Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 58POV Arum"Mas juga belum tahu, tapi mana ada orang yang tiba-tiba melakukan hal konyol itu tanpa sebab tanpa alasan. Iya nggak?"tanya Mas Bayu sembari membenarkan kemeja putihnya.Hari ini aku mengenakan gamis berbahan katun berwarna biru bermoif bunga melati. "Jangan nuduh yang nggak-nggak deh, Mas. Lagian nanti kalau kita nggak punya bukti kuat, kita bisa masuk penjara."Aku khawatir mendengar asumsi Mas Bayu. Bisa masuk enjara jika menuduh orang tanpa bukti."Makanya, kemarin Mas buru-buru pasang cctv itu. Sini deh coba lihat ponsel Mas ini. Kemarin, sempet aku otak-atik biar bisa kita awasi lewat ponsel. Lihat ni," ucap Mas Bayu sembari menyodorkan ponsel miliknya. Ya, saat lelaki itu tengah memasang cctv memang aku juga tengah mengunakan ponselku. Jadi jika ponsel dia yang digunakan untuk disambungkan. Nggak masalah bagiku.Aku memperhatikan dengan seksama. Benar saja, lelaki itu berencana membuat onar. Namun beruntung Mas Bayu
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 59"Tamu sepesial itu bener apa kata kamu. Cewek berpakaian seksi itu.""Lha memang dia siapa?" tanyaku khawatir. Jangan-jangan dia mantan pacar Mas Bayu yang sengaja di datangkan untuk mengoda nya. Dijadikan madu karena Ibu pikir aku tidak bisa hamil. Karena semalam aku urungkan mengatakan pada Ibu aku tengah mengandung.Ya Tuhan, kenapa pikiranku negatif terus?"Mantan kamu, Mas?" Aku kembali bertanya karena Mas Bayu tidak menjawab langsung."Apa sih kamu ini? Cemburu ya?" Mas Bayu bukannya menjawab dia malah meledekku. Bibirku manyun dua centi. Mendengar ucapan Mas Bayu baru saja. Karena aku menganggap ini bukanlah pembicaraan yang lucu.Setelah dia selesai mengantung anggrek. Dia melangkah mendekatiku, memelukku dari belakang sesekali mencium jilbab instan yang tengah aku kenakan."Dia memang mantan, Mas. Tapi percayalah tidak akan terjadi apa-apa setelah itu!""Mas yakin?""Kamu percaya sama aku nggak?""Percaya. Inget, ya Mas Bayu. Kam
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 60POV BayuJam menunjukan angka empat sore. Kebetulan pekerjaanku sudah selesai ditambah hari ini aku berniat ke warung mengambil mobil. Karena rencana pergi ke acara Agus menggunakan mobil. Aku khawatir dengan Arum, dia tengah hamil muda. Takut terjadi apa-apa jika mengenakan motor. Aku sebentar lagi akan menyandang gelar seorang ayah. Harapan dan juga asa ku sempat pupus. Teringat beberapa tahun silam, Ibu pernah membujukku kembali merajut kasih dengan Mayang. Mantan pacar yang kini tengah pulang dari luar negri.Meskipun tidak munafik, paras Mayang memang jauh lebih menggoda. Lebih menor dan juga lebih waw."Woi, sore-sore melamun. Kesambet baru tahu rasa!" ucap teman kantorku sembari menepuk bahuku. Akupun langsung terkejut. Menatap lelaki itu penuh tawa. "Apa sih?""Kenapa? Kagak punya duit?""Bukanlah," jawabku dengan tenang. Sekarang punya atau tidak punya uang tetap saja aku bisa makan karena ada Arum."Keknya lagi ada yang sen
Pembalasan istri Pelit yang sesungguhnya.Bab 61POV RaniAku memakai lipstik dengan warna menyala. Mematut diri di depan cermin dengan memperhatikan setiap polesan yang ada di wajahku. Memastikan semua sempurna. Hari ini aku tetap bekerja. Meskipun aku sudah memiliki Cafe."Ran, kamu nggak masak dulu?" Tiba-tiba Mas Agus sudah duduk di sisi ranjang. Memperhatikan diriku dengan seksama."Nggak, Mas. Aku udah telat nih.""Kalau kamu nggak masak terus Khaila makan apa?""Kan ada Ibu. Kamu suruh Ibu masak lah! Lagian, Ibu juga nggak ada kerjaan kan?" Tanganku sibuk memasukan bedak dan juga lipstik ke dalam tas. Tidak lupa benda pipih yang selalu aku bawa kemana-mana apa lagi kalau bukan ponsel."Ya sudah kalau begitu, hari ini kamu pulang jam berapa?" tanya Mas Agus sembari beranjak dari duduknya."Biasa Mas. Nanti kamu ke cafe kan?""Ya iyalah, hari ini hari pertama cafe dibuka untuk umum. Jadi aku tetep akan ke sana.""Khaila biar di rumah aja sama Ibu.""Iya.""Siapa wanita yang diba
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 62POV ArumAku membuka mata setelah mendengar adzan berkumandang. Mengucap syukur Alhamdulillah, kala Allah masih memberi kesempatan untuk bernapas. Tidak aku pungkiri selama ini Allah sudah memberi banyak padaku. Usaha lancar, dan kini aku tengah hamil. Meskipun sebelumnya aku harus menghadapi mertua dan juga Ipar julid. Untuk dijadikan pelajaran, kelak jika aku memiliki menantu akan diperlakukan sebaik mungkin. Akan aku anggap sebagai anakku sendiri.Tuhan, terima kasih atas segala rezeki yang Kau limpahkan.Terima kasih atas kesempatan untuk menikmati betapa indahnya menjadi seorang Ibu.Aku mengusap rambut Mas Bayu. Membangunkannya berniat mengerjakan sholat bersama. Matanya mengerjap, tangannya menggeliat. Setelah cukup lama ia menatap langit-langit, lantas lelaki itu turun dari ranjang menuju kamar mandi."Kamu sudah sholat?""Belum. Kan nungguin kamu."Mas Bayu tidak menjawab, dia segera mengambil wudhu lalu keluar dari kamar mandi
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 63"Sebenarnya kedatangan Arum ke sini mau-""Bude Arum …." Khaila menghamburkan pelukannya kepadaku. Aku pun dengan cepat memeluknya."Pelan-pelan sayang, disini ada dedek Bude. " Aku mengusap perutku."Bude hamil?" Aku mengangguk sembari bibir tersenyum."Asyik, mau punya dedek." "Ini sayang, tadi Bude belikan es krim.""Yee …."Khaila melompat kegirangan. Membuatku hanya bisa mengulum senyum."Pamer, semua orang di kasih tahu kalau hamil. Hati-hati, biasanya kalau terlalu lebay nggak jadi.""Astagfirullahaladzim, ucapan Ibu kok seperti itu? Seperti nggak percaya kalau saya bisa punya anak. Bicara itu yang baik-baik, jangan lupa Ibu juga seorang Ibu. Jadi tahu bagaimana perasaan saya.""Eh, Arum jangan sok nasehatin Ibu ya. Baru keluar rumah ini seminggu sudah jadi sok bijaksana," sungut Ibu. Dia lantas menjatuhkan bobot tubuhnya dikursi. Sedangkan aku hanya menggeleng lantas merogoh uang yang tadi di amanah kan Mas Bayu."Bu, maaf. Saya
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 64"Emak jatuh, Rum.""Apa? Emak jatuh? Kok bisa Mbak?""Mbak, juga nggak tahu.""Terus, Emak sekarang keadaannya gimana?" tanyaku khawatir. Benar saja, Emak sudah tua. Umurnya sudah lebih dari separuh abad. Aku khawatir terjadi sesuatu dengan beliau. Ditambah dia tinggal sendiri di rumah. Bertambah pula beban pikiranku."Alhamdulilah, Emak nggak papa. Untungnya ada salah satu tetangga yang melihat kejadian itu. Jadi Emak bisa langsung ditolong oleh mereka.""Ya sudah, kalau begitu Mbak. Arum pergi ke sana sekarang.""Iya, hati-hati, Rum." Aku memutus sambungan telepon. Pandanganku menerawang jauh, bagaimana Emak bisa terjatuh? Apakah emak tengah mengantuk? Banyak pikiran atau apa? Begitu banyak pertanyaan yang terlintas dalam benakku. Aku yang sempat melamun lantas tersadar ketika Tini menepuk pundakku."Mbak Arum nggak papa?""Iya, nggak papa." Aku segera menghubungi Mas Bayu. Meminta izin sebelum aku berangkat ke rumah Emak. Jarak anta
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 65"Saya Pak RT.""Oalah, Pak RT. Saya kira siapa? Ada perlu apa ya, Pak?" tanyaku dengan senyum mengembang. Benar saja, aku sudah berpikiran jauh malah justru yang datang adalah Pak RT."Saya hanya ingin menyampaikan. Besok ada acara makan-makan di rumah Pak Santoso. Rumahnya paling ujung, nanti Ibu sama suami bisa hadir.""Ow, acara makan-makan, dalam rangka apa ya Pak?""Biasa, anak Pak Santosa lulus kuliah. Sekarang sudah mendapat pekerjaan. Syukuran istilahnya.""Ow begitu baiklah, Pak. Nanti saya sampaikan undangan bapak ini kepada suami saya.""Kalau begitu saya pamit Mbak.""Iya, silahkan Pak RT." Aku kembali menutup pintu. Entah mengapa kepalaku sedikit berdenyut nyeri. Karena rasa ngantuk yang tidak segera aku tidurkan. Gegas aku menuju kamar tidur. Tidak lupa mengirim pesan kepada Tini agar dia mau mengantar makanan ke rumah. ***POV WatiAllahuakbar, jiwa dan ragaku sepertinya remuk redam. Bagaimana tidak, aku harus menjaga Kh
Bayu bergegas pergi meninggalkan penjual Bakso. Mengambil tas dan juga perlengkapan lainnya. Tidak lupa Bayu menyerahkan uang untuk membayar Bakso. Setelah selesai. Bayu kembali menghampiri Arum."Tenang, Nak. Nanti Emak ke situ sama Bude Nanik. Kamu yang tenang ya. Dimana Bayu?""Ini, Mak. Dia sudah selesai memasukan perlengkapan aku di mobil.""Ya sudah bilang sama dia nggak usah khawatir. Kamu buat jalan santai saja. Jangan melakukan pekerjaan berat ya. Apalagi naik tangga, berbahaya. Jalan santai aja di lantai bawah. Keramik di tempatmu kan licin.""Iya, Mak." Setalah mengucapkan salam Arum menutup teleponnya. "Aku sudah bilang sama Emak. Dia mau ke sini sama Bude. Kebetulan Bude lagi di rumah.""Ya sudah kalau begitu. Gimana perut kamu masih sakit?""Udah nggak kok, Mas. Nanti teras mules hilang lagi mules lagi hilang lagi. Begitu saja terus.""Alhamdulilah, kalau begitu. Semoga nanti kamu dilancarkan ya sayang.""Permisi, baksonya Mas.""Oh, ya. Terima kasih banyak, Pak." Dua m
Kesempatan kedua dan akhir dari perjuangan"Sesuatu? Apa?"Sebuah kertas berwarna putih disodorkan Arum. "Apa ini?" "Buka aja, Mas," pinta Arum membuat Bayu tersenyum bersamaan dengan rasa penasaran.Perlahan tapi pasti lelaki itu membuka kertas itu. Dibacanya dengan seksama. Bayu tersenyum, lalu pandangannya tertuju pada Arum. ****"Ini beneran?" tanya Bayu. Hanya dijawab dengan anggukan kepala sang istri. Bayu memeluk erat tubuh Arum. Tatapannya tidak lepas pada sebuah surat. Surat yang menyatakan bahwa Arum bisa kembali hamil tentunya dengan pengawasan dokter kandungan. "Alhamdulilah, semoga nanti kedepannya kamu bisa secepatnya hamil lagi.""Amin, Mas." ****Satu tahun kemudian.Arum berjalan bergandengan dengan Khaila. Melewati orang-orang yang tengah berjalan menikmati indahnya sore hari. Bayu menatap wanita itu dari kejauhan. Menyungging senyum penuh kebahagiaan. Akhirnya apa yang ia tunggu selama ini tercapai juga. Arum terlihat begitu kesusahan berjalan. Kehamilan yang m
"Kamu tega, Mas," ucap Rani di sela-sela tangisnya. Dia menelan ludahnya dengan susah payah. Membenarkan posisi duduk menjadi memeluk lutut menangis dalam dekapan sendiri. Tidak ada orang tua, anak maupun siapapun yang melapangkan hati Rani.Rani berada di titik terendah. Dimana hati, jiwa dan raganya terluka. Sebuah pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan. Penyesalan teramat dalam selama hidupnya. ******"Kamu udah putusan, Gus?" tanya Bayu di sela-sela makan malam. Ya, hari ini Bayu bersama Khaila dan juga Arum makan malam bersama di rumah Bayu. Agus berubah. Satu persatu hutang-hutang yang pernah melilitnya ia bayar. Memberikan kehidupan yang layak sebagai seorang anak pada Khaila. Mencurahkan waktu dan juga kasih sayang. "Alhamdulilah sudah, Mas. Keputusan langsung dikirim ke lapas.""Rani gimana? Kamu nggak pernah jenguk dia? Sudah sebulan ini dia disana!" tanya Arum. Bagaimanapun Rani pernah menjadi bagian hidup Agus. Pernah memberi Khaila untuknya."Nggak lah, Mbak. Aku
KARMARani menikmati dinginnya lantai di dalam penjara. Sepi, sedih dan juga terkekang. Di tempat riuhnya banyak orang yang tengah berbincang, Rani menunduk, dia tidak berani menatap orang-orang yang ada di sekelilingnya. Rani berharap mukjizat akan datang. Dia percaya Arum akan datang dan memintanya pulang. Namun, satu hari dua hari hingga satu bulan lamanya tidak jua ia dapati sosok yang dinanti. "Mbak, Rani minta maaf, Mbak. Rani khilaf. Rani tidak bermaksud mencelakai Mbak dan juga janin yang ada di kandungan Mbak. Aku harap Mbak Arum mau memaafkan aku. Aku harap Mbak Arum mau memberiku kesempatan. Huhuhu …." "Kesempatan kamu bilang? Terlambat! Kamu pantas di penjara, Rani!" ucap Arum tidak peduli. Sorot matanya tajam penuh kebencian. "Tapi Mbak. Khaila bagaimana? Bagaimana dengan anakku, Mbak? Dia masih butuh aku, masih butuh kasih sayang seorang Ibu!""Aku akan menjaga Khaila. Jauh lebih baik daripada kamu. Sebelum kamu bertindak seharusnya kamu lebih dulu berpikir. Hidup
Ternyata Ratih tengah diuji. Dia kehilangan banyak uang karena suaminya tertipu investasi bodong. Terjawab sudah kenapa beberapa waktu lalu dia meng gadai rumah pada Hendra, suami Nanik.Kini Ratih juga bekerja di warung Arum. Namun hari ini dia tidak bisa datang ke rumah Arum dikarenakan ada kepentingan di sekolah putranya. Khaila terlihat duduk dipangkuan Agus, lelaki itu tengah mengajukan perceraian kepada pengadilan agama. Dia memutuskan berpisah dengan Rani. Agus kini memulai hidup baru. Bekerja menjadi salah satu karyawan Arum tentunya. Berjalan dari bawah bersama sang putri. Dimana saat ini di jaga oleh Arum. Khaila kini sudah bersekolah. Meskipun masih taman kanak-kanak."Bagaimana, Yu. Kamu di sana sehat-sehat kan?" tanya Marni pandangannya tidak lepas pada Bayu. Arum yang tengah menuangkan minuman hangat lantas melirik sekilas kearah ibunya. "Alhamdulilah, Mak. Sehat, banyak doa yang Bayu panjatkan di sana. Untuk almarhum Ibu dan juga untuk Arum." Bayu menatap Marni namun
"Jawab, Agus. Apakah surat itu ada ditanganmu!" Bowo kembali bertanya.Agus diam. Dia menatap Khaila kemudian pandangannya beralih kepada Bowo lalu Ranti.****"Ada pada saya, Pak!""Ada pada kamu?! Lantas kenapa kamu tidak memberikan kepada Rani? Kamu tahu kan dia di tempat kedua orang tuanya.""Saya-""Bapak kecewa sama kamu!""Hu … hu … papa!" Teriak Khaila membuyarkan pandangan Agus yang mulai mengabur karena airmatanya yang hampir jatuh."Kamu anggap apa anakku Rani? Dia sudah menemani kamu dari nol. Dan sekarang kau campakkan dia! Membiarkan dia dibawa polisi dengan paksa?""Rani kelewatan, Pak. Saya sudah bicara kepada Mas Bayu dan juga Mbak Arum. Kata mereka Rani mendorong Mbak Arum hingga terjatuh!""Lantas kamu diam saja!""Ini menyangkut nyawa, Pak. Saya juga sedih tapi Rani harus mempertanggung jawabkan perbuatannya!"Plak"Pergi dari rumah ini! Bawa Khaila bersamamu!" Tamparan itu mendarat di pipi Agus. Khaila berteriak histeris. Lelaki paruh Baya itu mengepalkan tangan.
Kedua orang itu masuk kedalam rumah. Bowo memberi jalan. Sedangkan Ranti yang berhasil sampai di dekat Bowo. Menatap nanar ke arah suaminya. Bowo mengangguk. Membiarkan kedua orang itu bekerja sesuai tugasnya."Pak, tapi saya hanya mendorong pelan kok. Mana mungkin anaknya Mbak Arum meninggal. Nggak usah lebay deh!" Rani berteriak. Ia mengusap kasar jejak air matanya. Yang tidak dipungkiri begitu takut jika itu terjadi."Silahkan Anda jelaskan dikantor. Silahkan ikut kami."Semula kedua polisi itu bersikap sopan. Berharap Rani tidak memberontak lantas dengan kesadaran berjalan beriringan namun sayang, Rani membelot. Seolah dia ingin lari dari kedua orang itu. Terpaksa Rani harus ditarik dengan paksa menuju mobil polisi. Sebenarnya beberapa waktu lalu pihak polisi sudah mengirim surat panggilan kepada Rani untuk datang ke kantor polisi namun sayang surat itu tidak pernah ia terima. Karena alamat yang dituju adalah alamat dimana rumah Rani tinggal bersama Agus. Entah mengapa Agus tidak
Arum memandikan anak itu lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian Khaila yang dulu tertinggal. Lalu dia mengajak anak itu untuk makan. Dan terakhir Khaila tidur siang dikamar. Bayu tengah umroh bersama teman-temanya. Sudah tujuh hari lamanya, sebentar lagi dia akan pulang. Selama Bayu tidak ada di rumah Khaila akan menjadi teman tidurnya.*****"Khaila, beresin mainan kamu! Berantakan tau!" teriak Rani. Wanita itu berkacak pinggang di hadapan Khaila. Khaila yang semula anteng bermain boneka seketika menunduk. Dia takut melihat sang Ibu yang tengah melotot ke arahnya.Sudah beberapa hari ini dia tidak masuk bekerja. Entah bagaimana nasibnya. Mungkin akan mendapat surat pemecatan karena dia sering absen datang ke tempat kerja. Padahal dia harus mencukupi kebutuhan Khaila, dimana saat ini Agus tidak cukup bisa diandalkan."Apa-apaan sih kamu?! Anak itu diajari bukan dimarahi!" sahut Bowo, ayah Rani. Dia terlihat meraih tangan cucunya lalu membantu memunguti mainan."Kita beresin sama-
"Nggak usah repot-repot, Mbak.""Nggak papa." Arum berjalan ke dapur. Menyiapkan pisang goreng dalam piring. Tidak lupa membuatkan kedua ayah dan anak itu minuman. Arum kembali ke ruang tamu tentunya dengan nampan yang ada di tangan."Silahkan diminum cantik, pisangnya dimakan ya!" pinta Arum membuat Khaila tersenyum."Kamu belum daftarkan dia ke sekolah?" tanya Arum pandangannya kini tertuju pada Agus yang tengah menyesap teh."Belum, Mbak. Belum ada uang!""Terus selama ini kamu ngapain saja di rumah?""Khaila nggak ada yang jaga, Mbak. Aku nggak enak jika harus menitipkan dia sama Mbak terus.""Kalau kamu nggak kerja. Gimana sekolah Khaila? Gimana makan dia?"Agus hanya diam. Bagaimanapun dia tetap saudara kandung Bayu. Bagaimanapun juga dia tetap memikirkan Khaila. Khaila anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Dan lihat, dia tidak mau minum teh itu maupun mengambil makannya. Padahal dulu, dia sangat cerewet dan juga manja jika dengan Arum."Sayang, kok nggak makan?" tanya Arum. Dia