Saat Rayna keluar dari dapur setelah selesai merapikan semua gelas dan teko kopi, Yusuf masih duduk mematung di depan TV. Tak jelas juga apa dia benar-benar mengikuti siarannya atau tidak. “Masih belum mau tidur?” tanya Rayna. Yusuf hanya menoleh sesaat. Namun Rayna tak juga terlalu peduli. Dia sudah mulai sibuk mencari alat tulis, seperti hendak melakukan hitung-hitungan dari penghasilan yang baru saja mereka peroleh. Tak ketemu pena, pensil pun jadi. Pada akhirnya, setelah mengeluarkan modal yang dipakai Yusuf untuk membeli barang, uang Mak Leni yang harus diberikan untuk lima karung kentang, serta biaya sewa mobil untuk ke Padang, Rayna hanya memperoleh laba sebanyak Rp. 335.000. “Eh, tunggu dulu. Tadi katanya mereka sudah memotong 50 ribu untuk makan, kan? Kalau masing-masing mereka dikasih 100 ribu, berarti kita hanya perlu mengurangi 150 kan, ya?” Baru di situ perhatian Yusuf mulai teralihkan, penasaran menunggu hasil hitung-hitungan Rayna. “Nah, kita dapat bersih 185 ribu
Dua motor masing-masing dikendari oleh satu pelajar SMA datang ke rumah Mak Sannah. Satu dari mereka membawa motor milik Aisyah pulang. Di teras itu Aisyah memang sudah menantikan motor itu.Mak Sannah buru-buru datang menghampiri remaja itu sebelum dia kadung pergi. Nampak sekali Mak Sannah begitu khawatir karena motor itu tak datang bersama Yusuf.“Siapa yang kecelakaan, Bil? Yusuf tadi mana?” tanya Mak Sannah.“Bang Rendy, lakinya Ni Mila yang kecelakaan, Mak. Katanya gara-gara menabrak anjing lewat. Tak tahu juga keadaannya sekarang. Dia lagi dibawa sama Bang Yusuf ke Puskesmas. Sudah dulu ya, Mak. Aku mau buru-buru ke sekolah. Temanku sudah nungguin juga.” jawab remaja itu berlalu pergi.Mak Sannah kaget sembari menutupi mulutnya. Dia juga bingung apa yang dilakukan Rendy sepagi itu di kampung sebelah. Setahunya, rumah orang tua Rendy berada di kec
Setelah Mak Leni memutus panggilan itu, si kepala kampung datang menghampiri Yusuf. “Bagaimana?” tanyanya dari belakang. “Bagaimana ya, Pak Medi. Aku...” Yusuf pun jadi bingung untuk menjelaskannya. Kepala kampung itu menghirup nafas dalam. Agaknya dia pun sudah mulai bisa membaca situasinya, mengingat bahwa keluarga Mila dan Rendy itu sudah ribut-ribut juga beberapa waktu yang lalu. “Bapak tahu mereka sedang ada masalah. Tapi Bapak tak habis pikir juga mereka sampai tak mau...” “Maaf, Pak!” sanggah Yusuf memotong. “Mungkin Bapak tak tahu, tapi si Rendy sudah menyatakan talak empak ke istrinya sejak sebulan yang lalu.” Di situ si kepala kampung begitu terperangah. Tak tahu dia bahwa dua orang suami istri itu sudah bercerai. Apa lagi cerai dengan talak empat. Tak terpikir olehnya bahwa pertengkaran mereka seserius itu. Yusuf terlihat semakin teruk saja, nampak tak bergairah dan lesu. Dia juga tak bisa lagi memikirkan apa-apa perihal kondisi Rendy saat ini. Hingga pagi menjelang s
Petugas itu sedikit menaikkan satu alisnya, nampak langsung paham bahwa benar ada sesuatu antara Yusuf dan Rendy.“Apa kamu bermaksud untuk melindunginya karena rasa kasihan?” tanyanya.Yusuf hanya diam seribu bahasa. Dia sadar juga bahwa orang di sebelahnya itu adalah seorang polisi. Cukup wajar juga petugas itu langsung tahu niatnya. Petugas itu pun kembali menghela nafas dan menyandarkan punggungnya ke dinding.“Terus terang saja, ini sudah bukan lagi ranah perdata,” terang polisi itu mengingatkan. “Tanpa laporanmu pun, dia tetap akan diusut karena tuduhan tindak pidana. Preman itu tetap ditahan, dan mereka akan tetap menyeret laki-laki itu dengan keterangan mereka. Maaf saja, dari reaksimu itu aku tahu betul bahwa kamu memiliki petunjuk atas motif ini. Jika kamu tidak mau bekerja sama, justru ada resiko kamu akan dituntut karena menghalangi proses penyelidikan,” jelas Syukri mencoba menakut-nakuti Yusuf.Yusuf masih terdiam memikirkan peringatan polisi itu. Dia pun mulai memijit k
Dalam satu minggu itu, Yusuf sudah tiga kali melakukan bisnis yang sama. Masih dengan empat pedagang yang sama, dan masih dengan merental mobil yang sama.Namun keempat pedagang itu belum berani memesan secara tetap pada Yusuf. Mereka masih harus membeli barang pada pedagang lainnya, dan separuhnya mereka dapatkan dari Yusuf. Satu-satunya alasan mereka berbuat seperti itu hanyalah untuk menghindari perhatian dari para distributor lain yang lebih berpengaruh.Namun pada akhirnya, tetap saja berita itu sampai pada Mahzar, salah satu distributor besar paling berpengaruh setelah Harmoko.“Jadi ada distributor lain yang memasok pada mereka, ya?” ujar Mahzar, pria berwajah bulat dengan kepala licin mengkilap dibagian depannya itu.“Benar, Pak! Setahuku ini sudah yang kedua kalinya mereka memasok barang dari orang tersebut. Bisa saja sudah lama seperti ini tanpa sepengetauhan kita,” jelas anak buahnya itu.“Apa kau tahu siapa saja yang bermain?” tanya Mahzar lagi.“Kalau tak salah, mereka ad
Alasan kenapa Yusuf menolak permintaan Firman dan yang lainnya bukan hanya untuk menghindari perhatian para distributor besar di kota saja. Pasalnya, dia sekarang juga sedang sibuk, harus mendatangi proses pengadilan di ibu kota kabupaten sebagai saksi. Belum lagi soal para wartawan lepas yang mulai sering mendatangi rumahnya. Meski Yusuf selalu menolak mereka, mau tak mau cerita itu sampai juga pada Rayna dan Mak Sannah. Untungnya tak lagi ada yang perlu mereka khawatirkan, karena seluruh preman yang terlibat pun sudah tertangkap. “Jadi kapan kamu akan ke pengadilan lagi?” tanya Rayna, yang baru datang membawakan satu teko kopi di saat suaminya itu sedang sibuk di ladang. “Tak tahu juga. Lagi pula, aku sudah memberikan keterangan saksi sebelumnya. Kalau bisa sih, aku tak mau lagi terlibat dengan ini,” balas Yusuf. Rayna pun memanggil Dani dan juga Bobby untuk menawarkan kopi pada mereka. Setelah itu dia berbalik hendak kembali ke rumah. “Eh, aku cuma mau bilang, tadi pagi datang
Rayna masih termangu di sana. Agaknya dia sempat mendengar kata-kata Yusuf yang terakhir itu. Dia tak habis pikir, adiknya yang mana yang tadi dibicarakan Yusuf. Dia hanya tahu soal Aisyah, yang jelas-jelas sampai sekarang masih hidup.Hingga kemudian dia jadi terpikirkan juga soal beda umur Yusuf dan Aisyah yang terbilang sangat jauh, terpaut hampir 15 tahun. Rayna pun mulai menduga-duga, mungkinkah Yusuf memiliki seorang adik lain yang sudah meninggal.“Apa tadi yang kalian bicarakan, Suf? Apa kamu memiliki seorang adik selain Aisyah?” tanya Rayna.Yusuf pun langsung berpaling, hanya memperlihatkan punggungnya pada Rayna. ‘Tolong jangan ikut-ikutan untuk mengungkit masalah itu,” ujar Yusuf lirih.DI situ Rayna mulai terlihat kesal. Dia sejauh ini sudah sangat pengertian, mencoba mengabaikan segala masalah masa lalu suaminya itu. Tapi kenyataannya, terlalu banyak hal yang tiba-tiba saja sekarang kembali mengusik hidup mereka. Tak bisa lagi rasanya Rayna berpura-pura abai soal semua i
Saat hari semakin senja, dan kabut pun semakin tebal, Rayna datang ke kawasan panorama itu. Sudah cukup lama juga dia diliputi rasa khawatir mencoba mencari keberadaan suaminya itu. Namun sekarang, ini satu-satunya tempat yang terpikirkan oleh Rayna. Karena memang suaminya itu sering bercerita kalau dia suka menyendiri di tempat tersebut.Dia pun mulai bertanya-tanya pada sedikit warung yang masih buka di kawasan panorama itu. Untungnya, rata-rata orang di kampung itu cukup mengenal suaminya itu.“Bu, apa Yusuf ada ke sini tadi?” tanyanya Rayna dengan menyembunyikan raut wajah khawatirnya.“Oh, si Yusuf. Kalau tak salah dia berjalan ke arah sana. Coba saja lihat sampai ke ujung.”“Makasih, Bu!” balas Rayna berlalu pergi.Namun sekarang Rayna terlihat tenang setelah menemukan Yusuf hanya duduk di dekat gazebo itu.
Selang beberapa minggu, kepolisian masih saja belum menemukan keberadaan satu preman yang jadi buronan tersebut. Tentu mereka sadar juga, satu preman itu pasti sudah melarikan diri keluar dari provinsi. Atau mungkin keluar dari pulau Sumatera. Begitu juga dengan laporan orang hilang atas David dan Rani, sampai sekarang belum juga mendapatkan kabar. Kehilangan mereka berdua, sedikit banyak telah memancing dugaan dari tim penyelidik. Pasalnya, mereka masih satu keluarga. Pihak kepolisian menduga hilangnya dua orang tersebut mungkin karena mereka juga telah menjadi target dari orang yang sama yang ingin mencelakai Yusuf. Namun Harmoko meyakinkan polisi bahwa itu tak mungkin ada hubungannya dengan insiden yang menimpa Yusuf. “Kami masih sedang mengusahakannya dalam dua minggu ini. Apa Bapak yakin ini tak ada hubungannya dengan hal yang menimpa menantu Bapak yang seorang lagi?” tanya polisi pada Harmoko. Harmoko pun mendekatkan duduknya pada petugas polisi itu, seperti ingin berkata se
Sore harinya, dua orang petugas dari kepolisian mendatangi rumah sakit di mana Yusuf di rawat. Salah satu dari mereka langsung meminta untuk melepaskan borgol Bobby.“Kenapa di borgol?” tanyanya.“Lah tadi katanya suruh tahan dulu di sini.”Petugas itu hanya memasang wajah memelas dan kemudian masuk ke dalam ruang perawatan untuk mendatangi Yusuf. Kebetulan pada saat itu Yusuf sudah kembali bangun dan sedang makan disuapi ibunya.Polisi yang baru datang itu juga meminta petugas yang menjaga untuk melepaskan borgol di tangan Yusuf. Setelah itu, dia kemudian memberikan sedikit keterangan mengenai kasus yang sedang mereka selidiki.“Kami menemukan luka-luka di bagian kaki. Otot-otot di belakang tumit mereka putus. Begitu juga di bagian lutut dan pangkal lengan. Apa saudara yang melakukannya?”Mak Sannah terdiam mendengar pertanyaan polisi terhadap anaknya itu, dan langsung meletakkan piring makanan di atas meja. Yusuf menepuk lembut lengan ibunya, dan tersenyum seakan mengatakan tak perl
Di gerbang, Rani sempat berpas-pasan dengan Cindy yang kembali dengan motor maticnya. Cindy langsung berhenti di gerbang itu, dan bertanya pada Rani.“Ran, mau ke rumah sakit?” tanyanya.Namun Rani tak menyahut dan terus berlalu.Cindy mengerutkan wajahnya sedikit. Dia tak yakin kalau raut wajah Rani yang tengah diliputi kepiluan itu karena rasa simpati soal apa yang terjadi dengan Yusuf.Sesaat dia berpikir, apa mungkin Rani seperti itu karena mendapatkan kabar buruk. Namun dia tak juga bisa menerima kemungkinan itu, karena baru saja dia sudah mendapatkan berita dari Rayna soal kondisi Yusuf.Dia pun berlalu, dan kembali mengarak motor maticnya itu memasuki perkarangan rumah. Hingga kemudian perhatiannya tertuju pada pintu rumah Rani yang dibiarkan terbuka. Dari situ, baru Cindy menyadari ibunya yang sudah tergeletak di teras rumah.“Buu!”Dia langsung menelantarkan motor, dan bergegas ke teras rumah tersebut. Dia sempat mendapati sebelah lengan ibunya bergerak seperti orang ayan. Ha
Kebetulan, daun pintu itu sedikit terbuka. Dan Rosdiana langsung saja mendorong pintu itu lebar-lebar, kemudian berlagak pinggang di sana. Anehnya, David dan Rani sama sekali tak menunjukkan wajah bersalahnya. Gelak tawa mereka hanya terurai sedikit saja, dan menoleh ke arah Rosdiana dengan sedikit kesan pangling. Toh, pikir mereka selama ini Rosdiana sangat membenci Yusuf sebenci-bencinya sampai tak memiliki empati lagi. Setidaknya itu dipikiran mereka. Namun tidak, Rosdiana langsung membentak David begitu keras. “Dasar setan! Keluar kau dari rumah ini!” Rani terkejut, dan wajahnya pun langsung pucat. Dia bergegas menghampiri ibunya dengan kegamangan tergambar di wajahnya. “Bu, kenapa Ibu tiba-tiba...” “Diam kau!” bentak Rosdiana. Rani pun terkenjut, bahkan tergerak mundur menerima semprotan amarah dari ibunya itu. Dia sudah sering melihat ibunya itu marah-marah. Tapi baru kali ini dia yang dimarahi. Satu tangan Rosdiana pun bergemetaran menunjuk ke arah David. Emosinya begitu
Harmoko yang menyadari kedatangan istrinya itu, langsung bergegas keluar. Dia berlalu sesaat melewati Rayna dengan tatapan tak senang.Tentu Rayna pun diliputi perasaan bersalah. Karena bagaimanapun, Rosdiana tetap ibu kandunganya. Dia pun kembali masuk menghampiri suaminya dengan perasaan campur aduk.Hingga tiba-tiba, si petugas polisi yang sedang berjaga di sana mengatakan sesuatu yang cukup penting untuk Rayna.“Aku pikir mungkin Ibu dan keluarga perlu mencari pengacara. Ini hanya saran saya secara pribadi saja untuk berjaga-jaga, siapa tahu masalah ini akan lebih rumit untuk suami Ibu nantinya.”Rayna hanya menoleh sesaat, dan memberikan satu anggukan tanpa mengatakan sepatah katapun. Dia masih tak senang dengan petugas tersebut karena telah memborgol suaminya.Meski begitu, sepertinya sekarang dia mulai sedikit bisa memahami kalau polisi tersebut sama sekali tak memiliki pandangan buruk terhadap Yusuf.Di koridor, Harmoko mencoba menyusul istrinya. Dia menahan bahu Rosdiana dari
Polisi pun datang, namun tak seorang di sana kecuali beberapa mayat yang tergeletak di semak-semak. Satu petugas langsung melakukan panggilan dan meminta bantuan ke Polres Kota Padang.Tak hanya itu, dia juga melakukan panggilan pada satu rekannya yang masih berada di rumah sakit menjaga Yusuf dan Bobby.“Apa laki-laki itu masih bersamamu?”[Ya!]“Tahan dulu dia untuk sementara waktu. Kami menemukan mayat di sini. Orang-orang yang katanya sempat mereka lumpuhkan ternyata sudah mati.”Tanpa melakukan penyelidikan lebih jauh, tentu masih terlalu dini bagi mereka untuk menilai kalau Bobby dan Yusuf lah pembunuhnya. Namun tetap saja, mereka berdua saat ini menjadi satu-satunya tersangka. Karena Bobby sendiri telah mengaku bahwa mereka yang melumpuhkan preman-preman tersebut.Satu petugas polisi mencoba mengamati mayat-mayat tersebut secara seksama tanpa menyentuhnya. Dia mendapati tubuh-tubuh preman itu penuh luka, baik di bagian lengan maupun kaki..Namun satu luka yang jelas fatal yang
Bobby memberanikan diri keluar dari persembunyian dan menyerang sisanya dengan membabi buta. Tiga orang begal itu semakin panik, karena satu temannya masih meirntih dengan luka di lengannya.Pada akhirnya mereka pun memilih kabur. Sementara sisa begal lainnya yang sudah dilumpuhkan Yusuf, masih terdengar merintih di beberapa tempat.Bobby terkesima dengan apa yang sudah diperbuat Yusuf, sementara sahabatnya itu masih berdiri seorang diri. Dia pun menghampirinya dari belakang.Namun belum beberapa langkah Bobby berjalan, Yusuf langsung nampak lunglai. Bobby bergegas menghampirinya dan memapah Yusuf seketika.“Suf! Kau baik-baik saja?”Namun Yusuf tak menjawab, hanya berusaha tetap bertahan dengan satu lutut tertekuk di tanah. Hanya suara nafasnya saja yang begitu berat terdengar.Bobby pun memeriksa kondisinya dengan senter, hingga dia menyadari obeng yang masih tertancap di perut Yusuf.“Andeh, Suuuuf!”“Bagaimana dengan mereka?” tanya Yusuf.“Mereka sudah kabur. Sebaiknya biarkan saj
Dalam perjalanan pulang, Yusuf masih belum lepas dari rasa kesalnya. Bobby sesekali melirik, dan mendapati Yusuf masih membuang muka ke sisi kiri. "Kau seharusnya sudah mengerti dari jauh hari, cepat atau lambat kita pasti akan berurusan dengan Mahzar. Jadi apapun yang mau kau lakukan, harusnya kamu lakukan dengan penuh perhitungan," ucap Bobby. "Ya aku tak mungkin dia saja, Bob!" sanggah Yusuf. "Aku tak menyalahkan tindakanmu. Tapi sebisanya, jangan sampai tindakanmu itu hanya karena dorongan emosi. Aku khawatir nanti kau malah membuat keputusan yang justru akan merugikan kita semua." Yusuf menghela nafas dan mengangguk pelan menerima saran temannya itu. Karena memang ada kebijakan dari kata-katanya tersebut. Dia pun mencoba menenangkan dirinya, khawatir jika sampai moodnya yang jelek itu bertahan sampai di rumah malah akan mendatangkan masalah lain. Memang sebagai laki-laki, tak seharunya dia membawa masalah yang dia temui di luar ke rumah. Namun sesaat menjelang mobil pick up
Gara-gara kejadian di beberapa hari belakangan, kembali Harmoko meminta Yusuf untuk duduk bersama dengan beberapa tauke lainnya. Ini sesuatu yang sama sekali tanpa sepengetahuan Yusuf. Namun tentu saja dia tak bisa menolak permintaan dari mertuanya tersebut. “Dani, kamu kembali saja dulu. Tak enak juga dengan Pak Salman kalau anaknya pulang kemalaman,” jelas Yusuf. Dani mengangguk dan kembali ke mobil di mana anak Pak Salman masih menunggu. Satu mobil itu pun kembali, sementara Yusuf terpaksa harus bertahan dulu ditemani Bobby. Kembali warung sate itu penuh, dan rata-rata yang duduk di sana adalah para juragan besar di Pasar Raya. Sebagian besar dari mereka menatap tak ramah dengan kedatangan Yusuf. Dan seperti biasa, Harmoko menawarkannya dan juga Bobby sate. Namun Mahzar langsung menyela. “Maaf, aku sibuk dan masih ada lebih banyak hal yang harus aku urus. Tolong, Pak Bos kalau memang ada hal penting yang ingin dibicarakan, langsung saja pada pointnya.” Harmoko pun menghelas na