Jaya menepikan mobil yang dikemudikannya di sebuah kafe yang terlihat baru saja buka dan belum ada pengunjungnya setelah mendapat persetujuan dari gadis cantik putri sang majikan yang baru ia jemput dari villa keluarga Bupati setengah jam yang lalu.
"Kita bicara sambil ngopi!" ujar Gendis dengan nada setengah memerintah. Tanpa menunggu Jaya membukakan pintu baginya, gadis itu segera keluar dan melangkah bergegas memasuki kafe yang masih kosong itu.
Ia segera memilih tempat di sudut yang tersembunyi dan memungkinkan ia untuk berbicara lebih bebas dengan sopir pribadi keluarganya itu. Sementara di belakangnya, Jaya membuntuti tanpa banyak bersuara.
"Ada apa, Non Gendis? Kelihatannya ada masalah serius ya?" tanyanya berbasa-basi begitu ia mendudukkan dirinya di kursi yang berseberangan dengan Gendis. Sesaat setelah pelayan kafe mendatangi mereka untuk memastikan pesanan.
"Duduk lebih
Bab 52. SAAT SATU MENDEKAT, LAINNYA TERASA MENJAUH.Lintang masih betah duduk-duduk santai di kursi kayu yang sengaja diletakkan ayahnya di bawah pohon mangga yang paling rindang di kebun belakang. Apalagi saat siang hari yang berangin seperti saat ini.Sudah hampir satu bulan ia tinggal di rumah yang ayahnya beli atas namanya. Selama itu pula ia jadi lebih sering bertemu dengan ayah kandungnya. Karena hampir setiap hari saat ayahnya tidak ada pertunjukan atau menghadiri undangan khusus ke luar kota, ayahnya pasti akan menemaninya di rumah itu. Walaupun ayahnya hampir tidak pernah menginap, karena selalu pulang ke rumah keluarganya di kota saat hari sudah beranjak malam. Atau saat Lintang akan berangkat bekerja.Sejak tinggal di rumahnya sendiri, Lintang lebih sering berangkat bekerja dengan diantar ayahnya, walaupun mobil ayahnya tidak pernah masuk di area parkir HAPPY night POPPY.Untuk menja
Dari balik bentangan kaca gelap selebar hampir separuh dinding yang memisahkan sebuah bilik sederhana berperabotan satu meja kayu berukuran tak terlalu besar dengan tiga kursi yang salah satunya berukuran sedikit lebih besar dibandingkan dua kursi lainnya yang ditata berseberangan, serta sebuah lemari kecil di sudut lain ruang. Satu kursi besar di dekat dinding dan dua lainnya diletakkan di seberang meja.Sementara ruangan di seberang bilik yang memiliki luas sepuluh kali lipat dari luas bilik yang difungsikan sebagai ruang kerja Wage itu berisi berbagai jenis peralatan gymnastik yang terbilang cukup modern.Dari dalam ruang kerjanya, Wage memperhatikan segala kegiatan fisik yang dilakukan para pelanggan pusat kebugaran dengan di dampingi karyawan yang juga merupakan teman-temannya.Hampir semua alat telah digunakan oleh pelanggan pusat kebugaran itu.Bangunan itu sendiri terdiri dari dua lantai. Lan
Siang yang cukup melelahkan, tapi sekaligus membahagiakan bagi Lintang. Menikmati kebersamaan dengan ayah kandung yang begitu memanjakannya.Berjalan bersama dengan lengan kokoh sang ayah yang tak pernah lepas dari bahunya. Sesekali tangan ayahnya itu mengusap lembut puncak kepalanya untuk menunjukkan kasih sayang yang baru saja dapat ia curahkan.Saling bercerita tentang kejadian-kejadian yang mereka alami saat tidak sedang bersama. Baik Narendra maupun Lintang benar-benar menikmati saat-saat kebersamaan mereka yang bisa dibilang sangat terbatas ituSetelah lelah berputar-putar di plaza, berbelanja segala kebutuhan yang sebenarnya bagi Lintang pribadi itu bukanlah kebutuhan mendesak, tetapi siang itu justru ayahnya yang lebih bersemangat untuk memanjakannya.Ki Narendra begitu royal membelanjakan barang-barang mewah seperti pakaian, tas juga beberapa set perhiasan berbahan
Bab 55 SEBUAH KESEPAKATAN"Duduklah, Lin!" perintah Narendra tanpa mengalihkan pandangan penuh kemarahan dari Dirgantara.Tanpa menunggu perintah ke dua kalinya, Lintang beringsut ke arah kursi dan duduk diam di tempatnya seraya menunggu dengan was-was kejadian selanjutnya antara ayahnya yang terlihat masih emosi dan Dirgantara yang masih mematung dengan pandangan tak lepas dari lawan bicaranya yang kini sama-sama berdiri saling berhadapan."Ya, sekarang kamu tahu bahwa Lintang adalah putriku! Lintang adalah putri kandungku!" tegas Narendra dengan suaranya yang dalam."Ayah...!"Narendra mengangkat telapak tangannya untuk memberi isyarat pada Lintang agar diam."Anak angkatku melaporkan bahwa kamu sudah menyakiti putriku beberapa waktu yang lalu... " geram Narendra.Wajah Dirgantara seketika memucat. 'Jadi benar apa yang Linta
DIRGANTARA?? Wage terkesiap kaget mendengar kabar yang baru saja dilontarkan Narendra. Seketika pandangannya beralih pada Lintang yang kini terlihat melemparkan senyum jengah padanya. "Ayah, iiih... !" Sambil terkekeh Narendra mencoba berkelit menghindari jemari Lintang yang langsung menghujaninya dengan cubitan gemas di lengannya. Menyembunyikan rasa jengah sekaligus senyum lega di bibirnya karena ternyata Narendra tidak mempermalukannya di depan Wage, Lintang bergegas meninggalkan teras dengan langkah-langkah terhentak berlagak kesal. "Ki, apa benar tadi Lintang sudah bertemu dengan Dirgantara? Lalu apa yang terjadi? Apakah Ki Narendra juga terlihat sedang bersama Lintang saat mereka bertemu?" "Ya, semua itu benar. Dirgantara dan Lintang bertemu tanpa sengaja, dan aku ada di samping Lintang." "Lalu apa yang terjadi? Bagaimana Lintang menjelaskan kehadiran Ki Narendra di dekatnya?" "Tidak ada yang penting. Lintang tidak berkata apa-apa, akulah yang menjelaskan situasinya pada
Bab 57. USAHA MENJERAT TUAN MUDA.Semakin malam, suasana pendopo kabupaten mulai dipadati penonton yang ingin melihat pagelaran wayang kulit yang di dalangi Ki Narendra. Para tamu kehormatan dari ibukota yang hadir di kota kabupaten itu untuk melakukan kunjungan kerja juga sudah menempati kursi-kursi khusus termasuk tamu-tamu undangan khusus dari Bupati yang rata-rata adalah jajaran anggota Dewan, para Kepala Dinas, Kapolres juga beberapa pengusaha dan awak media.Pagelaran itu sendiri sebenarnya dilaksanakan untuk kalangan tertutup untuk menjamin kenyamanan para undangan.Wulansari dan Gendis juga mendapatkan undangan khusus kekerabatan untuk menghadiri acara puncak penyambutan Anggota DPR pusat sebelum bertolak kembali ke ibukota keesokan harinya.Wulansari yang sebenarnya tidak terlalu antusias untuk menghadiri undangan itu datang lebih lambat satu jam dari pembukaan. Ia terpaksa menghadiri karena menuruti keinginan Gendis.Tiba di tempat acara Gendis segera memindai deretan bangk
"Brengsek! Sialan dia! Hampir saja ketahuan aku." gerundel Gendis seraya melemparkan tubuhnya ke dalam kursi penumpang mobilnya dengan kesal."Ada apa? Mana Bu Wulan, Non Gendis?" tanya Jaya gelagapan setelah kaget dan terbangun dari tidurnya di balik kemudi, karena kaget dengan kedatangan Gendis yang tiba-tiba dan suara pintu belakang mobil yang terbanting. "Ibu masih di dalam pendopo. Susul dia Jaya, bilang sama ibu, aku mau pulang sekarang!" perintah Gendis ketus."Baiklah Non. Sebenarnya ada apa sih? Kenapa marah-marah? Apa tuan muda itu tidak datang ke pertunjukan?" tanya Jaya dengan nada membujuk."Dia ada, aku sudah menemuinya, tapi usahaku terancam gagal. Tidak mudah ternyata untuk mengecohnya!" geram Gendis. Matanya berkilat menyimpan kemarahan."Apa dia tidak mau mengakuinya?" tanya Jaya hati-hati, mengingat apa tujuan yang sebenarnya sehingga Gendis memaksa ibunya untuk memenuhi undangan istri Bupati, datang ke pertunjukan yang di gelar di pendopo kabupaten ini. Tujuan ya
Bab 59. INSIDEN BESAR DI RUMAH MAKAN. "Apa kau tahu kemana ibuku pergi, Jaya? Aku sudah mencarinya kemana-mana bahkan ke kamarnya. Tapi ibuku tidak ada, padahal kamu ada di rumah." tanya Gendis pada sopir keluarga yang masih sibuk mencuci mobil di halaman samping. "Entahlah, Non. Sudah beberapa Minggu ini Bu Wulan lebih sering pergi dengan teman-temannya daripada meminta saya mengantarkan." jawab Jaya tanpa menghentikan kegiatannya. "Jadi ku tidak tahu dan sudah jarang mengawal ibuku?" tanya Gendis kaget. Berita yang disampaikan Jaya terdengar aneh mengingat apa yang sudah ia ketahui tentang hubungan istimewa antara ibunya dengan Jaya si sopir keluarga. "Aneh sekali!" "Saya rasa sekarang adalah jadwal arisan dengan teman-teman perias. Tapi saya tidak tahu di hotel mana tempat arisan itu diadakan." "Oh iya, hari ini jadwal ibu arisan ya. Aduh gawat ini.." Gendis berjalan mondar-mandir di atas teras samping yang lantainya terbuat dari baru granit. "Bisa-bisa pulang malam ibuku, ba
Di tempat yang berbeda, puluhan kilometer jaraknya dari pesisir pantai tempat Gendis dan Jaya menghabis kan waktu untuk menghibur diri, Wulansari pun tengah menikmati malam panasnya bersama seorang pemuda tampan dengan tubuh terpahat indah hasil latihan rutin selama beberapa waktu di pusat kebugaran yang kini mulai marak dibangun di kota kabupaten tempat tinggalnya.Pemuda dengan paras dan bentuk tubuh yang selalu akan membuat wanita merasa bergairah saat bersama itu adalah yang Wulansari sebut sebagai mainan barunya, yang akhir-akhir ini telah membuatnya melayang dan melupakan keberadaan Jaya yang sudah sejak beberapa tahun lalu menghangatkan ranjang tidurnya.Semenjak berkenalan dengan pemuda itu di sebuah pusat kebugaran yang ia datangi bersama seorang teman perias yang tampaknya sudah lebih dahulu mengenal kisah indah yang lain di balik suramnya kisah pernikahan sah yang sudah mereka jalani sebelumnya.Wulansari merasa seperti menemukan surganya yang baru setelah mengenal dan memp
Menuruti kemauan Gendis yang masih saja terlihat murung selama perjalanan, Jaya mengarahkan mobil yang dikemudikannya ke daerah pesisir yang berjarak sekitar 2 jam perjalanan dari tengah kota kabupaten tempat tinggal mereka."Kenapa nyari tempat bersedihnya mesti ke pantai sih Non, kan jauh? Kenapa kita gak pergi ke puncak saja? Cukup setengah jam perjalanan. Gak capek, gak bosan di jalan..?""Jaya... Diam! Kamu cuma sopir, aku majikannya! Jadi jangan banyak protes, aku mau ke pantai sekarang juga!" bentak Gendis kesal wajah sedihnya seketika berubah judes dengan pandangan mata melotot ke arah Jaya.Sambil menelan ludah, akhirnya Jaya mengangguk juga. Selama beberapa saat pandangannya hanya lurus terfokus di jalanan yang mulai sepi meninggalkan keramaian kota jauh di belakang mereka. "Sepi sekali... boleh setel musik kan, Non?" tanyanya memecah kebisuan.Beberapa detik tak ada jawaban. Jaya melirik ke kursi samping yang diduduki Gendis. Dari sudut matanya ia melihat gadis itu terliha
Tanpa terasa, tibalah hari yang sudah dinantikan Narendra, yaitu hari Ulang tahun Lintang yang ke 19.Jam 11 pagi, sesuai dengan jadwal acara yang sudah diatur oleh Narendra dengan bantuan Wage dan beberapa orang temannya, acara tasyakuran untuk memperingati hari kelahiran Lintang sengaja di adakan di rumah makan langganan tempat kejadian kericuhan beberapa hari sebelumnya.Untuk acara ini Narendra juga mengundang keluarga Bupati dan beberapa orang penting yang sudah sangat akrab dengan Ki Dalang Narendra, juga Kepala Desa dan tim pengacara dari firma hukum yang ia sewa. Selebihnya adalah teman-teman Lintang.Karena pada acara itu juga sekaligus untuk mengklarifikasi tentang kejadian memalukan beberapa hari sebelumnya yang mengakibatkan berita tak sedap dan menghebohkan itu menjadi tajuk utama di hampir seluruh koran terbitan lokal dan nasional sehingga Narendra dengan bantuan tim pengacaranya juga mengundang banyak wartawan di acara tersebut.Tepat di jam setengah 12 siang, pada saat
Atas pesan Narendra yang sekarang tinggal bersamanya, Lintang mengantarkan sendiri minuman dan suguhan untuk tamu ayahnya itu ke ruang kerja ayahnya.Dua orang tamu dengan setelan resmi tampak duduk berseberangan dengan Narendra. Ketiganya tampak berbicara serius mengenai hal-hal yang berhubungan dengan legalitas hukum. Lintang sudah hampir keluar dari ruangan ayahnya setelah menyuguhkan tiga cangkir teh hangat dan camilan ringan, ketika Narendra menghentikan langkahnya dan menyuruhnya untuk berdiri di dekat kursi yang ia duduki."Ini putri kandung saya dari istri pertama. Namanya Lintang Prameswari. Ibunya sudah meninggal sejak ia masih bayi. Saya ingin melegalkan semua aset pribadi saya untuk dia. Karena saya tidak ingin putri saya ini mengalami kesulitan yang mungkin akan mendatanginya, sehubungan dengan warisan kelak dikemudian hari.Seperti yang sudah saya beritahukan kepada Pak Suprapto kemarin bahwa aset milik bersama dengan istri ke dua saya sudah saya berikan semua untuk ist
"Istirahatlah, Non. Biarkan saya memanjakan milik Non Gendis yang sangat berharga ini. Apa saya perlu meminta air hangat untuk mengompresnya? Untuk meredakan nyeri setelah menelan milik saya tadi, hmmm?""Tidak, cukup bersihkan saja. Aku merasa tidak nyaman dengan rasa lengketnya.""Baiklah, biar saya urus bagian itu. Saya sangat tersanjung bisa melakukannya untuk Non Gendis.""Heeem.." Dan sesudahnya, Gendis sudah tak lagi memperdulikan apapun karena ia sudah diterbangkan impian indah setelah raganya merasakan kelelahan teramat sangat karena sudah berpacu bersama Jaya demi mencapai puncak klimaks tertinggi tadi.Sementara Jaya yang benar-benar berusaha mempergunakan kesempatan terbaik yang ia dapatkan malam ini dengan menjelajahi, menjamah bahkan menguasai walau sesaat hal yang sebelumnya tak pernah sekalipun berani ia impikan ataupun menyapa alam khayalnya. Yaitu tubuh molek sang Nona Muda.Baginya, dapat menyentuh kulit mulus gadis cantik yang di matanya seperti seorang Dewi, apala
Perlahan Jaya mulai mengoleskan minyak zaitun ke atas kulit punggung mulus Gendis yang sudah terbaring dalam posisi menelungkup di pinggiran ranjang dan perlahan, dengan tekanan yang pas dia mulai mengurutnya. Usapan telapak tangannya yang hangat segera saja berhasil membuat otot-otot tubuh Gendis yang semula menegang, perlahan menjadi rileks.Seperempat jam kemudian, hampir seluruh tubuh bagian belakang milik Gendis sudah berbalur minyak zaitun, dari mulai punggung hingga ke telapak kaki. Gendis pun sudah terlihat menikmati setiap belaian dengan tekanan terukur telapak tangan Jaya pada tubuhnya.Dengan menahan gejolak hasratnya, Jaya sengaja berlama-lama memberikan treatment di bagian bok*ng milik Gendis yang terasa padat, dengan bentuk membulat yang begitu menggoda.Gendis juga terlihat menikmati segala perlakuan Jaya di bagian tubuhnya yang sintal itu. Meskipun secara sengaja kadang-kadang jemari Jaya nyasar dengan nakalnya menyentuh bagian tersembunyi di belahan pant*tnya. Bahkan
"Cari tempat menginap yang aman, Jaya! Kurasa sudah tidak ada jalan lain, selain mengikuti ide gila yang kau usulkan dulu!" ujar Gendis tiba-tiba setelah beberapa menit duduk diam tak bersuara dengan wajah merah padam karena amarah."Menginap, Non? Tapi beberapa tikungan lagi kita sampai di rumah?" jawab Jaya bingung."Kalau begitu putar balik, Bodoh!" sentak Gendis tak sabar."Baik, Non!" Jaya langsung memutar mobil yang dikemudikannya begitu menemukan jalur untuk memutar. Waktu yang hampir mendekati tengah malam membuat jalanan menjadi lengang dan memudahkan Jaya untuk segera putar balik arah menjauhi pusat kota. "Mau menginap dimana, Non?""Mana aku tahu, Tolol! Kau pikir aku sudah pengalaman dengan hal begituan? Kamu pikirkan saja tempat yang cocok, bukankah kamu sering pergi ke tempat-tempat seperti yang aku maksud dengan ibuku? Yang jelas tepat yang agak jauh agar tidak ada yang mengenali kita, bersih dan nyaman. Pastikan kita aman berada di sana!" perintah Gendis yang langsung
Gendis langsung memerintahkan Jaya untuk mendatangi rumah dinas Bupati setelah menerima kabar tentang keberadaan Dirgantara. Dengan binar bahagia di pandangan matanya, serta senyum kemenangan yang hampir tidak berhasil ia sembunyikan dari bibirnya membuatnya menjadi tidak sabar untuk melihat ekspresi kecewa dari Dirgantara setelah melihat gambar besar yang termuat di halaman depan surat kabar lokal yang tergeletak manis di atas pangkuannya itu. Bayangkan saja, saat seseorang yang tiba-tiba datang dan memberi kabar tak terbantahkan tentang perselingkuhan kekasihnya dengan seorang yang lebih pantas menjadi ayah ataupun pamannya. Apalagi spot foto yang terpampang di halaman depan koran itu menunjukkan kemesraan menjijikkan yang dipertontonkan di muka umum oleh seorang Dalang terkenal yang seharusnya jadi panutan bersama seorang gadis remaja yang terlihat sekali kalau usianya masih sangat muda. Mereka tertangkap kamera wartawan dalam keadaan saling berpelukan di tempat umum. Ini akan
Wulansari segera menemui suaminya yang baru saja memasuki kamar pribadinya saat hari sudah gelap. Di tangannya tergenggam selembar surat kabar terbitan sore tadi yang memuat berita tentang keributan yang terjadi di salah satu rumah makan ternama di kotanya yang melibatkan suami dan putrinya, Gendis."Apa ini, Kang?" tanyanya seraya melemparkan surat kabar yang sudah lecek ke arah Narendra.Dengan ketenangan luar biasa, Narendra mengambil gulungan surat kabar itu, membuka pada halaman depan dan membacanya sekilas. Ekspresi wajahnya masih sedatar ubin marmer yang tengah ia pijak di bawah kakinya. Datar dan dingin."Bisa jelaskan padaku?" tuntut Wulansari seraya melipat kedua lengannya di dada. Sorot matanya terlihat membara oleh api kemarahan."Semua sudah terlihat jelas di situ!" sahut Narendra datar, "Meskipun tidak semua keterangan yang diberitakan wartawan itu benar, tapi kejadiannya memang sepenuhnya benar. Bukankan ada foto yang membuktikan kebenarannya?" jawabnya tenang."Jadi be