233“Beruntungnya kamu, Bung. Dicintai wanita dengan sebesar itu.” Pria berjas usia awal empat puluhan berkata dengan tatapan lurus ke depan.“Aku menjadi saksi bagaimana dia selalu memikirkanmu,” lanjutnya. “Raganya memang di sini. Dia bekerja sampai tak kenal waktu, beraktivitas seperti biasa. Tapi aku tahu hati dan pikirinnya ada bersamamu di sana.”Lelaki berkursi roda hanya diam menyimak. Raut khawatir masih belum hilang dari wajahnya. Ia menatap sejenak pria berjas yang sempat membuatnya cemburu.“Percayalah, walaupun tidak pernah mengaku, dia masih mencintaimu. Aku yang sejak awal bertemu dengannya, menyadari dia selalu memikirkan seseorang bahkan saat kami bicara berdua.” Pria berjas menjeda kalimat. “Aku yang sejak awal tahu ia dalam proses cerai, sengaja mendekatinya karena kupikir kesempatan itu ada. Aku pernah berharap dapat memiliki wanita sehebat dia yang bisa bertahan dari banyak terpaan badai hidup. Sayangnya, aku sama sekali tak dapat menembus hatinya. Karena sudah ad
234 Dua tahun kemudian…. Wanita berperut besar menerima tas berisi buku-buku yang disodorkan seorang pemuda yang mengiringinya dari lantai dua hingga tiba di bawah tangga. Si wanita berterima kasih sebelum melambaikan tangan ke arah pemuda yang yang berjalan meninggalkannya. Kemudian beralih dan tersenyum semringah saat melihat lelaki menggendong bayi dua tahun. Satu kecupan mendarat di kening sang wanita hamil dari lelaki yang menggendong anak laki-laki. “Berat, ya?” tanya si lelaki seraya mengelus perut besar sang wanita. “Lumayan, tadi ada Ricky yang mungkin kasihan melihatku. Jadi, bantu bawain tas.” Sang lelaki hanya mengangguk, kemudian mengambill alih tas dari tangan wanitanya. Dengan bayi dalam gendongan dan tas buku disampirkan di pundak, ia membimbing wanitanya menuju mobil. Membuka pintunya dan mempersilakan si wanita masuk, menaruh tas buku di kursi belakang, kemudian menyerahkan bayi laki-laki berpipi gembil ke pangkuan wanita hamil. Ia sendiri berputar dan masuk unt
235Dua puluh dua tahun berlalu….“Ada siapa, Ma?” Gadis bercelana jeans dan blus lengan panjang memanjangkan lehernya mencari tahu tamu di rumah mereka.“Teman kantornya Dewa.”“Teman Bang Dewa?” Mata gadis berambut sebahu melebar. Bulu mata lentiknya terlihat bergerak-gerak waspada.“Laki-laki arau perempuan, Ma?” Dengan sikap siaga, gadis yang menuruni sebagian besar wajah sang ayah itu bediri tegak. Lehernya semakin dipanjangkan agar dapat melihat tamu yang dimaksud sang ibu.Sang ibu yang tengah sibuk merawat tanaman anggreknya, menoleh cepat ke arah sang anak gadis. Kekhawatiran terbit di sana.“Perempuan, Manda. Teman sekantor Abang kamu. Karyawan Papa juga. Papa….”“Perempuan?” Mata gadis yang dipanggil Manda semakin melebar. Tanpa bicara apa pun lagi, gadis itu gegas berlalu dari hadapan sang ibu. Berjalan tergesa menuju ruangan di mana terdengar obrolan dua orang dewasa. Hingga ia tiba di ruang tamu yang lebih privacy daripada ruang tamu utama. Ruang tamu di mana anggota kel
236“Kak, Edward nanyain jawaban Kakak lagi, tuh.”Empat pasang mata serempak beralih pandang ke arah pemuda usia puluhan yang baru saja bicara. Tiga pasang mata menatap heran, sementara sepasang lagi terlihat memutar bola matanya jengah.“Kasihan loh, Kak. Udah tiga kali dia nembak Kakak. Jangan digantung terus, kasihan anak orang.”“Berisik!” Gadis yang tadi memutar bola mata, berseru kesal sebelum kembali menekuri piring di hadapannya.Sementara pemilik tiga pasang mata yang lain yang terdiri dari suami istri paruh baya dan satu lelaki dewasa masih menatap heran.“Edward bilang kalau Kakak terima, dia mau langsung bawa orang tuanya ke sini buat melam….”“Malvino, bisa diam tidak?” Gadis yang dipanggil Kakak oleh pemuda bernama Malvino benar-benar kesal. Ia tidak tahu kenapa adik resenya itu terus saja membahas hal tidak penting seperti ini. Padahal tengah makan malam bersama seluruh keluarga di mana kedua orang tua juga kakak tertua mereka ada di sana.Pemuda bernama Malvino berdec
237 “Aku tidak akan menikah, Pa!” Hening. Kekakuan seketika tercipta di ruang makan itu. Sepasang suami istri menatapnya kaget. Sementara dua pemuda menarik napas panjang dan membuangnya kasar. “Maksudku … aku kan, masih muda, Pa. Masih kuliah, belum mikirin nikah. Umurku baru dua-dua. Bang Dewa aja belum nikah, masa aku harus nikah duluan?” Amanda meralat ucapannya saat melihat tatapan tajam kedua orang tuanya. Sultan menarik napas lega. “Jangan suka sekata-kata, Manda. Kata-kata bisa menjadi doa.” “Papa juga jangan asal bicara. Apa maksudnya jodoh dari lahir? Hanya Tuhan yang bisa menentukan jodoh seseorang, bukan?” “Ya, itu benar. Tapi tidak ada salahnya kami sebagai orang tua berikhtiar, bukan? Mencarikan jodoh yang terbaik untuk anak gadis kesayangannya?” “Ya, aku mengerti Papa sama Mama mau yang terbaik untukku. Aku berterima kasih, tapi membicarakan jodoh sejak dini, apalagi sejak aku lahir rasanya berlebihan.” “Sayang, seperti yang sudah Papa sampaikan tadi, ini hanya u
238“Abang mau ke mana?” Amanda mengejar Dewa yang bersiap masuk mobil.Lelaki yang menekuri ponsel menarik sebelah kakinya yang sudah memasuki mobil. Sementara sopir mengangguk setelah memasukkan koper ke dalam bagasi.“Bang De mau pergi?” Amanda menatap lelaki yang di matanya semakin hari semakin menarik. Gadis itu heran tiba-tiba saja Dewa siap pergi dengan membawa koper besar. Padahal tidak ada obrolan apa pun saat mereka sarapan bersama tadi.Memang sarapan keluarga pagi ini tidak sehangat biasanya paska Malvino memergoki mereka semalam dan berlanjut sidang dari kedua orang tuanya yang cukup alot.Amanda tahu ia salah. Telah melakukan hal di luar batas. Namun, orang tuanya tak mengatakan hal lain sebagai hukuman selain dirinya yang tidak boleh keluar rumah selama seminggu dan pengurangan uang saku.Tidak ada ungkapan apa pun yang mengharuskan mereka berjauhan. Ia tidak tahu jika ada hukuman lain untuk Dewa.Dewangga tersenyum seraya mengacak rambut Amanda yang wajahnya cemas seol
239Hari berlalu. Seperti kecurigaan Amanda, kepergian Dewa bukan sekadar demi pekerjaan. Buktinya kakak laki-lakinya itu sudah jarang membalas pesan atau mengangkat panggilannya dengan alasan klasik. Sibuk bekerja.Sesekali masih mau menjawab teleponnya, itu pun bila hari sudah malam dan bersiap tidur. Karena selalu diselingi suara menguap dan ucapan yang tidak begitu jelas. Lebih ke gumaman. Mungkin sudah setengah berada di alam mimpi.Bahkan setelah seminggu keberangkatannya ke Yogya, tidak ada tanda-tanda jika Dewa akan segera pulang. Setiap kali ditanyakan kepada kedua orang tuanya, sang ayah selalu menjawab jika pekerjaan di sana belum selesai. Dan Dewa sudah dipercaya untuk memegang pekerjaan besar.“Sudahlah Manda, kenapa kamu terus menanyakan Dewa? Dia bekerja di sana. Mengurus perusahaan keluarga kita. Papa ingin ia bisa menjadi seseorang yang handal di usia muda. Kamu juga ikut bangga, kan jika kakakku bisa memimpin perusahaan di usianya yang masih muda?” Selalu itu jawaban
240“Dewa?”Semua mata kini tertuju satu arah. Searah pandangan Viola.“Kamu baru datang, Nak? Syukurlah, Mama pikir kamu masih sibuk, hingga tidak bisa datang.” Viola menghampiri pemuda yang masih berdiri di halaman. Kemudian menggandengnya untuk berkumpul dengan dua keluarga yang masih berdiri di teras.“Oh ya, kenalkan dokter, ini putra sulung saya,” Viola menunjuk bangga pemuda yang masih digandengnya.“Saya sudah tahu, namanya Dewa, kan?”Viola mengangkat alis. Ia lupa jika keluarga mereka sering bertemu bahkan sejak anak-anak masih kecil. Hingga saling mengenal anak-anak dari dua keluarga. Hanya saja belakangan Dewa jarang ikut berkumpul.“Oh, maaf saya lupa. Padahal saya merasa belum terlalu tua.” Viola tertawa geli, diikuti semua orang kecuali Amanda yang melirik judes Dewa. Dewa sendiri hanya memasang wajah datar.Dua keluarga langsung terlibat obrolan akrab. Terlebih jamuan keluarga Sultan untuk keluarga dokter Shofia sangat istimewa. Obrolan mengalir tidak hanya urusan perj
445 “Jadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?” Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. “Papa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.” Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. ‘Siapa yang nikah, siapa yang bulan madu.’ Batin mereka mengejek. “Vino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.” Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443“Abang, emang nggak berat?” tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.“Ok,” ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.“Nggak berat, kan, aku?” ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.“Nggak,” jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442“Manis,” ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.“Apanya yang manis?” tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.“Apanya yang manis, hem?”Semburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.“Ini yang manis?”“Ish, Abang apaan, sih?” Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.“Jadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.“Kena, kau!” gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438“Dilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.” Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.“Abang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.” Vino balas melemparkan sindiran pedas.“Sudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.”“Ter-la-lu, kali ….”“Suka-suka akulah.” Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 “Hallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.” Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. “Kamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?” tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. “Apa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.” Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. “Lihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.“Sudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.” Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.“Jangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.” Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.“Kenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plus—”“Sudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan