CupBayu berjongkok, mensejajarkan dengan perut Arum. Menciumnya dengan lembut pada perut yang mulai buncit.Janin yang ada di sana mulai berdenyut. Seakan mengerti akan sapaan sang ayah. "Kok kedutan sih, Sayang? Kamu ngerasa nggak?" Arum mengangguk. "Ini pertama kalinya, Mas. Aku seneng banget." Arum tersenyum, ada rasa tidak percaya jika saat ini dia mengalami semuanya. Mengalami kehamilan dan juga merasakan gerakan janin. Di usia kehamilan yang baru saja menginjak bulan ke empat. "Sehat-sehat terus ya!" pinta lelaki itu terus mengusap lembut perut Arum. Tidak berapa lama seorang pengemudi ojek online datang. Membuat Bayu dan juga Arum harus berpisah sebentar.****Hari ini Arum berkemas kembali. Dia akan menempati rumah baru secepat mungkin. Karena rumah kontrakan ini akan ditinggali Wati dan juga Agus dan Rani.Satu persatu pakaian yang ada dalam lemari ia masukan ke dalam koper. Melipatnya menjadi kecil agar muat masuk semuanya. Beruntung Bayu dan juga Arum bukan lah tipe pas
"Alhamdulilah, Mak. Mas Bayu dapet rejeki. Dia ambil rumah, meskipun nanti kita masih mencicil tiap bulannya. Tapi Alhamdulillah banget, Arum seneng. Akhirnya apa yang kami impikan terwujud.Kapan-kapan Emak ke sini ya?""Insyaallah, nanti.""Mak, tadi aku telepon Mbak Ratih tapi nggak diangkat.""Ow, Mbakyumu? Dia sedang ada cara, arisan katanya.""Ow, begitu. Ya sudah kalau begitu."Setelah Arum mengucap salam perbincangan itu berhenti. Arum kembali melanjutkan pekerjaannya. Arum merasa sudah kelelahan. Karena pekerjaan ringan pun jika dikerjakan oleh seorang Ibu hamil tetap akan merasa berat. Wanita itu akhirnya merebahkan tubuhnya diatas ranjang. Matanya menatap langit-langit rumah.Tok … tok ...tok.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Arum. Segera ia mem beringsut ke sisi ranjang. Meraih hijab instan yang tadi sempat ia kenakan.Langkah Arum perlahan menuju pintu utama.Tok … tok."Ya, sebentar," jawab Arum. Ketika sang tamu tidak lagi sabar menunggu. Ketukannya terdengar je
"Iya, diantar Mamanya tadi.""Kenapa?""Biasa.""Rum, kamu sudah berkemas? Tadi Ibu juga nelpon, besok mereka akan datang. Jadi sebaiknya kita langsung pindah. Belum apa-apa saja Rani sudah meminta kamu ngurus Khaila. Apalagi nanti, perut kamu juga bertambah besar.""Iya, mas sudah selesai. Tadi aku minta orang warung ke sini.""Alhamdulilah, kalau begitu. Biar mereka berdua berubah. Seharusnya."Arum mengangguk, membenarkan pendapat Bayu.******Huh hahRani membuang napas dengan kasar. Setelah kepergian dua kakak iparnya itu. Ada nyeri di ulu hati, ketika melihat sang kakak ipar jauh lebih beruntung. Jauh lebih sukses dan juga jauh lebih cantik. Tentu saja.Rani menyilangkan kakinya ketika duduk di sofa. Pandangannya tidak lepas dari benda pipih yang menyala. Suami yang duduk di sampingnya tidak dihiraukan. Apalagi wanita tua yang tengah makan buah pisang yang dibeli Bayu ketika pulang dari dokter. Mata menantu itu tengah memindai baju kekinian dan juga tas pada aplikasi jual beli.
Tin … tin.Terdengar suara taksi online sudah tiba di halaman rumah. Membuat Bayu langsung keluar dan melambaikan tangan kepada laki-laki yang masih berada di kursi kemudi."Tolong bantu saya bawa koper ini!" pinta Bayu ketika melihat pria itu datang."Pesanan atas nama Mbak Arum ya?""Iya, itu istri saya." Bayu menyeret satu koper, sedangkan yang lain di bawa oleh pria itu. Arum pun berjalan perlahan menuju mobil Avanza berwarna hitam. "Mbak Arum sudah mau pindahan?" teriak Susi, membuat semua orang menoleh ke arahnya."Iya, Bu. Saya pamit dulu ya, maaf kalau selama saya menjadi tetangga Ibu. Ada salah kata maupun perbuatan."Tangan Arum mengandeng Khaila."Iya, sama-sama Mbak Arum. Ibu juga minta maaf kalau ada salah kata. Maklum, mulut ini kadang keceplosan." Arum mencium punggung tangan Susi dengan takzim. Mencium pipi kanan kiri lalu memeluk erat wanita tua itu."Saya pamit, ya Bu. Nanti mertua saya yang akan tinggal di sini. Titip ya Bu!""Iya, siap Mbak Arum. Nanti kalau ada w
Pembalasan istri pelit yang sesungguhnyabab 92"Ada apa Mbak!""Pokoknya kamu sekarang harus ikut Mbak ke sana. Kamu bilang sama Bayu sekarang juga!""Emak sehatkan Mbak?""Emak sehat!""Lantas? Jangan bikin Arum takut, Mbak.""Sudah ayo, Mbak bantu kamu mengunci rumah. Kamu minta ijin dulu sama suami kamu!""Iya, Mbak. Aku jadi deg-degan. Ada apa tho Mbak? Jangan bikin Arum khawatir.""Nggak papa, sudah ayo."*****Arum pergi meninggalkan rumahnya setelah kunci dan juga izin dari Bayu sudah dikantongi. Hati dan pikirannya berkelana. Mencari sebenarnya apa yang terjadi di tempat kelahirannya itu. Kenapa dengan tergesa kakak kandungnya mengajaknya pulang. Apakah Marni baik-baik saja. Atau justru sebaliknya. Bulir-bulir air bening itu meluncur di kedua pelupuk mata Arum. Tangannya sesekali mengusap lembut sembari menatap ke sembarang arah. Pikiran buruk sempat hinggap.Sedangkan Ratih masih fokus memperhatikan jalanan yang sedikit berkelok tanpa sempat melihat keadaan Arum di jok bel
BAB 93Arum menggeleng sembari tangan memasukan buah berwarna oranye itu."Mbak mau dimasakin apa?" tanya Marni kepada Nanik."Terserah kamu saja lah, Mar. Oseng-oseng pare kalau ada.""Ya Allah, Bude. Mbok ya selain itu. Perginya saja keluar negeri. Makannya oseng-oseng pare.""Haist, Ratih. Kamu itu nggak tahu ya, pare itu pahit. Tapi lebih pahit lagi perjalanan hidup Bude. Jadi kalau cuma makan pare mah. Kecil," ucap Nanik diikuti tawa renyah lainnya.Arum tersenyum, senyuman Arum kini bahagia. Melihat sang Ibu bertemu dengan kakak kandungnya yang sudah lama pergi.Akhirnya Marni, Ratih dan juga Arum pergi ke dapur. Menyiapkan segala sesuatu yang akan dimasak oleh mereka. Nanik yang awalnya duduk didepan televisi, akhirnya menghampiri mereka. Lalu kembali membaur untuk menyiapkan makan siang. *****"Pokoknya kalian harus pergi dari rumah ini! Sekarang juga! Saya sudah membeli rumah ini, asal kalian tahu ya!" ucap wanita bermake up tebal itu. Suaranya melengking, membuat semua or
"Mbak aku titip Khaila. Di rumah rame." Belum juga Arum menjawab wanita itu sudah kembali berucap."Rame?""Iya, yang mengaku beli rumah itu menyuruh kita pergi. Dan sekarang kami mau lapor dulu ke pihak berwajib.""Kenapa nggak dari Kemarin saja sih, Ran?""Kemarin kagak punya duit!""Sekarang sudah punya?"Rani beralasan padahal kenyataannya juga tidaklah sama dengan apa yang ia ucapkan. Arum memeluk Khaila lalu mengajaknya masuk kedalam rumah setelah Rani pergi meninggalkan mereka. Rani melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Sesekali menlakson pengendara lain yang dianggap menghalangi. Tidak butuh waktu lama. Motor nemek berwarna hitam itu sudah kembali ke tempat semula.Di sana semua orang sudah duduk di kursi ruang tamu. Terlihat orang yang mengaku membeli rumah ini berdiri. Lantas menunjuk-nunjuk wajah Wati sembari mulut tidak berhenti berbicara."Pokoknya! Saya tidak mau tahu, besok kalian semua sudah angkat kaki dari rumah ini. Saya mau tempat ini tidak ada yang men
bab 95Semua orang yang melihat Arum kembali pulang lantas berdiri dengan wajah masam. Terlebih Agus dan juga Rani. Sedangkan Wati. Ia duduk dengan kondisi badan yang memprihatinkan.Kurus dan juga berantakan." Terima kasih ya Mbak Ratih sudah mengantar. Mampir dulu yuk!"Arum mencium punggung tangan Ratih lalu memeluknya sebentar."Nggak usah! Kapan-kapan lagi saja. Sudah ya Mbak pulang dulu. Mau sekalian jemput anak.""Oke, hati-hati ya Mbak." Arum memperhatikan kakaknya hingga wanita itu hilang tertutup oleh pepohonan. Arum yang baru saja tiba dari rumah Marni lantas berjalan tergopoh-gopoh menuju rumah. Dimana mertua dan kedua iparnya sudah menunggu."Ya ampun, Mbak. Lama banget?" Rani langsung menyahut ketika mendapati Arum pulang."Ya maaf, mbak nggak tahu kalau kalian pindah hari ini!" Arum menjawab dengan santainya. Menambah ketidaksabaran mereka sampai di ubun-ubun."Memangnya Mas Bayu nggak bilang?" Kini giliran Agus uang bersuara."Ow iya, lupa." Dengan polosnya Arum masih
Bayu bergegas pergi meninggalkan penjual Bakso. Mengambil tas dan juga perlengkapan lainnya. Tidak lupa Bayu menyerahkan uang untuk membayar Bakso. Setelah selesai. Bayu kembali menghampiri Arum."Tenang, Nak. Nanti Emak ke situ sama Bude Nanik. Kamu yang tenang ya. Dimana Bayu?""Ini, Mak. Dia sudah selesai memasukan perlengkapan aku di mobil.""Ya sudah bilang sama dia nggak usah khawatir. Kamu buat jalan santai saja. Jangan melakukan pekerjaan berat ya. Apalagi naik tangga, berbahaya. Jalan santai aja di lantai bawah. Keramik di tempatmu kan licin.""Iya, Mak." Setalah mengucapkan salam Arum menutup teleponnya. "Aku sudah bilang sama Emak. Dia mau ke sini sama Bude. Kebetulan Bude lagi di rumah.""Ya sudah kalau begitu. Gimana perut kamu masih sakit?""Udah nggak kok, Mas. Nanti teras mules hilang lagi mules lagi hilang lagi. Begitu saja terus.""Alhamdulilah, kalau begitu. Semoga nanti kamu dilancarkan ya sayang.""Permisi, baksonya Mas.""Oh, ya. Terima kasih banyak, Pak." Dua m
Kesempatan kedua dan akhir dari perjuangan"Sesuatu? Apa?"Sebuah kertas berwarna putih disodorkan Arum. "Apa ini?" "Buka aja, Mas," pinta Arum membuat Bayu tersenyum bersamaan dengan rasa penasaran.Perlahan tapi pasti lelaki itu membuka kertas itu. Dibacanya dengan seksama. Bayu tersenyum, lalu pandangannya tertuju pada Arum. ****"Ini beneran?" tanya Bayu. Hanya dijawab dengan anggukan kepala sang istri. Bayu memeluk erat tubuh Arum. Tatapannya tidak lepas pada sebuah surat. Surat yang menyatakan bahwa Arum bisa kembali hamil tentunya dengan pengawasan dokter kandungan. "Alhamdulilah, semoga nanti kedepannya kamu bisa secepatnya hamil lagi.""Amin, Mas." ****Satu tahun kemudian.Arum berjalan bergandengan dengan Khaila. Melewati orang-orang yang tengah berjalan menikmati indahnya sore hari. Bayu menatap wanita itu dari kejauhan. Menyungging senyum penuh kebahagiaan. Akhirnya apa yang ia tunggu selama ini tercapai juga. Arum terlihat begitu kesusahan berjalan. Kehamilan yang m
"Kamu tega, Mas," ucap Rani di sela-sela tangisnya. Dia menelan ludahnya dengan susah payah. Membenarkan posisi duduk menjadi memeluk lutut menangis dalam dekapan sendiri. Tidak ada orang tua, anak maupun siapapun yang melapangkan hati Rani.Rani berada di titik terendah. Dimana hati, jiwa dan raganya terluka. Sebuah pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan. Penyesalan teramat dalam selama hidupnya. ******"Kamu udah putusan, Gus?" tanya Bayu di sela-sela makan malam. Ya, hari ini Bayu bersama Khaila dan juga Arum makan malam bersama di rumah Bayu. Agus berubah. Satu persatu hutang-hutang yang pernah melilitnya ia bayar. Memberikan kehidupan yang layak sebagai seorang anak pada Khaila. Mencurahkan waktu dan juga kasih sayang. "Alhamdulilah sudah, Mas. Keputusan langsung dikirim ke lapas.""Rani gimana? Kamu nggak pernah jenguk dia? Sudah sebulan ini dia disana!" tanya Arum. Bagaimanapun Rani pernah menjadi bagian hidup Agus. Pernah memberi Khaila untuknya."Nggak lah, Mbak. Aku
KARMARani menikmati dinginnya lantai di dalam penjara. Sepi, sedih dan juga terkekang. Di tempat riuhnya banyak orang yang tengah berbincang, Rani menunduk, dia tidak berani menatap orang-orang yang ada di sekelilingnya. Rani berharap mukjizat akan datang. Dia percaya Arum akan datang dan memintanya pulang. Namun, satu hari dua hari hingga satu bulan lamanya tidak jua ia dapati sosok yang dinanti. "Mbak, Rani minta maaf, Mbak. Rani khilaf. Rani tidak bermaksud mencelakai Mbak dan juga janin yang ada di kandungan Mbak. Aku harap Mbak Arum mau memaafkan aku. Aku harap Mbak Arum mau memberiku kesempatan. Huhuhu …." "Kesempatan kamu bilang? Terlambat! Kamu pantas di penjara, Rani!" ucap Arum tidak peduli. Sorot matanya tajam penuh kebencian. "Tapi Mbak. Khaila bagaimana? Bagaimana dengan anakku, Mbak? Dia masih butuh aku, masih butuh kasih sayang seorang Ibu!""Aku akan menjaga Khaila. Jauh lebih baik daripada kamu. Sebelum kamu bertindak seharusnya kamu lebih dulu berpikir. Hidup
Ternyata Ratih tengah diuji. Dia kehilangan banyak uang karena suaminya tertipu investasi bodong. Terjawab sudah kenapa beberapa waktu lalu dia meng gadai rumah pada Hendra, suami Nanik.Kini Ratih juga bekerja di warung Arum. Namun hari ini dia tidak bisa datang ke rumah Arum dikarenakan ada kepentingan di sekolah putranya. Khaila terlihat duduk dipangkuan Agus, lelaki itu tengah mengajukan perceraian kepada pengadilan agama. Dia memutuskan berpisah dengan Rani. Agus kini memulai hidup baru. Bekerja menjadi salah satu karyawan Arum tentunya. Berjalan dari bawah bersama sang putri. Dimana saat ini di jaga oleh Arum. Khaila kini sudah bersekolah. Meskipun masih taman kanak-kanak."Bagaimana, Yu. Kamu di sana sehat-sehat kan?" tanya Marni pandangannya tidak lepas pada Bayu. Arum yang tengah menuangkan minuman hangat lantas melirik sekilas kearah ibunya. "Alhamdulilah, Mak. Sehat, banyak doa yang Bayu panjatkan di sana. Untuk almarhum Ibu dan juga untuk Arum." Bayu menatap Marni namun
"Jawab, Agus. Apakah surat itu ada ditanganmu!" Bowo kembali bertanya.Agus diam. Dia menatap Khaila kemudian pandangannya beralih kepada Bowo lalu Ranti.****"Ada pada saya, Pak!""Ada pada kamu?! Lantas kenapa kamu tidak memberikan kepada Rani? Kamu tahu kan dia di tempat kedua orang tuanya.""Saya-""Bapak kecewa sama kamu!""Hu … hu … papa!" Teriak Khaila membuyarkan pandangan Agus yang mulai mengabur karena airmatanya yang hampir jatuh."Kamu anggap apa anakku Rani? Dia sudah menemani kamu dari nol. Dan sekarang kau campakkan dia! Membiarkan dia dibawa polisi dengan paksa?""Rani kelewatan, Pak. Saya sudah bicara kepada Mas Bayu dan juga Mbak Arum. Kata mereka Rani mendorong Mbak Arum hingga terjatuh!""Lantas kamu diam saja!""Ini menyangkut nyawa, Pak. Saya juga sedih tapi Rani harus mempertanggung jawabkan perbuatannya!"Plak"Pergi dari rumah ini! Bawa Khaila bersamamu!" Tamparan itu mendarat di pipi Agus. Khaila berteriak histeris. Lelaki paruh Baya itu mengepalkan tangan.
Kedua orang itu masuk kedalam rumah. Bowo memberi jalan. Sedangkan Ranti yang berhasil sampai di dekat Bowo. Menatap nanar ke arah suaminya. Bowo mengangguk. Membiarkan kedua orang itu bekerja sesuai tugasnya."Pak, tapi saya hanya mendorong pelan kok. Mana mungkin anaknya Mbak Arum meninggal. Nggak usah lebay deh!" Rani berteriak. Ia mengusap kasar jejak air matanya. Yang tidak dipungkiri begitu takut jika itu terjadi."Silahkan Anda jelaskan dikantor. Silahkan ikut kami."Semula kedua polisi itu bersikap sopan. Berharap Rani tidak memberontak lantas dengan kesadaran berjalan beriringan namun sayang, Rani membelot. Seolah dia ingin lari dari kedua orang itu. Terpaksa Rani harus ditarik dengan paksa menuju mobil polisi. Sebenarnya beberapa waktu lalu pihak polisi sudah mengirim surat panggilan kepada Rani untuk datang ke kantor polisi namun sayang surat itu tidak pernah ia terima. Karena alamat yang dituju adalah alamat dimana rumah Rani tinggal bersama Agus. Entah mengapa Agus tidak
Arum memandikan anak itu lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian Khaila yang dulu tertinggal. Lalu dia mengajak anak itu untuk makan. Dan terakhir Khaila tidur siang dikamar. Bayu tengah umroh bersama teman-temanya. Sudah tujuh hari lamanya, sebentar lagi dia akan pulang. Selama Bayu tidak ada di rumah Khaila akan menjadi teman tidurnya.*****"Khaila, beresin mainan kamu! Berantakan tau!" teriak Rani. Wanita itu berkacak pinggang di hadapan Khaila. Khaila yang semula anteng bermain boneka seketika menunduk. Dia takut melihat sang Ibu yang tengah melotot ke arahnya.Sudah beberapa hari ini dia tidak masuk bekerja. Entah bagaimana nasibnya. Mungkin akan mendapat surat pemecatan karena dia sering absen datang ke tempat kerja. Padahal dia harus mencukupi kebutuhan Khaila, dimana saat ini Agus tidak cukup bisa diandalkan."Apa-apaan sih kamu?! Anak itu diajari bukan dimarahi!" sahut Bowo, ayah Rani. Dia terlihat meraih tangan cucunya lalu membantu memunguti mainan."Kita beresin sama-
"Nggak usah repot-repot, Mbak.""Nggak papa." Arum berjalan ke dapur. Menyiapkan pisang goreng dalam piring. Tidak lupa membuatkan kedua ayah dan anak itu minuman. Arum kembali ke ruang tamu tentunya dengan nampan yang ada di tangan."Silahkan diminum cantik, pisangnya dimakan ya!" pinta Arum membuat Khaila tersenyum."Kamu belum daftarkan dia ke sekolah?" tanya Arum pandangannya kini tertuju pada Agus yang tengah menyesap teh."Belum, Mbak. Belum ada uang!""Terus selama ini kamu ngapain saja di rumah?""Khaila nggak ada yang jaga, Mbak. Aku nggak enak jika harus menitipkan dia sama Mbak terus.""Kalau kamu nggak kerja. Gimana sekolah Khaila? Gimana makan dia?"Agus hanya diam. Bagaimanapun dia tetap saudara kandung Bayu. Bagaimanapun juga dia tetap memikirkan Khaila. Khaila anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Dan lihat, dia tidak mau minum teh itu maupun mengambil makannya. Padahal dulu, dia sangat cerewet dan juga manja jika dengan Arum."Sayang, kok nggak makan?" tanya Arum. Dia