177“Maaf, tapi rumah kami bukan dinas sosial. Kami tidak akan menerima seseorang untuk tinggal dengan cuma-cuma.”Feli menunduk dalam setelah sebelumnya menatapku nanar. Ucapan Kak Dala memang terdengar sangat menyakitkan. Dan mirisnya aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku pun hanya menumpang di rumah suamiku.“Ana, hampir sepuluh menit. Aku tunggu di luar!” Setelah mengatakan hal menyakitkan kepada Feli, Kak Dala langsung beranjak menuju pintu. Namun, langkahnya tertahan demi suara Feli yang tanpa disangka-sangka.“Kak Dala, kenapa Kakak seolah membenciku?”Hei! Aku menoleh sebelum melebarkan mata. Feli sangat berani bicara dengan suamiku. Bahkan ia memanggil suamiku dengan sebutan yang sama denganku.Kak Dala membalikkan tubuhnya yang nyaris mencapai pintu. Sesuatu yang kutakutkan sepertinya akan terjadi. Wajah itu terlihat merah padam.“Apa aku ada salah dengan Kakak? Kenapa Kakak sangat membenciku? Bukankah aku ini adik dari istrimu yang artinya adik iparmu? Kenapa memberi tumpangan
178Dua bulan berlalu….Aku tersenyum menatap Kak Dala yang sedang meliuk-liukkan tubuhnya di dalam air. Kepalanya timbul tenggelam seiring gerangan tangannya seperti dayung mengayuh. Sungguh, aku menyukai jika suamiku sedang berenang. Ia terlihat sangat seksi dengan rambut dan semua bulu di tubuhnya yang berbaris rapi tersapu air.Sesekali ia melambaikan tangan kepadaku yang hanya duduk di kursi malas sambil menikmati camilan. Kehamilan yang baru beberapa minggu membuatku malas bergerak dan lebih sering lapar. Hari-hariku saat ini selalu ditemani berbagai camilan lezat. Tak ayal, walaupun baru hamil beberapa minggu, berat badanku sudah melonjak naik. Mungkin untuk mantan buntalan sepertiku, kenaikan berat badan gampang sekali terpancing. Apalagi bila pemicunya sangat jelas.Aku sadar akan hal itu, tetapi perut yang cepat sekali lapar ditambah janin yang jadi kambing hitam, membuat siapa pun t
179“Arman?” Suara dari belakang yang sarat keheranan, menyela. Aku berbalik cepat dan mendapati Kak Dala sudah berdiri sangat dekat. Entah sejak kapan.“Ada apa lagi dengan laki-laki itu? Apa dia mengganggumu?” Kali ini nada cemburu dan curiga mendominasi. Tatapannya penuh selidik.“Tidak, Kak. Aku bahkan hanya bertemu dia di rumah sakit saat bersama Kakak.”“Lalu?” Ia memburu.Aku menarik napas panjang sebelum menjawab. “Perusahaan kami berkerja sama.”“Apa?” Bola mata Kak Dala seperti mau loncat dari rongganya.“Bagaimana bisa? Kenapa kau memberi peluang?”Aku memejam jengah. Kadang-kadang lelah dengan sikap cemburuan suamiku.“Peluang apa yang Kakak maksud?” Keningku berkerut.“Peluangnya mendekatimu lagi.”Aku mengembus napas kasar. “Kak, sudahlah, jangan terlalu parno. Semua hal tidak bisa dipandang hanya dari satu sudut saja. Cobalah Kakak memandang dari sudut….”“Tapi aku tidak suka kau terlibat dengannya walaupun hanya sekadar kerjasama, Ana.”“Ini bukan aku yang mengatur, Ka
180“Tolong pertemukan aku dengannya, Kak. Aku ingin minta maaf padanya.”Aku dan Kak Dala saling berpandangan.“Aku akan menjelaskan kenapa kabur saat itu.”Kembali aku dan suamiku saling pandang.“Kau ingin menjelaskan kepada Arman, tetapi tidak pernah menjelaskan apa pun kepada kakakmu?” Kak Dala bereaksi lagi. Kali ini lebih keras. Membuat aku dan Feli tidak menyangka.“Tidakkah kau tahu jika di sini Ana-lah yang paling dirugikan?” lanjut Kak Dala dengan wajah semakin merengut.Wajah Feli memucat. Ia terlihat sangat gugup. Baki di tangannya bergetar efek tangannya yang gemetar.“Apa kau tidak tahu jika Arman dan keluarganya memperlakukan Ana dengan buruk? Apa kau tidak tahu jika Ana diceraikan dan diusir seperti binatang bahkan dalam waktu tujuh hari saja setelah mereka puas memeperlakuaknnya seperti budak?” Kak Dala masih terus meluapkan kekesalannya. Aku memang sudah menceritakan semuanya tanpa ada yang ditutupi.“Arman dan keluarganya bersikap seperti itu karena kesal dengan ul
181Ruangan dingin yang terasa menusuk kulit. Aroma obat-obatan yang khas. Rasa ngilu di bagian bawah tubuh. Dan rasa hangat yang mengalir lewat genggaman tangan. Aku memaksa mata untuk terbuka walaupun sangat sulit. Lengket dan sangat perih.Pandangan yang buram perlahan menjadi jelas setelah berkali-kali aku mengerjapkan mata. Ruangan serba putih terpampang di depan mata. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan hingga mendapati wajah kuyu duduk di sebelah ranjang yang kini kutiduri. Wajah Kak Dala.Bahkan saat melihatku membuka mata, wajahnya tak berubah sama sekali. Ia terlihat kesal dan frustrasi.Aku mencoba menggerakkan bibir yang terasa berat hingga suara parau keluar dari mulut ini.“Kak….” Kuangkat sebelah tangan ingin menggapai wajahnya.Kak Dala mengembus napas kasar, kemudian mengulurkan tangannya ke arah kepala ini. Mengus
182 “Selamat siang Pak Sultan, saya ikut prihatin atas musibah yang menimpa Bu Viola.” Terdengar suara ramah yang familier dalam terpejamnya mata ini. “Terima kasih.” Suara dingin Kak Dala terdengar menyahut. “Maaf, apa boleh saya menjenguk Bu Viola?” Aku menoleh ke arah pintu saat terdengar suara Arman meminta izin. Ternyata Kak Dala menghadangnya di tengah pintu hingga Arman tidak bisa masuk. “Maaf, istri saya harus banyak istirahat. Tidak bisa dijenguk orang luar. Saya harap Anda mengerti!” Aku memejam mendengar jawaban Kak Dala. Entah apa yang suamiku pikirkan, bahkan seseorang yang ingin menjenguk pun, disuguhi dengan sikap dingin yang membuatku malu. “Kenapa Pak Arman? Apa Anda ingin meminta imbalan karena sudah membawa istri saya ke sini?” Serta-merta mata ini terbuka demi mendengar kelanjutan ucapan Kak Dala. “Maaf, saya tidak mengerti maksud Anda, Pak Sultan.” Aku tidak dapat melihat wajah Arman yang terhalang tubuh Kak Dala, tetapi dari suaranya sangat kentara jika
183“Bukan karena laki-laki lain, tetapi kau bisa kehilangan istrimu karena sifatmu yang kekanak-kanakkan ini!” Suara Papi masih menggelegar.“Istrimu bisa saja lelah menghadapimu, Sultan. Dan bila hal itu sampai terjadi, Papi tidak menyalahkan, Vio!”“Maksud papi?”“Maksud Papi, kau akan menyesal bila terus seperti ini. Kau bisa kehilangan Vio dan itu karena salahmu sendiri!”Hening. Baik Kak Dala maupun Papi tidak ada yang bicara setelah itu. Aku sendiri masih memeluk tangan bunda yang sejak tadi tak ikut bicara apa pun. Aku tidak tahu apa yang kurasakan saat ini. Yang pasti sedang tak ingin bicara dengan suami sendiri. Masih terlalu sakit karena kehilangan calon anak kami, masih bertambah sakit karena Kak Kak Dala terus menyudutkan. Belum lagi sikapnya kepada Arman.Aku memejam. Pura-pura tidur agar tak melihat reaksi Kak Dala.“Papi menyumpahiku?” Bukannya menyadari apa yang Papi sampaikan, Kak Dala malah menuduhnya.“Bukan menyumpahi, tapi memperingatkan agar kau tidak menyesal d
184 Hari ini aku pulang setelah beberapa hari perawatan intensif di rumah sakit. Sayang memang bayi yang kehadirannya begitu kami harapkan harus pergi sebelum sempat lahir. Namun, seperti kata Papi semua sudah takdir. Mungkin kami memang belum dipercaya menjadi orang tua. Sikap Kak Dala sudah melunak. Walaupun gurat-gurat kekecewaan masih terlihat jelas, tetapi ia sudah bisa menerima kenyataan bahwa anak kami sudah tidak ada. Ia juga tak tetus-terusan menyalahkanku. Entah memang nasihat Papi yang mengena, atau hanya tak menampakkan rasa kecewanya. Yang pasti setelah ini aku tak diperbolehkan lagi berangkat ke kantor kecuali bersamanya. Dengan digandeng Kak Dala, aku menuruni mobil dan berjalan memasuki rumah yang terasa sepi. Padahal awalnya kami berharap rumah ini akan segera diramaikan dengan suara bayi. Feli berlari menyongsongku saat seorang pelayan membukakan pintu untuk kami. Gadis itu langsung memelukku seolah anak yang lama ditinggal ibunya. “Kak, bagaimana keadaanmu? Kata
445 “Jadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?” Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. “Papa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.” Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. ‘Siapa yang nikah, siapa yang bulan madu.’ Batin mereka mengejek. “Vino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.” Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443“Abang, emang nggak berat?” tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.“Ok,” ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.“Nggak berat, kan, aku?” ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.“Nggak,” jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442“Manis,” ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.“Apanya yang manis?” tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.“Apanya yang manis, hem?”Semburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.“Ini yang manis?”“Ish, Abang apaan, sih?” Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.“Jadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.“Kena, kau!” gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438“Dilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.” Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.“Abang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.” Vino balas melemparkan sindiran pedas.“Sudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.”“Ter-la-lu, kali ….”“Suka-suka akulah.” Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 “Hallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.” Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. “Kamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?” tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. “Apa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.” Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. “Lihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.“Sudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.” Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.“Jangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.” Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.“Kenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plus—”“Sudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan