pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 73"Bayu masih tidak mengerti, tertipu? Maksud Ibu tertipu bagaimana? Bukannya kalian menggadai rumah ini pada Bank? Mana mungkin mereka menipu kita? Tidak masuk akal.""Bukan pada bank.""Lantas?"Wati kembali menangis. Namun kini Wati terlihat begitu sedih begitu sakit. Dalam pikirannya hanya satu. Jika rumah ini disita, kemana mereka akan tinggal?****Setelah Bayu menerima telepon dari Arum. Lelaki itu gegas menemui atasannya. Meminta izin pulang lebih awal karena telah terjadi sesuatu dengan keluarganya. Beruntung, hari ini tidak terlalu banyak pekerjaan. Sehingga Bayu bisa pulang lebih cepat tanpa kendala. "Kenapa kamu terburu-buru, Yu?" tanya salah satu teman kantor Bayu."Aku minta izin sama atasan, pulang cepat. Istriku tadi menelpon.""Kenapa? Apa yang terjadi pada istrimu?""Bukan istriku, tepatnya istriku menelpon karena Ibuku.""Ibumu? Kok bisa?""Aku nggak tahu, yang pasti aku harus segera pulang. Tolong, kamu selesaikan peke
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnya.Bab 74Berkali-kali tersambung namun tidak di jawab oleh Agus. Arum dan juga Bayu saling melempar pandangan. Membuat netra mereka saling beradu."Halo, Mas." Hingga akhirnya telepon dari Bayu diangkat juga oleh Agus."Halo, Gus. Ada apa? Kamu dimana sekarang?" tanya Bayu. "Saya lagi di cafe. Mas, Agus butuh bantuanmu. Bisakah mas Bayu membantuku?" "Bantu apa, Gus?" tanya Bayu sembari matanya melihat ke arah Arum.****"Mas, aku kena tipu. Jaminan yang aku gadai untuk membuka usaha dibawa lari sama temanku itu. Dan ternyata rumah itu dijual sama dia." Terdengar suara Agus sedikit parau. Terdengar menahan amarah dan juga sesal."Tenang, sekarang kamu pulang ke rumah Ibu. Kita bicarakan disana kita cari jalan keluar sama-sama.""Baik, Mas. Agus segera pulang ke rumah."Panggilan telepon itu akhirnya terputus. Bayu menatap layar ponselnya yang sudah kembali ke layar utama. Terdengar lelaki itu menghela napas panjang. Mengurangi rasa sesak yang
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 75Bayu menghela nafas panjang lalu membuangnya perlahan. Lelaki itu menatap wanita yang masih berbaring itu dengan seksama."Mas, bantu kami. Bantu kami mengurus semuanya," pinta lelaki itu."Iya, Mas. Bantu sekali ini saja. Kami berjanji tidak akan mengulanginya lagi," Rani turut menimpali.Benar tidak akan mengulangi lagi, karena memang mereka sudah tidak memiliki apa-apa lagi.****Bayu masih diam. Tidak ada jawaban keluar dari bibirnya. Pikirannya terus mencari solusi. Seharusnya ini bisa menjadi pelajaran untuk Agus dan juga Rani. Agar tidak gegabah dalam mengambil keputusan besar. Semua harus dibicarakan."Ini semua kesalahan besar yang kalian berbuat sendiri. Jadi Mas nggak bisa bantu banyak.""Maksud Mas Bayu apa? Mas Bayu nggak mau bantu kami?" Terkejut, Agus matanya melotot seakan ingin keluar dari tempatnya. Mendengar sang kakak menolak membantunya."Mas tidak pernah menggunakan uang satu sen pun. Kalian yang menikmati, jadi M
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 76"Kamu nonton televisi?" tanya Bayu ketika melihat Arum."Iya, Mas. Mau dibuatkan kopi?""Nggak usah, Mas mau mandi dulu, gerah.""Kalau begitu Arum siapkan makan malam ya?""Iya.""Gimana Ibu mas?" tanya Arum membuat Bayu menatap ke arahnya."Ya begitulah, namanya juga kehilangan. Pasti sedih."****Jam menunjukan angka tujuh tepat. Setelah Arum menyiapkan sarapan dan juga bekal untuk dibawa Bayu bekerja. Usia kehamilan Arum yang bertambah. Membuatnya tidak lagi mengalami morning sickness. Apalagi sekarang Arum sudah bisa makan lebih banyak. Dulu, saat awal dia hamil. Nafsu makannya berkurang, sering mual dan juga pusing. Namun, sekarang jauh lebih baik. Arum menjalani masa-masa kehamilannya dengan begitu senang. Menjaga sang buah hati dengan baik.Selalu mengkonsumsi buah maupun sayur. Ditambah sekarang dia jarang pergi ke warung membuatnya banyak istirahat. Ya, kehamilan yang sudah ditunggu-tunggu Arum cukup lama. Lima tahun, bukan wa
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 77PlakWati menampar Agus. Anak lelakinya itu benar-benar tidak tahu diri.Agus menatap nanar ke arah Wati. Sedangkan bahu Wati terlihat naik turun, jelas marah. Terlihat dari rahangnya yang mengeras dan juga otot lehernya jelas terlihat menegang. Agus memegang pipinya yang memerah. Wanita tua itu tampaknya tidak lagi bisa menahan amarah. "Agh ….""Ibu … ibu kenapa?" teriak Agus ketika melihat Wati memegang kepalanya. ****""Mbak telur setengah kilo berapa?" tanya Rani ketika sudah tiba di depan warung."Setengah Mbak Rani?""Iya," jawab Rani tanpa senyuman."Lima belas ribu, Mbak."'Mahal banget! Mana cuma bawa uang segini lagi.' gumam Rani dalam hati."Gimana jadi nggak, Mbak?""Iya, Bu. Jadi sama tempe sama tahu sama cabe ini ya." Rani mengambil beberapa papan tempe dan juga tahu. Lalu ia letakkan di atas etalase."Empat puluh ribu Mbak Rani.""Astaga, mahal banget. ""Harganya memang segitu, Mbak Rani. Makanya sering-sering belanja
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 78KringBenda pipih yang ada di dalam saku celana Rani berdering. Membuat tangannya yang tengah memegang spatula ia letakkan di atas wajan."Halo, Rani." Suara bariton yang ada di seberang telepon sangat jelas. Ia tahu siapa sosok lelaki itu yang kini tengah menelpon nya."Ha-halo … siapa ya?" tanya Rani pura-pura tidak mengenali."Kamu masih nanya siapa saya? Bener- bener keterlaluan," ucap lelaki itu."Iya, kan saya sudah bilang kemarin.""Bilang apa?"****Arum menutup teleponnya. Wanita itu lantas menjatuhkan bokongnya kembali pada sofa. Menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. "Sebaiknya aku telepon Mas Bayu. Dia mesti tahu kondisi ibunya. Tut … Tut.Sudah tersambung. Namun, lagi-lagi tidak di angkat olehnya. Entah kemana laki-laki itu. Arum melirik jam yang melingkar di dinding. Jarumnya menunjukkan angka sepuluh tepat. Belum terlalu terik jika dia hendak keluar ke rumah mertuanya. Namun, sayang hati dan juga pikirannya t
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 79"Kamu belain Mbak Arum? Kenapa? Karena dia lebih banyak uang? Ha?" Rani naik darah. Entah mengapa jika seseorang tidak memiliki uang lebih mudah marah. Mata Agus berkedip. Memberi isyarat pada istrinya agar tetap diam. Mulut Rani memang harus di lakban biar bisa diam sepertinya. "Mbak, Agus pinjam uang untuk pegangan. Nanti kalau barang-barang di cafe terjual. Agus ganti.""Pinjam?" tanya Arum, dijawab Agus dengan anggukan kepala.Kini pandangan Rani dan juga Agus tertuju pada Arum.****"Maaf, tidak ada uang untuk manusia-manusia seperti kalian!" ucap Arum sembari melangkah pergi setelah mengambil nasi beserta kawan-kawannya.Rani hampir saja melayangkan tangannya ke arah Arum. Namun dengan cepat Agus menghalau. Arum kembali melangkahkan kaki ke kamar Wati. Wanita tua itu masih berbaring lemas."Bu, makan dulu. Nanti kita ke dokter," pinta Arum. Bagaimanapun Wati adalah ibu mertuanya. Ibu dari Bayu, suami yang kini setia mendampingin
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 80"Gus, ibu tambah pusing. Mending kamu bawa dia ke dokter." Arum berbicara membuat Agus menoleh ke arahnya."Aku nggak ada duit, Mbak." Arum mengeluarkan dompet lalu memberikan tiga lembar uang berwarna merah. Agus menerimanya. Sedangkan Rani, bibirnya masih mencebik sesekali melirik kearah Arum yang dianggapnya sok perhatian. Cari muka.Agus menerima uang tersebut dengan mimik muka yang entah. ****Hembusan angin pagi ini begitu cerah. Mentari cukup terik memperlihatkan sinarnya begitu terang. Arum yang tangah mengunyah makanan sejenak menatap sinar yang masuk di sela-sela jendela."Selamat pagi, Sayang." Dikecupnya kening Arum ketika Bayu keluar dari kamarnya. "Pagi," jawab Arum sembari tersenyum. "Vitaminnya sudah diminum?" "Ini baru saja selesai. Alhamdulilah, ya Mas. Semuanya baik-baik saja. Semua sehat seperti yang diinginkan."Ya, kemarin setelah Arum pulang dari rumah mertuanya. Dia langsung pergi ke dokter. Karena memang suda
Bayu bergegas pergi meninggalkan penjual Bakso. Mengambil tas dan juga perlengkapan lainnya. Tidak lupa Bayu menyerahkan uang untuk membayar Bakso. Setelah selesai. Bayu kembali menghampiri Arum."Tenang, Nak. Nanti Emak ke situ sama Bude Nanik. Kamu yang tenang ya. Dimana Bayu?""Ini, Mak. Dia sudah selesai memasukan perlengkapan aku di mobil.""Ya sudah bilang sama dia nggak usah khawatir. Kamu buat jalan santai saja. Jangan melakukan pekerjaan berat ya. Apalagi naik tangga, berbahaya. Jalan santai aja di lantai bawah. Keramik di tempatmu kan licin.""Iya, Mak." Setalah mengucapkan salam Arum menutup teleponnya. "Aku sudah bilang sama Emak. Dia mau ke sini sama Bude. Kebetulan Bude lagi di rumah.""Ya sudah kalau begitu. Gimana perut kamu masih sakit?""Udah nggak kok, Mas. Nanti teras mules hilang lagi mules lagi hilang lagi. Begitu saja terus.""Alhamdulilah, kalau begitu. Semoga nanti kamu dilancarkan ya sayang.""Permisi, baksonya Mas.""Oh, ya. Terima kasih banyak, Pak." Dua m
Kesempatan kedua dan akhir dari perjuangan"Sesuatu? Apa?"Sebuah kertas berwarna putih disodorkan Arum. "Apa ini?" "Buka aja, Mas," pinta Arum membuat Bayu tersenyum bersamaan dengan rasa penasaran.Perlahan tapi pasti lelaki itu membuka kertas itu. Dibacanya dengan seksama. Bayu tersenyum, lalu pandangannya tertuju pada Arum. ****"Ini beneran?" tanya Bayu. Hanya dijawab dengan anggukan kepala sang istri. Bayu memeluk erat tubuh Arum. Tatapannya tidak lepas pada sebuah surat. Surat yang menyatakan bahwa Arum bisa kembali hamil tentunya dengan pengawasan dokter kandungan. "Alhamdulilah, semoga nanti kedepannya kamu bisa secepatnya hamil lagi.""Amin, Mas." ****Satu tahun kemudian.Arum berjalan bergandengan dengan Khaila. Melewati orang-orang yang tengah berjalan menikmati indahnya sore hari. Bayu menatap wanita itu dari kejauhan. Menyungging senyum penuh kebahagiaan. Akhirnya apa yang ia tunggu selama ini tercapai juga. Arum terlihat begitu kesusahan berjalan. Kehamilan yang m
"Kamu tega, Mas," ucap Rani di sela-sela tangisnya. Dia menelan ludahnya dengan susah payah. Membenarkan posisi duduk menjadi memeluk lutut menangis dalam dekapan sendiri. Tidak ada orang tua, anak maupun siapapun yang melapangkan hati Rani.Rani berada di titik terendah. Dimana hati, jiwa dan raganya terluka. Sebuah pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan. Penyesalan teramat dalam selama hidupnya. ******"Kamu udah putusan, Gus?" tanya Bayu di sela-sela makan malam. Ya, hari ini Bayu bersama Khaila dan juga Arum makan malam bersama di rumah Bayu. Agus berubah. Satu persatu hutang-hutang yang pernah melilitnya ia bayar. Memberikan kehidupan yang layak sebagai seorang anak pada Khaila. Mencurahkan waktu dan juga kasih sayang. "Alhamdulilah sudah, Mas. Keputusan langsung dikirim ke lapas.""Rani gimana? Kamu nggak pernah jenguk dia? Sudah sebulan ini dia disana!" tanya Arum. Bagaimanapun Rani pernah menjadi bagian hidup Agus. Pernah memberi Khaila untuknya."Nggak lah, Mbak. Aku
KARMARani menikmati dinginnya lantai di dalam penjara. Sepi, sedih dan juga terkekang. Di tempat riuhnya banyak orang yang tengah berbincang, Rani menunduk, dia tidak berani menatap orang-orang yang ada di sekelilingnya. Rani berharap mukjizat akan datang. Dia percaya Arum akan datang dan memintanya pulang. Namun, satu hari dua hari hingga satu bulan lamanya tidak jua ia dapati sosok yang dinanti. "Mbak, Rani minta maaf, Mbak. Rani khilaf. Rani tidak bermaksud mencelakai Mbak dan juga janin yang ada di kandungan Mbak. Aku harap Mbak Arum mau memaafkan aku. Aku harap Mbak Arum mau memberiku kesempatan. Huhuhu …." "Kesempatan kamu bilang? Terlambat! Kamu pantas di penjara, Rani!" ucap Arum tidak peduli. Sorot matanya tajam penuh kebencian. "Tapi Mbak. Khaila bagaimana? Bagaimana dengan anakku, Mbak? Dia masih butuh aku, masih butuh kasih sayang seorang Ibu!""Aku akan menjaga Khaila. Jauh lebih baik daripada kamu. Sebelum kamu bertindak seharusnya kamu lebih dulu berpikir. Hidup
Ternyata Ratih tengah diuji. Dia kehilangan banyak uang karena suaminya tertipu investasi bodong. Terjawab sudah kenapa beberapa waktu lalu dia meng gadai rumah pada Hendra, suami Nanik.Kini Ratih juga bekerja di warung Arum. Namun hari ini dia tidak bisa datang ke rumah Arum dikarenakan ada kepentingan di sekolah putranya. Khaila terlihat duduk dipangkuan Agus, lelaki itu tengah mengajukan perceraian kepada pengadilan agama. Dia memutuskan berpisah dengan Rani. Agus kini memulai hidup baru. Bekerja menjadi salah satu karyawan Arum tentunya. Berjalan dari bawah bersama sang putri. Dimana saat ini di jaga oleh Arum. Khaila kini sudah bersekolah. Meskipun masih taman kanak-kanak."Bagaimana, Yu. Kamu di sana sehat-sehat kan?" tanya Marni pandangannya tidak lepas pada Bayu. Arum yang tengah menuangkan minuman hangat lantas melirik sekilas kearah ibunya. "Alhamdulilah, Mak. Sehat, banyak doa yang Bayu panjatkan di sana. Untuk almarhum Ibu dan juga untuk Arum." Bayu menatap Marni namun
"Jawab, Agus. Apakah surat itu ada ditanganmu!" Bowo kembali bertanya.Agus diam. Dia menatap Khaila kemudian pandangannya beralih kepada Bowo lalu Ranti.****"Ada pada saya, Pak!""Ada pada kamu?! Lantas kenapa kamu tidak memberikan kepada Rani? Kamu tahu kan dia di tempat kedua orang tuanya.""Saya-""Bapak kecewa sama kamu!""Hu … hu … papa!" Teriak Khaila membuyarkan pandangan Agus yang mulai mengabur karena airmatanya yang hampir jatuh."Kamu anggap apa anakku Rani? Dia sudah menemani kamu dari nol. Dan sekarang kau campakkan dia! Membiarkan dia dibawa polisi dengan paksa?""Rani kelewatan, Pak. Saya sudah bicara kepada Mas Bayu dan juga Mbak Arum. Kata mereka Rani mendorong Mbak Arum hingga terjatuh!""Lantas kamu diam saja!""Ini menyangkut nyawa, Pak. Saya juga sedih tapi Rani harus mempertanggung jawabkan perbuatannya!"Plak"Pergi dari rumah ini! Bawa Khaila bersamamu!" Tamparan itu mendarat di pipi Agus. Khaila berteriak histeris. Lelaki paruh Baya itu mengepalkan tangan.
Kedua orang itu masuk kedalam rumah. Bowo memberi jalan. Sedangkan Ranti yang berhasil sampai di dekat Bowo. Menatap nanar ke arah suaminya. Bowo mengangguk. Membiarkan kedua orang itu bekerja sesuai tugasnya."Pak, tapi saya hanya mendorong pelan kok. Mana mungkin anaknya Mbak Arum meninggal. Nggak usah lebay deh!" Rani berteriak. Ia mengusap kasar jejak air matanya. Yang tidak dipungkiri begitu takut jika itu terjadi."Silahkan Anda jelaskan dikantor. Silahkan ikut kami."Semula kedua polisi itu bersikap sopan. Berharap Rani tidak memberontak lantas dengan kesadaran berjalan beriringan namun sayang, Rani membelot. Seolah dia ingin lari dari kedua orang itu. Terpaksa Rani harus ditarik dengan paksa menuju mobil polisi. Sebenarnya beberapa waktu lalu pihak polisi sudah mengirim surat panggilan kepada Rani untuk datang ke kantor polisi namun sayang surat itu tidak pernah ia terima. Karena alamat yang dituju adalah alamat dimana rumah Rani tinggal bersama Agus. Entah mengapa Agus tidak
Arum memandikan anak itu lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian Khaila yang dulu tertinggal. Lalu dia mengajak anak itu untuk makan. Dan terakhir Khaila tidur siang dikamar. Bayu tengah umroh bersama teman-temanya. Sudah tujuh hari lamanya, sebentar lagi dia akan pulang. Selama Bayu tidak ada di rumah Khaila akan menjadi teman tidurnya.*****"Khaila, beresin mainan kamu! Berantakan tau!" teriak Rani. Wanita itu berkacak pinggang di hadapan Khaila. Khaila yang semula anteng bermain boneka seketika menunduk. Dia takut melihat sang Ibu yang tengah melotot ke arahnya.Sudah beberapa hari ini dia tidak masuk bekerja. Entah bagaimana nasibnya. Mungkin akan mendapat surat pemecatan karena dia sering absen datang ke tempat kerja. Padahal dia harus mencukupi kebutuhan Khaila, dimana saat ini Agus tidak cukup bisa diandalkan."Apa-apaan sih kamu?! Anak itu diajari bukan dimarahi!" sahut Bowo, ayah Rani. Dia terlihat meraih tangan cucunya lalu membantu memunguti mainan."Kita beresin sama-
"Nggak usah repot-repot, Mbak.""Nggak papa." Arum berjalan ke dapur. Menyiapkan pisang goreng dalam piring. Tidak lupa membuatkan kedua ayah dan anak itu minuman. Arum kembali ke ruang tamu tentunya dengan nampan yang ada di tangan."Silahkan diminum cantik, pisangnya dimakan ya!" pinta Arum membuat Khaila tersenyum."Kamu belum daftarkan dia ke sekolah?" tanya Arum pandangannya kini tertuju pada Agus yang tengah menyesap teh."Belum, Mbak. Belum ada uang!""Terus selama ini kamu ngapain saja di rumah?""Khaila nggak ada yang jaga, Mbak. Aku nggak enak jika harus menitipkan dia sama Mbak terus.""Kalau kamu nggak kerja. Gimana sekolah Khaila? Gimana makan dia?"Agus hanya diam. Bagaimanapun dia tetap saudara kandung Bayu. Bagaimanapun juga dia tetap memikirkan Khaila. Khaila anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Dan lihat, dia tidak mau minum teh itu maupun mengambil makannya. Padahal dulu, dia sangat cerewet dan juga manja jika dengan Arum."Sayang, kok nggak makan?" tanya Arum. Dia