia itu harus cerdas, Yodha. Jika kamu hendak melakukan sebuah tindakan, maka pertimbangkan dulu untung dan
Pada saat yang bersamaan Nilamsari sedang menangis tiada henti-hentinya di kamar sekapan di rumahnya Ki Lurah Darka. Selama beberapa hari disekap di kamar itu, ia dilayani oleh ketiga istri Ki Lurah Darka secara bergantian. Baik untuk melap tubuhnya dengan air hangat, luluran, pakaian, dan keperluan makannya. Ki Lurah Darka melakukan semua itu agar gadis itu tidak merasa diculik atau sejenis itu, justru merasa disenangkan. Namun itu tak membuat Nilamsari terkecoh. Ia tetap menangis saban waktu hingga membuat tubuh dan wajahnya menjadi sedikit kurus dan tirus. Ia hanya mau makan hanya karena mengingat orang tuanya, juga kekasihnya Yodha. Jika ia tak makan, maka nasibnya akan makin tragis. Ia bisa mati dan hati orang-orang yang dicintanya akan sangat bersedih. Ki Lurah Darka berencana untuk menjadikannya sebagai istrinya yang keempat, makanya ia tidak akan menyentuh tubuh gadis itu sebelum ia mensahkannya menjadi istrinya. Hanya sekali-sekali ia datang ke kamar hanya sekedar u
Raden Anom tak menangapi pertanyaan itu, ia hanya tersenyum sungging namun sinis sembari melangkah ke arah Ki Jumari. Dan sembari melirik kepada keenam penjahat ia berkata pada Jamuri, “Ini kepeng emasnya, Ki. Bahkan saya menambahnya lagi hingga menjadi tiga puluh keping.” Setelah berkata demikian, Raden Anom mengajak Yodha untuk pergi dari situ. Namun pemuda itu menahan tubuh sang pendekar dengan menarik pergelangan tangannya. Saat itu ia melihat keenam penjahat itu ramai-ramai merampas keping-keping emas di genggaman tangan Ki Jumari. Namun tiba-tiba keenam penjahat itu berteriak sembari berusaha membuang keping-keping emas dalam genggamannya masing-masing. Tetapi keping-keping itu tetap lengket di tapak tangan mereka. Bahkan terlihat tangan-tangan mereka mengeluarkan kepulan dan bau daging terbakar. Jeritan keenamnya pun makin memilukan. Raden Anom menggeleng-geleng. “Itulah ganjaran buat manusia jahat dan serakah seperti mereka,” gumamnya pelan. Dan tanpa
“Apakah Yodha tidak punya keinginan untuk menjadi bagian dari pasukan kerajaan?” tanya raden Anom tampa menoleh kepada lawan bicaranya, karena pandangannya ditebarkan pada kondisi perkampungan yang terlihat semrawut di sana sini. “Keinginan itu ada, Kang Anom, tapi kasihan Biung dan Bopo jika saya meninggalkan mereka. Bopo sudah tak terlalu kuat lagi jika harus terus mengurus sawah dan kebun,” sahut Yodha. “Tapi Yodha pernah menimba ilmu di suatu perguruan, mungkin?” “Pernah, Kang. Dari usia sepuluh hingga dua puluh tiga tahun saya pernah menjadi murid sebuah padepan di Watek.” “Ilmu apa saja yang Yodha dapatkan dalam padepokan?” “Lumayan banyak. Ya seperti mislanya ilmu budi pekerti, ilmu seni bela negara, ilmu kependekaran, dan lain-lain. Tapi ya, masih bersifat dasar, Kang. Saya terpaksa tak melanjutkan ke perguruan yang lebih tinggi lagi di kota raja karena usaha Bopo ditutup.” “Tapi ilmu dasar yang telah kamu pelajari tetap bisa jadi modal da
Raden Anom yang kebetulan hendak menuju desa tersebut, sempat menyaksikan iring-iringan puluhan laki-laki berkuda dan beberapa gerobak lembu dari atas sebuah bukit kecil yang berada di belakang desa. Lamat-lamat telinganya bisa menangkap suara jeritan minta tolong yang diselingi dengan kata-kata makian yang tiada hentinya dari gadis yang diangkut dengan salah satu gerobak. “Hm, tampaknya sedang terjadi sesuatu yang tak beres di sana,” gumamnya seolah-olah kepada dirinya sendiri. “Siapakah orang-orang itu? Apakah mereka gerombolan begal? Jika pembegalan terjadi di siang hari bolong seperti ini, betapa buruknya keadaan kerajaan ini. Tapi apakah benar mereka kelompok begal? Sebaiknya aku masuk ke desa itu untuk mencari tahu.” “Hupp ...!!” Hanya dalam waktu sekejap, murid Ki Jagadita telah berada dalam desa itu. Ia masih menyaksikan para warga desa berkerumun di jalan desa sambil membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi. Di wajah mereka menggambarkan raut-raut kep
Setelah kembali ke Padepokan di Kawasan Tapal Kuda, Raden Anom memang memutuskan untuk tidak akan ke mana-mana dulu. Ia lebih banyak mengurus keluarganya dengan bercocok tanam, selebihnya menggembleng Galih dengan ilmu kependekaran serta ilmu-ilmu kehidupan lainnya. Setelah setahun tinggal di kawasan itu, istrinya pun, Nimas Isyana, memberinya seorang bayi laki-laki yang sangat tampan. Raden Anom memberi Sang buah hatinya dengan nama Cakra Bayu. Dengan kehadiran Cakra Bayu di tengah-tengah padepokan, semakin lengkap dan ramailah suasana di tempat itu. Dan semakin betah pula Raden Anom untuk tak ingin ke mana-mana lagi. Tapi tampaknya Sang Hyang Dewata belum menghendaki Sang Pendekar Cambuk Halilintar untuk terus berada di tempat yang terpencil itu. Ketika suatu malam ia bersemedi di Gua Ngampar, ia mendapat wangsit dari eyang gurunya, Ki Baureksa Galap Ngampar. Sang Eyang Guru tak menghendaki ia untuk terus berdiam diri di tempat terpencil itu. Saat itu Cakra Bayu tep
Seperti janji yang pernah diikrarkannya, Laksmi yang dibantu oleh Pendekar Naga Merah, sejak hari pertama mulai menjalankan roda pemerintahannya sebagai seorang lurah atau kepala desa, ia langsung melakukan berbagai gerbakan-gebrakan awal untuk menciptakan masyarakat desa dan perikehidupannya jauh lebih baik dari keadaan dan perikehidupan mereka sebelumnya. Oleh mantan lurah terdahulu, Juragan Srandak, ia diberi bekal kekayaan yang sangat besar, baik berupa hewan ternak, tanah garapan, serta berupakan emas, perak, dan permata. Semua harta itu akan Ni Lurah Laksmi gunakan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran desanya. Ada pun rumah joglo besarnya pun, Juragan Srandak juga menyerahkannya kepada Laksmi. Rumah jogjo dengan bangunan pendukung lainbnya itu dijadikan sebagai tempat tinggal bagi Ni Lurah sekaligus sebagai balai desanya. Dari hartanya yang demikian banyak itu, Juragan Srandak hanya menyisakan untuknya sebagian kecil saja, yaitu hanya berupa beberapa kan
Setelah pertemuan itu, keesokan harinya Ki Lurah Srandak mengumumkan kepada segenap rakyatnya bahwa ia tak akan lagi maju untuk pemilihan kepada desa ke depan tetapi akan digantikan oleh Laksmi Saraswati. Tentu saja pengumuman itu mendapat sambutan gembira segenap warga Blimbingan. Terlebih Ki Lurah Srandak agar mendukung Laksmi secara penuh dan bulat. “Desa Blimbingan ke depan hanya akan mengalami kemajuan dan kejayaan jika pemimpinnya adalah putra atau putri asli dari Blimbingan sendiri. Karena itu, kalian harus mendukung Denok Laksmi Saraswati sebagai pemimpin kalian berikutnya. Dia seorang wanita yang tangguh dan cerdas dan bisa menjadi pemimpin hebat kalian di masa mendatang. Sementara saya sendiri akan segera beristirahat, dan kemungkinan besar akan pergi ke suatu tempat untuk menikmati masa tua aku bersama istri saya,” pidato Ki Lurah Srandak di hadapan warganya.