Tatapannya begitu kosong, sama sekali tak terlihat emosi sedikit pun. Tidak sedikit pun sedih, tidak juga marah. Benar-benar dingin seperti tak lagi memiliki hasrat untuk hidup.
Setelah selesai dengan itu, perhatiannya teralihkan ke arah HP di atas kasur yang tak lagi berbunyi. Dia berniat untuk meninggalkan pesan pada kedua anaknya, serta menulis pesan singkat untuk permintaan maafnya atas kematian Nisa adiknya Yusuf.
Hingga tiba-tiba pesan yang dikirim Yusuf pun sampai. Mila membuka pesan itu. Tak panjang memang. Namun pesan yang singkat itu kembali menghadirkan emosi di raut wajah Mila yang sebelumnya sempat dingin dan mati rasa. Senyumnya terpancing keluar diiringi sedikit tawa geli dengan raut wajah konyol. Air matanya tetap jatuh, hanya saja dengan perasaan yang begitu lapang.
Kembali tatapannya kosong, tak tahu juga apa yang sekarang terlintas di pikirannya. Hari pun sudah mulai senja. Kamar itu
Sekarang Rayna menjadi sedikit merasa iri. Meski Yusuf sudah menjadi suaminya, Rayna merasa kisah suaminya dengan Mila di masa lalu jauh lebih indah dari hubungan mereka saat ini.Namun dia sedikit merubah pandangannya juga, berpikir mungkin itu hanya godaan setan saja membisikkan rasa iri seperti itu. Namun di sepanjang perjalanan pulang, Rayna menjadi sedikit penasaran juga dengan pesan yang dikirim Yusuf pada Mila.“Aku rasa, tadi itu dia memang berpikir untuk bunuh diri. Lalu pesan yang kamu kirim mampu mencegahnya,” ujar Rayna.“Mulai lagi deh. Jangan pikir yang aneh-aneh. Ini bukan kisah sinetron seperti yang kamu lihat di TV,” balas Yusuf mencoba mengelak.“Emangnya apa yang kamu katakan padanya?” tanya Rayna mulai memancing.“Serius kamu ingin tahu? Bisa-bisa kamu akan ngambek lagi,” jawab Yusuf dengan sedikit nada menggodanya.Mendapatkan peringatan seperti itu justru malah semakin memancing rasa penasaran Rayna. Tapi dia menyadari juga kalau Yusuf memang sengaja memancing ra
Para petani itu langsung terdiam mendengar sanggahan dari Rayna. Satu dari mereka nampak sembunyi-sembunyi menyikut teman di sebelahnya, si petani yang sebelumnya ceplas-ceplos berbicara soal Yusuf.Satu dari mereka yang paling senior segera mengurai kebuntuan tersebut. Karena sejatinya, bukan itu maksud kedatangan mereka ke rumah Yusuf.“Maaf, jangan salah paham dulu, Suf!” ujarnya langsung pada Yusuf.Rayna pun menepuk bahu Bobby dan memberikan kode agar dia berdiri dari bangkunya. Rayna merebut bangku itu secara dingin dan ikut duduk di sebelah Yusuf.Dia menyilangkan kedua lengannya di dada, nampak dingin menantikan penjelasan dari petani tersebut. Petani tua itu hanya manggut-manggut sungkan sebelum melanjutkan penjelasannya.“Kami datang bukan bermaksud menuduh-nuduhmu, Suf. Justru sebaliknya, kami ingin memastikan apa kamu akan meneruskan menjual hasil panen para petani di sini?” tanya pak tua itu.“Maksud Bapak, soal aku jadi distributor seperti para tauke itu?” tanya Yusuf me
Menjelang menunggu proses pembelian mobil itu rampung, Yusuf sibuk melobi kembali pedagang yang sebelumnya sempat berbisnis dengannya. Dan memang pada kenyataannya, mereka sedang mengalami kesulitan juga untuk pengadaan barang.Ketika mereka mulai berhenti mendapatkan pasokan dari Yusuf, anehnya mereka juga mulai kesulitan membeli barang dari sesama pedagang lain. Sementara mereka juga masih tak bisa memasok barang dari para tauke karena pengaruh dari Bu Harmoko.“Jadi mereka keberatan menjual barang pada kalian?” tanya Yusuf.[Benar! Mereka tak bilang alasannya. Justru di situ kami semakin yakin, sepertinya ada yang menekan. Kalau memang masalahnya hal sepele, tentu mereka akan cerita saja seperti biasa. Toh, kita ini sudah sama-sama berjualan juga bertahun-tahun di sini]“Tapi masalahnya, mobil yang kubeli mungkin baru akan bisa dipakai sekitar dua minggu lagi. Masih ada beberapa hal yang harus kuurus. Dan lagi, ragu juga langsung memakainya untuk angkut barang banyak-banyak dalam k
Dalam perjalanan menuju rumah petani itu, Yusuf juga tetap sibuk menghubungi petani-petani lain untuk menanyakan ketersediaan barang. Hingga kemudian, saat mereka sudah dekat dengan rumah petani yang sudah dihubungi tadi, Bobby langsung menyenggol lengan Yusuf.“Bukankah itu truk milik mertuamu?” seru Bobby.Yusuf pun membatalkan niatnya untuk melakukan panggilan yang lain. Dani yang duduk di bangku belakang ikut maju untuk melihat. Tentu mereka bertiga cukup familiar dengan truk itu karena sudah lama juga berkerja dengan Harmoko.“Jangan-jangan David lagi,” gumam Bobby.“Lho, memangnya sekarang si David sudah ikut juga turun ke ladang mencari pasoakan barang?” tanya Dani.“Sudah pasti, kan?! Sejak Yusuf tak lagi kerja dengan Pak Harmoko, siapa lagi yang bisa diandalkan untuk melobi para petani di kawasan ini,” balas Bobby.Mobil kijang itu pun berhenti tak terlalu jauh di belakang truk tersebut. Yusuf agak ragu juga, karena seingatnya petani yang dia hubungi tadi hanya punya delapan
Yusuf pun tersenyum sumringah, berbarengan dengan sumringahnya wajah petani itu. Tinggal David seorang yang diam dengan wajah masamnya.“Kalau begitu, aku tinggal dulu, Pak. Mau menemui petani lainnya,” ucap Yusuf pamit.Petani itu manggut-manggut dan tak lupa mendoakan urusan Yusuf lancar. Yusuf berlalu dengan tak lupa sedikit menepuk lengan David sekali dan pergi meninggalkannya di sana tanpa berkata apa-apa lagi padanya. David hanya bisa menahan rasa kesalnya, melihat Yusuf berlalu pergi.Diperjalanan, Yusuf masih sibuk menelepon untuk memastikan ketersediaan barang dari petani lainnya. Hingga dalam satu hari itu dia merampungkan semua permintaan yang diterimanya dari Firman.Bahkan sebagian petani malah menawarkan lebih karena masih memiliki persediaan panen lainnya. Namun Yusuf meminta mereka untuk menahan dulu.“Kenapa tak ambil saja dulu, dan taruh di rumahmu. Daripada nanti diambil orang. Aku yakin Firman dan yang lainnya masih akan memesan,” usul Bobby.“Biar nanti kita saja
Pada akhirnya, Bobby keluar dan mengetuk pintu rumah Dani. Tak lama menunggu, Dani datang membukakan pintu.“Boleh aku menginap di sini saja dulu bersamamu?” tanya Bobby.Dani tersenyum, cukup mengerti juga perasaan temannya itu saat ini.“Masukalah, biar aku yang parkirkan mobilnya,” ucap Dani meminta kunci mobil pada Bobby.Pada akhirnya, mobil itu mereka parkir di halaman rumah Dani dan memilih untuk menginap di sana.Kenyataannya, beberapa preman yang tak dikenal memang sedang ramai duduk-duduk menjelang ke perbatasan kota. Sebagian terlihat memegang balok kayu, ada juga yang membawa kunci inggris. Yang lebih parah itu, seorang remaja tanggung dengan samurai karatan.Seakan mereka di sana sedang menantikan sesuatu hingga menjelang tengah malam. Tak jelas untuk apa. Yang jelas, mereka baru bubar setelah ada pergerakan mobil patroli polisi dari arah bawah bukit.Sejatinya, mobil patroli itu hanya lewat saja hendak menuju satu pos di dekat kawasan Hutan Raya Muhammad Hatta. Tapi teta
Saat subuh, ketika ibu dari Dani datang membangunkan anaknya untuk salat, kebetulan pas HP anaknya itu berbunyi.“Woy, Dan! Subuh!”“Hm? Ntar dulu lah Bu.”“Ntar kapan? Tunggu masuk neraka dulu mau salat? HP-mu berbunyi terus tuh!”Baru di situ Dani meraih-raih HP-nya dan menjawab panggilan itu dengan mata masih terpicing.[Hey, apa kalian baik-baik saja? Kenapa sudah sekali menelepon kalian?]“Iya, sorry! Kami langsung tertidur kemarin. Ini juga dibangunin ibuku. Tak tahu juga, mungkin HP-nya tertindih bantal, jadi tak kedengaran.”[HP Bobby pun sudah tak bisa aku hubungi dari kemarin. Maaf aku mengganggu tidurmu. Aku hanya khawatir saja]“Cewekmu ya?” sela ibunya bertanya dengan suara lantang. “Giliran ditelepon cewek saja baru mau bangun. Sudah sana, salat dulu! Bangunkan juga si Bobby. Ga enak kalau ibu juga yang bangunin.”Dani pun akhirnya menutup telepon itu. Pada kenyataannya, memang Yusuf juga yang meneleponnya.“Kalau begini, Ibu jadi ragu apa kamu salat atau tidak waktu tin
Raut wajah Firman menjadi begitu serius, mulai menerka-nerka siapa orang yang sudah berbuat buruk padanya. Namun kemudian dia jadi kepikiran juga, satu peti tomat itu adalah tomat yang ditujukan pada Bu Mardiah.“Apa jangan-jangan sekarang Bu Mardiah pun sudah jadi target mereka juga?” gumamnya.“Apa maksud Da Firman?” tanya Bobby.“Haaiyh,” balas Firman mengeluh menghela nafas. “Uda khawatir ini ulah orang suruhannya Bu Harmoko. Memang kami sempat bermasalah dengan beliau. Pada hal yang bermasalah itu cuma Uda, lalu Agus, Fendi dan Ramlan. Tapi sekarang tomat yang Uda kirim untuk Bu Mardiah pun jadi sasaran,” gerutu Firman menyesalkan.Bobby merasa menjadi semakin risih saja, takut urusan itu jadi ke mana-mana. Dia tak bisa juga asal bicara saat ini pada Firman sebelum mendiskusikan dulu hal itu pada Yusuf.Karena itu juga, Bobby maksa saja untuk pamit pergi meninggalkan semua urusan itu pada Firman.“Maaf, Da Firman. Bukannya mau lari dari masalah ini. Tapi kami benar-benar harus se
Selang beberapa minggu, kepolisian masih saja belum menemukan keberadaan satu preman yang jadi buronan tersebut. Tentu mereka sadar juga, satu preman itu pasti sudah melarikan diri keluar dari provinsi. Atau mungkin keluar dari pulau Sumatera. Begitu juga dengan laporan orang hilang atas David dan Rani, sampai sekarang belum juga mendapatkan kabar. Kehilangan mereka berdua, sedikit banyak telah memancing dugaan dari tim penyelidik. Pasalnya, mereka masih satu keluarga. Pihak kepolisian menduga hilangnya dua orang tersebut mungkin karena mereka juga telah menjadi target dari orang yang sama yang ingin mencelakai Yusuf. Namun Harmoko meyakinkan polisi bahwa itu tak mungkin ada hubungannya dengan insiden yang menimpa Yusuf. “Kami masih sedang mengusahakannya dalam dua minggu ini. Apa Bapak yakin ini tak ada hubungannya dengan hal yang menimpa menantu Bapak yang seorang lagi?” tanya polisi pada Harmoko. Harmoko pun mendekatkan duduknya pada petugas polisi itu, seperti ingin berkata se
Sore harinya, dua orang petugas dari kepolisian mendatangi rumah sakit di mana Yusuf di rawat. Salah satu dari mereka langsung meminta untuk melepaskan borgol Bobby.“Kenapa di borgol?” tanyanya.“Lah tadi katanya suruh tahan dulu di sini.”Petugas itu hanya memasang wajah memelas dan kemudian masuk ke dalam ruang perawatan untuk mendatangi Yusuf. Kebetulan pada saat itu Yusuf sudah kembali bangun dan sedang makan disuapi ibunya.Polisi yang baru datang itu juga meminta petugas yang menjaga untuk melepaskan borgol di tangan Yusuf. Setelah itu, dia kemudian memberikan sedikit keterangan mengenai kasus yang sedang mereka selidiki.“Kami menemukan luka-luka di bagian kaki. Otot-otot di belakang tumit mereka putus. Begitu juga di bagian lutut dan pangkal lengan. Apa saudara yang melakukannya?”Mak Sannah terdiam mendengar pertanyaan polisi terhadap anaknya itu, dan langsung meletakkan piring makanan di atas meja. Yusuf menepuk lembut lengan ibunya, dan tersenyum seakan mengatakan tak perl
Di gerbang, Rani sempat berpas-pasan dengan Cindy yang kembali dengan motor maticnya. Cindy langsung berhenti di gerbang itu, dan bertanya pada Rani.“Ran, mau ke rumah sakit?” tanyanya.Namun Rani tak menyahut dan terus berlalu.Cindy mengerutkan wajahnya sedikit. Dia tak yakin kalau raut wajah Rani yang tengah diliputi kepiluan itu karena rasa simpati soal apa yang terjadi dengan Yusuf.Sesaat dia berpikir, apa mungkin Rani seperti itu karena mendapatkan kabar buruk. Namun dia tak juga bisa menerima kemungkinan itu, karena baru saja dia sudah mendapatkan berita dari Rayna soal kondisi Yusuf.Dia pun berlalu, dan kembali mengarak motor maticnya itu memasuki perkarangan rumah. Hingga kemudian perhatiannya tertuju pada pintu rumah Rani yang dibiarkan terbuka. Dari situ, baru Cindy menyadari ibunya yang sudah tergeletak di teras rumah.“Buu!”Dia langsung menelantarkan motor, dan bergegas ke teras rumah tersebut. Dia sempat mendapati sebelah lengan ibunya bergerak seperti orang ayan. Ha
Kebetulan, daun pintu itu sedikit terbuka. Dan Rosdiana langsung saja mendorong pintu itu lebar-lebar, kemudian berlagak pinggang di sana. Anehnya, David dan Rani sama sekali tak menunjukkan wajah bersalahnya. Gelak tawa mereka hanya terurai sedikit saja, dan menoleh ke arah Rosdiana dengan sedikit kesan pangling. Toh, pikir mereka selama ini Rosdiana sangat membenci Yusuf sebenci-bencinya sampai tak memiliki empati lagi. Setidaknya itu dipikiran mereka. Namun tidak, Rosdiana langsung membentak David begitu keras. “Dasar setan! Keluar kau dari rumah ini!” Rani terkejut, dan wajahnya pun langsung pucat. Dia bergegas menghampiri ibunya dengan kegamangan tergambar di wajahnya. “Bu, kenapa Ibu tiba-tiba...” “Diam kau!” bentak Rosdiana. Rani pun terkenjut, bahkan tergerak mundur menerima semprotan amarah dari ibunya itu. Dia sudah sering melihat ibunya itu marah-marah. Tapi baru kali ini dia yang dimarahi. Satu tangan Rosdiana pun bergemetaran menunjuk ke arah David. Emosinya begitu
Harmoko yang menyadari kedatangan istrinya itu, langsung bergegas keluar. Dia berlalu sesaat melewati Rayna dengan tatapan tak senang.Tentu Rayna pun diliputi perasaan bersalah. Karena bagaimanapun, Rosdiana tetap ibu kandunganya. Dia pun kembali masuk menghampiri suaminya dengan perasaan campur aduk.Hingga tiba-tiba, si petugas polisi yang sedang berjaga di sana mengatakan sesuatu yang cukup penting untuk Rayna.“Aku pikir mungkin Ibu dan keluarga perlu mencari pengacara. Ini hanya saran saya secara pribadi saja untuk berjaga-jaga, siapa tahu masalah ini akan lebih rumit untuk suami Ibu nantinya.”Rayna hanya menoleh sesaat, dan memberikan satu anggukan tanpa mengatakan sepatah katapun. Dia masih tak senang dengan petugas tersebut karena telah memborgol suaminya.Meski begitu, sepertinya sekarang dia mulai sedikit bisa memahami kalau polisi tersebut sama sekali tak memiliki pandangan buruk terhadap Yusuf.Di koridor, Harmoko mencoba menyusul istrinya. Dia menahan bahu Rosdiana dari
Polisi pun datang, namun tak seorang di sana kecuali beberapa mayat yang tergeletak di semak-semak. Satu petugas langsung melakukan panggilan dan meminta bantuan ke Polres Kota Padang.Tak hanya itu, dia juga melakukan panggilan pada satu rekannya yang masih berada di rumah sakit menjaga Yusuf dan Bobby.“Apa laki-laki itu masih bersamamu?”[Ya!]“Tahan dulu dia untuk sementara waktu. Kami menemukan mayat di sini. Orang-orang yang katanya sempat mereka lumpuhkan ternyata sudah mati.”Tanpa melakukan penyelidikan lebih jauh, tentu masih terlalu dini bagi mereka untuk menilai kalau Bobby dan Yusuf lah pembunuhnya. Namun tetap saja, mereka berdua saat ini menjadi satu-satunya tersangka. Karena Bobby sendiri telah mengaku bahwa mereka yang melumpuhkan preman-preman tersebut.Satu petugas polisi mencoba mengamati mayat-mayat tersebut secara seksama tanpa menyentuhnya. Dia mendapati tubuh-tubuh preman itu penuh luka, baik di bagian lengan maupun kaki..Namun satu luka yang jelas fatal yang
Bobby memberanikan diri keluar dari persembunyian dan menyerang sisanya dengan membabi buta. Tiga orang begal itu semakin panik, karena satu temannya masih meirntih dengan luka di lengannya.Pada akhirnya mereka pun memilih kabur. Sementara sisa begal lainnya yang sudah dilumpuhkan Yusuf, masih terdengar merintih di beberapa tempat.Bobby terkesima dengan apa yang sudah diperbuat Yusuf, sementara sahabatnya itu masih berdiri seorang diri. Dia pun menghampirinya dari belakang.Namun belum beberapa langkah Bobby berjalan, Yusuf langsung nampak lunglai. Bobby bergegas menghampirinya dan memapah Yusuf seketika.“Suf! Kau baik-baik saja?”Namun Yusuf tak menjawab, hanya berusaha tetap bertahan dengan satu lutut tertekuk di tanah. Hanya suara nafasnya saja yang begitu berat terdengar.Bobby pun memeriksa kondisinya dengan senter, hingga dia menyadari obeng yang masih tertancap di perut Yusuf.“Andeh, Suuuuf!”“Bagaimana dengan mereka?” tanya Yusuf.“Mereka sudah kabur. Sebaiknya biarkan saj
Dalam perjalanan pulang, Yusuf masih belum lepas dari rasa kesalnya. Bobby sesekali melirik, dan mendapati Yusuf masih membuang muka ke sisi kiri. "Kau seharusnya sudah mengerti dari jauh hari, cepat atau lambat kita pasti akan berurusan dengan Mahzar. Jadi apapun yang mau kau lakukan, harusnya kamu lakukan dengan penuh perhitungan," ucap Bobby. "Ya aku tak mungkin dia saja, Bob!" sanggah Yusuf. "Aku tak menyalahkan tindakanmu. Tapi sebisanya, jangan sampai tindakanmu itu hanya karena dorongan emosi. Aku khawatir nanti kau malah membuat keputusan yang justru akan merugikan kita semua." Yusuf menghela nafas dan mengangguk pelan menerima saran temannya itu. Karena memang ada kebijakan dari kata-katanya tersebut. Dia pun mencoba menenangkan dirinya, khawatir jika sampai moodnya yang jelek itu bertahan sampai di rumah malah akan mendatangkan masalah lain. Memang sebagai laki-laki, tak seharunya dia membawa masalah yang dia temui di luar ke rumah. Namun sesaat menjelang mobil pick up
Gara-gara kejadian di beberapa hari belakangan, kembali Harmoko meminta Yusuf untuk duduk bersama dengan beberapa tauke lainnya. Ini sesuatu yang sama sekali tanpa sepengetahuan Yusuf. Namun tentu saja dia tak bisa menolak permintaan dari mertuanya tersebut. “Dani, kamu kembali saja dulu. Tak enak juga dengan Pak Salman kalau anaknya pulang kemalaman,” jelas Yusuf. Dani mengangguk dan kembali ke mobil di mana anak Pak Salman masih menunggu. Satu mobil itu pun kembali, sementara Yusuf terpaksa harus bertahan dulu ditemani Bobby. Kembali warung sate itu penuh, dan rata-rata yang duduk di sana adalah para juragan besar di Pasar Raya. Sebagian besar dari mereka menatap tak ramah dengan kedatangan Yusuf. Dan seperti biasa, Harmoko menawarkannya dan juga Bobby sate. Namun Mahzar langsung menyela. “Maaf, aku sibuk dan masih ada lebih banyak hal yang harus aku urus. Tolong, Pak Bos kalau memang ada hal penting yang ingin dibicarakan, langsung saja pada pointnya.” Harmoko pun menghelas na