“Jadi, Rindu, mamamu dulu adalah sahabat Mama. Sejak sekolah SD sampai SMA kami bersama. Gelang yang kamu pakai adalah gelang pemberian Mama,” ujar Hilda. Ia beralih pada tas kecil yang sejak tadi ada di dekatnya.“Ini, gelang yang sama dengan gelang yang kamu pakai. Mama masih menyimpannya sebagai kenangan yang sangat berharga.”Air mata menitik. Hilda mengatur napas dan menghapus bulir kristal itu.Rindu belum menanggapi. Ia mengambil gelang yang diperlihatkan oleh Hilda. Pandangannya menelisik setiap sudutnya. Membandingkan dengan gelang yang dipakai.“Mama membeli gelang yang sama. Alhamdulillah, Mama lahir dari keluarga berada. Demi persahabatan kami, Mama sengaja membeli gelang emas itu. Kami berpisah karena Mama harus kuliah di luar negeri. Mamamu juga sibuk dengan kuliahnya, bahkan bekerja. Mama juga menikah lebih awal dan mengundang mamamu, tapi dia tidak bisa datang. Komunikasi kami semakin sulit, mamamu menikah saja, Mama tidak tahu. Sampai kabar kepergiannya terdengar di t
“Apa kabar, Om? Eh, Ayah maksudku,” sapa Ukasya seraya mengulas senyuman manis.“Ba-baik,” jawab Raden sangat kaku dan berusaha membalas senyuman.“Anda pasti kaget dengan situasi saat ini. Yang jelas, namaku yang sebenarnya adalah Ukasya Adanu anak dari Ayah Riko yang merupakan CEO di tempat kerja Anda. Identitas waktu itu, bukan identitas asliku. Jadi, mohon doa restunya untuk pernikahan kali ini.”Raden yang tidak bisa banyak bicara hanya mengangguk. Ia memikirkan segalanya. Meski merasa ditipu, ia tak mungkin menggagalkan penikahan ini atau membawa pergi Rindu yang sudah diusir. Ia tak mau pula dipecat dari pekerjaannya yang sudah mapan serta nyaman kalau berulah.“Terima kasih untuk restunya, Yah,” ujar Ukasya lagi.“Iya. Sama-sama.”Para tamu undangan tentu berbisik. Seharusnya, wali nikah sudah siap bersama keluarga mempelai. Tidak malah menjadi tamu undangan. Namun, mereka tidak bisa mengutarakannya pula secara lantang mengingat yang punya hajat adalah atasan mereka. Semua yan
Jantungku pengen meledak rasanya. Tapi, keputusanku sudah bulat. Aku ingin jadi istri yang baik buat Mas Ukasya.Dalam hati, Rindu coba meyakinkan diri dengan apa yang sudah menjadi keputusannya. Ia memfokuskan lagi kedua matanya untuk melihat suaminya yang makin mendekatinya sambil tersenyum.Walau deg-degan banget, aku harus bisa jadi suami yang bisa mengayomi istri. Aku harus memahami keinginan Rindu meski dia tidak mengatakan apa pun.Sama juga dengan Rindu, Ukasya yang baru pertama kali berurusan dengan masalah ranjang begini harus menguatkan hati agar lebih berani bertindak.Ukasya duduk di dekat Rindu. Kedua mata mereka saling beradu. Namun, Rindu yang merasa malu, sesekali tertunduk.“Sayang, aku tidak mau memaksamu,” ujar Ukasya seraya mengusap punggung tangan Rindu.Sorot mata yang tertunduk, kembali melihat Ukasya meski tampak malu-malu.Kepala menggeleng.“Aku tidak merasa dipaksa, Mas. Aku hanya ingin menunaikan tugasku sebagai istri yang baik untukmu. Bolehkan aku melaku
“Bagaiamana, Bu? Kami harus segera mendapatkannya agar Pak Raden bisa melewati masa kritis sesegera mungkin.”Beberapa waktu, Dewi hanya diam. Ia punya solusi, tetapi kemarahan pada Rindu yang membuatnya berpikir dua kali.Tapi, kalau aku tidak memberikan informasi yang aku tahu, Mas Raden bisa dalam bahaya. Aku tidak ingin hidupku semakin tak karuan.Dewi menghela napas pelan. Kenyataan yang terjadi bertolak belakang dengan keinginan yang besar di dalam hati. Demi Raden, Dewi harus menepis kebencian dan rasa gengsi yang besar pada Rindu. Ia harus meminta tolong pada anak tirinya itu.“Ada salah satu keluarga yang punya golongan darah yang sama dengan Mas Raden. Dalam HP-nya Mas Raden ada kontak bernama Rindu. Silakan hubungi dia,” ujar Dewi pada akhirnya karena tidak mau suaminya kenapa-kenapa.“Kami sudah mencoba menghubunginya, tapi tidak ada jawaban. Apakah ada nomor lain yang bisa memberikan informasi penting ini kepada Saudari Rindu, Bu?”Kesal tentu dirasakan oleh Dewi. Ia seng
Rindu membeku seketika. Antara percaya dan tidak. Namun, degupan di dalam dadanya kian terpacu. Meski tidak ada kenangan baik bersama Raden, wajah ayahnya itu terbayang di dalam kepala.“Rindu, Mama mohon, donorkan darahmu, ya? Bagaimanapun, Pak Raden adalah ayah kandungmu, Rindu. Mama khawatir terjadi hal yang lebih buruk kalau sampai kamu terlalu lama datang ke rumah sakit.” Hilda mengiba.Riko merangkul pundak istrinya sebagai isyarat untuk memberikan ruang terlebih dulu kepada Rindu. Ya, hanya Rindu yang bisa merasakan luka batinnya selama ini.Ukasya menyadari wajah Rindu memucat. Dengan sigap, ia merengkuh pundak wanita itu agar bisa tetap berdiri dengan tegap.“Mama hanya bercanda, kan?” ucap Rindu dengan lirih. Kepedihan dan kegundahan menerobos masuk ke ruangan-ruangan di dalam hati.Hilda menggeleng sambil menunjukkan wajah sedih.“Tapi, aku hanya anak pembawa sial, Ma. Ayahku selalu ngomong begitu. Aku anak terkutuk yang bisanya bikin masalah, bahkan membuat ibuku sendiri m
“Sayang, kamu yakin? Kalau tidak bisa, tidak usah dipaksakan, ya,” ujar Ukasya lumayan terkejut dengan ucapan tiba-tiba yang dilontarkan oleh Rindu.Beberapa menit yang lalu, Rindu menolak dengan keras bahkan sampai meluapkan emosi dan rasa sakit hati yang mengendap di dalam relung hati.“Iya, Mas. Aku mau melakukannya,” jawab Rindu.Hilda melihat sang menantu sambil tersenyum haru. Nasihatnya ternyata dipikirkan dengan begitu matang dan bijaksana hingga akhirnya keputusan akhir yang membuat kebahagiaan didengar dari lisan wanita itu.“Aku tanya sekali lagi, kamu yakin, Sayang?” Ukasya hanya menegaskan tindakan sang istri bukan karena terpaksa hingga membuatnya makin tersiksa. Begitu cintanya Ukasya pada Rindu.Rindu menganggukkan kepala beberapa kali. Di dalam hati masih ada sedikit keraguan yang mendesir lembut. Namun, nasihat Hilda juga terngiang di pikiran. Nasihat baik yang mungkin saja akan terkabul kalau Rindu sedikit menurunkan egonya meski rasa sakit itu masih membekas.“Iya,
“Andai kita tidak pergi ke nikahannya Rindu, kecelakaan ini tidak akan terjadi kan, Ma?” Sambil terisak, Dini bicara dengan lirih, tetapi penuh amarah.Ibu dan anak itu sama-sama memikirkan satu orang yang sama. Satu orang yang selama ini sebagai sumber masalah dalam hidupnya yang tak pernah berkesudahan.“Aku pikir, Rindu yang sudah menjauh, sudah tidak akan mengusik hidupku. Tapi, sekarang malah begini, Ma! Kakiku terluka cukup parah dan entah ke depannya akan bisa sembuh seperti sedia kala atau tidak. Semua gara-gara Rindu kan, Ma?”Kepedihan itu nyatanya makin membutakan mata hati dari seorang Dini. Amarah pada Rindu makin menjadi-jadi. Hal buruk yang seandainya menimpanya di masa depan, harus menyalahkan Rindu. Ya, hanya wanita itu yang pantas disalahkan, bahkan dikutuk agar hidupnya lebih sengsara darinya.“Kalau sampai kakiku tidak bisa seperti dulu, aku mengutuk Rindu agar dia lebih menderita ketimbang aku, Ma! Aku tidak ingin dia bahagia, Ma!”Dini makin tersedu. Pikiran buru
Setelah mencari ruangan tempat Raden dirawat dan diizinkan untuk masuk, Rindu terdiam melihat sang ayah yang berbaring tak berdaya di atas ranjang pesakitan.Kenangan di masa lalu yang isinya hanya rasa sakit kembali memutar secara otomatis di kepala.“Walau semua kenangan yang aku ingat hanya tentang keburukan Ayah, aku datang ke sini untuk membantumu, Yah. Aku tidak ingin menjadi Ayah versi yang lain karena apa yang Ayah lakukan benar-benar terasa sakit. Aku juga tidak ingin mengecewakan Ibu di atas sana kalau aku tidak mau membantu Ayah. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka di mata Ibu, Yah. Meski setelah aku mendonorkan darahku, mungkin aku tidak akan menjenguk Ayah lagi. Kalau Ayah sadar, entah apa yang akan Ayah lakukan. Aku hanya tidak ingin merasakan sakit hati lagi.”Bulir kristal pada akhirnya membasahi pipi. Rindu menghapusnya. Lalu, mengatur napasnya agar perasaan yang bergejolak bisa mereda.Rindu yang seorang diri masuk ke ruangan itu, berbalik badan dan keluar dari sana
“Buat apa mereka datang ke sini?” gumam Dewi ketika melihat dari jendela kedatangan mobil yang di dalamnya adalah Rindu dan keluarga besannya.Rasa gelisah merongrong di dalam hati. Dugaannya salah. Mereka ternyata masih akan menginjakkan kaki di rumahnya. Apalagi keluarga besannya adalah atasan dan pemilik tempat kerjanya Raden. Makin panas dingin yang dirasakan oleh wanita itu.Bel rumah berbunyi. Pembantu membukakan dan menyuruh para tamu itu untuk duduk sedangkan dirinya memanggil sang empunya rumah.Dewi mengatur perasaan yang tidak menentu di dalam dadanya. Ia berharap, keberuntungan selalu menyertai hidupnya agar tidak menjadi bumerang untuk dirinya sendiri atas semua yang sudah dilakukan.“Ayo, Ma. Kita temui mereka. Mungkin saja, Rindu akan mengemis untuk dimaafkan di depan kita semua,” ujar Raden dengan angkuhnya.Sang istri manggut-manggut seraya berekspresi canggung, tetapi mencoba untuk biasa saja.“Akhirnya, kamu datang juga, Rindu,” ujar Raden tidak bisa menahan diri ke
“Apa anak itu tidak akan menemuiku? Anak durhaka!”Raden diperbolehkan pulang ke rumah setelah kondisinya membaik. Begitu pula dengan Dewi dan Dini, meski Dini masih harus memakai kursi roda.Sesuai rencana, Dewi sengaja menutupi semua kebaikan yang sudah Rindu lakukan. Tentang donor darah pun, ia berhasil merahasiakannya dari Raden. Ia bercerita kalau pendonor itu bukan dari keluarga sendiri. Raden pun percaya.“Sudahlah, Yah. Jangan memikirkan sesuatu yang tidak penting. Nyatanya memang Rindu anak yang durhaka. Sejak kita dirawat di rumah sakit, mana ada anak itu menjenguk kita, Yah. Boro-boro mengkhawatirkanmu yang lagi kritis butuh darah, padahal golongan darahnya sama denganmu, Yah.”Dewi terus saja meniupkan kebencian yang membuat Raden makin murka pada Rindu.Raden berdecap kesal. Dalam lubuk hatinya, masih ada keinginan agar Rindu yang masih darah dagingnya menjenguk dan menanyakan keadaannya. Apalagi kecelakaan itu terjadi setelah dirinya pulang dari pernikahannya Rindu. Buka
Setelah mencari ruangan tempat Raden dirawat dan diizinkan untuk masuk, Rindu terdiam melihat sang ayah yang berbaring tak berdaya di atas ranjang pesakitan.Kenangan di masa lalu yang isinya hanya rasa sakit kembali memutar secara otomatis di kepala.“Walau semua kenangan yang aku ingat hanya tentang keburukan Ayah, aku datang ke sini untuk membantumu, Yah. Aku tidak ingin menjadi Ayah versi yang lain karena apa yang Ayah lakukan benar-benar terasa sakit. Aku juga tidak ingin mengecewakan Ibu di atas sana kalau aku tidak mau membantu Ayah. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka di mata Ibu, Yah. Meski setelah aku mendonorkan darahku, mungkin aku tidak akan menjenguk Ayah lagi. Kalau Ayah sadar, entah apa yang akan Ayah lakukan. Aku hanya tidak ingin merasakan sakit hati lagi.”Bulir kristal pada akhirnya membasahi pipi. Rindu menghapusnya. Lalu, mengatur napasnya agar perasaan yang bergejolak bisa mereda.Rindu yang seorang diri masuk ke ruangan itu, berbalik badan dan keluar dari sana
“Andai kita tidak pergi ke nikahannya Rindu, kecelakaan ini tidak akan terjadi kan, Ma?” Sambil terisak, Dini bicara dengan lirih, tetapi penuh amarah.Ibu dan anak itu sama-sama memikirkan satu orang yang sama. Satu orang yang selama ini sebagai sumber masalah dalam hidupnya yang tak pernah berkesudahan.“Aku pikir, Rindu yang sudah menjauh, sudah tidak akan mengusik hidupku. Tapi, sekarang malah begini, Ma! Kakiku terluka cukup parah dan entah ke depannya akan bisa sembuh seperti sedia kala atau tidak. Semua gara-gara Rindu kan, Ma?”Kepedihan itu nyatanya makin membutakan mata hati dari seorang Dini. Amarah pada Rindu makin menjadi-jadi. Hal buruk yang seandainya menimpanya di masa depan, harus menyalahkan Rindu. Ya, hanya wanita itu yang pantas disalahkan, bahkan dikutuk agar hidupnya lebih sengsara darinya.“Kalau sampai kakiku tidak bisa seperti dulu, aku mengutuk Rindu agar dia lebih menderita ketimbang aku, Ma! Aku tidak ingin dia bahagia, Ma!”Dini makin tersedu. Pikiran buru
“Sayang, kamu yakin? Kalau tidak bisa, tidak usah dipaksakan, ya,” ujar Ukasya lumayan terkejut dengan ucapan tiba-tiba yang dilontarkan oleh Rindu.Beberapa menit yang lalu, Rindu menolak dengan keras bahkan sampai meluapkan emosi dan rasa sakit hati yang mengendap di dalam relung hati.“Iya, Mas. Aku mau melakukannya,” jawab Rindu.Hilda melihat sang menantu sambil tersenyum haru. Nasihatnya ternyata dipikirkan dengan begitu matang dan bijaksana hingga akhirnya keputusan akhir yang membuat kebahagiaan didengar dari lisan wanita itu.“Aku tanya sekali lagi, kamu yakin, Sayang?” Ukasya hanya menegaskan tindakan sang istri bukan karena terpaksa hingga membuatnya makin tersiksa. Begitu cintanya Ukasya pada Rindu.Rindu menganggukkan kepala beberapa kali. Di dalam hati masih ada sedikit keraguan yang mendesir lembut. Namun, nasihat Hilda juga terngiang di pikiran. Nasihat baik yang mungkin saja akan terkabul kalau Rindu sedikit menurunkan egonya meski rasa sakit itu masih membekas.“Iya,
Rindu membeku seketika. Antara percaya dan tidak. Namun, degupan di dalam dadanya kian terpacu. Meski tidak ada kenangan baik bersama Raden, wajah ayahnya itu terbayang di dalam kepala.“Rindu, Mama mohon, donorkan darahmu, ya? Bagaimanapun, Pak Raden adalah ayah kandungmu, Rindu. Mama khawatir terjadi hal yang lebih buruk kalau sampai kamu terlalu lama datang ke rumah sakit.” Hilda mengiba.Riko merangkul pundak istrinya sebagai isyarat untuk memberikan ruang terlebih dulu kepada Rindu. Ya, hanya Rindu yang bisa merasakan luka batinnya selama ini.Ukasya menyadari wajah Rindu memucat. Dengan sigap, ia merengkuh pundak wanita itu agar bisa tetap berdiri dengan tegap.“Mama hanya bercanda, kan?” ucap Rindu dengan lirih. Kepedihan dan kegundahan menerobos masuk ke ruangan-ruangan di dalam hati.Hilda menggeleng sambil menunjukkan wajah sedih.“Tapi, aku hanya anak pembawa sial, Ma. Ayahku selalu ngomong begitu. Aku anak terkutuk yang bisanya bikin masalah, bahkan membuat ibuku sendiri m
“Bagaiamana, Bu? Kami harus segera mendapatkannya agar Pak Raden bisa melewati masa kritis sesegera mungkin.”Beberapa waktu, Dewi hanya diam. Ia punya solusi, tetapi kemarahan pada Rindu yang membuatnya berpikir dua kali.Tapi, kalau aku tidak memberikan informasi yang aku tahu, Mas Raden bisa dalam bahaya. Aku tidak ingin hidupku semakin tak karuan.Dewi menghela napas pelan. Kenyataan yang terjadi bertolak belakang dengan keinginan yang besar di dalam hati. Demi Raden, Dewi harus menepis kebencian dan rasa gengsi yang besar pada Rindu. Ia harus meminta tolong pada anak tirinya itu.“Ada salah satu keluarga yang punya golongan darah yang sama dengan Mas Raden. Dalam HP-nya Mas Raden ada kontak bernama Rindu. Silakan hubungi dia,” ujar Dewi pada akhirnya karena tidak mau suaminya kenapa-kenapa.“Kami sudah mencoba menghubunginya, tapi tidak ada jawaban. Apakah ada nomor lain yang bisa memberikan informasi penting ini kepada Saudari Rindu, Bu?”Kesal tentu dirasakan oleh Dewi. Ia seng
Jantungku pengen meledak rasanya. Tapi, keputusanku sudah bulat. Aku ingin jadi istri yang baik buat Mas Ukasya.Dalam hati, Rindu coba meyakinkan diri dengan apa yang sudah menjadi keputusannya. Ia memfokuskan lagi kedua matanya untuk melihat suaminya yang makin mendekatinya sambil tersenyum.Walau deg-degan banget, aku harus bisa jadi suami yang bisa mengayomi istri. Aku harus memahami keinginan Rindu meski dia tidak mengatakan apa pun.Sama juga dengan Rindu, Ukasya yang baru pertama kali berurusan dengan masalah ranjang begini harus menguatkan hati agar lebih berani bertindak.Ukasya duduk di dekat Rindu. Kedua mata mereka saling beradu. Namun, Rindu yang merasa malu, sesekali tertunduk.“Sayang, aku tidak mau memaksamu,” ujar Ukasya seraya mengusap punggung tangan Rindu.Sorot mata yang tertunduk, kembali melihat Ukasya meski tampak malu-malu.Kepala menggeleng.“Aku tidak merasa dipaksa, Mas. Aku hanya ingin menunaikan tugasku sebagai istri yang baik untukmu. Bolehkan aku melaku
“Apa kabar, Om? Eh, Ayah maksudku,” sapa Ukasya seraya mengulas senyuman manis.“Ba-baik,” jawab Raden sangat kaku dan berusaha membalas senyuman.“Anda pasti kaget dengan situasi saat ini. Yang jelas, namaku yang sebenarnya adalah Ukasya Adanu anak dari Ayah Riko yang merupakan CEO di tempat kerja Anda. Identitas waktu itu, bukan identitas asliku. Jadi, mohon doa restunya untuk pernikahan kali ini.”Raden yang tidak bisa banyak bicara hanya mengangguk. Ia memikirkan segalanya. Meski merasa ditipu, ia tak mungkin menggagalkan penikahan ini atau membawa pergi Rindu yang sudah diusir. Ia tak mau pula dipecat dari pekerjaannya yang sudah mapan serta nyaman kalau berulah.“Terima kasih untuk restunya, Yah,” ujar Ukasya lagi.“Iya. Sama-sama.”Para tamu undangan tentu berbisik. Seharusnya, wali nikah sudah siap bersama keluarga mempelai. Tidak malah menjadi tamu undangan. Namun, mereka tidak bisa mengutarakannya pula secara lantang mengingat yang punya hajat adalah atasan mereka. Semua yan