Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyabab 97Cukup lama, Bayu menatap layar ponselnya. Hingga tidak berapa lama Bayu mengambil keputusan.Setelah membuang napas pelan lalu ia kembali memastikan transferan pada rekening Agus berhasil.[ Mas kok cuma segini sih?] Pesan Agus kembali diterima Bayu. [Mas, hanya bisa ngasih uang segitu. Kalau sepuluh juta Mas nggak ada uang.] [Cuma lima ratus ribu? Buat apa Mas uang segitu?]Ternyata laki-laki itu benar-benar memberikan Agus uang, tapi tidak sebesar yang Agus minta.****Jam menunjukan angka tiga, Arum yang masih berada di kontrakan Wati akhirnya berpamitan pulang. Setelah datang Tini menjemputnya. Sengaja wanita itu menyuruh Tini untuk menjemput karena Arum hendak mampir ke warung miliknya sebentar. "Bu, Arum pulang dulu!" Arum berpamitan pada Wati. Wanita itu mengangguk, semanjak Agus dan juga Rani mendapat musibah penipuan. Wati tidak lagi berucap kasar apalagi memberi label Arum pelit maupun mandul. Terbukti sekarang wanita itu te
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 98"Iya, Mbak. Semoga saja apa yang dipikirkan Ratna tidak benar hanya perasaannya saja. Kasihan aku melihatnya. Ow ya Mbak, gimana jadi kapan pindahannya?" tanya mengalihkan pembicaraan."Ow ya, Tin. Semalam mbak kepikiran terus soal ruko. Memang tempatnya strategis, tapi sama saja kalau kita buka disana kita seperti buka warung baru.""Terus gimana Mbak?""Kalau kita buat ruko itu sebagai cabang dari warung ini gimana ya, Tin?""Ide bagus itu Mbak.""Tapi ya gitu, Tin. Kita harus mengeluarkan uang lebih banyak lagi. Peralatan dan juga perlengkapan buat di sana kan belum ada! Sedangkan Mbak sudah nggak ada tabungan. Kamu tahu sendiri kan Mbak sudah jual dua motor?""Kalau begitu biar saya ikut kasih modal." Seketika Arum dan karyawan lainnya yang mendengar pernyataan tersebut menoleh kebelakang. ****"Bude Nanik?" Arum berdiri, senyumnya melebar kala kakak dari Ibunya justru sudah berada di belakang mereka. Entah sejak kapan wanita tua i
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 99Lelaki itu tersenyum. "Bukankah dari awal saya sudah menjelaskan bahwa itu adalah kontrak jual beli bukan pinjaman? Sebelum kalian menandatangani berkas itu, saya sudah meminta kalian membaca isi yang ada pada kontrak tersebut! Dan sekarang setelah ada jual beli, kalian menyalahkan saya?""Mas, kok jual beli sih?" Rani menatap ke arah Agus. Dengan tatapan tajam. Membuat Agus gelagapan dan gugup saat berbicara."A-aku juga nggak paham. Waktu itu cuma fokus sama-""Sama duitnya," sahut lelaki yang di sebut penipu itu."Terus bagaimana ini?""Ya sudah, kalian tinggal angkat kaki dari rumah itu!"Bibir Rani mencebik. Setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, Agus menutupi semuanya. Hingga dia beralasan tidak membaca isi kontrak saat itu. Kecurigaan orang-orang terjawab sudah. Mengapa dari awal Agus tidak mau membawa masalah ini pada jalur hukum, ternyata dirinya lah yang sesungguhnya penipu, kelas ulung.*****"Kalian ini dari mana s
pembalasan istri pelit yang sesungguhnya Bab 100"Lihat ini Mas. Nggak ada makanan, sama sekali!"Rani mendesah, pandangan wanita itu tertuju pada meja makan yang kosong tanpa makanan."Yaelah, Ran. Kamu kan bisa goreng telur."Agus memberi solusi. Wanita yang bergelar istri itu merenggut, pandangannya tertuju pada lelaki yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri."Telur lagi … telur lagi. Lama-lama Rani menetas juga Mas." Rani beranjak dari tempatnya duduk. Berjalan dengan hentakan kaki cukup kuat menuju kamar. Sedangkan Agus hanya menghela napas kasar. Lelaki itu sadar bahwa saat ini dia bersalah. Untuk sekedar makan saja rasanya begitu sulit. Gubrak ….Terdengar suara benda jatuh. Cukup keras hingga membuat Agus tergesa-gesa melihat. ****Jarum jam menunjukkan angka tujuh tepat. Dimana Arum tengah duduk sembari mata menatap ke arah televisi yang menyala. Bayu yang baru selesai mandi berjalan menghampiri sang istri. Mencium pucuk kepala wanita itu lalu menjatuhkan bokongnya
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnya101"Bagus juga ide kamu. Boleh, kapan-kapan kita bicarakan itu sama-sama. Ow ya, Mas juga punya kabar bahagia. Bulan depan insyaallah. Mas akan berangkat umroh.""Alhamdulilah, kok bisa sih, Mas?" Kedua tangan Arum menutup mulut karena terkejut. Ada bahagia bercampur haru."Iya, Mas dapat umroh gratis dari kantor. Ada sekitar 5 orang yang dapet. Alhamdulilah, Mas kebagian. Kamu mau ikut? Nanti kita pikirkan lagi uangnya.""Nggak Mas. Untuk saat ini biar Mas saja yang berangkat. Lagian kalau bulan depan umur kehamilan Arum sudah 5 bulan. Mendekati acara tujuh bulanan."Bayu mengangguk. Lantas senyumnya kembali terukir kala melihat Arum yang nampak berseri. Bayu merangkul sang istri. Membiarkan Arum menjatuhkan kepalanya pada bahu Bayu.Suara adzan di televisi terdengar. Membuat kedua pasang suami istri itu lantas menunaikan kewajiban empat rakaat terlebih dahulu. Mengucap syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah saat ini. Nikmat yang bertub
Arum menoleh ke arah jam. Di sana sudah jam tiga kurang. Arum mencari benda pipih miliknya. Mengusap layarnya lalu membiarkan jari-jemarinya yang bekerja.Hingga dia tidak menyadari sejak kapan matanya terpejam kembali. Pagi menjelang. Arum bergegas pergi ke kamar mandi. Mencuci muka bersiap jalan pagi. Pagi ini kebetulan Arum berniat membeli sarapan. Nasi bungkus dengan lauk pecel ditambah bakwan. Liurnya hampir saja menetes kala berjalan sembari membayangkan makanan itu. Benar saja, setelah dia melihat inces semalam tengah menikmati nasi pecel, mereview rasa. Melihat cara makan artis bertubuh gemuk itu membuat Arum pun seketika menginginkan makanan tersebut.Arum menggerakkan kaki dan dan tangan. Berjalan perlahan sembari menikmati pagi yang cerah. Matanya memindai setiap rumah yang ia lihat. Berjejer rapi dengan cat tembok warna-warni. Ada beberapa tetangga yang sudah memulai aktivitas nya. Mencuci motor hingga pergi bekerja. Senyum wanita berbadan dua itu tidak pernah lepas dar
"Halo, Assalamualaikum." Tanpa menjawab salam, orang yang ada di seberang telepon pun mengumpat."Halo, Mbak Arum kemana saja sih, lama banget? Jam segini masih tidur?" tanya Rani dengan nada ketus."Memangnya kenapa tho, Ran?""Kontrakan kamu dimana, Mbak. Biar saya kesana sekarang. Khaila di rumah sendiri.""Lho, kenapa kamu bingung sih. Kan bisa kami titipkan di tempat penitipan anak seperti Mbak tempo hari.""Saya nggak sekaya itu Mbak. Saya nggak ada duit. Sudah deh, kirim alamat rumah Mbak. Nanti Khaila saya antar kesana! Saya mau kerja. Di rumah Khaila sendiri, mas Agus sama Ibu tengah di rumah sakit." ucap Rani tanpa jeda. Arum yang tengah mendengarnya hanya bisa menghela nafas panjang.****Kepala Wati merasakan nyeri. Saat Agus mengatakan yang sebenarnya. Ada kekecewaan yang besar di sudut hati wanita itu. Lantas dia merebahkan tubuhnya di ranjang. Menikmati kepala yang rasanya tidak karuan. Pusing, pening dan juga berdenyut nyeri. Ah, wanita tua itu seperti mendapatkan karm
bab 104Tidak ada pembicaraan sama sekali, yang ada hanya suara jam yang berdetak berjalan. Sesekali kedua kakak beradik itu menghela napas panjang. Menatap wanita yang ada di hadapannya dengan seksama."Apalagi yang kamu perbuat? Hingga Ibu seperti ini?" tanya Bayu pada Agus. Lelaki itu hanya diam tanpa menjawab. Matanya menatap nanar kepada Wati.Tuling.Satu pesan diterima. Bayu yang mendengar ponselnya berbunyi langsung merogoh tas selempang yang ada di depan dada.Bayu membuka aplikasi berwarna hijau itu. Membaca pesan dari sang istri. Di bawahnya ada pesan bertuliskan Mayang. Ah, wanita sial itu selalu saja mengganggu.[Mas, bagaimana kondisi Ibu?] [Sudah mendingan kok, Rum. Nanti sepertinya Mas ngajuin cuti lagi. Ibu tidak mungkin aku tinggal.]Sudah centang dua tapi belum juga berwarna biru. Dilihatnya pesan dari Mayang cukup lama. ****Arum selesai mengirim alamat kepada Rani. Lantas dia beralih pada suaminya. Mengirim pesan menanyakan perihal mertua. Apakah sudah membai
Bayu bergegas pergi meninggalkan penjual Bakso. Mengambil tas dan juga perlengkapan lainnya. Tidak lupa Bayu menyerahkan uang untuk membayar Bakso. Setelah selesai. Bayu kembali menghampiri Arum."Tenang, Nak. Nanti Emak ke situ sama Bude Nanik. Kamu yang tenang ya. Dimana Bayu?""Ini, Mak. Dia sudah selesai memasukan perlengkapan aku di mobil.""Ya sudah bilang sama dia nggak usah khawatir. Kamu buat jalan santai saja. Jangan melakukan pekerjaan berat ya. Apalagi naik tangga, berbahaya. Jalan santai aja di lantai bawah. Keramik di tempatmu kan licin.""Iya, Mak." Setalah mengucapkan salam Arum menutup teleponnya. "Aku sudah bilang sama Emak. Dia mau ke sini sama Bude. Kebetulan Bude lagi di rumah.""Ya sudah kalau begitu. Gimana perut kamu masih sakit?""Udah nggak kok, Mas. Nanti teras mules hilang lagi mules lagi hilang lagi. Begitu saja terus.""Alhamdulilah, kalau begitu. Semoga nanti kamu dilancarkan ya sayang.""Permisi, baksonya Mas.""Oh, ya. Terima kasih banyak, Pak." Dua m
Kesempatan kedua dan akhir dari perjuangan"Sesuatu? Apa?"Sebuah kertas berwarna putih disodorkan Arum. "Apa ini?" "Buka aja, Mas," pinta Arum membuat Bayu tersenyum bersamaan dengan rasa penasaran.Perlahan tapi pasti lelaki itu membuka kertas itu. Dibacanya dengan seksama. Bayu tersenyum, lalu pandangannya tertuju pada Arum. ****"Ini beneran?" tanya Bayu. Hanya dijawab dengan anggukan kepala sang istri. Bayu memeluk erat tubuh Arum. Tatapannya tidak lepas pada sebuah surat. Surat yang menyatakan bahwa Arum bisa kembali hamil tentunya dengan pengawasan dokter kandungan. "Alhamdulilah, semoga nanti kedepannya kamu bisa secepatnya hamil lagi.""Amin, Mas." ****Satu tahun kemudian.Arum berjalan bergandengan dengan Khaila. Melewati orang-orang yang tengah berjalan menikmati indahnya sore hari. Bayu menatap wanita itu dari kejauhan. Menyungging senyum penuh kebahagiaan. Akhirnya apa yang ia tunggu selama ini tercapai juga. Arum terlihat begitu kesusahan berjalan. Kehamilan yang m
"Kamu tega, Mas," ucap Rani di sela-sela tangisnya. Dia menelan ludahnya dengan susah payah. Membenarkan posisi duduk menjadi memeluk lutut menangis dalam dekapan sendiri. Tidak ada orang tua, anak maupun siapapun yang melapangkan hati Rani.Rani berada di titik terendah. Dimana hati, jiwa dan raganya terluka. Sebuah pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan. Penyesalan teramat dalam selama hidupnya. ******"Kamu udah putusan, Gus?" tanya Bayu di sela-sela makan malam. Ya, hari ini Bayu bersama Khaila dan juga Arum makan malam bersama di rumah Bayu. Agus berubah. Satu persatu hutang-hutang yang pernah melilitnya ia bayar. Memberikan kehidupan yang layak sebagai seorang anak pada Khaila. Mencurahkan waktu dan juga kasih sayang. "Alhamdulilah sudah, Mas. Keputusan langsung dikirim ke lapas.""Rani gimana? Kamu nggak pernah jenguk dia? Sudah sebulan ini dia disana!" tanya Arum. Bagaimanapun Rani pernah menjadi bagian hidup Agus. Pernah memberi Khaila untuknya."Nggak lah, Mbak. Aku
KARMARani menikmati dinginnya lantai di dalam penjara. Sepi, sedih dan juga terkekang. Di tempat riuhnya banyak orang yang tengah berbincang, Rani menunduk, dia tidak berani menatap orang-orang yang ada di sekelilingnya. Rani berharap mukjizat akan datang. Dia percaya Arum akan datang dan memintanya pulang. Namun, satu hari dua hari hingga satu bulan lamanya tidak jua ia dapati sosok yang dinanti. "Mbak, Rani minta maaf, Mbak. Rani khilaf. Rani tidak bermaksud mencelakai Mbak dan juga janin yang ada di kandungan Mbak. Aku harap Mbak Arum mau memaafkan aku. Aku harap Mbak Arum mau memberiku kesempatan. Huhuhu …." "Kesempatan kamu bilang? Terlambat! Kamu pantas di penjara, Rani!" ucap Arum tidak peduli. Sorot matanya tajam penuh kebencian. "Tapi Mbak. Khaila bagaimana? Bagaimana dengan anakku, Mbak? Dia masih butuh aku, masih butuh kasih sayang seorang Ibu!""Aku akan menjaga Khaila. Jauh lebih baik daripada kamu. Sebelum kamu bertindak seharusnya kamu lebih dulu berpikir. Hidup
Ternyata Ratih tengah diuji. Dia kehilangan banyak uang karena suaminya tertipu investasi bodong. Terjawab sudah kenapa beberapa waktu lalu dia meng gadai rumah pada Hendra, suami Nanik.Kini Ratih juga bekerja di warung Arum. Namun hari ini dia tidak bisa datang ke rumah Arum dikarenakan ada kepentingan di sekolah putranya. Khaila terlihat duduk dipangkuan Agus, lelaki itu tengah mengajukan perceraian kepada pengadilan agama. Dia memutuskan berpisah dengan Rani. Agus kini memulai hidup baru. Bekerja menjadi salah satu karyawan Arum tentunya. Berjalan dari bawah bersama sang putri. Dimana saat ini di jaga oleh Arum. Khaila kini sudah bersekolah. Meskipun masih taman kanak-kanak."Bagaimana, Yu. Kamu di sana sehat-sehat kan?" tanya Marni pandangannya tidak lepas pada Bayu. Arum yang tengah menuangkan minuman hangat lantas melirik sekilas kearah ibunya. "Alhamdulilah, Mak. Sehat, banyak doa yang Bayu panjatkan di sana. Untuk almarhum Ibu dan juga untuk Arum." Bayu menatap Marni namun
"Jawab, Agus. Apakah surat itu ada ditanganmu!" Bowo kembali bertanya.Agus diam. Dia menatap Khaila kemudian pandangannya beralih kepada Bowo lalu Ranti.****"Ada pada saya, Pak!""Ada pada kamu?! Lantas kenapa kamu tidak memberikan kepada Rani? Kamu tahu kan dia di tempat kedua orang tuanya.""Saya-""Bapak kecewa sama kamu!""Hu … hu … papa!" Teriak Khaila membuyarkan pandangan Agus yang mulai mengabur karena airmatanya yang hampir jatuh."Kamu anggap apa anakku Rani? Dia sudah menemani kamu dari nol. Dan sekarang kau campakkan dia! Membiarkan dia dibawa polisi dengan paksa?""Rani kelewatan, Pak. Saya sudah bicara kepada Mas Bayu dan juga Mbak Arum. Kata mereka Rani mendorong Mbak Arum hingga terjatuh!""Lantas kamu diam saja!""Ini menyangkut nyawa, Pak. Saya juga sedih tapi Rani harus mempertanggung jawabkan perbuatannya!"Plak"Pergi dari rumah ini! Bawa Khaila bersamamu!" Tamparan itu mendarat di pipi Agus. Khaila berteriak histeris. Lelaki paruh Baya itu mengepalkan tangan.
Kedua orang itu masuk kedalam rumah. Bowo memberi jalan. Sedangkan Ranti yang berhasil sampai di dekat Bowo. Menatap nanar ke arah suaminya. Bowo mengangguk. Membiarkan kedua orang itu bekerja sesuai tugasnya."Pak, tapi saya hanya mendorong pelan kok. Mana mungkin anaknya Mbak Arum meninggal. Nggak usah lebay deh!" Rani berteriak. Ia mengusap kasar jejak air matanya. Yang tidak dipungkiri begitu takut jika itu terjadi."Silahkan Anda jelaskan dikantor. Silahkan ikut kami."Semula kedua polisi itu bersikap sopan. Berharap Rani tidak memberontak lantas dengan kesadaran berjalan beriringan namun sayang, Rani membelot. Seolah dia ingin lari dari kedua orang itu. Terpaksa Rani harus ditarik dengan paksa menuju mobil polisi. Sebenarnya beberapa waktu lalu pihak polisi sudah mengirim surat panggilan kepada Rani untuk datang ke kantor polisi namun sayang surat itu tidak pernah ia terima. Karena alamat yang dituju adalah alamat dimana rumah Rani tinggal bersama Agus. Entah mengapa Agus tidak
Arum memandikan anak itu lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian Khaila yang dulu tertinggal. Lalu dia mengajak anak itu untuk makan. Dan terakhir Khaila tidur siang dikamar. Bayu tengah umroh bersama teman-temanya. Sudah tujuh hari lamanya, sebentar lagi dia akan pulang. Selama Bayu tidak ada di rumah Khaila akan menjadi teman tidurnya.*****"Khaila, beresin mainan kamu! Berantakan tau!" teriak Rani. Wanita itu berkacak pinggang di hadapan Khaila. Khaila yang semula anteng bermain boneka seketika menunduk. Dia takut melihat sang Ibu yang tengah melotot ke arahnya.Sudah beberapa hari ini dia tidak masuk bekerja. Entah bagaimana nasibnya. Mungkin akan mendapat surat pemecatan karena dia sering absen datang ke tempat kerja. Padahal dia harus mencukupi kebutuhan Khaila, dimana saat ini Agus tidak cukup bisa diandalkan."Apa-apaan sih kamu?! Anak itu diajari bukan dimarahi!" sahut Bowo, ayah Rani. Dia terlihat meraih tangan cucunya lalu membantu memunguti mainan."Kita beresin sama-
"Nggak usah repot-repot, Mbak.""Nggak papa." Arum berjalan ke dapur. Menyiapkan pisang goreng dalam piring. Tidak lupa membuatkan kedua ayah dan anak itu minuman. Arum kembali ke ruang tamu tentunya dengan nampan yang ada di tangan."Silahkan diminum cantik, pisangnya dimakan ya!" pinta Arum membuat Khaila tersenyum."Kamu belum daftarkan dia ke sekolah?" tanya Arum pandangannya kini tertuju pada Agus yang tengah menyesap teh."Belum, Mbak. Belum ada uang!""Terus selama ini kamu ngapain saja di rumah?""Khaila nggak ada yang jaga, Mbak. Aku nggak enak jika harus menitipkan dia sama Mbak terus.""Kalau kamu nggak kerja. Gimana sekolah Khaila? Gimana makan dia?"Agus hanya diam. Bagaimanapun dia tetap saudara kandung Bayu. Bagaimanapun juga dia tetap memikirkan Khaila. Khaila anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Dan lihat, dia tidak mau minum teh itu maupun mengambil makannya. Padahal dulu, dia sangat cerewet dan juga manja jika dengan Arum."Sayang, kok nggak makan?" tanya Arum. Dia