Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 64"Emak jatuh, Rum.""Apa? Emak jatuh? Kok bisa Mbak?""Mbak, juga nggak tahu.""Terus, Emak sekarang keadaannya gimana?" tanyaku khawatir. Benar saja, Emak sudah tua. Umurnya sudah lebih dari separuh abad. Aku khawatir terjadi sesuatu dengan beliau. Ditambah dia tinggal sendiri di rumah. Bertambah pula beban pikiranku."Alhamdulilah, Emak nggak papa. Untungnya ada salah satu tetangga yang melihat kejadian itu. Jadi Emak bisa langsung ditolong oleh mereka.""Ya sudah, kalau begitu Mbak. Arum pergi ke sana sekarang.""Iya, hati-hati, Rum." Aku memutus sambungan telepon. Pandanganku menerawang jauh, bagaimana Emak bisa terjatuh? Apakah emak tengah mengantuk? Banyak pikiran atau apa? Begitu banyak pertanyaan yang terlintas dalam benakku. Aku yang sempat melamun lantas tersadar ketika Tini menepuk pundakku."Mbak Arum nggak papa?""Iya, nggak papa." Aku segera menghubungi Mas Bayu. Meminta izin sebelum aku berangkat ke rumah Emak. Jarak anta
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 65"Saya Pak RT.""Oalah, Pak RT. Saya kira siapa? Ada perlu apa ya, Pak?" tanyaku dengan senyum mengembang. Benar saja, aku sudah berpikiran jauh malah justru yang datang adalah Pak RT."Saya hanya ingin menyampaikan. Besok ada acara makan-makan di rumah Pak Santoso. Rumahnya paling ujung, nanti Ibu sama suami bisa hadir.""Ow, acara makan-makan, dalam rangka apa ya Pak?""Biasa, anak Pak Santosa lulus kuliah. Sekarang sudah mendapat pekerjaan. Syukuran istilahnya.""Ow begitu baiklah, Pak. Nanti saya sampaikan undangan bapak ini kepada suami saya.""Kalau begitu saya pamit Mbak.""Iya, silahkan Pak RT." Aku kembali menutup pintu. Entah mengapa kepalaku sedikit berdenyut nyeri. Karena rasa ngantuk yang tidak segera aku tidurkan. Gegas aku menuju kamar tidur. Tidak lupa mengirim pesan kepada Tini agar dia mau mengantar makanan ke rumah. ***POV WatiAllahuakbar, jiwa dan ragaku sepertinya remuk redam. Bagaimana tidak, aku harus menjaga Kh
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 66Tok … tok"Bu … bangun." Aku mengerjapkan kedua mata. Ketika mendengar seseorang mengetuk pintu kamar. Terlebih dia menyebut namaku, suaranya tidak asing. "Bu, bangun!" Benar saja, itu suara Rani. Teriakannya begitu memekakan telinga.Aku mem beringsut dari ranjang. Berniat membuka pintu kamar. Jika tidak segera aku buka, pasti teriakan itu semakin kencang.Ceklek."Ada apa, Ran? Jam berapa ini? Kamu kok sudah bangunin Ibu?" Aku melirik jam yang menempel pada dinding. Memperhatikan Rani yang terlihat juga baru bangun."Haduh, Bu. Ini sudah jam enam. Ibu kenapa tidak bangun pagi sih? Rani sudah terlambat berangkat bekerja.""Apa hubungannya dengan Ibu, Ran?" Aku membenarkan rambut. Merapikannya sedikit kemudian menyanggul."Ya jelas ada lah Bu. Ibu itu yang menyiapkan semuanya. siapa lagi kalau bukan Ibu yang menyiapkan sarapan? Siapa yang mandiin Khaila. Jangan lupa, Bu. Mas Agus belum dibuatkan kopi.""Lho, kamu sendiri kenapa nggak me
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 67POV ArumJam menunjukan angka lima sore. Suara benda pipih milikku berdering. Ditambah aku mencium aroma masakan. HemHarum.Aku mengerjapkan kedua mataku. Lalu meraih benda pipih itu yang tergeletak tertutup guling. Sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri. Entah mengapa rasanya malas sekali beranjak dari tempat tidur. Apalagi untuk sekedar mandi, rasanya itu adalah kegiatan terberat selama sepekan ini.Ceklek"Rum, sudah sore kamu nggak mandi?" Tiba-tiba kepala Emak menyembul diambang pintu. Aku pun hanya menatapnya dengan seksama."Emak, sudah bangun?" tanyaku. "Sudah, Emak sudah mandi sudah sholat ashar. Kamu bangun, mandi dulu setelah itu sholat ashar sudah sore nanti dingin kalau mandi kesorean." "Emak sudah sehat?""Sudah, kan cuma lecet. Emak juga sudah siapkan makan. Hayuk, buruan.""Makan? Emak masak? Tini nggak nganter makanan tho?" tanyaku sembari mem beringsut dari ranjang. Meraih handuk yang tergantung pada pintu kamar."Ti
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 68POV author "Bawa makanan ini pulang!" ucap Bayu sembari menyerahkan plastik itu ketangan Mayang. Mayang tidak akan pernah menyangka jika Bayu akan berubah. Dia tidak lagi menurut dengan ucapan ibunya. Arum bernapas lega, suami yang ia jaga sepenuhnya ternyata kini benar-benar berubah. Tanpa mau mengikuti permintaan Ibunya. Dia kini juga terlihat berjuang mempertahankan rumah tangga.Bayu tersenyum manis, menghampiri Arum dan menggenggam jari jemarinya erat. Sesekali ia mengecup punggung tangan wanita yang tengah berbadan dua itu. Mereka saling bersitatap, membuat jantung Arum berdetak tak karuan. Meskipun usia pernikahan mereka sudah lima tahun lamanya. Namun, getaran itu masih tetap sama. Bayu menatap manik mata Arum yang hitam. Ia menatapnya cukup lama dan semakin dalam."I love you," ucap Bayu berbisik. Namun, masih bisa didengar oleh semua orang. Mayang yang melihat pemandangan itu lantas pergi meninggalkan Bayu dan Arum. Tatapan
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 69Mayang gegas pergi dari rumah Bayu. Langkahnya begitu cepat. Hingga dia tiba di depan pintu mobil miliknya. Wanita itu menoleh ke arah Bayu dan juga Arum. "Awas aja, Ya Mas. Aku nggak terima, kamu injak-injak harga diriku. Aku pastikan kamu akan tergila-gila kepadaku lagi nantinya" gumam Mayang pelan. BukMayang menutup pintu mobil cukup kuat. Lalu ia memandangi plastik berisi bubur itu sekilas. Dengan tenaga yang ia miliki, wanita itu melempar plastik ke sembarang arah.Mobil berwarna merah menyala itu melaju membelah jalan raya. Mayang terus mengemudikan mobilnya masih dengan perasaan kesal. Kesal akan sikap yang ditunjukan Bayu dan juga Arum. Mayang meraih ponsel yang ada di dalam tas. Tidak berapa lama nama Wati muncul dalam daftar pilihan.Tut … Tut"Halo, ada apa Mayang cantik?" tanya Wati langsung pada intinya. Bersikap sok manis kepada wanita itu, berharap Mayang kelak menjadi menantunya, meskipun mustahil."Mas Bayu sudah m
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 70Arum tidak pernah menyangka sebelumnya. Bahwa orang yang selama ini bekerja dengannya bersikap licik. Kini semua orang sudah berkumpul di warung. Warung makan milik Arum sengaja ditutup lebih awal. Tidak mungkin mereka akan membahas permasalahan ini di rumah pak Santoso. Kasihan, jika acara syukuran harus berubah menjadi acara musyawarah membahas pencurian uang. Tidak masuk akal."Kamu bisa jelaskan semuanya Nadia? Semua tentang ini?" tanya Arum. Mengawali pembicaraan, setelah semuanya diam dengan pikirannya masing-masing."Maafkan saya, Mbak. Saya mengaku salah.""Saya tidak pernah menyangka, Nad. Kamu akan seperti ini. Padahal Mbak Arum berniat baik lho sama kamu. Mbak Arum mau meminjamkan kamu uang, karena waktu itu saya lihat kamu kok ngendap-ngendap ke meja kasir. Jadi aku curiga." Tini ikut menyuarakan pendapatnya."Maksud kamu apa, Tin?" tanya Arum. Bingung."Iya, Mbak. Jadi begini, waktu itu aku lihat dia ngendap-ngendap ke meja
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyaBab 71Suara ayam berkokok. Membuat Arum menggeliat. Membuka matanya perlahan lalu mengulas senyum ketika melihat Bayu tengah meringkuk kedinginan. "Mas, sudah subuh. Bangun yuk, kita sholat dulu," pinta wanita itu. Lantas Arum turun dari ranjang. Duduk di sisi kasur lalu menatap sekilas jam yang menempel di dinding.Arum berjalan perlahan menuju kamar mandi. Mengguyur air berniat mengerjakan dua rakaat. Disusul Bayu yang berjalan dengan malas kemudian mereka sholat berjamaah."Kamu mau masak apa, Rum?" Tiba-tiba Marni sudah di belakang Arum. Wanita yang tengah memotong sayuran itu sedikit terkejut lalu menoleh ke sumber suara."Bikin Sop ayam, Mak. Sama mau bikin bakwan. Emak sudah bangun?" Arum menatap wanita yang sudah melahirkannya itu.Marni mengambil pisau, membantu memotong sayuran yang lain. "Emak sudah sehat, Rum. Emak sudah bisa beraktivitas seperti biasa. Terima kasih lho Emak sudah diizinkan tinggal di sini.""Lho, emak sudah mau
Bayu bergegas pergi meninggalkan penjual Bakso. Mengambil tas dan juga perlengkapan lainnya. Tidak lupa Bayu menyerahkan uang untuk membayar Bakso. Setelah selesai. Bayu kembali menghampiri Arum."Tenang, Nak. Nanti Emak ke situ sama Bude Nanik. Kamu yang tenang ya. Dimana Bayu?""Ini, Mak. Dia sudah selesai memasukan perlengkapan aku di mobil.""Ya sudah bilang sama dia nggak usah khawatir. Kamu buat jalan santai saja. Jangan melakukan pekerjaan berat ya. Apalagi naik tangga, berbahaya. Jalan santai aja di lantai bawah. Keramik di tempatmu kan licin.""Iya, Mak." Setalah mengucapkan salam Arum menutup teleponnya. "Aku sudah bilang sama Emak. Dia mau ke sini sama Bude. Kebetulan Bude lagi di rumah.""Ya sudah kalau begitu. Gimana perut kamu masih sakit?""Udah nggak kok, Mas. Nanti teras mules hilang lagi mules lagi hilang lagi. Begitu saja terus.""Alhamdulilah, kalau begitu. Semoga nanti kamu dilancarkan ya sayang.""Permisi, baksonya Mas.""Oh, ya. Terima kasih banyak, Pak." Dua m
Kesempatan kedua dan akhir dari perjuangan"Sesuatu? Apa?"Sebuah kertas berwarna putih disodorkan Arum. "Apa ini?" "Buka aja, Mas," pinta Arum membuat Bayu tersenyum bersamaan dengan rasa penasaran.Perlahan tapi pasti lelaki itu membuka kertas itu. Dibacanya dengan seksama. Bayu tersenyum, lalu pandangannya tertuju pada Arum. ****"Ini beneran?" tanya Bayu. Hanya dijawab dengan anggukan kepala sang istri. Bayu memeluk erat tubuh Arum. Tatapannya tidak lepas pada sebuah surat. Surat yang menyatakan bahwa Arum bisa kembali hamil tentunya dengan pengawasan dokter kandungan. "Alhamdulilah, semoga nanti kedepannya kamu bisa secepatnya hamil lagi.""Amin, Mas." ****Satu tahun kemudian.Arum berjalan bergandengan dengan Khaila. Melewati orang-orang yang tengah berjalan menikmati indahnya sore hari. Bayu menatap wanita itu dari kejauhan. Menyungging senyum penuh kebahagiaan. Akhirnya apa yang ia tunggu selama ini tercapai juga. Arum terlihat begitu kesusahan berjalan. Kehamilan yang m
"Kamu tega, Mas," ucap Rani di sela-sela tangisnya. Dia menelan ludahnya dengan susah payah. Membenarkan posisi duduk menjadi memeluk lutut menangis dalam dekapan sendiri. Tidak ada orang tua, anak maupun siapapun yang melapangkan hati Rani.Rani berada di titik terendah. Dimana hati, jiwa dan raganya terluka. Sebuah pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan. Penyesalan teramat dalam selama hidupnya. ******"Kamu udah putusan, Gus?" tanya Bayu di sela-sela makan malam. Ya, hari ini Bayu bersama Khaila dan juga Arum makan malam bersama di rumah Bayu. Agus berubah. Satu persatu hutang-hutang yang pernah melilitnya ia bayar. Memberikan kehidupan yang layak sebagai seorang anak pada Khaila. Mencurahkan waktu dan juga kasih sayang. "Alhamdulilah sudah, Mas. Keputusan langsung dikirim ke lapas.""Rani gimana? Kamu nggak pernah jenguk dia? Sudah sebulan ini dia disana!" tanya Arum. Bagaimanapun Rani pernah menjadi bagian hidup Agus. Pernah memberi Khaila untuknya."Nggak lah, Mbak. Aku
KARMARani menikmati dinginnya lantai di dalam penjara. Sepi, sedih dan juga terkekang. Di tempat riuhnya banyak orang yang tengah berbincang, Rani menunduk, dia tidak berani menatap orang-orang yang ada di sekelilingnya. Rani berharap mukjizat akan datang. Dia percaya Arum akan datang dan memintanya pulang. Namun, satu hari dua hari hingga satu bulan lamanya tidak jua ia dapati sosok yang dinanti. "Mbak, Rani minta maaf, Mbak. Rani khilaf. Rani tidak bermaksud mencelakai Mbak dan juga janin yang ada di kandungan Mbak. Aku harap Mbak Arum mau memaafkan aku. Aku harap Mbak Arum mau memberiku kesempatan. Huhuhu …." "Kesempatan kamu bilang? Terlambat! Kamu pantas di penjara, Rani!" ucap Arum tidak peduli. Sorot matanya tajam penuh kebencian. "Tapi Mbak. Khaila bagaimana? Bagaimana dengan anakku, Mbak? Dia masih butuh aku, masih butuh kasih sayang seorang Ibu!""Aku akan menjaga Khaila. Jauh lebih baik daripada kamu. Sebelum kamu bertindak seharusnya kamu lebih dulu berpikir. Hidup
Ternyata Ratih tengah diuji. Dia kehilangan banyak uang karena suaminya tertipu investasi bodong. Terjawab sudah kenapa beberapa waktu lalu dia meng gadai rumah pada Hendra, suami Nanik.Kini Ratih juga bekerja di warung Arum. Namun hari ini dia tidak bisa datang ke rumah Arum dikarenakan ada kepentingan di sekolah putranya. Khaila terlihat duduk dipangkuan Agus, lelaki itu tengah mengajukan perceraian kepada pengadilan agama. Dia memutuskan berpisah dengan Rani. Agus kini memulai hidup baru. Bekerja menjadi salah satu karyawan Arum tentunya. Berjalan dari bawah bersama sang putri. Dimana saat ini di jaga oleh Arum. Khaila kini sudah bersekolah. Meskipun masih taman kanak-kanak."Bagaimana, Yu. Kamu di sana sehat-sehat kan?" tanya Marni pandangannya tidak lepas pada Bayu. Arum yang tengah menuangkan minuman hangat lantas melirik sekilas kearah ibunya. "Alhamdulilah, Mak. Sehat, banyak doa yang Bayu panjatkan di sana. Untuk almarhum Ibu dan juga untuk Arum." Bayu menatap Marni namun
"Jawab, Agus. Apakah surat itu ada ditanganmu!" Bowo kembali bertanya.Agus diam. Dia menatap Khaila kemudian pandangannya beralih kepada Bowo lalu Ranti.****"Ada pada saya, Pak!""Ada pada kamu?! Lantas kenapa kamu tidak memberikan kepada Rani? Kamu tahu kan dia di tempat kedua orang tuanya.""Saya-""Bapak kecewa sama kamu!""Hu … hu … papa!" Teriak Khaila membuyarkan pandangan Agus yang mulai mengabur karena airmatanya yang hampir jatuh."Kamu anggap apa anakku Rani? Dia sudah menemani kamu dari nol. Dan sekarang kau campakkan dia! Membiarkan dia dibawa polisi dengan paksa?""Rani kelewatan, Pak. Saya sudah bicara kepada Mas Bayu dan juga Mbak Arum. Kata mereka Rani mendorong Mbak Arum hingga terjatuh!""Lantas kamu diam saja!""Ini menyangkut nyawa, Pak. Saya juga sedih tapi Rani harus mempertanggung jawabkan perbuatannya!"Plak"Pergi dari rumah ini! Bawa Khaila bersamamu!" Tamparan itu mendarat di pipi Agus. Khaila berteriak histeris. Lelaki paruh Baya itu mengepalkan tangan.
Kedua orang itu masuk kedalam rumah. Bowo memberi jalan. Sedangkan Ranti yang berhasil sampai di dekat Bowo. Menatap nanar ke arah suaminya. Bowo mengangguk. Membiarkan kedua orang itu bekerja sesuai tugasnya."Pak, tapi saya hanya mendorong pelan kok. Mana mungkin anaknya Mbak Arum meninggal. Nggak usah lebay deh!" Rani berteriak. Ia mengusap kasar jejak air matanya. Yang tidak dipungkiri begitu takut jika itu terjadi."Silahkan Anda jelaskan dikantor. Silahkan ikut kami."Semula kedua polisi itu bersikap sopan. Berharap Rani tidak memberontak lantas dengan kesadaran berjalan beriringan namun sayang, Rani membelot. Seolah dia ingin lari dari kedua orang itu. Terpaksa Rani harus ditarik dengan paksa menuju mobil polisi. Sebenarnya beberapa waktu lalu pihak polisi sudah mengirim surat panggilan kepada Rani untuk datang ke kantor polisi namun sayang surat itu tidak pernah ia terima. Karena alamat yang dituju adalah alamat dimana rumah Rani tinggal bersama Agus. Entah mengapa Agus tidak
Arum memandikan anak itu lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian Khaila yang dulu tertinggal. Lalu dia mengajak anak itu untuk makan. Dan terakhir Khaila tidur siang dikamar. Bayu tengah umroh bersama teman-temanya. Sudah tujuh hari lamanya, sebentar lagi dia akan pulang. Selama Bayu tidak ada di rumah Khaila akan menjadi teman tidurnya.*****"Khaila, beresin mainan kamu! Berantakan tau!" teriak Rani. Wanita itu berkacak pinggang di hadapan Khaila. Khaila yang semula anteng bermain boneka seketika menunduk. Dia takut melihat sang Ibu yang tengah melotot ke arahnya.Sudah beberapa hari ini dia tidak masuk bekerja. Entah bagaimana nasibnya. Mungkin akan mendapat surat pemecatan karena dia sering absen datang ke tempat kerja. Padahal dia harus mencukupi kebutuhan Khaila, dimana saat ini Agus tidak cukup bisa diandalkan."Apa-apaan sih kamu?! Anak itu diajari bukan dimarahi!" sahut Bowo, ayah Rani. Dia terlihat meraih tangan cucunya lalu membantu memunguti mainan."Kita beresin sama-
"Nggak usah repot-repot, Mbak.""Nggak papa." Arum berjalan ke dapur. Menyiapkan pisang goreng dalam piring. Tidak lupa membuatkan kedua ayah dan anak itu minuman. Arum kembali ke ruang tamu tentunya dengan nampan yang ada di tangan."Silahkan diminum cantik, pisangnya dimakan ya!" pinta Arum membuat Khaila tersenyum."Kamu belum daftarkan dia ke sekolah?" tanya Arum pandangannya kini tertuju pada Agus yang tengah menyesap teh."Belum, Mbak. Belum ada uang!""Terus selama ini kamu ngapain saja di rumah?""Khaila nggak ada yang jaga, Mbak. Aku nggak enak jika harus menitipkan dia sama Mbak terus.""Kalau kamu nggak kerja. Gimana sekolah Khaila? Gimana makan dia?"Agus hanya diam. Bagaimanapun dia tetap saudara kandung Bayu. Bagaimanapun juga dia tetap memikirkan Khaila. Khaila anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Dan lihat, dia tidak mau minum teh itu maupun mengambil makannya. Padahal dulu, dia sangat cerewet dan juga manja jika dengan Arum."Sayang, kok nggak makan?" tanya Arum. Dia