SELAMAT PAGI TEMAN2, SELAMAT MENUNAIKAN IDABAH PUASA BAGI YANG MENJALANKAN. SEMOGA SELALU DIBERI KESEHATAN DAN KELANCARAN, YA. TERIMA KASIH UNTUK PEMBACA SEMUA YANG MASIH SETIA MENGIKUTI CERITA INI. ADA PULSA 10K UNTUK LIMA ORANG YANG KOMEN PERTAMA DI BAB INI.
144 PoV Sultan Aku menghadap ke arah lain seraya mengusap kasar wajah berkali-kali. Frutrasi. Ingin kucegah Michelle beraksi lebih jauh, tetapi Papi terus menanggapinya hingga wanita itu merasa di atas angin. “Apa ini?” Terdengar suara Papi yang sepertinya sedang menanyakan sesuatu. Aku berbalik kembali menghadap mereka. Kulihat Papi dan Michelle sedang memperhatikan sesuatu di tangan wanita itu. Sementara di ujung meja sana Ana hanya diam dengan sesekali melirik padaku. Terlihat dari gerakan lehernya ia menelan ludah berkali-kali. “Ini bukti, Om. Kalau aku dan Sultan melakukannya malam itu, juga malam-malam setelahhya.” Dengan tidak tahu malu, wanita itu mengaku sesuatu yang seharusnya tidak perlu diceritakan jika pun itu benar. Namun, itulah Michelle, apa pun akan ia lakukan agar tujuannya tercapai. Sesuatu yang baru kusadari jika aku sangat bodoh terlibat dengan wanita seperti dirinya. Aku menunggu reaksi Papi dengan harap-harap cemas. Papi dulu sangat menekankan jika aku boleh
145PoV SultanMichelle benar-benar menjengkelkan, tetapi aku tak dapat berbuat banyak. Tak mungkin memperlakukannya dengan kasar di depan Papi. Terlebih Papi seolah tak peduli saat ini, beliau malah memperhatikanku seolah ingin melihat apa yang bisa kulakukan.Ok, aku tidak mau kalah dengan Papi. Aku akan melakukan sesuatu yang membuatku tidak dipandang rendah oleh Papi. Aku harus mencari bukti yang kuat untuk meyakinkan jika di sini, aku tidak bersalah. Namun, aku harus menggunakan cara elegan.Setelah melirik sebentar ke arah Ana yang terlihat jelas luka di hatinya lewat tatapannya, aku akhirnya memutuskan mengantar Michelle ke apartemennya. Mungkin aku terlihat lemah, tetapi ini caraku untuk membuktikan kepada papi dan Ana.Maafkan aku Ana, mungkin aku menyakitimu sekarang, tetapi percayalah, ini bentuk usahaku untuk menunjukkan kepada kalian jika aku sama sekali tidak bersalah.Akhirnya aku mengantar Michelle pulang diiringi tatapan tajam Papi dan tatapan penuh luka Ana.Sepanjan
146PoV SultanAku sudah tahu risiko ini. Sudah tahu ini akan terjadi. Sejak dulu Michelle memang sering merayuku agar aku mau berhubungan dengannya walaupun berbagai cara sudah kulakukan agar terhindar dari jeratannya.Apalagi kini, untuk meyakinkan agar Papi menikahkan kami, pastinya ia akan terus merayuku agar mau menidurinya.Terkadang aku kasihan terhadap wanita seperti dia. Apa nanti akan ada laki-laki yang mau menikahi wanita yang entah sudah tidur dengan berapa pria. Bahkan laki-laki paling brengsrek pun, menginginkan wanita baik-baik untuk menjadi istri sahnya. Karena nantinya seorang istri akan menjadi guru pertama bagi anak-anaknya di rumah. Bagaimana seorang wanita bisa menjadi guru yang baik untuk anak-anaknya kelak, jika menjaga harga dirinya saja ia tidak mampu?Dengan ganas, Michelle mulai menyerangku dengan ciuman panas di sekitar wajah dan leherku. Aku berusaha menahan semampu aku bisa. Karena jika dibiarkan bukan tidak mungkin aku akan terjerumus terbawa suasana. Bi
147“Sultan…!” Jeritan Michelle pun tak dapat kuhindarkan. Suaranya masuk memenuhi ruang pendengaran hingga gendang telinga terasa mau pecah. Aku berusaha menenangkan Michelle setelah meletakan gelas di atas meja. Kukatakan jika tenggorokan ini bermasalah makanya tadi batuk. Kukatakan juga jika aku lupa sedang menjalani pengobatan karena gangguan di tenggorokan ini.Awalnya ia tidak terima dan tetap memaksaku memimun minuman yang masih tersisa di gelas. Bodoh jika aku masih mau melakukannya. Kukatakan jika dokter melarangku mengkonsumsi minuman mengandung banyak gula agar penyakit di tenggorokan ini cepat sembuh. Ia akhirnya mengerti dan tenang. Namun, lagi-lagi merayuku agar aku bermalam di sana.Tentu aku menolaknya dengan alasan apartemen yang kotor tidak membuatku nyaman. Aku berjanji akan kembali ke sana jika semua sudah bersih dan nyaman. Dan besok akan membayar orang untuk membersihkannya. Ia setuju karena mungkin menyadari jika tempat tinggalnya sudah sangat kotor.“Bagaimana
148Aku berlari menghampiri Marini yang berdiri di teras dengan wajah campuran antara cemas dan takut.“Ke mana Ana?” Apa yang terjadi dengannya? Apa Papi memperlakukannya dengan buruk?” Aku memberondong wanita itu dengan pertanyaan.Marini menggeleng. “Saya tidak tahu, Tuan.”“Di mana Papi sekarang?”Wanita itu menoleh ke arah halaman belakang. “Di sana.”Setengah berlari aku menuju tempat yang ditunjukkan Marini. Papi pasti tengah bersantai di taman kecil dekat kolam renang, tempat pavoritnya.Benar, pria yang rambutnya sudah memutih sebagian itu tengah menikmati teh di sana.“Apa yang Papi lakukan pada Ana?” Aku langsung menodongnya begitu sampai dan berdiri di hadapannya.Pria yang sedang menghirup teh dalam cangkir yang masih mengepulkan asap itu mendongak menatapku, keningnya yang sudah tampak beberapa kerutan, semakin berkerut mendengar pertanyaanku.“Apa yang kau tanyakan?” Ia malah balik bertanya. Itu membuatku sangat kesal.“Papi pasti berkata buruk kepada Ana, makanya ia pe
149“Ana!”Suaraku yang cukup nyaring sukses membuat dua orang yang duduk bersisian itu mendongak ke arahku. Tidak ada raut apa pun di kedua wajah itu. Ana menatap sekilas dengan mata basahnya. Sementara Hisam menoleh dengan raut datar tanpa ekspresi. Sedikit pun tak kutemui rasa rindu padaku sebagai seorang sahabat masa kecil yang berbulan-bulan tak jumpa.“Kenapa kau pergi tanpa mengabariku lebih dulu?” Aku langsung duduk di samping Ana yang lain. Hisam tampak membuang muka. Senyum sinis terukir sekilas di bibirnya. Aku tak peduli sama sekali. Bagiku yang penting Ana ada di sini, tidak pergi jauh.“Aku akan mengantarmu ke mana pun kau ingin pergi, Ana. Tapi setidaknya kabari dulu dan tunggu aku pulang.”Ana tidak menanggapi ucapanku sama sekali. Ia tetap diam menatap jauh dinding rumah sakit seolah di sana ada sesuatu yang menarik.&nb
150“Apa yang kalian pikirkan? Ini rumah sakit…!”Tiba-tiba Ana memekik seraya ikut berdiri. Hingga ia bagai seorang wasit yang berada di antara aku dan Hisam.“Jangan membuat keributan!” lanjutnya seraya memandang kami bergantian. Terlihat mata basahnya kecewa dan putus asa.Hening. Untuk beberapa lama tidak ada yang bicara di antara kami. Ya, ini rumah sakit, tidak elok bila kami ribut di sini. Akhirnya, terlihat Hisam mendudukkan lagi dirinya di tempat semula. Tinggalah aku dan Ana yang masih berdiri.“Ana.” Aku memanggil seraya menatapnya nanar.“Aku minta maaf atas semua yang terjadi, aku tahu kamu tidak nyaman. Tapi kumohon mengertilah, aku sudah mengatakan jika akan membereskan dulu masalah dengan Michelle, dan kita akan menikah setelahnya.” Aku berusaha meraih tangan Ana walaupun berkali-kali mendapat penolakan.Kulihat Ana memejam sebentar. Aku tahu hatinya terluka atas apa yang terjadi antara aku dan Michelle.“Aku berubah pikiran, Kak,” ucapnya pelan. Aku senang dia kembali
151PoV ViolaAku menjalani hari-hari sebagai Viola baru di rumah bunda. Viola yang tidak memikirkan cinta, laki-laki, dan pernikahan. Sekarang aku fokus dulu menata hati dan hidup, juga rajin menjenguk bunda yang sudah banyak kemajuan semenjak aku selalu datang ke sana.Mungkin inilah takdirku. Dua kali gagal menikah dengan dua laki-laki menjadikanku mengesampingkan dulu perasaan. Fokus diri sendiri adalah yang terbaik saat ini. Toh, jika sudah menakdirkanku berjodoh dengan seseorang, pasti Tuhan membuka jalannya. Dua kali gagal menikah karena calon suami berbohong, membuatku sangat berhati-hati dengan perasaan. Aku memutuskan tidak terlalu cepat mempercayai makhluk bernama laki-laki.Awalnya sangat sulit mengesampingkan rasaku terhadap Kak Dala yang sudah tumbuh subur lagi. Bahkan lebih subur dari sebelum aku tahu jika dia adalah teman masa remaja dulu. Sayangnya hanya kecewa yang kembali kurasakan karena ternyata ia tidak bisa tegas kepada wanita yang menurutnya hanya mengaku-ngaku
445 “Jadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?” Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. “Papa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.” Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. ‘Siapa yang nikah, siapa yang bulan madu.’ Batin mereka mengejek. “Vino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.” Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443“Abang, emang nggak berat?” tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.“Ok,” ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.“Nggak berat, kan, aku?” ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.“Nggak,” jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442“Manis,” ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.“Apanya yang manis?” tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.“Apanya yang manis, hem?”Semburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.“Ini yang manis?”“Ish, Abang apaan, sih?” Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.“Jadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.“Kena, kau!” gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438“Dilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.” Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.“Abang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.” Vino balas melemparkan sindiran pedas.“Sudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.”“Ter-la-lu, kali ….”“Suka-suka akulah.” Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 “Hallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.” Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. “Kamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?” tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. “Apa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.” Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. “Lihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.“Sudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.” Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.“Jangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.” Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.“Kenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plus—”“Sudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan