305“De, apa kamu juga mau mendengarkan kami?” Sultan bertanya setelah semua tenang. Awaalnya ia dan Viola ingin keluar untuk memberi ruang keluarga itu menjelaskan semuanya, tetapi Endang melarang karena mungkin ada kaitannya dengan mereka. Alhasil Sultan dan Viola hanya duduk di pojokan mendengarkan semuanya tanpa ikut campur.Keduanya ikut menitikkan air mata saat adegan mengharukan antara ibu dan anak terjadi di depan mata. Mereka lega endingnya Kirani bisa menerima kenyataan, dan memaafkan orang tuanya walaupun yang menjadi kunci kerunyaman ini yaitu Anggara belum sadarkan diri.Kini, giliran ia dan Viola yang meluruskan semuanya kepada Dewa. Sultan mencari peruntungan dengan bertanya kepada pemuda itu, jika pun Dewa tidak lagi mau mendengar penjelasan mereka, ia dan Viola pasrah. Toh, mereka sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk hidup anak itu.Masih hening, Dewa tidak menjawab dan hanya desahan napas kasar berkali-kali keluar dari mulutnya, hingga Kirani meraih tangan Dew
306“Bu, sudahlah. Sebaiknya Ibu istirahat saja. Ibu tidak baik-baik saja.” Kirani berusaha menenangkan Endang yang terus meminta penjelasan dari Anggara. Padahal kondisi Endang sangat lemah. Kirani bahkan harus menahan tubuhnya yang terus melorot di sandaran sofa.“Tidak, Kiran. Dia harus menceritakan semua agar semuannya menjadi jelas,” tukas Endang dengan napas tersengal dan tubuh sangat lemas.“Tapi ini tidak baik untuk kesehatan Ibu. Aku takut Ibu kenapa-napa.” Kirani menatap cemas.Endang melirik dengan gerakan lemah, napasnya semakin tersengal.“Nak, apa kamu mau hidup selamanya dalam rasa pensaran? Tidak, bukan? Ibu mau semuanya menjadi jelas. Andai pun nyawa Ibu harus dicabut saat ini juga, tidak akan penasaran karena Ibu sudah mengetahui semuanya.”“Ibu bicara apa? Jangan bicara sembarangan. Jangan membuatku takut. Kalau Ibu pergi, aku sendirian, Bu.” Kirani tidak dapat menahan air mata yang lagi-lagi harus tumpah. Menyadari jika orang yang selama ini menjadi tempat berlindu
307 Suhu ruangan semakin panas. Keheningan berbalut ketegangan mendominasi ruangan. Suara napas memburu dari mulut Dewa dan rintihan kesakitan Anggara menjadi pelengkap rasa gerah. Tidak ada yang menyalahkan Dewa. Tidak ada yang berusaha menolong Anggara. Semua sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Semua sibuk mengendalikan perasaan yang berkecamuk dalam hati masing-masing. Anggara bahkan tidak melawan atau menyalahkan Dewa sama sekali. Ia pasrah, bahkan jika pun Dewa ingin membunuhnya saat itu juga. Semua terjadi begitu cepat. Anggara membuka semuanya di saat semua orang benar-benar tidak siap dan tidak menyangka jika benar pria tersebut memamg Hisam. Dewa bangkit setelah sekian lama membungkukkan tubuhnya di depan jendela kaca. Sultan tidak menjauhinya karena khawatir Dewa kalap dan melakukan kekerasan lagi. Dewa bangkit dengan terus berusaha menetralkan napasnya yang memburu. Jika menuruti napsu, ingin rasanya terus memukuli pria itu hingga lumat. Bagaimana bisa seo
308“Apa yang terjadi, Pak Anggara?” Perawat yang memeriksa heran melihat ada banyak lebam di wajah pasien tersebut.Ruang rawat Anggara VIP, sangat privat hingga yang terjadi di dalamnya tidak akan mengganggu sekitar. Pun mereka tidak tahu apa yang terjadi dengan kamar lain di sekitar.“Suami saya jatuh di kamar mandi, Sus.” Endang yang tinggal sendiri di ruangan pun terpaksa berbohong. Ia tidak mungkin mengatakan jika itu adalah karya tangan Dewa yang marah dengan ayahnya. Karena sejatinya Endang pun sangat marah dengan pria tersebut.Namun, semarah-marahnya Endang, ia tidak mungkin meninggalkan Anggara sendiri di sini. Bagaimanapun, Anggara sudah membersamainya selama ini dengan kasih sayang yang walaupun dasarnya hanya rasa penyesalan, tetapi ia sudah memiliki dua anak dari pria tersebut.Bagaimanapun Anggara, ia tetap ayah dari dua anak gadisnya yang lain. Endang tetap menemaninya di sana karena yang lainnya pamit keluar. Tidak mungkin mereka semua tetap di sana saat kunjungan do
309Mengertilah Endang sekarang kenapa ia tidak pernah mendapat kabar itu, ternyata korban kecelakaan yang sudah tidak dapat dikenali itu dianggap sebagai Hisam, bukan Barjo, hanya karena jam tangan limited edition yang ditemukan di tangan korban.Endang menelan ludahnya karena lehernya terasa tercekik. Sesak di dadanya membuat asupan oksigen seolah tidak dapat masuk ke sana. Ingin rasanya berteriak untuk mengeluarkan segala yang bersarang di dadanya. Ingin rasanya memaki Hisam sampai suaranya habis dan tenaganya terkuras. Ingin ia pergi jauh meninggalkan pria itu dan tak menemuinya lagi. Namun, ia tak dapat melakukannya. Karena kenyataannya, Hisam tetap ayah dari kedua anaknya yang lain.“Bu.”Endang membuka mata saat terdengar suara lemah Hisam memanggilnya. Kemudian melirik malas pria tersebut. Sungguh, Endang sangat membencinya.“Jika ingin marah, marahlah. Pukul Ayah, maki, tampar, lakukan apa pun yang ingin kamu lakukan. Walaupun Ayah tahu itu tidak akan membuat dosa-dosa ayah t
310 “Percayalah, kamu tetap anak kami, De.” Wanita yang duduk di sofa itu mengusap kepala pemuda yang rebah di pangkuannya. Membelainya penuh kasih sayang yang tidak pernah berubah. Pemuda yang bersimpuh di lantai dan memeluk pinggang wanita itu, tidak menjawab. Ia hanya ingin seperti ini. Memeluk sang ibu dan merebahkan kepala di pangkuannya. Menikmati kenyamanan sebagai seorang anak. Menikmati kehangatan pelukan seorang ibu walaupun bukan dari rahim wanita itu ia terlahir. Sejak kecil, Dewa hanya mengenal Viola sebagai ibunya. Sebenarnya, itu lebih dari cukup, karena Viola tidak pernah bersikap seperti ibu angkat. Kasih sayang untuknya dan untuk Amanda juga Malvino tidak ada bedanya. Tidak ada keanehan dan kecurigaan apa pun, karenanya saat sang ibu mengatakan jika ia hanya anak adopsi, dunia terasa runtuh di atas kepala Dewa. Jika boleh memilih, ia ingin menjadi anak kandung keluarga itu saja. Tidak ingin mengenal pria bernama Anggara yang belakangan mengaku sebagi ayah kandungn
311 “Ibu di sini?” tanya Kirani seraya mengedarkan pandangan. Di belakang sang ibu berdiri salah satu sopir keluarga Sultan. Sementara di sebelahnya penjaga makam yang tadi mengantar mereka. Tanpa menjawab, Endang berjalan perlahan dan tatapan kosong menuju pusara di belakang tubuh keempat orang yang menepi memberi jalan untuknya. Kirani, Dewa, Sultan dan Viola tidak banyak bertanya. Mereka membiarkan saja Endang mendatangi makam Barjo yang dinamai Hisam. Semua ikut merasakan apa yang tengah terjadi di hati Endang. Bahkan saat wanita itu menjatuhkan diri dengan lemah di samping gudukan persegi panjang itu, semuanya menundukkan kepala. Entah bagaimana Endang bisa sampai di sana. Semua orang tidak bertanya dulu. Membiarkan wanita itu menumpahkan semua yang mengganjal di hatinya. Ditinggalkan suami tanpa kabar berita apa pun selama puluhan tahun, bisa saja menimbulkan prasangka buruk. Walaupun sudah ada pengganti yang mungkin lebih baik, tetap saja orang pertama akan meninggalkan ken
312Lelaki di atas ranjang pasien meneguk ludah dengan susah payah. Tubuhnya tak ayal menegang. Jantungnya terasa berhenti berdetak. Terlebih saat sosok yang membuka pintu mendekat. Tatapan dingin sosok itu membuat rasa bersalah dan takut bergumul dalam dadanya.Hisam menahan kedip hingga sosok yang memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana itu semakin mendekat dan akhirnya berhenti tepat di sisi ranjang.“Aku pikir anda bisa tidur nyenyak malam ini,” ujar seseorang yang tidak lain Dewangga. Kebencian tak dapat disembunyikan dari pancaran matanya.“Baguslah, jika ada yang tidak dapat memejamkan mata, itu memang seharusnya anda, Pak Raditya Hisam,” lanjutnya. Suaranya sangat dalam. Menggambarkan jika luka hatinya sangat menganga.“Dewa.” Hisam bergumam hampir tak terdengar. Suaranya tercekat di kerongkongan. Jauh dilubuk hati, ia ingin memeluk pemuda yang di tubuhnya mengalir darahnya. Jauh di kedalaman hatinya, ia sangat bangga melihat Dewa saat ini. Pemuda itu tumbuh menjadi lelak
445 “Jadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?” Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. “Papa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.” Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. ‘Siapa yang nikah, siapa yang bulan madu.’ Batin mereka mengejek. “Vino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.” Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443“Abang, emang nggak berat?” tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.“Ok,” ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.“Nggak berat, kan, aku?” ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.“Nggak,” jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442“Manis,” ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.“Apanya yang manis?” tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.“Apanya yang manis, hem?”Semburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.“Ini yang manis?”“Ish, Abang apaan, sih?” Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.“Jadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.“Kena, kau!” gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438“Dilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.” Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.“Abang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.” Vino balas melemparkan sindiran pedas.“Sudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.”“Ter-la-lu, kali ….”“Suka-suka akulah.” Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 “Hallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.” Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. “Kamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?” tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. “Apa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.” Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. “Lihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.“Sudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.” Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.“Jangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.” Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.“Kenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plus—”“Sudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan