PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYABAB 20Kalau bukan karena uang, aku tidak sudi mengepel lantai dan juga mencuci pakaian. Meskipun menggunakan mesin cuci sekalipun. Ditambah cucian piring juga lumayan banyak.Kali ini aku harus bisa mengambil hati Arum, terpaksa.Arum tiba dirumah setelah pekerjaanku selesai, dia pasti terkejut mendapati rumah sudah dalam keadaan bersih. Aku juga memintanya beristirahat dan juga membersihkan badan. Ah, rasanya aneh jika menjadi baik seperti ini.Semoga dengan kebaikanku Arum mau memberiku uang.***POV ArumAku menggeliat diatas kasur. Mengerjapkan kedua mata lalu menatap jam yang melingkar di dinding. Jam menunjukan angka lima, Astagfirullahaladzim. Aku segera meloncat dari tempat tidur lalu gegas mandi, setelah selesai aku duduk di meja rias. Nampak benda pipih yang tergeletak diatas meja rias bergetar dan terus menyala. Jelas tertera di layar ponsel nama Mas Bayu tenggah memanggil. Segera aku mengangkatnya."Halo, Assalamualaikum." "Waal
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYABAB 21Aku mengetuk pintu, tidak berapa lama pintu pun terbuka cukup lebar. Memperlihatkan Mas Bayu yang tengah duduk disamping Ibu mertua, terkejut melihatku."Kenapa kamu kesini, Rum?" tanya lelaki yang bergelar suami itu."Harusnya yang nanya aku, Mas. Kamu ngapain disini? Bukannya setiap hari kamu pulang jam tujuh malam." ***Seketika laki-laki itu terlihat gugup. Aku segera melangkah lebih dekat. Sorot mata ibu memperlihatkan ketidaksukaannya kepadaku. Ah, pasti gara-gara uang ini. "Kebetulan kalau begitu, semua pas ada disini. Arum mau bicara sesuatu." Aku segera menjatuhkan bokongku di salah satu sofa. Duduk sendiri tanpa ada Mas Bayu disampingku. Dia terlihat lebih suka duduk di dekat Ibunya."Bicara apa sih, Mbak?" Kini suara si empunya rumah terdengar, Rani. Dia masih mengenakan baju yang ia kenakan ke kantor. Terlihat bahwa Semua orang baru saja tiba di rumah ini, belum lama. Termasuk Mas Bayu yang terlihat mengendurkan dasinya."S
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYABAB 22POV AgusGubrakAku langsung menggebrak meja, ketika tahu bahwa keuangan Mas Bayu kini diambil alih oleh Arum, istrinya. Benar saja, jika wanita itu yang berkuasa atas Mas Bayu. Aku tidak bisa lagi meminta uang dengan alasan apapun. Bagaimana tidak, Mbak Arum adalah wanita yang penuh perhitungan alias pelit. Selama ini aku meminta uang kepada Mas Bayu tanpa dia tahu. Namun entah mengapa tiba-tiba semuanya terbongkar.Ah, sial. Padahal Mas Bayu itu kakak ku yang paling baik. Saking baiknya aku memanfaatkannya untuk kepentingan diriku sendiri.Tuling[Mas, aku sudah pulang. Kamu dimana?] Rani mengirimi aku pesan. [Bentar lagi, Mas pulang. Tunggu, ya!] Aku segera menyelesaikan pekerjaanku. Agar aku bisa segera pulang. Mataku terus saja menatap layar komputer memasukan semua data ke dalam elektronik itu. Satu persatu akhirnya selesai juga jam menunjukan angka lima tepat. Akhirnya aku pulang juga ke rumah. Aku segera menghampiri istriku, Ra
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYABAB 23"Saya berjanji, Pak.""Baiklah, saya akan datang lagi Minggu depan. Ingat, jika kalian tidak segera melunasi. Kalian aku pastikan." Tangan lelaki garang itu menggerakkan ke kanan pada leher. Memberi ancaman jika aku tidak melunasinya, nyawaku akan menjadi taruhannya. *****"Mas, bagaimana ini? Dapat uang darimana kita?" Rani mengusap lenganku dengan kasar. Tingkah Rani justru membuatku semakin tertekan. Aku terus saja memperhatikan kedua lelaki itu yang kini berjalan meninggalkan kontrakan. Aku menghela napas dalam-dalam, membuangnya perlahan. Berharap ota* ku bisa kembali berpikir jernih."Mas, kamu kok malah diam saja?" Lagi-lagi ucapan wanita yang ada di sampingku ini membuatku semakin naik darah."Sudahlah, sayang. Jangan seperti ini, tingkahmu itu justru membuatku semakin pusing." Aku berjalan masuk ke dalam rumah. Menjatuhkan bokongku di sofa. Kedua tanganku saling bertautan, pikiranku melalang buana. Mencari solusi bagaimana baik
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYABAB 24Gubrak"Astagfirullahaladzim." Teriak wanita yang ada di sebelahku. Membuatku juga terkejut bukan main."Ya Allah, kenapa bisa begini?"***Ibu mertuaku terpeleset, padahal tidak ada hujan maupun air di halaman rumah. Entah mengapa wanita tua itu bisa terjengkang dan sekarang dia tersungkur di lantai. Aku dan juga salah satu tetangga itu berlari mendekat."Ibu nggak papa?" tanyaku pada Ibu. Entah mengapa wanita tua itu hanya diam saja."Mas … mas Bayu …." Aku berteriak sekencang mungkin. Agar lelaki yang ada di dalam rumah mendengar teriakan ku dan langsung keluar."Ada apa sih, Rum?" tanya Mas Bayu. Namun setelah melihat Ibu tergeletak di tanah, lelaki itu langsung berlari menghampiri kami tanpa menggunakan alas kaki terlebih dahulu."Bantu, Mas. Angkat ke dalam rumah." Aku mengikuti perintah Mas Bayu, aku membantu mengangkat wanita tua itu masuk kedalam rumah. Sedangkan kantong kresek yang tadi ikut jatuh di bawakan oleh tetanggaku tad
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYABAB 25"Kamu jaga Ibu ya, Rum?" "Aku Mas?" "Iya, kamu. Siapa lagi?"***"Jualan Arum besok gimana? Aku sudah terlanjur membeli sayuran.""Kamu kan ada Siti sama Tini. Biar mereka yang ngurus."Aku diam sejenak, mencerna ucapan Mas Bayu baru saja. Baiklah, kali ini aku akan mengalah. Bagaimanapun Ibu adalah wanita yang telah melahirkan suamiku. Jadi aku harus merawatnya seperti ibu kandungku sendiri. "Baiklah kalau begitu, biar nanti Arum hubungi Siti."Segera aku menghubungi Siti, memintanya membuka warung besok pagi tanpa aku. Dan aku berpesan padanya agar tidak berbelanja, untuk sementara aku akan libur dulu berjualan. Aku melihat jam yang ada di pergelangan tanganku. Jam menunjukan angka delapan malam, kupandangi baju piyama yang aku kenakan dan juga sandal jepit berharga sepuluhan ribu berwarna biru. Astaga, penampilanku begini amat. Karena Ibu tidak sadar, membuatku juga tidak sadar hanya mengenakan sandal jepit."Agus pulang ya, Mas.
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYABAB 26"Ya Allah, Mbak. Baru saja tiba! Biarkan kami masuk dulu ke rumah. Nggak sopan banget sih!""Apa kamu bilang Rani? Sopan? Kamu mau ngajarin kakak iparmu ini sopan? Kamu itu sopan apa nggak selama ini? Ibu itu sudah mendahulukan kalian dari semuanya, tapi apa? Lihat kamu, tengok Ibu di rumah sakit saja tidak. Bicara soal sopan kepadaku, ngaca dulu dong!" Rani dan juga Agus pun melengos tanpa menggubris ucapanku, mereka masuk ke dalam rumah, langsung menuju ke kamar Ibu. Terlihat Rani membawa sekantong kresek berwarna putih, entah apa itu isinya ataukah sebuah bom ataupun batu bata?Aku langsung menghentikan aktivitasku lalu mengikuti mereka berjalan masuk ke rumah. Terlihat Rani meletakkan kresek itu di atas meja yang tidak jauh dari tempat Ibu berbaring, lantas Rani duduk di sisi ranjang dekat Ibu, dia terlihat sok perhatian dengan mengelus-elus lengan ibu mertua."Ibu gimana kabarnya? Sudah mendingan? Maaf, aku sama Mas Agus tidak s
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYABab 27Pov ibu mertuaLelah, aku harus mengurus rumah sedangkan Arum ternyata tidak mau menambah uang bulananku. Dia benar-benar keterlaluan, memberi uang sejumlah lima ratus ribu, mana cukup untuk kebutuhanku. HahBenar-benar menantu pelit, aku harus memutar otak agar dia mau memberikan uangnya kepadaku. Padahal uang yang ia bawa juga uang anakku, anak kandungku. Dia itu hanya orang lain yang kebetulan dinikahi sama anakku, seharusnya dia tahu diri bukan justru bersikap seperti itu, benar-benar menyebalkan.Aku segera membawa gamis-gamis yang kemarin sempat aku beli ke dalam kantong kresek, aku akan menjualnya kepada ibu-ibu yang rumahnya tidak jauh dari rumahku. Biar saja, aku akan menyebar gosip bahwa Arum sudah tega tidak memberiku uang untuk berbelanja kebutuhan. Membuatku terpaksa menjual gamis-gamis ini.Aku berharap jika aku menyebar gosip seperti itu, nama Arum akan berubah menjadi buruk di mata para tetangga.Aku berjalan pergi ke
Bayu bergegas pergi meninggalkan penjual Bakso. Mengambil tas dan juga perlengkapan lainnya. Tidak lupa Bayu menyerahkan uang untuk membayar Bakso. Setelah selesai. Bayu kembali menghampiri Arum."Tenang, Nak. Nanti Emak ke situ sama Bude Nanik. Kamu yang tenang ya. Dimana Bayu?""Ini, Mak. Dia sudah selesai memasukan perlengkapan aku di mobil.""Ya sudah bilang sama dia nggak usah khawatir. Kamu buat jalan santai saja. Jangan melakukan pekerjaan berat ya. Apalagi naik tangga, berbahaya. Jalan santai aja di lantai bawah. Keramik di tempatmu kan licin.""Iya, Mak." Setalah mengucapkan salam Arum menutup teleponnya. "Aku sudah bilang sama Emak. Dia mau ke sini sama Bude. Kebetulan Bude lagi di rumah.""Ya sudah kalau begitu. Gimana perut kamu masih sakit?""Udah nggak kok, Mas. Nanti teras mules hilang lagi mules lagi hilang lagi. Begitu saja terus.""Alhamdulilah, kalau begitu. Semoga nanti kamu dilancarkan ya sayang.""Permisi, baksonya Mas.""Oh, ya. Terima kasih banyak, Pak." Dua m
Kesempatan kedua dan akhir dari perjuangan"Sesuatu? Apa?"Sebuah kertas berwarna putih disodorkan Arum. "Apa ini?" "Buka aja, Mas," pinta Arum membuat Bayu tersenyum bersamaan dengan rasa penasaran.Perlahan tapi pasti lelaki itu membuka kertas itu. Dibacanya dengan seksama. Bayu tersenyum, lalu pandangannya tertuju pada Arum. ****"Ini beneran?" tanya Bayu. Hanya dijawab dengan anggukan kepala sang istri. Bayu memeluk erat tubuh Arum. Tatapannya tidak lepas pada sebuah surat. Surat yang menyatakan bahwa Arum bisa kembali hamil tentunya dengan pengawasan dokter kandungan. "Alhamdulilah, semoga nanti kedepannya kamu bisa secepatnya hamil lagi.""Amin, Mas." ****Satu tahun kemudian.Arum berjalan bergandengan dengan Khaila. Melewati orang-orang yang tengah berjalan menikmati indahnya sore hari. Bayu menatap wanita itu dari kejauhan. Menyungging senyum penuh kebahagiaan. Akhirnya apa yang ia tunggu selama ini tercapai juga. Arum terlihat begitu kesusahan berjalan. Kehamilan yang m
"Kamu tega, Mas," ucap Rani di sela-sela tangisnya. Dia menelan ludahnya dengan susah payah. Membenarkan posisi duduk menjadi memeluk lutut menangis dalam dekapan sendiri. Tidak ada orang tua, anak maupun siapapun yang melapangkan hati Rani.Rani berada di titik terendah. Dimana hati, jiwa dan raganya terluka. Sebuah pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan. Penyesalan teramat dalam selama hidupnya. ******"Kamu udah putusan, Gus?" tanya Bayu di sela-sela makan malam. Ya, hari ini Bayu bersama Khaila dan juga Arum makan malam bersama di rumah Bayu. Agus berubah. Satu persatu hutang-hutang yang pernah melilitnya ia bayar. Memberikan kehidupan yang layak sebagai seorang anak pada Khaila. Mencurahkan waktu dan juga kasih sayang. "Alhamdulilah sudah, Mas. Keputusan langsung dikirim ke lapas.""Rani gimana? Kamu nggak pernah jenguk dia? Sudah sebulan ini dia disana!" tanya Arum. Bagaimanapun Rani pernah menjadi bagian hidup Agus. Pernah memberi Khaila untuknya."Nggak lah, Mbak. Aku
KARMARani menikmati dinginnya lantai di dalam penjara. Sepi, sedih dan juga terkekang. Di tempat riuhnya banyak orang yang tengah berbincang, Rani menunduk, dia tidak berani menatap orang-orang yang ada di sekelilingnya. Rani berharap mukjizat akan datang. Dia percaya Arum akan datang dan memintanya pulang. Namun, satu hari dua hari hingga satu bulan lamanya tidak jua ia dapati sosok yang dinanti. "Mbak, Rani minta maaf, Mbak. Rani khilaf. Rani tidak bermaksud mencelakai Mbak dan juga janin yang ada di kandungan Mbak. Aku harap Mbak Arum mau memaafkan aku. Aku harap Mbak Arum mau memberiku kesempatan. Huhuhu …." "Kesempatan kamu bilang? Terlambat! Kamu pantas di penjara, Rani!" ucap Arum tidak peduli. Sorot matanya tajam penuh kebencian. "Tapi Mbak. Khaila bagaimana? Bagaimana dengan anakku, Mbak? Dia masih butuh aku, masih butuh kasih sayang seorang Ibu!""Aku akan menjaga Khaila. Jauh lebih baik daripada kamu. Sebelum kamu bertindak seharusnya kamu lebih dulu berpikir. Hidup
Ternyata Ratih tengah diuji. Dia kehilangan banyak uang karena suaminya tertipu investasi bodong. Terjawab sudah kenapa beberapa waktu lalu dia meng gadai rumah pada Hendra, suami Nanik.Kini Ratih juga bekerja di warung Arum. Namun hari ini dia tidak bisa datang ke rumah Arum dikarenakan ada kepentingan di sekolah putranya. Khaila terlihat duduk dipangkuan Agus, lelaki itu tengah mengajukan perceraian kepada pengadilan agama. Dia memutuskan berpisah dengan Rani. Agus kini memulai hidup baru. Bekerja menjadi salah satu karyawan Arum tentunya. Berjalan dari bawah bersama sang putri. Dimana saat ini di jaga oleh Arum. Khaila kini sudah bersekolah. Meskipun masih taman kanak-kanak."Bagaimana, Yu. Kamu di sana sehat-sehat kan?" tanya Marni pandangannya tidak lepas pada Bayu. Arum yang tengah menuangkan minuman hangat lantas melirik sekilas kearah ibunya. "Alhamdulilah, Mak. Sehat, banyak doa yang Bayu panjatkan di sana. Untuk almarhum Ibu dan juga untuk Arum." Bayu menatap Marni namun
"Jawab, Agus. Apakah surat itu ada ditanganmu!" Bowo kembali bertanya.Agus diam. Dia menatap Khaila kemudian pandangannya beralih kepada Bowo lalu Ranti.****"Ada pada saya, Pak!""Ada pada kamu?! Lantas kenapa kamu tidak memberikan kepada Rani? Kamu tahu kan dia di tempat kedua orang tuanya.""Saya-""Bapak kecewa sama kamu!""Hu … hu … papa!" Teriak Khaila membuyarkan pandangan Agus yang mulai mengabur karena airmatanya yang hampir jatuh."Kamu anggap apa anakku Rani? Dia sudah menemani kamu dari nol. Dan sekarang kau campakkan dia! Membiarkan dia dibawa polisi dengan paksa?""Rani kelewatan, Pak. Saya sudah bicara kepada Mas Bayu dan juga Mbak Arum. Kata mereka Rani mendorong Mbak Arum hingga terjatuh!""Lantas kamu diam saja!""Ini menyangkut nyawa, Pak. Saya juga sedih tapi Rani harus mempertanggung jawabkan perbuatannya!"Plak"Pergi dari rumah ini! Bawa Khaila bersamamu!" Tamparan itu mendarat di pipi Agus. Khaila berteriak histeris. Lelaki paruh Baya itu mengepalkan tangan.
Kedua orang itu masuk kedalam rumah. Bowo memberi jalan. Sedangkan Ranti yang berhasil sampai di dekat Bowo. Menatap nanar ke arah suaminya. Bowo mengangguk. Membiarkan kedua orang itu bekerja sesuai tugasnya."Pak, tapi saya hanya mendorong pelan kok. Mana mungkin anaknya Mbak Arum meninggal. Nggak usah lebay deh!" Rani berteriak. Ia mengusap kasar jejak air matanya. Yang tidak dipungkiri begitu takut jika itu terjadi."Silahkan Anda jelaskan dikantor. Silahkan ikut kami."Semula kedua polisi itu bersikap sopan. Berharap Rani tidak memberontak lantas dengan kesadaran berjalan beriringan namun sayang, Rani membelot. Seolah dia ingin lari dari kedua orang itu. Terpaksa Rani harus ditarik dengan paksa menuju mobil polisi. Sebenarnya beberapa waktu lalu pihak polisi sudah mengirim surat panggilan kepada Rani untuk datang ke kantor polisi namun sayang surat itu tidak pernah ia terima. Karena alamat yang dituju adalah alamat dimana rumah Rani tinggal bersama Agus. Entah mengapa Agus tidak
Arum memandikan anak itu lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian Khaila yang dulu tertinggal. Lalu dia mengajak anak itu untuk makan. Dan terakhir Khaila tidur siang dikamar. Bayu tengah umroh bersama teman-temanya. Sudah tujuh hari lamanya, sebentar lagi dia akan pulang. Selama Bayu tidak ada di rumah Khaila akan menjadi teman tidurnya.*****"Khaila, beresin mainan kamu! Berantakan tau!" teriak Rani. Wanita itu berkacak pinggang di hadapan Khaila. Khaila yang semula anteng bermain boneka seketika menunduk. Dia takut melihat sang Ibu yang tengah melotot ke arahnya.Sudah beberapa hari ini dia tidak masuk bekerja. Entah bagaimana nasibnya. Mungkin akan mendapat surat pemecatan karena dia sering absen datang ke tempat kerja. Padahal dia harus mencukupi kebutuhan Khaila, dimana saat ini Agus tidak cukup bisa diandalkan."Apa-apaan sih kamu?! Anak itu diajari bukan dimarahi!" sahut Bowo, ayah Rani. Dia terlihat meraih tangan cucunya lalu membantu memunguti mainan."Kita beresin sama-
"Nggak usah repot-repot, Mbak.""Nggak papa." Arum berjalan ke dapur. Menyiapkan pisang goreng dalam piring. Tidak lupa membuatkan kedua ayah dan anak itu minuman. Arum kembali ke ruang tamu tentunya dengan nampan yang ada di tangan."Silahkan diminum cantik, pisangnya dimakan ya!" pinta Arum membuat Khaila tersenyum."Kamu belum daftarkan dia ke sekolah?" tanya Arum pandangannya kini tertuju pada Agus yang tengah menyesap teh."Belum, Mbak. Belum ada uang!""Terus selama ini kamu ngapain saja di rumah?""Khaila nggak ada yang jaga, Mbak. Aku nggak enak jika harus menitipkan dia sama Mbak terus.""Kalau kamu nggak kerja. Gimana sekolah Khaila? Gimana makan dia?"Agus hanya diam. Bagaimanapun dia tetap saudara kandung Bayu. Bagaimanapun juga dia tetap memikirkan Khaila. Khaila anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Dan lihat, dia tidak mau minum teh itu maupun mengambil makannya. Padahal dulu, dia sangat cerewet dan juga manja jika dengan Arum."Sayang, kok nggak makan?" tanya Arum. Dia